Kamis, 24 Desember 2009

Namanya Mira ...

Ini cerita tentang perempuan.
Perempuan jalanan yang tidak pernah sadar bahwa hidup ini harus punya tujuan.
Kepada perempuan itulah semua hasrat dan naluri kebinatangan aku tumpah dan tuangkan.
Ini cerita tentang perempuan,
Kata mereka sih semua untuk hidup dan untuk makan ….
Namanya Mira, mengaku berumur 29 tahun. Namun bagiku mungkin itu adalah samaran dan karangannya semata. Kalau ditaksir sih mungkin sudah 35 atau bahkan lebih. Namun tidak apalah, malam ini awalnya aku hanya berinisiatif untuk menjernihkan otakku yang tegang dalam beberapa hari ini. Jam di tanganku menunjukkan pukul 18.00 WIB ketika aku menjalankan mobilku pelan-pelan keluar dari Salon Riska. Nama salon baru di tikungan sebuah jalan utama kota Jogja itu merupakan referensi yang berasal dari temanku, Ibtu. Katanya sih di sana menerima perawatan “lebih’. Jadi tadi sore aku coba-coba datang ke sana, Setelah di treatment cukup satu jam, aku memutuskan untuk mengakhiri perawatanku itu. Tanpa menindaklanjuti tentang informasi ‘plus’ dari Ibtu. Ada beberapa catatan atas tempat itu, Pertama, dia tidaklah seperti yang digembar-gemborkan temanku. Juru pijatnya tidak ada yang cantik dan memikat. Pelayanannya standar sekali (bisa jadi karena aku tidak terlalu tahu tentang kode-kode tersembunyi ketika menyampaikan maksudku sebenarnya datang kesitu). Kedua, tarif yang dibebankan padaku untuk satu jam murah banget. Untuk pijat selama satu jam, tarif yang dikenakan cuma 60 ribu. Wuaah kalau ini sih super murah dari beberapa tempat pijat di Yogyakarta yang pernah aku kunjungi.
“Masih masa promosi sampai akhir bulan ini Mas, “ Kata pegawai dikasir pembayaran, Naah mumpung promosi makanya bisa jadi ada niat bagiku untuk kembali ke tempat itu. Tentu saja dengan strategi dan teknik yang berbeda. Tapi okelah ….. karena cukup murah, maka aku berpikir mungkin ada baiknya ntuk mencoba "hal lain", maka aku mulai memijit nomor hp ku dengan kepala dipenuhi satu nama yang kusebut tiga detik setelah hp kupencet :
“ Hallo …. “ aku hela napas sejenak “ Mira ? “
“ Heii ,,, siapa ini ? “ suara agak mendesah
“ Ini Tole….. loe ada dimana ?” napasku memburu : “ Gue butuh banget kehadiran loe !”
“ Kapan ?”
“Ya malam ini lah !” Wajahku pasti cemberut. “Masak tahun depan !!”
“Wah .. aku ga bisa neh ..”
“Mengapa ?”
“Ada tamu ..!”

Gubrak ..!
Dasar perempuan sialan, lagi dibutuhkan benar-benar malah asyik menjamu tamu. Dasar brengsek sex sex sex …. Malam jahanam !

Ini cerita tentang perempuan ...
Otak kananku langsung memvonis bahwa Mira adalah perempuan panggilan yang tidak bisa dibilang muda lagi. Usianya sudah diatas 35 tahun (Lihat betapa cepatnya asumsi menjadi sebuah dakwaan dengan nada penuh kepastian!). Sepanjang yang aku lihat dan aku raba, aku tahu sudah ada bagian-bagian tubuhnya yang menonjolkan lemak disana-sini. Parasnya juga tidak terlalu menarik, bahkan cenderung biasa saja. Sekilas mirip-mirip penyanyi goyang ngebor Inul Daratista. Bedanya dia bukan berasal dari Jawa Timur dan kaya raya seperti halnya Inul. Dia lahir dan dibesarkan hanya di sebuah kecamatan kecil di Surakarta, lengkap dengan kesederhanaan dan kemiskinannya. Menikah di usia muda (15 tahun) dan ditinggalkan suaminya dalam kondisi mengandung anak pertama (katanya sih anaknya cowok !). Pernah mencoba bersuami dengan seorang langganan tetapnya yang dia kira bagai ksatria. Ternyata dia lagi-lagi ditinggalkan dalam kesusahan. Akhirnya di usia kepala tiganya, dia memutuskan untuk terus melakoni hidup sebagai perempuan panggilan dan ready in used di salah satu sudut jalan Pasar Kembang, Yogyakarta.
Apakah semua cerita hidupnya itu yang kemudian membuatku sangat gemar memboking dia ?
Tidak man …… salah coy ...
Tentu saja tidak ! ….
Aku tak pernah trenyuh mendengar cerita kesedihan dan kenestapaan para pekerja sex komersial. Sudah terlalu biasa !!
Kawin muda …
Ditinggal suami …
Punya anak ….
Himpitan ekonomi keluarga …..
Menghidupi anak …..
Tetap jadi pelacur ……..
Huh …. Terlalu biasa ….. biasa ….. jayus ….
Sekali lagi bukan karena itu semua …
Aku tertarik dengannya dan kerapkali memboking-nya semata-mata karena layanan seks yang diberikannya. Mira adalah sosok wanita hipersex dan hiperaktif yang paling dahsyat yang pernah kutemui. Segala jenis fantasi yang tersusun di kepalaku nyaris semuanya bisa dituntaskan dalam kamarnya yang sempit, remang-remang, tanpa ada satupun rasa malu dan rasa sungkan. Aku menjadi seorang psikoanalisis sejati apabila bersamanya.
Setiap kali gelegak gairah dikepalaku sudah membuncah tak terkendali, maka aku tinggal memijit nomor hpnya. Janjian ketemu. Dan dia akan menunggu dengan segala persiapan maksimal.
Tapi malam ini ?
Malam dimana gairah dan nafsu begitu menghantam diriku ?
Doi menyatakan tengah ada tamu …
Berarti sekarang dia tengah bersimbah keringat dengan lelaki lain
Entah om-om …..
Entah pemuda …..
Entah aki’-aki’
Entah lelaki penjelmaan iblis dari neraka …
Entahlah …. Yang jelas semua itu syah … legal … dan bisa dibenarkan !
Semuanya membayar. Habis perkara.
Lha wong dia wanita panggilan !
Aku tidak boleh marah ! terlebih-lebih lagi cemburu !
Hua ha ha ha ha ha … apa pula itu
Cemburu pada wanita panggilan ?
Premis apa pula itu ?
Tak adalah kata itu dalam kamus hidupku ..
Tapi …..
Nafsu sudah membumbung tinggi …
Gimana dunk ?

Langkah instant dan sederhana adalah menjalankan mobil pelan-pelan menyusuri jalan Solo, sebuah ruas jalan utama kota Yogyakarta ini. Tekat bulat menuju timur. Maju terus pantang mundur. Pelan terus ke timur. Melewati sebuah kampus yang tengah dipugar dan dibangun dengan (katanya !) dana hibah dari Kairo atau Timur Tengah : megah dan jumawa. Terserahlah ! Terus ke timur. Melewati Ambarukmo Mall : sebuah mall yang hiruk pikuk dan berlebihan laku, dengan meninggalkan rentetan protes dan demo dari komunitas disekitar rencana bangunan megah itu. Katanya mall itu menjadi mall termegah di Jawa Tengah. Entahlah ….. malam ini pikiran itu cuma melintas cepat dikepalaku yang memang tengah tidak mau berpikir. Ada lintasan bergolak lain yang menekan semua rasionalitas di kepala atasku : bergolaknya hasrat di kepala bawahku !
Kepala satunya yang terus menerus menuntut pemuasan ….
Hasrat yang menggila …….
Butuh pelepasan segera …….
Segera ………………

Memang begitulah jalan hidupku. Tanpa aku pernah berpretensi menjadi Brahmana atau manusia suci. Bagiku pemuasan kebutuhan seksual tidak bisa terus menerus dilakukan melalui onani. Bahwa katanya kemudian ada dua diantara tiga laki-laki remaja dan dewasa yang menggunakan tangannya untuk merancap dan masturbasi, itu adalah kenyataan dan fakta non riset yang tetap dipegang kebenarannya. Namun bagiku perilaku onani dan masturbasi sudah lewat. Bagi seorang lelaki dengan penghasilan diatas rata-rata seperti diriku, wajah yang juga di atas rata-rata, penampilan tidak terlalu menjemukan, dan ….. kemampuan berbicara yang cukup brilian, tentu bukan perkara sulit untuk menemukan satu sosok perempuan yang bisa menerima dan juga turut menikmati permainan seksual dunia yang tanpa batas. Inilah yang namanya hasrat, kata Baudrillard !
Manusia sepanjang hidup terus menerus menuntaskan hasratnya
Seumur hidup terus menerus menetralisir id dengan bermunafik diri berpegang pada superego ! itu kata Sigmund Freud.
Ah, dasar Freud, mengapa pula sampai pada kesimpulan yang mengandung penuh kebenaran itu ? apa Deleuze & Guattari belum juga sadar ? bahwa kemaluan mereka tetap saja bergerak dengan instink ala psikoanalisis. Dasar Yahudi sok pintar !

Setelah sepuluh menit menelusuri jalan Solo, sebelum nyampe pertigaan Janti di bawah jembatan layang, mobil aku belokkan ke kiri. Masuk pelan ke sebuah gang yang aku tahu menuju pada sebuah makam, dan berarti gangnya buntu ! Bukan makam itu yang jadi tujuan, namun aku tahu pasti bahwa sebelum makam itu, ada dua buah pondok yang menampung belasan gadis. Gadis-gadis itulah yang selalu tersedia untuk menampung segala kepenatan dan kemendesakan naluri binatang yang tengah berkecamuk dalam diri lelaki sepertiku.

Porsneling mobil aku pindah ke-2. Mobil melaju pelan. Lampu senja aku aktifkan. Inilah tanda yang aku pahami apabila memasuki jalan ini sebagai isyarat ’khusus’.
Seorang laki-laki kekar cekatan menghampiri mobil sebelah kanan. Tepat di sisi sopir. Melempar senyum, ”met malam bozz..!”
”Maleem?’ senyum terpaksa ku lemparkan : ”ada berapa orang ?”
”Waah ..... masih banyak boz,” seringai senang itu keluar. ”masih lengkap !”
”Baguslah...”
Aku matikan mesin mobil. Kebisuan menyergap. Baru kusadari bahwa area pemakaman itu memang seram. Cocok benar mereka menempati area ini. Cukup menakutkan bagi orang yang tidak berpikiran jorok seperti aku. Menepis bayangan menakutkan seperti film-film kuntilanak dan sundal bolong, aku turun dari mobil dan menutup pintu.
Brakk ...!

Pandanganku menyapu sekeliling. Dari jarak sekitar 3 meter aku mulai membiasakan diri dengan gelapnya malam untuk memastikan aku berada di tempat yang tepat.
Di kiri mataku ada sebuah rumah dengan pagar separuh badan menutup halamannya. Lampu merah 5 atau 10 watt menyala temaram. Nampak beberapa kursi butut bersandar ke dinding disamping pintu masuk. Nampak dua laki-laki dan seorang wanita stw (setengah tua) cekikikan di sana. Asyik sekali bercengkrama. Kulirik sebelah kanan. Ada rumah kecil lagi dengan neon putih yang mulai menghitam di kedua ujungnya. Pasti udah saatnya diganti ! berbeda dengan suasana pelataran rumah di kiri, rumah ini nampak angkuh. Sepi sekali. Pintunya menghadap ke selatan. Satu setengah meter di depan pintunya ada tembok yang membuat kita harus membelok menghadap ke barat apabila keluar dari pintu itu. Sementara di sebelah barat ada tembok lagi yang lebih tinggi yang akan segera menghalangi penglihatan orang yang memandang dari sebelah barat. Ada tanah lapang sekitar 2 x 3 meter di utara tembok tinggi itu. Itulah tempat masuk menuju pintu tadi.

Aku paling tak suka ditatap orang saat masuk ketempat beginian. Bagiku penyembunyian identitas menjadi permainan menarik. Menghadirkan “diriku” yang bukan diriku memberikan keasyikan tersendiri sepanjang hidupku di dunia hitam ini. Tentu aku bukan Michael Foucault yang terang-terangan mengaku dirinya ketagihan sodomasokis. Ini Yogyakarta coy, bukan New York yang membuat Foucault ketagihan. Atas dasar itulah aku menghindari menuju ke rumah sebelah kiri, karena dengan demikian berarti aku akan bertemu dan melewati tiga orang yang bercengkrama di teras rumah itu.
”Baiklah,” aku menggerutu, dalam hati ”tampaknya rumah selatan deh”
”Bagaimana boz ?”seringai itu keluar lagi, ”sebelah mana ?” seringai lagi, ”dua-duanya sama bagus kok !” mulut itu terus saja berpromosi.
Aku senyum tak menjawab. Namun melangkah pelan menuju tanah 2 x 3 meter itu. Dari kegelapan di jarak 5 meter tadi, aku menyongsong lampu neon agak hitam itu. Pasti raut wajahku terlihat jelas. Ahh .. persetanlah... toh mereka cuma melihat uangku saja. Bukan siapa diriku.

”Di hotel mana boz ?” si seringai tadi mencoba beramah tamah. Ujungnya pasti komisi.
”Saya belum check in..” aku malas-malas. Sudut mataku melirik manusia ’penjilat’ disamping ini, ”Nantilah saya cari tempat sekalian..”
Aku merasa si seringai itu tersenyum, membayangkan dia akan dapat persenan lagi dari upaya mencarikan aku kamar di hotel yang telah menjadi network dia. Biasanya dalam dunia pelacuran begini, seluruh manusia yang mendapatkan manfaat dari bisnis ini akan membangun kolaborasi imbang yang saling menguntungkan. Germo akan mendapatkan sekitar 50% dari uang boking dan “uang pake”, terus sang bodyguard akan mendapat 2% dari kemampuan menarik konsumen, sementara itu hotel akan diwajibkan memberi sekadar ’tip’ pada bodyguard sebagai balas jasa sang pengawal sudah memberikan tamu untuk mengisi kamar hotelnya. Dengan pengetahuan akan sistem bagi hasil begitu, aku merasa muak dengan senyum dan seringai sok ramah dari bodyguard itu. Sama saja dengan senyum menertawakan kebodohan dan ketolollanku.
”Ahh persetanlah ...” makiku dalam hati, sambil kupercepat langkahku..
Saat menapaki ujung tanah lapang 2 x 3 meter itu mataku sudah melirik ke kiri, mengarah pada depan pintu masuk yang diterangi sorot lampu neon yang lebih benderang.. dan. Bruukk ..... ujung kakiku terantuk satu gundukan di kegelapan, sialan .. gue terpeleset!
”Hati-hati bozz ..” tangkas sekali si bodyguard merespon, padahal doi pasti tersenyum geli.. dasar aku saja yang goblok.. Ini nih akibatnya kalau nafsu sudah di ubun-ubun ... he he he he he ………

Satu menit kemudian aku sudah berada di depan pintu rumah dengan lampu temaram itu. Ruang tamu memanjang. Sekitar 3 x 10 meter. Pada setiap sisinya terdapat kursi sofa empuk. Dibelakang deretan panjang kursi itu terdapat kaca cermin yang besar melekat di dinding yang posisinya berhadapan. Hingga setiap orang yang duduk di sofa itu akan melihat dirinya sendiri utuh di cermin depannya. Persis dipunggung sosok lain yang duduk di hadapannya.

Sambil mempersilahkanku duduk, sang bodyguard tadi memencet satu tombol persis diatas tempat duduk dia. Terdengar bunyi bel. Aku sudah paham maksud bel itu : semua gadis-gadis harus keluar memamerkan diri. Tak sampai lima detik, bermunculanlah rupa-rupa cantik menggairahkan dari dalam menuju sofa yang tadi ada cerminnya berhadap-hadapan.
“Evi, Neni, Dian, Anggi, Siska, Rika, Leni ,..” dan entah berapa nama lagi yang disebutkan sang Bodyguard merangkap germo itu untuk menjelaskan masing-masing gadis yang keluar secara teratur. Yang pasti aku tak bisa mengingat semua. Mataku Cuma nanar menatap gadis mana yang sesuai seleraku. Putih, berambut panjang, dada menunjang, agak nakal, bokong sexy, fashionable... ahh ....
“yang mana boz?” tanya germo itu .
Ternyata semua gadis itu sudah duduk berhadap-hadapan sambil tersenyum memamerkan dirinya masing-masing. Pada saat seperti ini aku jadi teringat ungkapan Hatib Abdul Kadir dalam bukunya “Tangan Kuasa Dalam Kelamin”. Buku yang diantar Benedict Anderson itu mengetengahkan analisis menarik atas dunia pelacuran berikut sebab musababnya. Penyebab muncul dan bertahannya pelacuran menurut buku itu bukanlah karena lemahnya pendidikan agama, kurang iman, dan lemahnya moral pelaku-pelaku itu, melainkan relasi timpang kekuasaan ekonomi yang menghimpit kelompok marjinal. Kesempatan berusaha dan mendapatkan penghasilan layak yang tidak merata bagi manusia di Indonesia ini membuat timpangnya pendapatan. Mereka yang kaya akan terus membangun sistem untuk mengukuhkan kekayaan dan status mereka, dan itu berarti akan senantiasa mengorbankan mereka yang miskin. Semakin miskin, semakin tersingkir. Pada titik ini pilihan untuk menjadi pelayan dan budak dari mereka yang memiliki uang sama sekali tidak bisa terelakkan. Inilah relasi borjuis dan proletar. Persis seperti yang digambarkan Kuntowijoyo atas peran kelas Borjuis di Eropa. Mereka yang menjadi pelacur adalah kelas proletar dengan modal tubuh yang dikuasai para germo. Dengan sistem pembagian yang lebih banyak menguntungkan sang germo, tepat sudahlah relasi kuasa itu memainkan peran dalam urusan perkelaminan. Dan aku menjadi sosok yang berkuasa, menjalin teori konspirasi dengan germo itu untuk meng-establish-kan posisi germo itu. Aku punya uang, bebas memilih mana tubuh yang akan kunikmati tiga jam ke depan. Dan ...
“Yang paling kiri mantap lho bos !” ahh dasar otak promosi, “Namanya Vera.”
Meski mengumpat dalam hati, toh lensa mataku juga bergerak seiring dengan perintah otak untuk tidak menyia-nyiakan secuil informasi itu. Duduk di kiri, sosok putih bersih (yang kusadari kemudian hanyalah pengaruh lampu yang terang benderang), dada membusung (pasti 36b), memakai rok jins super sexy, nampaknya germo ini tahu betul seleraku. Aku menyeringai bagai srigala lapar melihat anak rusa gemuk siap dimamah. Dasar bajingan !

Tak perlu aku teruskan. Apakah aku akan “mengambil” Vera atau tidak. Yang jelas Freud sudah tahu betul akan apa yang terjadi pada sisi tergelap manusia. Seks menjadi akar masalah peradaban. Seks menjadi sarana penguasaan. Seks telah menggantikan proses berketurunan sebagai sarana permainan yang mengasyikkan. Manusia memang makhluk menyimpang. Berdasarkan standar 4.300 spesies mamalia lain di dunia, dan berdasarkan standar kerabat kita yang paling dekat (menurut hukum Darwin), kera besar (Simpanse, bonobo, gorila, dan orang utan), kitalah spesies yang paling menyimpang. Minimal itu simpul yang kubaca di buku “Why is Sex Fun ? : The Evolution of Human Sexuality” yang ditulis Jared Diamond. Apabila spesies mamalia lain hanya memaknai persetubuhan sebagai sekadar cara memelihara keturunan dan berkembang biak, manusia memaknai persetubuhan sebagai ritual rekreasi dan kesenangan. Akibatnya, di dalamnya timbul pertaburan proses pencarian kesenangan, sensasi, fantasi, penguasaan satu sama lain, dan tentu saja uang yang melimpah ruah. Memang benar kata Freud : seks pencipta peradaban.

Selebihnya aku tak bisa bercerita lebih banyak lagi. Tubuh dengan dada membusung itu benar-benar telah berdiri di depanku. Kami berdua sudah berada dalam kamar sebuah hotel bintang empat. Punya garasi mobil di setiap kamarnya. Hotel yang resepsionisnya tidak norak dengan mempertanyakan KTP setiap tamu yang menginap. Cukup dengan memberikan tip satu lembar lima puluh ribuan, mulutnya akan diam. Mataku semakin nanar. Nafsu pasti berpendar. Blouse-nya telah terlepas. Berganti dengan BH merah menutup sepasang buah dada yang tadi membuncah. Aliran listrik tidak mampu lagi memaksimalkan fungsi otak kiriku. Yang ada sekarang hanya pijaran listrik berlebihan yang menyerang otak kanan. Dengan sigap aku menghambur ke depan ... Vera menyambut dengan senyum nakal dan lenguh berkepanjangan. Seks telah menjadi profan, memang begitulah peradaban ... Dua jam ke depan biasanya aku pasti akan menyadari, kalau aku memang Freudian.


Tepi Kali, Desember 09

Jumat, 18 Desember 2009

Menuju Pasif ! : Transisi Media Cetak Ke Elektronik

“Radio and television based upon
pure collective and institutional
rather than individualistic authorship”

-Anthony Smith, Goodbye Gutenberg, 1980:325-


Transisi media dari satu bentuk ke bentuk yang lain bukanlah berada di ruang vakum terpisah dari kondisi masyarakat. Persis seperti sejarah kelahirannya yang menghamba pada kebutuhan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain, maka perkembangan berikut transformasinya juga tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik. Sejak ditemukannya mesin cetak, sebenarnya proses evolusi manusia dalam menyampaikan pesan secara tidak langsung dan termediasi telah dimulai. Tentu dengan proses yang lama. Proses itu sangat tergantung dari kondisi sosial politik yang terjadi di Amerika dan Eropa. Kebutuhan perang dengan keinginan indoktrinasi propaganda membuat keberadaan media begitu penting. Dan nampaknya setting serupa juga tidak terlalu bergeser berabad-abad sesudahnya. Satu hal yang pasti : media selalu menjadi jembatan penghubung antara kebutuhan penyebar pesan dari seseorang atau sekelompok orang kepada pihak yang lain penerima pesan. Di dalamnya berkelindan tujuan menyampaikan informasi, menyebarkan pengetahuan, menghibur, dan bahkan menguasai pihak lain. Entah itu hanya bertujuan menyampaikan pesan maupun dinamika politis di dalamnya, media selalu mencatatkan dirinya dalam rangkai pergolakan dan relasi kekuasaan. Inilah setting sosial dan politis keberadaan media. Mungkin itu akan terjadi sepanjang daur hidupnya.

Tulisan berikut ini mencoba untuk mengurai secara singkat perjalanan media massa dalam konteks Eropa dan Amerika. Dari dua benua itulah asal usul media massa yang saat ini kita kenal. Pertama akan diulas tentang kondisi masyarakat dan kelahiran media cetak, lalu dilanjutkan dengan kehadiran media audio dalam wujud radio transistor. Melalui kemampuan transformasi pesan menjadi audio visual saya akan mengurai perpindahan sistem manual menuju sistem digital dengan televisi sebagai ’sang bintang’. Tulisan akan diakhiri dengan revolusi besar-besaran dalam dunia komunikasi dengan munculnya internet sebagai roh computer mediated communitacion (CMC). Akhirnya, saya akan coba rangkum tentang kontribusi media tersebut kepada kehidupan sosial politik kita. Nanti akan terlihat bahwa tidak hanya media massa yang terbentuk oleh media, melainkan sirkulasi efeknya menunjukkan bahwa media telah menjadi determinan penting dalam kondisi masyarakat itu sendiri. Tak jelas lagi mana sebab dan mana akibat.

Media Cetak : Mujizatnya Mesin Cetak
Bila mengacu pada cerita Asa Briggs & Peter Burke (2006), akan terlihat bahwa kelahiran mesin cetak sebagai alat pertama yang mampu membuat sebaran pesan menjadi massif, menjadi penanda revolusi dalam bekerjanya relasi manusia. Lewat mesin cetak itu maka kitab-kitab religius tidak lagi ditulis secara tradisional kuno. Lewat mesin cetak itu kemudian seluruh kampanye politik tidak lagi memakan waktu berbulan-bulan yang dihabiskan dalam perjalanan calon presiden atau senator. Semua jadi lebih singkat. Lebih murah. Lebih tertata.

Jejak-jejak historis yang dipaparkan Briggs dan Burke dalam buku itu memang relatif ensiklopedis. Lebih dari sekadar disuguhi dengan panorama pertumbuhan media komunikasi secara kronologis, kita diajak pula menyusuri konteks sosialnya: bagaimana teknologi media itu tumbuh bukan sebagai artefak yang lahir dari para insinyur dalam keadaan tanpa tujuan, melainkan jalin-menjalin dengan kepentingan ekonomi, menunggangi dan ditunggangi oleh gejolak sosial, serta dimanfaatkan dan memanfaatkan pertikaian antarpihak dan antargeografi. hal ini sangat dibenarkan oleh para pelacak sejarah media massa (Fidler, 2003 ; Mc.Chesney, 2007).

Seperti halnya Einstein dengan rumus matematikanya yang menghasilkan bom atom pembunuh manusia (Bom atom sendiri adalah kreasi Julius Robert Oppenheimer, seorang PhD Cambridge University yang bekerja untuk proyek pemenangan perang presiden AS F.D. Roosevelt di tahun 1940-an), maka Gutenberg tidak pernah menyangka mesin cetaknya begitu berguna hingga hari ini. Gutenberg mencatatkan sejarah penemuannya dengan cerita manis . sebaliknya Einstein mencatat sejarah rumus matematikanya dengan penyesalan dan kegalauan karena membunuh berjuta-juta orang. Kita tidak sedang cerita bom atom khan ? Nah mari kembali pada cerita Gutenberg, sang pahlawan kelahiran koran, majalah, dan media cetak lainnya.

Tatkala Gutenberg menciptakan alat cetak, ia meniatkannya untuk menyebarluaskan pengetahuan. Tapi kebutuhan, dan kepentingan, manusia ternyata melebihi itu. Media cetak tadi telah menghibur, menularkan dongeng, berbagi kesenangan, ini sebagai efek positif. Sementara efek negatifnya langsung muncul bagai dua sisi mata uang. Media cetak itu dijadikan alat untuk membujuk, menghasut, dan menikam demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Ulasan Briggs & Burke (2006) berikutnya menggambarkan betapa media bergerak melampaui kehendak penciptanya. Sampai pada titik yang tak terkira. Inilah dilema media massa. Mungkin hingga hari ini.

Dari seluruh perkembangan media cetak yang ada (buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya) ada satu sifat yang melekat erat pada dirinya. Setiap orang yang ‘terikat’ dengannya harus menjadi aktif untuk berinteraksi. ini artinya membaca buku, majalah, surat kabar, selalu memaksa orang untuk aktif melihat, berinteraksi dengan apa yang dibaca terlepas sadar atau tidak sadar (Emery & Emery, 1996). Ini sama sekali tidak terjadi pada media elektronik yang muncul selepas sejarah gemilang media cetak yang membuat orang menjadi lebih pintar dan aktif tadi.

Instan, Pasif, dan Melenakan : Fakta Media Elektronik
Menjelang penyelesaian tulisan ini, saya masih kesulitan untuk menuliskan kesimpulan. Seperti biasa, saya punya masalah untuk menutup sebuah tulisan dengan kesimpulan yang bagus (tentu saja). Saya sangat tidak ahli dalam menyimpulkan. Tahukah anda, apa yang begitu menggoda saya untuk membaringkan diri dan menunda kerja ? Yup, televisi di depan saya ! Ada acara komedi yang mampu membuyarkan konsentrasi (Yang memang hanya tinggal separuh). Saya tak bisa menampik dan memungkiri bahwa televisi telah menjadi media penggoda utama dalam masyarakat modern. Juga terhadap diri saya. Dia hadir dengan kekuatan audio visual yang tak tertandingi. Ada konteks sosial politis yang luar biasa telah mengantar media televisi sebagai media terpopuler dan idola bagi khalayaknya.

Media massa adalah media yang digunakan dalam proses komunikasi massa (McQuail, 2000; Vivian,2008; West & Turner, 2009). Sosok riilnya bisa dilihat dalam rupa radio, televisi, komputer dengan internet. Hingga saat ini, televisi menjadi salah satu pengantar pesan yang paling digemari. Dalam sejarah panjangnya, televisi sebagai sosok revolusioner media elektronik telah memberi warna atas perkembangan masyarakat (Kellner, 1990; Arthur, 2004). Pada tataran paling ekstrem, televisi telah berhasil menciptakan budaya visual yang sangat kuat (Murray & Quellette, 2004; Burton, 2007). Hal ini sebenarnya telah terjadi di awal sejarah radio. Namun lompatan pola akses media begitu ekstrem setelah kehadiran televisi. Seiring dengan berlalunya waktu, peran radio dan televisi telah menyatu sedemikian rupa dalam media interaktif dan bersifat konvergen. Komputer dengan internet telah merubah segalanya. Dalam konteks saluran dan sirkulasi informasi, ini betul-betul lompatan besar. Tengoklah apa yang terjadi dalam dunia jurnalisme on-line saat ini.

Dengan media pemberitaan berbasis Internet, segala macam pemberitaan sebagai hasil kerja jurnalistik dapat disampaikan dengan sangat cepat kepada masyarakat luas (massa). Inilah mengapa masyarakat kini cenderung lebih memilih Internet sebagai media pemberitaan yang efisien. Grafik pertumbuhan media Internet pun nampaknya menunjukkan peningkatan. Ini berkebalikan dengan angka koran atau media cetak yang terus saja mengalami penurunan perlahan. Sedangkan untuk media massa lain seperti radio dan televisi nampaknya masih bisa bernafas lega, karena teknologi penunjang bisnis media melalui Internet memungkinkan konvergensi kedua jenis media ini melalui Internet. Perkembangan teknologi multimedia yang pesat pun turut mempengaruhi prospek cerah Internet sebagai media komunikasi informasi yang cepat. Namun seiring dengan kecepatannya itu, dia menjadikan seseorang sebagai sosok pasif penerima informasi semata. Bahkan pada titik terjauh menjadikan media ini sebagai acuan hidup dan tempatnya bergantung. Google menjadi saksi kontemporer atas perubahan paradigma relasi antar manusia yang termediasi dengan komputer. Kita sampai di tepian yang paling berbahaya !

Media Sebagai Berhala : ”Insya Google” yang Berbahaya
Hari ini, televisi dan Internet telah membuat dunia terasa kian sempit dan jarak-waktu kian pendek. Seluruh dunia telah terhubung sedemikian rupa. Apa yang dibayangkan oleh Thomas L. Friedman (2006), bahwa dunia ini sudah sedemikian datarnya, nampak telah menjadi kenyataan. Begitu banyak keuntungan. Juga tak terhitung kerugian. Internet telah membuat kita berinteraksi secara menakjubkan bagi ayah dan ibu kita. Membuat orang kampung terpana tak terkira karena apa saja bisa didapat. Semua informasi telah tersedia di sana. Tinggal klik saja. Bereslah semua. Bahkan seorang teman dengan berseloroh berkata, “Google telah menjadi semacam tuhan bagi kita,” tentu dia seorang atheis. Lalu keluar kalimat religius darinya, “kalau mau cari sesuatu di internet, ucapkan saja Insya Google (kalau Google mengijinkan),” memang sangat keterlaluan ! Tapi faktanya mesin pencari karya Sergey Brin & Larry Page ini telah menyediakan informasi apapun yang kita cari dan inginkan. Ini tentu dengan sendirinya membenarkan apa yang diramal Alfin Toffler tiga dekade sebelumnya (Vise & Malseed, 2006).

Media cetak yang telah menciptakan budaya aktif dalam peradaban Barat, ternyata tidak memiliki sejarah yang sama di peradaban Timur. Rata-rata negara di Timur yang baru saja merdeka tidak merasakan terpapar media secara tertib linear seperti di sana. Semua dialami secara holistik. Mereka mengenal surat kabar dan majalah hampir bersamaan dengan mereka mengenal radio, televisi, dan bahkan komputer. Media elektronik yang menyediakan fasilitas serba instan menjadikan audiens begitu pasif. Menjadi konsumen, tanpa pernah berpikir untuk berprestasi menjadi produsen pesan. Tiba-tiba kita sangat menikmati menonton televisi atau berselancar chatting di internet ketimbang duduk merenungi makna sebuah paragraf dari buku teks. Perkembangan dunia internet dengan daya beri informasi tak terbatas membuat kita semakin rakus memamah apa saja. Masyarakat semakin bergerak menjadi pasif. Anda punya pendapat lain ?


Referensi Utama :

Dominick, Joseph R., (2009). The Dynamics of Mass Communication : Media in the Digital Age, Tenth Edition, McGraw-Hill International, Boston.

McQuail, Denis., (2000). McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publications, London, Part V.

Severin, Werner J. , dan James W. Tankard, Jr. , (1992). Communication Theories : Origins, Methods, and Uses in The Mass Media, Third Edition, Longman, New York, Part. IV.

Sabtu, 12 Desember 2009

Mereka yang Bijak, Tentu tak Membajak !

“bagi orang Barat, sulit membayangkan sebuah dunia tanpa hak cipta, ....
sedangkan orang-orang yang lahir dan hidup di dalam budaya-budaya non-barat,
tidak akan terlalu sulit membayangkannya !”

-James Boyle, 1996-



Saat teman-teman Dagadu meminta saya untuk urun rembug dalam diskusi terbatas menyongsong 16 tahun Dagadu, saya langsung menyetujuinya. Ini bukan tanpa alasan. Bagi saya ini sangat menarik. Membicarakan Dagadu adalah membicarakan tentang Yogya. Membicarakan Yogya tak lengkap tanpa menyebut Dagadu. Keduanya mungkin inheren satu sama lain. Untuk hal ini kami sepakat. Namun saat membicarakan tentang tema yang akan diangkat, muncul ketidaksepakatan. Terutama dari sudut pandang melihat masalah dalam tema yang akan diangkat. Tema yang diangkat hari ini adalah sebuah tema penting dan inheren dalam sejarah panjang peradaban kreatifitas manusia. Temanya tentang pembajakan (piracy) !

Mengingat sejarah panjang pembajakan itu sendiri, kita tentu bisa tidak sepakat dalam beragam hal. Umpamanya, tentang implikasi bajak membajak dari beberapa sudut kepentingan. Dari sudut pandang industri, ini sangat merugikan dan berbahaya. Mengancam semangat kreativitas manusia. Tidak berpihak pada orang-orang kreatif yang meneteskan keringatnya demi sebuah karya. Namun dari sisi sosial kemasyarakatan, yang terjadi sangat bertolak belakang. Pembajakan telah ‘menghidupi’ beribu-ribu manusia dengan tingkat sosial ekonomi berbeda-beda. Dari sisi budaya, dicurigai bahwa spirit bajak-membajak memang berasal dari kebiasaan menirukan yang telah terdidik dan ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Ini begitu ironis. Di satu sisi aktivitas ini dianggap hina dan tidak pantas dilakukan, sementara di sisi lain aktivitas ini menjadi ‘dewa penolong’ kehidupan alias menghidupi banyak orang. Sebagai seseorang yang belajar ilmu sosial, saya diminta berbicara tentang pembajakan dari perspektif sosial. Dari situ pertanyaan bodoh saya muncul. “sudut pandang sosial seperti apa ?”

Saya tidak berani mengklaim diri mampu menjelaskan secara komprehensif tentang aspek sosial ini. Tulisan berikut ini hanya bermaksud memaparkan tentang relasi signifikan antara kuatnya budaya konsumtif dengan tersedianya ‘lahan subur’ bagi praktek bajak membajak, lalu akan menghubungkannya dengan kenyataan ironis ‘sakitnya’ masyarakat kita. Asumsi dasar yang dipegang adalah bahwa geliat kapitalisme yang identik dengan tumpah ruahnya produk dan merek di pasaran, telah menjadi “buah simalakama” bagi dirinya sendiri. Buah itu adalah terfasilitasinya hasrat mengidentifikasi diri dengan citra merek tertentu sebagai realitas imajinatif, dengan kenyataan terbatasnya sumber daya finansial (daya beli) sebagai sebuah realitas empirik.

Budaya Konsumtif : Dari mana Semua Bermula
Upaya untuk menjelaskan konsep consumer culture dikemukakan oleh Mike Featherstone (2001) dengan memberikan tiga perspektif utamanya tentang consumer culture tersebut. Menurutnya tiga perspektik itu adalah pertama, pandangan bahwa budaya konsumen dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Perspektif kedua berkaitan dengan pandangan bahwa kepuasan yang berasal dari benda-benda behubungan dengan akses benda-benda itu yang terstruktur secara sosial. Titik perhatiannya di sini adalah pada cara-cara yang berbeda dari orang-orang yang menggunakan benda-benda dalam rangka menciptakan ikatan atau pembedaan masyarakat. Ketiga, adalah masalah kesenangan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang dimunculkan dalam bentuk artefak budaya konsumen dan tempat-tempat konsumen tertentu yang secara beragam memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenangan estetis.

Ketiga perspektif yang digunakan Featherstone di atas menunjukkan bahwa ada kaitan yang erat antara budaya konsumen dengan prinsip-prinsip kapitalisme dalam industri. Perjalanan industrialisasi dari menghasilkan produk-produk terbatas pada Gilda-Gilda di Inggris sampai pada munculnya pabrik-pabrik raksasa di seluruh dunia ternyata juga menghasilkan evolusi konsep berkaitan dengan cara menjualnya. Pada masa sebelum revolusi industri, produsen tidak terlalu memikirkan tentang strategi menawarkan produk mereka pada konsumen, apa saja yang dibuat pasti dibeli. Bahkan kadangkala konsumen harus menunggu pesanan barangnya. Produsen berkuasa. Hal ini tidak lagi terjadi saat revolusi industri melakukan terobosan dengan produksi massalnya. Konsumen (pembeli) sangat dimanjakan oleh hadirnya beragam produk hasil kerja pabrik. Mereka memiliki kekuasaan untuk memilih. Suatu perobahan besar terjadi pada diri konsumen di saat mereka menyadari bahwa pasar tidak lagi bisa dipasok terus menerus dengan berharap habisnya produk. Konsumen semakin pintar, dengan daya beli yang fluktuatif. Tak ada pilihan lain bagi setiap produsen selain menempuh strategi jitu dalam upaya menjual produknya. Disinilah kemudian peranan keahlian pemasaran menjadi substansial. Dalam kaitannya dengan revolusi antara revolusi industri di Inggris itu dengan budaya konsumtif, Peter Corrigan (1997) memberikan tiga sudut analisis yaitu konsumsi dilihat dari aspek politik (consumtion springs from politics), konsumsi dilihat dari aspek ekonomi (consumption from economics), dan konsumsi dilihat dari aspek kehendak atau kesenangan hati (consumption from heart). Masing-masing penjelasan Corrigan sangat terkait dengan kondisi dan situasi di Inggris ketika revolusi industri menunjukkan kekuatannya.

Pemaparan dari aspek Sejarah yang dilakukan Corrigan mampu menjelaskan mengapa terjadi budaya konsumtif yang mengalami lompatan yang berbeda saat ini. Pola konsumsi modern yang bersifat mass consumption telah menjadi penanda betapa kuatnya mesin-mesin kapitalisme bekerja. Dalam upaya mendukung mass consumption ini maka segala strategi konstruksi pemaknaan diciptakan. Tak ada tempat untuk lari dari kekuatan pasar global yang terus menerus merekayasa citra yang akhirnya bermuara pada terbelinya produk mereka. Salah seorang tokoh postmodern yang kerapkali mengingatkan akan hal ini adalah Jean Baudrillard.

Dalam salah satu bukunya La Societe de Consommation : Ses Mythes, ses Structures yang diterjemahkan dalam versi Inggris menjadi The Consumer Society, Baudrillard mengatakan bahwa seluruh wacana tentang konsumsi, baik yang dipelajari ataupun yang dihasilkan, terartikulasi pada rangkaian mitologis dari fabel : seorang manusia. Seorang manusia yang “diberkati” dengan kebutuhan-kebutuhan yang “mengarahkannya” menuju objek-objek yang memberinya kepuasan (Baudrillard, 2001). Ada mitos yang tercipta berkaitan dengan diabaikannya sifat alami masyarakat konsumen. Yang terjadi adalah para pabrikan (produsen) mengendalikan perilaku, mengarahkan dan membentuk perilaku dan kebutuhan sosial. Dengan sangat garang Baudrillard menyebut fenomena itu sebagai kediktatoran total oleh sektor produksi.

Dalam melihat relasi antara manusia dengan benda dalam konteks konsumsi, Baudrillard (2001) melihat bahwa yang muncul disana adalah nilai status hirarkhis dalam suatu sistem pertukaran simbolik. Menurutnya, nilai simbolik itu merupakan suatu insitusi sosial yang menentukan perilaku bahkan sebelum dipertimbangkan dalam kesadaran para pelaku sosial. Dalam suatu sistem pertukaran simbol-simbol, konsumsi lebih dimaknai sebagai penentu atas status sosial seseroang. Cara bekerjanya adalah melalui objek-objek, setiap pribadi dan kelompok mencari tempatnya dalam suatu aturan untuk sejenak kemudian mencoba menekankan aturan ini menurut lintasan pribadi. Dalam kondisi demikian, demikian Baudrillard, sama sekali tidak adan gunanya memperkirakan kehadiran suatu “objek empirik” (wujud fisik kebendaan) karena objek itu hanya memiliki arti sebagai suatu penanda relasi semata. Artinya pilihan untuk menggunakan handphone merek Nokia seri terbaru (tentu dengan harga lebih mahal) bukan hanya membeli alat komunikasi yang mobil semata, namun lebih karena membeli simbol yang disandang oleh merek tersebut sebagai penanda kemewahan, keberhasilan, gaul, bahkan menunjukkan status ekonomi seseorang. Hal yang sama berlaku bagi mobil mercedez, rumah dikawasan elit, dan bahkan minuman beralkohol merek tertentu. Bagi Baudrillard, setiap benda yang telah ditempatkan dalam konteks hubungan sosial manusia, maka ia akan memiliki fungsi dan nilai tertentu yang membuat dia berharga.

Pergeseran pola konsumsi masyarakat yang linear berdasarkan empat objek logika (nilai guna, nilai tukar, nilai simbol, dan nilai tanda) menunjukkan bagaimana lingkungan ‘melimpah ruahnya’ produk dan merek dihasilkan oleh industri pabrik. Keberlimpahan ini membawa konsekuensi logis terbuka lebarnya pilihan pada diri konsumen untuk memilih dan menggunakan produk dan merek manapun yang dia suka. Produk dan merek manapun yang dia mampu untuk beli, tentu yang sesuai dengan ‘isi kantong’ dia. Dari situ terciptalah habitat dan ruang hidup budaya bajak membajak.

Fasilitasi Realitas Imajinatif : Energi Pembajakan
Saat memulai bagian ini, ingatan saya terbang pada beberapa ciri khas manusia Indonesia yang diutarakan oleh Mochtar Lubis lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977 waktu itu, Mochtar Lubis (ML) menyebut tidak kurang dari enam ciri manusia Indonesia. Keenam ciri itu adalah : (1). Hipokrit alias munafik, (2). Enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3). Berjiwa feodal, (4). Masih percaya takhyul, (5). Berwatak lemah, tak mampu memperjuangkan keyakinan, (6). Artistik. Kelima ciri utama yang disebutkan pertama nampaknya bermakna negatif. Semua tentang yang jelek-jelek. Namun tidak demikian halnya dengan ciri keenam. Hanya ciri keenam yang diakui oleh ML memiliki makna sangat positif. Apa kata dia ?

“Karena sikapnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah, dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam. Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasaan-perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang besar dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah-indah, dan serbaneka macamnya, variasinya, warna-warninya.”
(Lubis, 2001:33)

Inilah satu-satunya sifat yang begitu dibanggakan ML dalam ceramahnya. Dan nampaknya kita bisa melihat bukti dari kebanggaan itu. Seluruh karya kreatif kita terbukti melesat dalam dua dekade terakhir. Lagu, seni lukis, tari, pahat, dan beragam karya cipta lainnya bahkan telah membuat iri dan klaim tak bersahabat dari negara sahabat. Ini fakta. Kita patut berbangga. Namun dari sifat dan ciri inilah nampaknya lingkaran perkara bajak membajak karya artistik bermula. Mengapa ? Saking inginnya berartistik ria, membajak pun tak apa. Dan ini nampaknya bukan cuma di Indonesia, melainkan juga di Asia sebagai kawasan dengan status pembajak terbesar di dunia.

Pembajakan memang marak di negara berkembang, dengan porsi yang terbesar ada di Asia (Callan, 1998). Upaya penangkal dari pemerintah setempat telah dilakukan dengan memberlakukan peraturan yang melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan kesungguhan memberikan sangsi kepada pelaku pelanggaran HKI. Namun pemberlakuan hukum yang berkaitan dengan HKI tidak standar satu dengan lainnya, sehingga pemberlakuan penegakan hukum juga berbeda-beda. Misalnya China, Singapura, dan Indonesia telah memberlakukan UU HKI dengan sangsi yang keras, tetapi aktifitas pembajakan nampaknya tidak pernah surut. Semua tidak bisa diselesaikan hanya dengan jalur hukum. Seperti ditegaskan oleh Hidayat & Mizerski (2005), bahwa penegakan hukum hanya merupakan salah satu faktor saja. Masih banyak faktor lain. Masalah ini harus ditilik dari sektor sosial, budaya, dan ekonomi.

Diakui dan dikecam oleh ML, bahwa ciri artistik pada manusia Indonesia apabila dia bergandengan dengan keengganan atau tidak perduli dengan tanggung jawab akan mendatangkan masalah mendasar. Tindak mencorat-coret dinding dan sudut kota dengan tulisan tak jelas sekaligus menjelaskan ciri artistik sekaligus tidak bertanggung jawab. Perlu diperhitungkan pula bahwa kebanyakan masyarakat bisnis Asia memiliki jiwa kewiraswastaan secara alamiah dan tidak ada kendala moral yang menahan penggunaan atribut orang lain untuk digunakan kepentingan sendiri. Kenyataan ini nampaknya juga didukung oleh budaya Asia yang mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan individual (Boyle, 1996). HKI dianggap sebagai kental dengan pengaruh budaya barat karena membela kepentingan individual di atas kepentingan bersama.

Wilkie & Zaichkowsky (dalam Hidayat & Mizerski, 2005) mengatakan bahwa budaya mengkopi atau meniru merupakan budaya yang sudah lama di Asia dan dapat dilihat dari sejarah dan sistem nilainya yang direflesikan ke dalam sistem hukumnya. Metode tradisional pendidikannya juga mengajarkan bagimana mengkopi sesuatu, meniru sesuatu yang dianggap bagus mIsalnya menulis halus, meniru huruf kanji yang artistik. Budaya Asia juga sangat mengutamakan keluarga dan setiap anggota keluarga saling membantu untuk kepentingan keutuhan bersama. Negara tidak memberikan manfaat secara langsung terhadap kebutuhan keluarga sehingga tidak menjadi prioritas perhatian. Itulah sebabnya barangkali tidak adanya hukum yang efektif untuk mencegah pengambilan keuntungan oleh wiraswastawan alamiah Asia dari perusahaan-perusahaan besar pemegang HKI, apalagi yang berasal dari luar Asia. Bangsa Asia yang terkenal dengan kepercayaan spiritualitasnya yang kuat, lebih bersandar pada prinsip religius yang memandang bahwa konsep meniru bukan sesuatu tindakan yang memalukan atau tindakan yang rendah.

Semua faktor sosial, budaya dan ekonomi ini secara holistik berkelindan sedemikian rupa dalam masyarakat dan pelaku industri bajakan. Pada situasi masyarakatnya yang telah terjangkiti oleh budaya konsumtif akut, sementara kemampuan daya beli begitu lemah, produk dan merek bajakan merupakan solusi instan. Inilah saat mana seluruh pelaku karya seni dan artistik mendapatkan masalah serius (Smiers, 2009). Inilah saat mana masyarakat telah dikatakan sebagai masyarakat yang tidak sehat (Fromm, 1968). Hukum mau tidak mau akan diajak untuk melihat realitas sosial yang berdimensi kompleks (Hasibuan, 2008; Rahardjo, 2009). Seluruh analisis sosial dan hukum ini tentu bukan bermaksud untuk memberikan persetujuan tidak langsung atas perilaku pembajakan. Analisis ini lebih sebagai upaya ontologis dan epistemologis atas sebuah gejala industri dan masyarakat kapitalis yang nampaknya sudah demikian kuat merambah dibelahan dunia manapun juga. Akhirnya mungkin terlalu naif untuk berkata ‘orang bijak, tentu tak membajak’ ... dalam hal ini Anda tentu boleh untuk tidak sepakat. Diskusi mungkin bisa membawa kita pada ragam perspektif yang lebih ‘kaya’.


Tepi Kali, Desember 09

REFERENSI

Baudrillard, Jean, (1998). The Consumer Society : Myths and Structures, London : Sage Publications.
_______________ , (2001). Galaksi Simulacra : Esai-Esai Jean Baudrillard, Editor M. Imam Aziz, Yogyakarta : LkiS.
Boyle, James., (1996). Shaman, Software, and Spleens : Law and the Construction of the Information Society, Cambridge/ London : Harvard University Press.
Callan, B. (1998), ‘The Potential for Translantic Cooperation on Intellectual Property in Asia, Working Paper, The Barkeley Roundtable on the International Economy, available :
http://www.ciaonet.org/wps/cab02/cab02.html

Casavera, (2009). 15 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Corrigan, Peter, (1997). The Sociology of Consumption : an Introduction, London : Sage Publication.
Fromm, Erich., (1968). The Sane Society, London : Routledge & Kegan Paul. Ltd.
Hasibuan, Otto., (2008). Hak Cipta di Indonesia : Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Bandung : PT Alumni.
Hidayat, Anas, & Katherine Mizerski, “Pembajakan Produk : Problema, Strategi, dan Antisipasi Strategi” dalam Jurnal Siasat Bisnis, No. 10 Vol 1, Juni 2005.
Korten, David C., (2002). The Post-Corporate World : Kehidupan Setelah Kapitalisme, Penerjemah A. Rahman Zainuddin, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Lubis, Mochtar, (2001). Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggungjawaban, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Rahardjo, Satjipto., (2009). Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing.
Smiers, Joost, (2009). Art Under Pressure : Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi, Penerjemah Umi Aryati, Yogyakarta : Insistpress.

Minggu, 06 Desember 2009

Repetitions : The Destiny of History

Ada satu prinsip utama dalam melihat sejarah. Yakni melihatnya sebagai sebuah perulangan kejadian. Lewat perulangan itulah kita terus ‘membaca’ makna. Makna yang terwariskan. Sejarah nabi-nabi selalu identik dengan pengorbanan. Sejarah imperium selalu identik dengan penguasaan dan penaklukan. Sejarah poligami selalu identik dengan ketidakadilan. Sejarah perselingkuhan selalu identik dengan kekecewaan (untuk yang ini, anda boleh tak sepakat ! he he he). Apapun itu, sejarah adalah sebuah kejadian yang tercatat dan diberi makna karena keberulangannya. Masalahnya adalah siapa yang berwenang untuk mencatat dan memberikan makna atas kejadian yang disebut sejarah itu ?

Pertanyaan itu tadi terbersit ketika saya membaca buku tentang strukturalisme dari Claude Levi-Strauss (Ras & Sejarah, 2000), terutama pada bagian wawancara dia dengan Spiegel, seorang wartawan dari media cetak terkemuka di Prancis. wawancara itu memperlihatkan posisi seorang strukturalis sejati seperti Strauss yang sangat konsisten berpijak pada paham dan pendapatnya. Meskipun mendapatkan pertanyaan kritis dari Spiegel, dia tetap memperlihatkan kelurusan pemikiran sejak dimulai hingga berakhirnya wawancara. Percakapan menarik adalah tentang sejarah. Apa yang didapatkan manusia dari sejarah adalah rangkaian pengulangan yang konsisten. Tak ada sesuatu yang sesungguhnya baru alias original. Semua pengulangan semata. Paparan Strauss berintikan prinsip tersebut. Salah satu bagian yang sangat menarik perhatian saya dalam wawancara itu adalah ketika Spiegel mempertanyakan tentang landasan pemikiran Strauss tentang dikotomi masyarakat modern dan primitif. Sekalipun pada dasarnya telah tercipta oposisi biner tentang dua konsep tersebut, namun pertanyaan spiegel lebih mengacu pada citra yang melekat pada dua kondisi masyarakat tersebut. Bahkan melalui pemikiran para orientalis, Spiegel memperlihatkan betapa Strauss sangat mengagungkan konteks masyarakat primitif dengan semangat humanisasi dan harmonisasai mereka. Inti pemikiran Straus adalah bahwa kenyataan menunjukan kaum primitif yang pencitraannya dibuat oleh pada pemikir modern itu sendiri telah memiliki nilai-nilai kehidupan yang sejajar bahkan lebih sempurna bila dikomfarasikan dengan fenomena modern.

Keyakinan yang sangat kuat pada diri strauss ini muncul dalam buku dia tentang sejarah ras manusia. Buku itu dimulai dengan cerita sekelompok peneliti (yang katanya modern !) dari Spanyol yang ingin meneliti masyarakat terasing di Antilla Raya. Fokus penelitian mereka adalah ingin mengetahui seluk beluk cara hidup dan kepercayaan mistis dari kelompok masyarakat terkebelakang itu. Cerita narsisnya, para peneliti ini ragu apakah penduduk pribumi di situ memiliki nyawa atau tidak. Namun yang terjadi selanjutnya adalah tertangkapnya kelompok peneliti tersebut oleh suku primitif. Mereka semua dibunuh, mayatnya dibalsem dan ditunggui. Apa yang tergambar dalam pikiran para primitif itu ? tidak lain bahwa mereka ingin mengetahui apakah para peneliti itu mayatnya membusuk atau tidak, atau bisakah orang berkulit putih itu bisa hidup kembali setelah mereka bunuh ? Falsafah cerita itu adalah ternyata kekerasan dan penaklukan itu terus berlangsung sepanjang zaman dengan orang dan konteks yang berbeda-beda. Kekerasan juga ada di masa lalu, kekejaman juga ada dimasa lalu. Penaklukan sudah menjadi menu wajib sejak zaman dahulu. Jadi sebenarnya tidak ada yang asing dengan konsep-konsep tersebut. Yang menjadi masalah adalah makna negatif yang melekat pada konsep itu. Dengan alasan apapun tampaknya kita memiliki konotasi negatif atas apa yang bernama kekerasan, pembunuhan, balas dendam.

Penilaian itu terlepas dari kemungkinan dua sudut pandang yang berbeda atas konsep-konsep tersebut. Kepahlawanan Alexander Agung bermakna positif dan penuh heroik oleh pengagum sejarah kebesaran Romawi, terlepas berapa ribu nyawa yang telah direnggut oleh politik ekspansi Alexander Agung. Namun dari sudut pandang pihak yang dijajah Romawi, nama Alexander Agung identik dangan keserakahan, pembunuh berdarah dingin, bahkan penjahat perang ! Coba saja kita tanyakan bagaimana gambaran seorang Hitler dimata para pendukung neo Nazi. Pasti jawaban yang muncul adalah : Hitler seorang pahlawan, pengubah sejarah dunia, orang yang membela kehormatan ras Arya, dan sederetan citra positif dan membanggakan lainnya. Namun bila kita bertanya pada seorang dari turunan Yahudi, maka jawaban yang muncul tidak akan jauh-jauh dari gambaran seorang penjahat perang peringkat pertama, sadis, gila kekuasaan, atau (mungkin !) propagandis ulung yang pintar memutar balik fakta. Inilah realitas simbolis yang selalu muncul menyertai perjalanan sejarah.

Lalu apa hubungannya antara Strauss, Hitler, dan Alexander Agung itu ? sekalipun mereka tidak pernah berjabatan tangan berkenalan satu sama lain, namun Strauss kenal betul tentang cerita dua manusia terakhir. Pemahaman Strauss tentang dua orang itu paralel dengan pamahaman dia bahwa segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, peperangan, ekspansi wilayah kekuasaan, dan semua akibat yang ditimbulkan konsep-konsep tersebut akan selalu berulang sepanjang hidup manusia. “Sejarah selalu berulang,” itu pesan Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man (1992). Jadi sebuah pertanyaan di akhir tulisan singkat ini : kapan manusia pernah belajar dari apa yang disebutnya sejarah ? Nampak sudah menjadi takdir bagi sejarah untuk terus diulang dan diulang. Tanpa manusia mau mengambil dan mempelajari apa yang telah terjadi. Terus aja mengulang-ulang kesalahan. Dan dengan kesalahan itulah peradaban kita tegakkan. Satu hal yang mungkin harus diingatkan : kita memang tidak bergerak kemana-mana. Manusia memang di situ-situ saja.


Tepi Kali, Desember 09

Kamis, 03 Desember 2009

From Psychology to Communication Studies

Siang ini terasa panas. Saya duduk di sebuah cafe kecil. Cafe dengan beragam menu sederhana di sisi timur jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah ruas jalan utama di bagian utara kota Yogya yang tidak pernah sepi. Macet setiap hari. Meskipun suhu udara di dalam cafe sangat dingin karena ada tiga unit air conditioner (ac) yang beroperasi, tetap saja nuansa panas merayap pelan. Mungkin itu adalah kenyataan sesungguhnya, atau mungkin juga hanya sekadar efek dari suasana hati saya. Tak pentinglah untuk dibahas dan dianalisa. Lebih baik saya membahas keinginan saya untuk memaparkan ‘utang budi’ kajian komunikasi terhadap ilmu Psikologi. Salah seorang tokoh dan pendekar Psikologi yang ternyata memberikan kontribusi cukup signifikan atas kajian ini adalah Sigmund Freud. Pendiri aliran psikoanalisis ini memberikan sesuatu yang sama sekali tak dia sadari tentang relasi dan interaksi sosial manusia. Saya akan mulai dari sedikit cerita personal tokoh ini.

Sigmund Freud (1856 – 1939) dididik sebagai seorang doktor medis, pendiri profesi psikoanalisis, dan pencipta teori psikoanalisis. Dia bukan seorang penemu dan ilmuwan sosial, namun memiliki pengaruh yang besar dalam ilmu-ilmu sosial. Teori Psikoanalisis memiliki pengaruh kuat dalam psikologi dan memiliki pengaruh luar biasa pada sosiologi, ilmu politik, dan antropologi. Hal ini secara langsung juga mempengaruhi lapangan pemikiran komunikasi melalui tokoh-tokoh aliran kritik (critical school), pada Palo Alto School, seperti Harold D. Lasswell, dan pengaruh berikutnya, melalui Carl I. Hovland.

Kontribusi utama Freud adalah pemikirannya atas konsep ketidaksadaran, yang mempengaruhi kekuatan psikologi dibawah kontrol rasional kita, dan peranan seksualitas dalam pengembangan psikologi individu dari masa kanak-kanak. Pencarian dia terkait dengan masa seksualitas anak meyakini bahwa segala bentuk antagonisme, muncul sebagai sesuatu yang tidak bisa dipersalahkan dan rasa kebebasan seksual setelah masa puber.

Freud adalah salah satu dari tiga sosok yang berpengaruh besar bagi dunia sosial dalam abad 19 di Eropa, seperti halnya yang kemudian terjadi di Amerika. Saat teori evolusi Darwin dan Materialisme Historisnya Marx mencapai level makro dalam masyarakat, Freud hadir dengan sisi mikro individualistiknya, melihat lebih pada tataran individual, terutama sisi individu anak-anak, percobaannya dan analisisnya melahirkan konsep ketidaksadaran, untuk menjelaskan tentang perilaku. Freud menekankan bahwa pengalaman masa kecil menyimpan sesuatu yang nantinya berpengaruh bagi perilaku dewasa. Hal itu menurutnya selalu merupakan suatu pengungkapan ketidaksadaran atas perilaku manusia. Satu hubungan atau bisa disebut kontribusi yang diberikan oleh psikoanalisis pada studi komunikasi adalah kenyataan bahwa satu perhatian penting dalam kajian komunikasi adalah melihat sisi sebaliknya (inside) pada individu terutama faktor apakah yang menjadi pendorong perubahan perilaku, meskipun hal itu tidak semata-mata hanya bisa ditelaah dari sisi teori psikoanalisis saja.

Beberapa studi yang disebutkan Rogers (A History of Communication Study : A Biographical – Approach,1994), notabene menggunakan pendekatan psikoanalisis : seperti penelitian Fritz Heider tentang Balance theory (1946), teori disonansi kognitif dari Leon Festinger (1957), dan elaboration likelihood model atas perubahan sikap dari Petty dan Cacioppo (1981, 1986). Seluruh teori-teori temuan di atas berasumsi pada ketidakseimbangan individu, inkonsistensinya, atau kondisi disonan, penyebab semua itu adalah rasa ketidaktenangan yang ada pada diri individu, yang akhirnya menuju pada terbentuknya perilaku individu tersebut dan perubahannya. Kajian serius atas riset-riset berbasis persuasi yang dilakukan oleh Carl I. Hovland dikembangkan dari teori learning- nya Clark Hull, yang dipengaruhi oleh teori Freudian. Teori Freud juga memiliki pengaruh atas studi psikoanalitis Harold D. Laswell pada studi awal politik, meskipun ini tidak secara langsung berakibat pada riset komunikasi beliau. Dari pemaparan Rogers ini, nampak bahwa kajian-kajian mendasar yang menjadi peletak batu pertama dunia komunikasi, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh temuan Freud dalam teori psikoanalisisnya.


Teori psikoanalisis Freudian dikombinasikan dengan Marxisme oleh aliran Frankfurt pada 1930 an dan pada tahun 1940 an memberikan pada kita teori-teori berperspektif kritis dalam teori komunikasi. Aliran kritis memberikan pengaruh pada studi prasangka, dilaporkan dalam “The Authoritarian Personality” oleh Adorno dan yang lainnya (1950), menyajikan sebuah teori psikoanalitis atas investigasi kepribadian dengan menggunakan metode psikologi kuantitatif. Bayang-bayang pemikiran Freud telah menghantui peta dan lintasan studi komunikasi manusia hingga hari ini. Salah satu kajian yang berbasis teori psikoanalisis yang disebutkan Rogers adalah studi Palo Alto Group yang dilakukan oleh Gregory Bateson.

Seperti pengakuan Beteson bahwa Palo Alto group hampir menjadi sebuah gerakan sosial, lingkaran dalam dari sebuah bangun teoritik yang memiliki pandangan bahwa perilaku komunikasi merupakan sebuah tindakan interaksionis. Ketertarikan Beteson atas studi komunikasi telah dia ungkapkan dalam buku pentingnya yang kompleks “Steps to an Ecology of Mind” (1972). Penekanan secara konseptual pada buku itu melihat pada komunikasi individu dalam hubungan eratnya dengan orang lain, yang merefleksikan tesis utama dari Palo Alto Group.

Namun catatan menarik dari Palo Alto group adalah bahwa kelompok ini tidak diorganisir selayaknya sebuah departemen universitas atau suatu paham, berpusat dalam disiplin akademik tertentu, namun lebih sebagai sebuah kumpulan sosok-sosok yang peduli untuk melihat bagaimana sebuah komunikasi bekerja dalam hubungannya dengan problem kesehatan mental, terapi keluarga, dan schizophrenia. Akhirnya kelompok ini memiliki problem orientasi (yang tak memiliki batasan, jika suatu saat dibutuhkan), untuk membongkar fenomena komunikasi manusia sebagai suatu jawaban utama dari semua pertanyaan mereka.

Seperti yang bisa dilihat Rogers, satu pelajaran penting dari studi komunikasi yang dilakukan oleh Palo Alto Group adalah fokusnya pada permasalahan komunikasi seperti halnya yang kita kenal dengan anggapan positif (the presumed positives). Ada kondisi-kondisi dimana komunikasi tidak selalu menghasilkan sesuatu yang linear, sama makna, namun juga kadang muncul ambiguitas di dalamnya. Seperti contoh bahwa studi komunikasi mengenai topik penyingkapan diri (self disclosure) dan keterbukaan (openness) seharusnya diimbangi dengan studi-studi ambiguitas, penipuan (deception), dan taktik berbelit-belit. Penyebabnya adalah dalam kasus-kasus seperti diplomasi, percintaan, dan negosiasi bisnis yang muncul adalah kejadian-kejadian ambigu ketimbang sesuatu yang bersifat langsung dan jelas, serta serba cepat disimpulkan.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati seluruh pemerhati dan pelaku cerdik pandai studi komunikasi mau tidak mau harus mengakui betapa kuatnya pengaruh psikoanalisis yang diprakarsai Freud terhadap kelahiran dan perkembangan kajian ini. Sebuah fakta yang belum tentu disadari dan dimengerti oleh ribuan mahasiswa ilmu komunikasi, entah di Indonesia maupun di dunia. Sudah saatnya kita melihat ilmu komunikasi bukan hanya separangkat keahlian memotret, shooting film, membaca berita, atau sekadar menjadi public relations semata. Sebuah anggapan ‘berbahaya’ yang pada titik akhirnya malah menggelincirkan kajian komunikasi hanya sebagai sebuah praktek keahlian dan penghasil para ‘tukang’. Kajian komunikasi harus berkembang menjadi sebuah disiplin kuat membaca realitas hidup manusia. Pada suatu saat dia akan sejajar dengan Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, Psikologi, dan ilmu-ilmu sosial mapan lainnya ..... semoga .....

Ahh .... siang ini masih tetap terasa panas. Sepanas suasana perdebatan orang-orang akan ramalan hari kiamat tahun 2012. Sebuah perdebatan yang menurut saya nyaris tidak memiliki manfaat apa-apa. Hanya menjadi konsumsi media dan ajang promosi belaka. Ahh ... lagi-lagi panas hati semakin menjadi-jadi .... siang ini memang benar-benar panas ...


Break Cafe, Desember 09

Minggu, 22 November 2009

Society as Sacred Emile Durkheim ?

Bagi orang seperti Emile Durkheim, agama diakui sebagai sebuah realitas sui generis. Maksudnya adalah bahwa representasi atau simbol-simbol agama bukanlah khayalan (delusion), juga bukan sekadar mengacu kepada fenomena yang lain, seperti kekuatan-kekuatan alam. Melainkan sebuah fenomena sosial semata (Bellah, 2000). Ada relasi yang kuat antara ide pembentukan masyarakat dengan digunakannya agama sebagai alat pemersatu dan menjaga harmonisasi kehidupan masyarakat tersebut. Karya utama Durkheim yang terkait dengan hal ini adalah The Elementary Form of Religious Life (1915). Tulisan berikut ini akan memokuskan diri pada pemahaman beberapa bagian dari ide Durkheim dalam buku tersebut melalui sudut pandang Daniel L. Pals (1996). Penjelasan akan bermula dari landasan pemikiran Durkheim tentang konsep komunitas sebagai penentu atas apa yang harus dilakukan setiap individu.

KOMUNITAS SEBAGAI DASAR : IDE AWAL DURKHEIM

Dengan mengacu pada paham Baron de Montesquieu dan Saint Simon (Pals, 1996 : 91-93), Durkheim menandaskan bahwa pada diri manusia sejak dahulu kala selalu ada kebutuhan untuk terus menyatu dan terikat kepada suatu komunitas. Hal ini dia paparkan ketika mengulas kehidupan masyarakat purba dengan menggunakan konsep kontrak sosial. Dalam masyarakat pra-sejarah itu, setiap individu yang dilahirkan langsung mendapati dirinya berada dalam kelompok-kelompok, keluarga, klan, suku dan bangsa yang kesemuanya tumbuh dalam konteks kelompok. Prinsip utama yang ada dalam kelompok inilah yang seterusnya berkembang menjadi masyarakat. Manusia yang ada dalam kelompok itu mengembangkan suatu kesepakatan sosial yang berorientasi pada penciptaan harmoni dalam kehidupan kelompok tersebut. Kesepakatan sosial itu diantaranya terjewantah dalam bentuk agama. Ini nampak dalam fakta-fakta yang ditunjukkan Durkheim. Dalam masyarakat purba ini, kontrak sosial selalu terikat dengan sumpah-sumpah sakral keagamaan yang memperlihatkan bahwa setiap kesepakatan antara mereka tidak hanya bermakna ikatan antara dua belah pihak saja, namun melibatkan campur tangan dewa didalamnya, sebab yang merasakan implikasi yang ditimbulkan kesepakatan tersebut adalah seluruh anggota masyarakat. Kontrak sosial yang melibatkan para dewa tentu akan memiliki legitimasi yang sangat kuat. Tesis ini paling tidak bermula dari bukunya “The Division of Labor” (1893) tentang asal mula terciptanya kontrak sosial sebagai hakekat suatu masyarakat.

Dalam “The Devision of Labor” itu, Durkheim menuliskan penemuannya tentang perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat purba dan modern dalam usaha mewujudkan kesatuan dan harmonisasi dalam masyarakat. Pada masyarakat purba, usaha untuk mewujudkan kesatuan terwujud dan bergerak dalam solidaritas mekanik. Pada masyarakat modern terjadi perubahan solidaritas mekanik menjadi pembagian jam kerja, setiap orang berbeda pekerjaannya. Masyarakat purba juga memiliki “kesadaran kolektif” yang kuat dan luas, dalam kesadaran ini terkandung kata sepakat tentang ketentuan yang benar dan yang salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sedangkan dalam masyarakat modern yang menentukan salah benar adalah moral individualisme. Inilah prinsip moral yang terus hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu kita tidak bisa memisahkan moralitas dan agama dalam kerangka sosial. Hal ini disebabkan konsensus tentang moral (terutama yang benar dan yang salah) terutama ditetapkan dalam agama. Jadi apabila konteks sosial dalam masyarakat berubah, maka dengan sendirinya agama dan moralitas pun berubah. Dalam peradaban Barat saat ini telah terjadi perubahan dari kesadaran kolektif purba diganti dengan moral individualistik yang pada akhirnya hak yang dimiliki agama dan moral telah berubah seiring dengan perubahan tatanan sosial.

Penyebab bertahannya agama secara konvensional menurut Durkheim adalah wejangan-wejangan yang menggugah dari pemuka agama, namun bertahannya agama dalam koridor fungsi sosial tidak disadari oleh setiap anggota masyarakat itu sendiri. Dalam pandangan sosiolog, keberhasilan pemuka agama tidak dinilai dari berapa banyak pendosa yang disadarkan para pemuka agama, tapi dari ragam peristiwa yang bisa mengembalikan perasaan bersama, saling berbagi rasa dan kepentingan kepada tetangga yang miskin terkucilkan dan putus asa. Dalam studinya tentang bunuh diri : “Suicide” (1895) yang diterbitkan tak lama setelah karyanya “Rule”, Durkheim menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri paling tinggi terjadi dalam masyarakat yang menganut agama Protestan, dan paling rendah pada masyarakat Katolik (Pals, 1996 : 97). Hal ini terjadi karena dalam masyarakat Protestan lebih memberikan kebebasan berpikir dan bertindak pada pengikutnya, dengan prinsip “manusia adalah pemilik utama dirinya sendiri“. Dalam masyarakat Katolik, individu-individu mempunyai integritas yang relatif lebih tinggi satu sama lain, dimana para pendeta menjadi perantara masyarakat dengan tuhan. Jadi semakin kuat ikatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka akan semakin rendahlah angka rata-rata bunuh diri yang terjadi di dalamnya. Sumber dari kekuatan ikatan sosial itu adalah berhasilnya penanaman norma-norma dan nilai dari agama Katolik yang lebih berorientasi sosial apabila dibandingkan Protestan. Kekuatan agama inilah yang kemudian dipotret oleh Durkheim dengan menggunakan konsep dunia sakral dan dunia profan.

DUNIA SAKRAL DAN DUNIA PROFAN : DUA KONSEP UTAMA

Dalam menceritakan tentang agama sebagai konstruksi sosial dari masyarakat, Durkheim melakukan analisis dengan memunculkan seluruh latar yang berbentuk kebiasaan dan adat istiadat dalam suatu masyarakat. Ia menolak penemuan dari Tylor, Freud dan Frazer yang memberikan definisi agama sebagai bentuk kepercayaan kepada kekuatan supernatural, seperti tuhan atau dewa-dewi (hal : 98-100). Durkheim menyatakan bahwa pada masa lalu, masyarakat primitif tidak berpikir tentang dua dunia, natural dan supernatural seperti yang dipikirkan oleh masyarakat beragama dalam kebudayaan modern. Masyarakat sekarang berfikir seperti itu karena mereka sangat terpengaruh dengan asumsi dan kaidah-kaidah dasar sains, sedangkan masyarakat primitif tidak. Mereka melihat semua peristiwa (mukjizat dan hal biasa) pada dasarnya sama. Disamping itu konsep tentang dewa-dewi juga dianggap bermasalah, karena tidak setiap agama mempercayai adanya tuhan, walaupun mereka meyakini adanya satu kekuatan supernatural. Berangkat dari pemikiran ini ia kemudian memberikan konsep dunia sakral dan dunia profan sebagai langkah awal memahami asal mula “terciptanya” agama.

Durkheim menemukan karakteristik paling dasar dari setiap kepercayaan agama yang menurutnya tidak terletak pada elemen-elemen supernatural, tetapi pada konsep yang “sakral” (the sacred). Dalam masyarakat beragama manapun, dunia dibagi menjadi dua arena : arena yang sakral dan arena yang profan. Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal tidak tersentuh, dan selalu pantas mendapat penghormatan tinggi. Sebaliknya arena profan mengacu pada bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Ia juga memberikan definisi bahwa agama adalah satu kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Perilaku-perilaku tersebut dapat disatukan kedalam satu komunitas moral yang disebut gereja, tempat dimana masyarakat memberikan kesetiaannya. Yang sakral memiliki pengaruh yang luas untuk menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sedangkan yang profan tidak memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan komunitas itu sehari-harinya. Hal yang profan ini adalah masalah-masalah kecil yang mencerminkan urusan setiap individu sehari-hari (Kegiatan dan usaha pribadi yang lebih kecil dari kehidupan pribadi dan keluarga dekat). Yang sakral muncul terutama berkaitan dengan apa yang menjadi konsentrasi sebuah masyarakat, sedangkan yang profan adalah apa yang menjadi perhatian pribadi dari seorang individu. Dalam usaha menjelaskan pemikirannya tersebut, Durkheim mengambil contoh pemujaan totem yang dilakukan oleh masyarakat Aborigin di Australia.


TOTEMISME :
YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN SUKU ABORIGIN, AUSTRALIA


Sama seperti para penulis tentang totem : Frezer, Roberston Smith, Freud, dan peneliti ataupun Antropolog yang lain, Durkheim juga terpukau dengan fakta terciptanya sistem totemisme yang dianggap sebagai agama pada berbagai suku primitif di dunia. Namun penjelasan Durkheim atas fenomena itu berbeda jauh dengan para peneliti tersebut. Dia mulai dengan menghubungkan sistem totem itu dengan gambaran tentang yang sakral dan yang profan untuk kemudian memaparkan implikasi dari totemisme itu bagi masyarakat atau suku bersangkutan (Pals,1996 : 101 –110).

Durkheim berkeyakinan bahwa ide tentang pemujaan totem tidak lain adalah pemujaan terhadap masyarakat itu sendiri. Mengapa selalu yang menjadi totem adalah hewan atau binatang, karena masyarakat menginginkan obyek yang spesifik, nyata dan dekat dengan keseharian mereka. Sedangkan tujuan dari klan itu sendiri adalah untuk menyatakan kesaling terkaitan dengan berbagai hal, berbagai hubungan yang sangat mengikat seseorang dengan orang lain didalam klan, kaitan klan dengan alam fisik, dan kaitan-kaitan antara berbagai fenomena alam itu sendiri.


Di bagian akhir “The Elementary Form of Religious Life”, Durkheim menyatakan bahwa sebenarnya perasaaan keagamaan pertama kali muncul bukan dari momen-momen pribadi, akan tetapi dari upacara-upacara klan yang bersifat komunal. Karena upacara pemujaan dari setiap klan dilakukan secara bersamaan dengan tujuan kesadaran tentang arti penting klan, dan memberikan perasaan bahwa mereka adalah bagian dari klan dan memastikan yang sakral selalu terhindar dari segala sesuatu yang profan. Bentuk pemujaan pertama kalinya biasanya berisi tentang larangan-larangan yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan usaha untuk memperbaharui klan itu sendiri.

Sebenarnya ide masyarakat itu ada dan hidup hanya didalam individu-individu, jadi jika ide tentang masyarakat itu dihilangkan sedangkan kepercayaan, tradisi, aspirasi dari kelompok-kelompok hanya dikembangkan secara individu maka dengan sendirinya masyarakat akan mati. Demikian juga dengan tuhan dan agama. Keduanya hanya akan ada sejauh dia memiliki tempat dalam kedaran masyarakat, jadi tuhan tidak akan bisa berbuat apa-apa jika tidak ada yang menyembah dan memikirkan-Nya.


AGAMA SEBAGAI EKSPRESI SIMBOLIK : MENCOBA SIMPULAN

Kesimpulan yang bisa diambil tentang agama adalah, bahwa keyakinan ritual keagamaan merupakan ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Jadi pemujaan terhadap Totem sesungguhnya adalah pernyataan kesetiaan terhadap klan. Hari dan upacara upacara suci diadakan hanya untuk menempatkan kembali masyarakat kedalam pikiran anggotanya, sekaligus menekan keinginan personal kembali ke posisi tempat mereka berasal yaitu hal-hal yang profan.

Baik di dunia Timur maupun Barat, masyarakat modern ataupun purba, kepercayaan dan ritual keagamaan selalu mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yaitu menuntut setiap anggotanya untuk lebih memikirkan kelompok ketimbang diri pribadi, merasakan arti penting dan kekuatan yang dimiliki masyarakat dan mau mengorbankan kepentingan pribadinya demi masyarakat. Dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan jugalah yang telah membantu kelahiran agama, oleh karena itu agama tidaklah bersifat intelektual tapi lebih bersifat sosial. Agama berfungsi sebagai pembangkit perasaan sosial, memberikan simbol dan ritual-ritual yang memungkinkan masyarakat mengekspresikan perasaan mereka yang selalu terikat dengan komunitasnya, dan selalu untuk melindungi yang benar dan jiwa masyarakat. Oleh karena itu agama adalah sesuatu yang bersifat sangat sosial dan dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari kehidupan sosial, agama melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan kesadaran akan perasaan tertentu yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat, untuk kemudian memperkuat eksistensi masyarakat itu sendiri.

Mengenai masalah ritual dan kepercayaan, Durkheim lebih mengutamakan ritual keagamaan, sebab ritual inilah yang lebih fundamental dalam melahirkan keyakinan. Jika ada sesuatu yang abadi dalam agama maka kebutuhan masyarakat akan hal yang bersifat ritual inilah sesuatu yang lebih abadi, berupa upacara-upacara yang bisa dimaknai peneguhan kembali dedikasi setiap anggota masyarakat. Kebutuhan untuk mengadakan upacara selalu ada karena merupakan sumber sebenarnya dari kesatuan sosial dan tali pengikat utama seluruh anggota masyarakat. Jika masyarakat masih memerlukan ritual keagamaan maka konsekuensinya adalah tidak akan ada satu masyarakat yang tidak memiliki suatu agama, walaupun ide-ide agama dianggap salah dan absurd oleh sebagian kalangan, namun perilaku keagamaaan akan selalu ada dalam setiap masyarakat karena hal ini yang memberikan kekuatan kepada masyarakat tersebut.


Tepi Kali, November 09

Kamis, 12 November 2009

Gaji Tinggi Berarti Tidak Korupsi ?

“Gaji yang tercatat Rp. 62 juta, dengan catatan hilang Rp. 25 juta karena membayar pajak,” kata Antasari, si pimpinan KPK. Dia ungkapkan itu pada sebuah kesempatan (Jawa Pos, 4 April 08), sisanya, ujar dia, paling hanya sekitar Rp. 40 juta.
Sementara itu gaji sang ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan menurut catatan Jawa Pos per 28 Januari 2005 sebesar Rp. 24.390.000, terdiri atas gaji pokok Rp. 5.040. juta. Tunjangan jabatan Rp. 18,9 juta, dan uang paket Rp. Rp. 450 ribu. Lalu ditambah dengan tunjangan khusus (Rp. 31,1 juta). Alhasil si Manan ini setiap bulan akan membawa pulang Rp. 55.490.000, tanpa potongan pajak. Belum lagi penerimaan dari uang sidang.

“Bangsat !” sumpah serapah muncrat dari mulutku,
BRAKK ... Kursi kantor jadi sasaran kaki,
“Dasar pejabat edan tak pernah mikir rakyat kelaparan !”. Sumpah lagi..
Tentu saja sumpah itu terasa wajar ditengah-tengah semua orang sibuk mencari gas dan minyak tanah yang tiba-tiba hilang entah kemana. Terasa wajar ditengah banyaknya TKI kita di Malaysia dan Arab Saudi yang pulang hanya tinggal nama. Yang sampai ke Bandara Soekarno Hatta hanyalah “mayatnya”. Mereka mati. karena beratnya bekerja menanggung dan membiayai beban hidup mereka. Atau mereka mati karena disiksa majikan di negeri orang sana. Semua terasa wajar, wajar menyumpahi pejabat tak tahu diri ditengah kondisi seperti tadi.

“Namanya juga pejabat,” suara parau menimpali
“Mending kalau bekerja dengan benar,” tukang ketik di kantor itu bernada risau
“Apa tidak malu yaa ?” suara cleaning service sekaligus merangkap office boy sekalian satpam.
“Khan agar mereka tidak korupsi,” ada suara malaikat di sudut situ.

Itu dia masalahnya coy !
Meskipun telah ada kebijakan negara untuk memberikan gaji yang jumlahnya nyaris tak terpikirkan oleh masyarakat umum di Indonesia, toh perbuatan “main belakang”, praktek “meminta amplop tambahan”, “pungli” dan entah apalagi namanya begitu subur dilakukan oleh para pejabat bergaji tinggi itu tadi. Mulailah dari si Bagir Manan. Lembaga terhormat yang dipimpinnya itu pernah tersandung skandal BLBI yang jumlahnya tak tanggung-tanggung 6,2 milyar. Si Urip sebagai seorang jaksa agung muda tindak pidana korupsi tertangkap basah dengan uang sejumlah itu di tas yang dibawanya. Masalahnya adalah tertangkapnya itu selepas dia keluar dari rumah Syamsul Nursalim, si tersangka kasus BLBI yang baru saja diputus bebas. Orang goblok sekalipun akan bisa menghubungkan fenomena sederhana ini. Nursalim bebas, Urip dapat uang yang jumlahnya tak tanggung-tanggung.

“Gampang,” kata si tukang jual minuman di depan kantor siang itu,”pasti itu uang suap !”
“Bisa juga ucapan terima kasih,” timpal si penjual bakso, “khan udah jadi hal biasa,”

Itulah masalahnya coy !
Apapun nama uang 6,2 milyar itu, bahkan si Urip sendiri mengaku bahwa uang itu adalah hasil bisnis permata dia dengan keponakan si Nursalim. Enak sekali dia bilang ! bisnis permata hingga milayaran rupiah. Kenapa baru terbongkar dan mengaku sekarang bahwa seorang pejabat tinggi yang sangat sensitif berhubungan dengan hajat pembongkaran korupsi dan “main mata” berbisnis ? sebuah dagelan yang sempurna (kata Andra & The Backbone). Kemiskinan, ketidaknyamanan, kepahitan hidup yang dirasakan hampir merata oleh seluruh rakyat, nampaknya tidak membuat mereka paham bahwa hidup harus berhemat dan empatik pada rakyat. Di saat si Anto harus ngamen dan menjajakan koran untuk uang receh seratus dua ratus perak, di saat itu pula si Urip berbisnis permata milyaran rupiah. Hidup memang tidak adil. Kalau memang ini adalah sistem yang sudah diatur oleh Tuhan. Artinya ketidakadilan juga termasuk apa yang ditakdirkan Tuhan, aku akan bertanya : Mengapa harus ada ? apa tujuannya ? untuk membuat si miskin semakin potensial masuk neraka (karena mengumpat dan merutuk si kaya?), atau untuk membuat si kaya semakin potensial masuk surga karena uang kekayaannya bisa mendirikan masjid dan gereja ? ahh semakin banyak yang tidak bisa dimengerti dari fenomena ini.

Kemarin ketika membaca majalah Tempo, baru aku tahu bahwa di badan moral seperti Lembaga Sensor Film itu ternyata juga terjadi praktek percaloan. Calo yang berkeliaran menjadi traffic menghubungkan para produser dan sutradara dengan sepucuk surat keterangan atau stempel tanda “lolos sensor” dari LSF. Menurut cerita Tempo, pembayaran atas sensor itu bervariasi atas panjang dan durasi film. Ada yang dihitung berdasarkan panjang reel nya (film 33 mm), dan ada pula yang dihitung durasi tayangannya (film iklan dan sinetron). Sampai disitu semua wajar-wajar saja. Anggota LSF bekerja menyensor, lalu produser membayar biaya kerja itu. Ini wajar. Sekali lagi wajar. Nah .. menjadi tidak wajar kalau ternyata di kantor atau gedung Film itu, tidak konkret dimana tempat memberikan reel film yang akan disensor, semacam loket penerimaan dan loket pengembalian film begitulah (bayangkan saja saat kita mau buat SIM di kepolisian, khan banyak loket tuh). Artinya di gedung Film itu tidak ada sama sekali kegiatan orang hilir mudir membawa reel film dan apapunlah yang menunjukkan telah adanya bukti konkret film yang disensor. Terus transaksi penyerahan bahan film yang akan diedit itu dilakukan dimana ? he he .. yang paling ekstrem bisa dilakukan dilahan parkir ! Bagaimana caranya ? Begini neh, nanti akan ada “penghubung’ yang mendatangi mobil produser atau orang suruhan itu. Bicara tentang penghubung mungkin tak apa-apa. Masalahnya adalah “jasa” yang ditawarkan sang penghubung mampu mempercepat proses keluarnya surat tanda lulus sensor. Kecepatan itu akan berbanding lurus dengan berapa “ongkos” yang dititipkan pada sang penghubung. Artinya semakin besar duit yang dititipkan, maka semakin cepat proses penyuntingan dan pengecekan dari LSF. Itulah masalahnya. Jadi urusan lembaga sensor film bukan semata-mata hanya melihat dan mengecek kesesuaian film dengan moral dan budaya bangsa, melainkan juga terkait dengan seberapa besar duit yang disetor pada “kaki-tangan” lembaga tersebut. Ahh memang semakin banyak yang tidak bisa dimengerti dari fenomena ini.

“Terus bagaimana nasib orang-orang seperti kita ini ?”
“Diam sajalah,” Napas berat mengiringi, “diteguk dan ditelan saja,”
“Kenapa kita harus diam ?”
“Karena kita emang miskin dan tak mampu melawan,”
“Sampai kapan ?”
“Besok sampai mereka yang zalim itu sadar, “
“Kapan mereka sadar ?”
“Tunggu saja hingga kau terbiasa dizalimi,”
“Jadi kudu kita yang terbiasa dan menganggap tak ada apa-apa ?”
“Ya iyalah,” gigiku gemerutuk, “emang begitulah nasib kita,”

Memang ternyata ditengah segala ketidakadilan dan kezaliman yang mendera, tak ada yang bisa dilakukan selain membiasakan diri dengan ketidakadilan itu. Melihat dunia seolah-olah tak ada apa-apa. Menjalaninya dengan menutup mata. Membiasakan diri bahwa semua baik-baik saja. Larilah dari realitas dunia. Maka jangan pernah heran, di Indonesia segala bentuk sinetron dan film tentang mimpi, yang bintangnya kaya raya, pasti ditongkrongin dari ashar hingga isya. Memang inilah Indonesiaku tercinta. Tempat di mana uang sebesar 5,1 milyar hanya dititipkan lewat seorang kurir tanpa kejelasan apa-apa. Katanya untuk menyogok para ketua KPK. Lalu terjadi masalah pada wewenang dan kekuasaan, tempat segala dramaturgi dimainkan. Memang inilah Indonesiaku tercinta. Tempat di mana kita hanya bisa bermimpi dan mengumbar utopia tentang sejahtera nan merata, sambil berbincang lagenda ‘cecak & buaya’.
Percuma saja menggaji Antasari di atas rata-rata, percuma saja memberi Ketua MA nilai bulanan besar tak terkira. Itu semua tidak akan membuat mereka ogah menerima sogokan dan tekanan uang ‘pelicin’ dan apa namanya ? gratifikasi ? ahh istilah apa pula itu ! Begitu besar godaan uang dan kekuasaan. Begitu berat melawan naluri kehewanan. Jabatan tinggi dipertaruhkan. Terobos sana-terobos sini dengan menggunakan wewenang. Cara kerja kepolisian di republik ini telah memberi kita gambaran. Sekali lagi kita hanya bisa diam, menekan semua itu di alam bawah sadar. Tempat di mana kita hanya bisa bermimpi dan mengumbar utopia tentang sejahtera nan merata.

Itulah masalahnya coy, dan nampaknya itu akan tetap jadi masalah kita. Bukan para petinggi di atas sana.

Gondosuli, pukul 03 dinihari, 5 Agustus 09

Minggu, 08 November 2009

Permintaan Maaf sang ” Buaya” ?




Pengantar

Beberapa hari yang lalu kita semua mungkin sempat menyaksikan konflik antar dua lembaga tinggi di negeri ini : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Beragam versi penceritaan terkait dengan kasus pengusutan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tubuh dua lembaga itu terus berlanjut hingga hari ini. Di tengah-tengah gencarnya pemberitaan tentang fenomena tarik menarik kekuasaan antar dua lembaga itu, muncullah istilah unik untuk menggambarkan kedua belah pihak. Istilah itu adalah ‘Cecak dan Buaya’. Istilah itu muncul dari hasil wawancara wartawan media massa dengan salah seorang petinggi Markas Besar (Mabes) Polisi Republik Indonesia, yakni Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duaji. Analoginya untuk menggambarkan KPK dan Polri adalah dengan mengistilahkan Cecak melawan Buaya. KPK dianggap sejajar dengan cecak, sementara Polri dianggap sebagai buaya. Sampai di situ tidak ada masalah, andai saja kata itu hanya sekadar dimaksudkan untuk mencari padanan yang tepat untuk membuat wartawan dan publik agar lebih mengerti. Masalahnya kemudian adalah penyertaan “nilai” pada kedua kata itu.

Merujuk pada kata Cecak yang dilekatkan pada KPK, opini publik terbawa pada makna dontotasi kapasitas tubuhnya yang kecil, dan lemah, menuju pada makna konotasi ketidakberdayaan, pihak yang bakal kalah, pokoknya stereotipe keteraniayaan. Cecak ini harus berhadapan dengan buaya sebagai kata ganti lembaga kepolisian. Anda tahu khan buaya ? makhluk melata yang kuat luar biasa, tak tembus peluru pada bagian tubuh tertentu, dan memiliki kepekaan dan saraf sensor yang peka. Dia pemangsa. Ganas. Sulit untuk ditaklukkan. Apalagi diajak ‘berkawan’. Itulah makna konotasi atas lembaga kepolisian. Dari dua istilah ini kemudian, masalah terus bergulir. Pendek kata, publik kemudian meletakkan dua kata itu berhadap-hadapan, seperti halnya KPK dan POLRI yang berhadap-hadapan. KPK teraniaya, kepolisian jumawa dan arogan luar biasa. Merasa sudah terjebak dengan dua istilah itu, maka pada kesempatan berikutnya Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) menyatakan permohonan maaf atas problematika yang ditimbulkan dua istilah tersebut. Permintaan maaf itu kemudian beberapa kali diulangi dalam dengar pendapat dengan komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa hari lalu. Hal ini begitu menarik. Jarang sekali sebuah lembaga sebesar kepolisian dengan terbuka meminta maaf kepada publik atas ucapan seorang pejabatnya. Dari sisi dunia public relations, ini merupakan cerminan betapa beratnya menyandang dan mempertahankan citra positif. Sedikit saja salah mengeluarkan pernyataan, maka efek negatifnya akan membuat lembag sulit untuk lepas dari prasangka buruk publik. Sangat merugikan.

Tulisan berikut ini berupaya mensejajarkan pernyataan maaf Kapolri, jenderal BHD di atas sebagai sebuah representasi permintaan kelembagaan. Sudut pandangnya adalah strategi dan taktik public relations yang baik. Pemahaman kita akan dibangun dengan menguraikan beberapa konsep tentang public relations (PR), menyangkut peran dan fungsi PR, aplikasi praktek PR, kesenjangan aplikasi, dan akhirnya mencoba mencari ruang ‘negosiasi’ atas kesenjangan ranah praktek tersebut.


Pencitraan Positif : Peran & Fungsi PR ?strong>

Permintaan maaf yang disampaikan Kapolri sebenarnya menjadi sebuah strategi menarik dari sudut pandang praktek PR. Dengan melakukan itu, dia telah menyelamatkan institusinya. Lembaga yang dinilai telah menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Sebuah permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka kepada publik menjadi penanda pahamnya institusi ini pada akibat negatif dari publisitas yang buruk. Hal ini tidak gampang dilakukan. Seperti dilansir oleh John Kador (2009) bahwa meminta maaf akan mampu menjadi kekuatan penyembuh secara psikologis. Kapolri telah melakukan itu. Namun masalah tidak serta merta selesai. Sebuah praktek PR yang baik bukan sekadar meminta maaf. Masih banyak rangkai strategis lain yang harus dibangun. Sebagai sebuah institusi bentukan pemerintah, Polri membutuhkan sebuah rangkai strategis PR jangka panjang. Beberapa catatan konseptual akan membantu kita memahami situasi ini.

Dunia public relations selalu diidentikkan dengan sebuah dunia program strategis menuju pencitraan positif kelembagaan di depan mata publik melalui kekuatan informasi dan publisitas maksimal (Lovel, 1982; Cutlip, et.al, 2000; Laermer & Prichinello, 2009). Pada beragam konteks (Bank, 1995) peran dan fungsi PR dilekatkan dengan beragam kiat dan strategi yang sangat dinamis (Black, 1994; Gregory : 2003). Apabila kita merujuk pada peranan PR, maka kita akan membicarakan tentang bagaimana sebuah divisi dan bagian PR dalam sebuah lembaga atau institusi bekerja keras untuk mendesain beragam program strategis. Sementara itu, kalau kita berbicara tentang fungsi PR maka kita akan membicarakan tentang beragam kapasitas dan keahlian yang melekat pada lembaga maupun sosok personal yang terlibat dalam praktek penyelenggaraan PR. Kedua-duanya tidak selalu hadir bersamaan pada saat praktek PR dilaksanakan. Kadang-kadang sebuah lembaga tidak merasa harus memiliki sebuah departemen atau bagian PR. Untuk menangani berbagai masalah terkait dengan memberikan informasi, mereka menunjuk seseorang yang bertindak sebagai juru bicara. Inilah PR dalam konteks fungsional. Institusi merasa terlalu dini untuk membentuk sebuah divisi PR. Untuk itu mereka melekatkan peran itu ke dalam fungsi komunikasi personal seseorang yang ditunjuk tadi. Beberapa kasus perbankan, lembaga pemerintah, dan dunia bisnis di Indonesia telah melakukan ini. Saat krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika, beberapa perusahaan besar seperti IAG, LG, menempatkan direktur utama dalam kapasitas dan fungsinya sebagai PR bagi perusahaan saat harus bernegosiasi dengan pemerintah. Hal ini memang penting guna menunjukkan kepedulian dan respek pada pemerintah (Dominguez, 1982). Pencitraan positif yang diharapkan sebagai tujuan akhir dari sebuah upaya strategis PR ini didapat melalui empat jalur utama yakni public understanding (pengertian publik), public confidence ( kepercayaan publik), public support (dukungan publik), dan public cooperation (kerjasama publik). Apa yang telah dilakukan oleh Kapolri adalah sebuah upaya pencapaian dan perbaikan atas empat jalur utama tersebut.

Kesenjangan Ruang Teori dan Praktek PR : Salah Siapa ?

Dari ungkapan permintaan maaf secara terbuka Kapolri, muncul pertanyaan : mengapa bukan kabag Hubungan Masyarakat (public relations officer -PRO) kepolisian saja yang meminta maaf ? Mengapa harus Kapolri sendiri yang mengucapkan hal itu ? Inilah sebuah aplikasi PR yang tidak melulu harus sesuai dengan beragam ranah teori dan konseptual di berbagai pelatihan PR. Bukan rahasia lagi berbagai praktek pelaksanaan program PR selalu tidak pernah persis sama dan sesui dengan rangkai teori dan ranah konseptual yang diajarkan di berbagai sekolah maupun kursus. Begitu besar nampaknya tugas yang harus diemban seorang PR officer, sehingga dia dituntut untuk pandai-pandai memahami situasi dan kondisi agar tujuan pencitraan dan reputasi tercapai tanpa mengorbankan atau ‘melacurkan’ konsep-konsep PR itu sendiri. Dalam beberapa dekade terakhir PR bahkan telah menjadi semacam alat dari rangkai strategi marketing dalam meningkatkan penjualan (Harris, 1998 ; Ries & Ries, 2002 ; Scott, 2009). Padahal keinginan tertinggi dari para konseptor dan praktisi PR adalah menjadikan PR sebagai prinsip filsafat manajeman dan rancang strategis jangka panjang (Moore, 1987; White & Mazur, 1995). Di mana titik permasalahan dan kesalahannya ?

Mencari siapa yang bersalah atas berkembangnya definisi dan aplikasi PR dalam kehidupan nyata sebuah institusi mungkin bukanlah langkah bijak. Penelusuran atas kebutuhan dan daya adaptasi PR atas berbagai masalah institusi dalam relasi dengan publiknya mungkin menjadi semacam ‘pintu masuk’ yang lebih tepat. Dalam penjelasannya tentang sejarah PR, Cutlip et.al (2000) telah mengingatkan bahwa PR di masa depan mungkin akan bermetamorfosis menjadi sebuah strategi yang tidak pernah terbayangkan oleh para konseptor PR pada awalnya. Hal yang sama telah diungkapkan pula oleh Edward Barney saat melihat pesatnya perkembangan dunia PR (Seitel, 2001). Menurut Barney, pada saatnya nanti PR menjadi tak lebih dari sekadar alat untuk kepentingan lain yang lebih besar dari sebuah institusi. Pada satu titik, ini sangat menguntungkan bagi dunia PR. Pada titik lain kondisi mencampur adukkan PR dengan alat-alat publisitas lain (iklan, promosi penjualan, POP, event) akan membuat PR tidak lagi memiliki keistimewaan penjaga reputasi dengan prinsip proaktif. Tak bisa dipungkiri, keputusan di tingkat manajer tertinggi institusi akan berdampak pada cara pandang terhadap PR. Namun kemampuan para praktisi PR untuk menunjukkan kompetensi dirinya juga harus semakin dikembangkan. Perpaduan dua hal ini akan membuka ruang negosiasi antara kebutuhan manajeman institusi dengan kekuatan PR secara fungsional sebagai penjaga reputasi dan publisitas.

Ruang Negosiasi yang Bukan Basa-Basi

Pilihan agar permintaan maaf langsung disampaikan oleh Kapolri menunjukkan betapa masalah wacana ‘cecak dan buaya’ ini menjadi begitu krusial bagi kepolisian. Apa yang kita pikirkan andai posisi kepolisian dianalogikan sebagai sang cecak, yang mendapat perlakuan semena-mena “buaya’ KPK ? Tentu Kapolri tidak perlu meminta maaf. Wacana publik menguntungkan mereka. Sungguh berbeda dengan situasi saat ini. Mereka dirugikan. Untuk itu seluruh orientasi strategis saat ini diarahkan untuk pemulihan reputasi dan kredibilitas yang sudah dirintis sejak lembaga ini resmi ‘berpisah’ dengan TNI. Memandang kasus ini harus melihat luasnya ruang negosiasi antara teori PR dengan aplikasi prakteknya di lapangan. Praktek yang mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan konteks evolusinya.

Keinginan Frazier Moore (1987) untuk membuat PR sebagai sebuah filsafat manajemen bukanlah tanpa alasan. Menurutnya, prinsip-prinsip dasar PR itu selalu konsisten dan kekal. Namun dalam prakteknya, karena dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, perkembangan teknik dan sains, serta lingkungan yang berubah terus-menerus, membuat dia terus ber-evolusi secara konsisten. Cakupan perkembangan yang dipetakan Moore secara tidak langsung menunjukkan luasnya peta evolusi tersebut. PR menurutnya telah berkembang paling tidak dalam ruang-ruang opini publik dan persuasi; teori, metode, dan evaluasi komunikasi; riset media; analisis isi; studi khalayak; manajemen; peraturan pemerintah dan hukum; bahkan pada titik pertanggungjawaban sosial (CSR). Terbukanya peluang PR diterapkan dalam dunia pemasaran membuat dunianya menjadi lebih menarik. Terlebih-lebih PR memiliki kedekatan dengan sisi publisitas media massa. Pemanfaatan prinsip PR dalam menghadapi fenomena media baru (new media) nampak mengemuka dalam satu dekade ini. McQuail (2000) telah menempatkan empat kategori sebagai alat ukur kekuatan media baru yang bisa digunakan dalam dunia PR : media komunikasi interpersonal, kontribusi media interaktif, media pencari informasi, dan media untuk pertisipasi kolektif. Seperti yang disarankan oleh Scott (2009) bahwa memahami PR dalam konteks kompleksitas media informasi baru, akan menjadi area negosiasi antara sikap pihak manajeman dan kepasitas para praktisi PR. Sebuah ruang negosiasi yang akan terus menerus tercipta sepanjang PR itu harus tetap ‘hidup’ dan ‘berguna’.


Ruang negosiasi inilah yang memungkinkan PR menggunakan seluruh aktivitas untuk pencapaian tujuan menjaga reputasi institusi. Seperti diungkapkan Ananda (2002), terdapat duapuluh aktivitas PR yang bisa digunakan sebagai ruang negosiasi penerapan. Banyaknya aktivitas tersebut menunjukkan bahwa PR mampu menjadi strategi yang sangat lentur atas beragam alat aplikasi di lapangan.

Duapuluh aktivitas PR yang disodorkan Ananda pada dasarnya sudah sering dilakukan seorang praktisi PR, entah sadar atau tidak. Ruang negosiasi yang begitu terbuka lebar bagi praktisi PR sama sekali tidak dimaksudkan untuk ‘melacurkan’ PR. Ini adalah sebuah upaya menciptakan energi baru terus menerus untuk ‘survival of the fittest’ di tengah-tengah perubahan teknologi dan informasi yang demikian pesat dalam diri publik. Justru manajer dan praktisi PR yang tidak siap akan tergilas oleh perubahan itu sendiri.

Integrasi Sikap : Tawaran Simpulan

Untuk membuat PR menjadi sebuah rancang strategis yang dinamis dibutuhkan pemahaman dan pengertian dua sisi yang simetris. Pertama, pihak manajeman institusi wajib mengetahui asas dan esensi public relations itu sendiri sebagai sebuah filsafat manajeman strategis. Kedua, para praktisi di level menengah dan tenaga teknis PR harus memiliki standar keahlian dan kemampuan atas beragam teknik dan strategik aplikasi PR. Penggabungan kedua sisi ini secara strategis bisa mewujud ke dalam ruang-ruang negosiasi penerapan PR sejak dari tahapan manajerial hingga tahapan teknis di lapangan.






Referensi :

Ananda, Ida Anggraeni, 2002. Public Relations : Sebuah Telaah dari Sudut Fungsi, Peran, dan Kedudukannya dalam Organisasi, Jurnal Visi Komunikasi, Jakarta: Fakultas Ilmu Komunikasi Mercu Buana.
Banks, Stephen P., 1995. Multicultural Public Relations : A Social-Interpretive Approach, London : Sage Publications.
Black, Sam,. 1994. The Essentials of Public Relations, London : Kogan Page Limited.
Cutlip, Scott M., Allen H. Center, & Glen M. Broom., 2000. Effective Public Relations, Eighth Edition, New Jersey : Prentice-Hall. Inc.
Dominguez, George S., 1982. Government Relations : A Handbook for Developing and Conducting The Company Program, New York : John Willey & Sons.
Gregory, Anne., 2003, Planning, and Managing A Public Relations Campaign: A Step by Step Guide, New Delhi : Kogan Page Limited.
Kador, John, 2009. Effective Apology : Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan, penerjemah Kunti Saptoworini & Th. Dewi Wulansari, Jakarta : Penerbit Gemilang.
Laermer, Richard, & Michael Prichinello, 2009. Full Frontal PR : Membuat Orang Membicarakan Anda, Bisnis Anda, atau Produk Anda, Penerjemah Lenny Hidayat, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Lovell, Ronald. P., 1982. Inside Public Relations, Boston : Allyn and Bacon. Inc.
McQuail, Dennis, 2000. McQuail’s Mass Communication Theory, 4th edition, London : Sage Publication.
Moore, H. Frazier,. 1987. Hubungan Masyarakat : Prinsip, Kasus, dan Masalah, buku Satu, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Scott, David Meerman, 2009. The New Rules of Marketing & PR, Penerjemah Anastia Putri Ridiasa, Jakarta : Publishing One.
Seitel, Fraser P., 2001. The Practise of Public Relations, Eighth edition, New Jersey : Prentice Hall.
White, Jon, & Laura Mazur., 1995. Strategic Communications Management : Making Public Relations Work, London : Addison-Wesley Publishing Company.

Rabu, 21 Oktober 2009

Menteri Baru dan Empat Masalah Komunikasi

Sebagai Menteri yang mengurusi masalah komunikasi dan informasi, mungkin banyak pihak menyangsikan sosok Tifatul Sembiring, yang pada Rabu Malam (21/10/09), jam 10.00 WIB, resmi dinyatakan SBY sebagai Menkominfo. Apa pasal ? biasanya sektor ini dijabat oleh mereka yang memiliki kompetensi di bidang komunikasi dan IT (Harmoko, ke laut aje !). Itu syarat minimal, mengingat kompleksitas problem IT di Indonesia memang berkutat pada perihal teknis. Seperti menteri Mohammad Nuh yang memiliki latar belakang bidang informatika. Kebijakannya berakhir pada hal yang sangat bersifat teknis : menyumbang komputer pada sekolah dan desa-desa ! Bagaimana dengan sosok Tifatul Sembiring ?

Setelah saya mengetahui latar belakang pendidikan dan wilayah kerja Tifatul Sembiring, mungkin kesangsian tadi sedikit terkikis. Beliau memiliki latar belakang sekolah informatika di Pakistan. Berlanjut pada kerja di bidang penerbitan. Begitu menjadi sosok penting di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dia menjabat Humas lalu kemudian menduduki posisi presiden partai bernafas Islam intelek tersebut. Dengan beberapa catatan ini, paling tidak sinyalemen ketidakpahaman dalam bidang IT akan tertepis dengan sendirinya. Lalu apabila secara personal dia tidak perlu diragukan, apa lagi yang menjadi saran dan kritik sebagai pekerjaan rumah besar beliau sebagai menteri yang nanti sangat terkait dengan isu “dunia datar” (world is flat) versi Thomas L. Friedman itu. Mari kita mulai dengan empat problem IT di Indonesia yang nantinya akan menjadi ancang-ancang bekerjanya mantan presiden PKS ini.
Seperti yang dilansir oleh AntaraNews (22/10/09) ada empat pekerjaan rumah yang bakal dihadapi oleh Menkominfo sesuai pengakuan Tifatul Sembiring. Pertama, Indonesia memiliki masalah besar dalam hal perbedaan kemudahan akses di kota besar dan daerah terpencil. Kedua, masalah kurangnya informasi edukatif dari media komunikasi tanah air. Ia berpendapat, komunikasi edukatif masih sangat lemah di mana 75 persen tayangan yang ada di media siaran Indonesia dinilai tidak mendidik. "Sebagai Menkominfo saya ingin komunikasi yang lancar dan informasi yang benar dalam arti lancar, mudah, dan bermanfaat," katanya. Masalah yang ketiga, infrastruktur ICT yang masih sangat lemah. Keempat, layanan informasi di Indonesia masih sangat kurang. Keempat masalah ini bisa dilihat dalam konteks strategis dan kenteks teknis. Keduanya untuk melihat indikasi mana yang betul-betul urgen menjadi problem komunikasi dan informatika negeri ini.

Pisahkan Ranah Strategis dan Ranah Teknis

Apabila dikatakan telah terjadi perbedaan kemudahan akses terhadap informasi di kota besar dan daerah terpencil di Indonesia, nampaknya yang dimaksud oleh Menkominfo adalah tentang posisi masyarakat sebagai sumber informasi. Artinya akses disini dimaknai sebagai sebuah komunikasi timbal balik antara masyarakat di manapun mereka berada. Apabila akses yang dimaksud adalah dalam hal kemudahan mendapatkan informasi (pasif) maka saat ini masalah itu hampir tidak ada lagi. Hampir diseluruh pelosok negeri ini telah terjangkau oleh sebelas stasiun televisi nasional, dan puluhan televisi lokal yang memang ada di wilayah masing-masing. Ini menandakan masyarakat sebenarnya punya akses dalam memperoleh informasi. Masalahnya adalah kemudahan akses informasi tersebut tidak sejajar dengan posisi dan kapasitas masyarakat sebagai pemberi informasi. Computer mediated communication (CMC) yang mengejewantah dalam internet, hingga hari ini masih menjadi bahan gengsi dan mewah bagi banyak kalangan di pedesaan. Mereka baru melihat internet sebagai sarana hiburan. Terbukti akses yang kuat kepada pornografi nyaris mewarnai negeri-negeri dengan peta geografis pedesaan mereka yang mayoritas. Pokok problemnya adalah, masalah akses adalah permasalahan teknis. Penyiapan mentalitas akan kebutuhan informasi yang harus melebihi insting mendapatkan kesenangan sebagai fungsi hiburan media harus segera diantisipasi kementrian ini.

Masalah kedua berlanjut sebagai respon atas insting hiburan dan bermain (ludens) yang memang kuat pada diri audiens di Indonesia. Seringkali terjadi perdebatan antara LSM yang berpihak pada media literasi dengan para kapitalis swasta pemilik stasiun televisi berikut segala variannya. Mereka yang berada pada kubu media literasi selalu melihat media sebagai ‘biang kerok’ menguatnya insting menghibur diri dan bermain-main manusia. Media menghadirkan tayangan melulu hiburan, memberikan isi laporan dengan frame bombastis dan gosip-gosip. Sementara pihak media(terutama stasiun televisi) mengklaim bahwa apa yang mereka sajikan semata-matas sebagai respon atas keinginan besar pemiras semata. Lembaga rating berkali-kali mengamini hal tersebut, setiap mereka melaporkan hasil riset mingguan mereka tentang acara yang paling banyak ditonton pemirsa. Bagi penggiat LSM media literasi, media penyebab. Bagi stasiun televisi, media sebagai akibat. Hasil komprominya adalah munculnya beragam terma unik sebagai judul acara di televisi Indonesia. Sebagai contoh adalah penggabungan unsur hiburan dan pendidikan (namanya edutainmen), dan juga bergabungnya unsur informasi dan hiburan (namanya infotainmen).

Masalah ketiga adalah masalah duit dan modal. Ini tentang infrastuktur. Di Indonesia, teknologi memang masih menjadi barang mahal. Sekaligus bergaya. Sangat biasa di negeri ini bahwa yang mahal itu identik dengan hedon dan gengsi. Internet masuk dalam bagian itu. Saat ini banyak orang menjinjing laptop hanya sekadar menunjukkan bahwa dirinya punya laptop dan termasuk dalam masyarakat informasi ala Alvin Toffler. Barang mewah meminta gaya mewah. Ada identitas di dalamnya. Identitas yang bisa menafikan wilayah fungsi dari sebuah produk maupun jasa. Menjinjing laptop masih belum sejajar dengan menggenggam handphone. Mengingat masih mahalnya teknologi, sudah sewajarnya pemerintah dan lembaga swasta mendukung pengadaan infrastruktur baik dengan regulasi maupun dengan bantuan konkret. Masalahnya : bagaimana kita menganggap bahwa menyediakan prasarana fisik bukanlah sebuah solusi atas akses itu tadi, melainkan akan menjadi pembuka masalaha baru saat masyarakat melihat dan merasa menggunakan internet lebih sebagai gaya ketimbang fungsi pencari informasi ?

Masalah layanan informasi bukanlah masalah teknis. Melayani dalam memberikan informasi tidak semata-mata identik dengan menyediakan perangkat personal computer di setiap sudut jalan, sudut mall-mall dan pusat perbelanjaan, serta menyediakan mobil informasi keliling bertuliskan pusat informasi turis (tourism information center). Khusus untuk pencarian informasi, masyaraka Indonesia masih sangat terbawa oleh tradisi oral mereka. Sekalipun telah jelas-jelas terpampang informasi tentang keberangkatan kereta di papan pengumuman stasiun, toh para penumpang kebanyakan masih sibuk mencari satpam atau para calo untuk sekadar bertanya langsung tentang hal yang sama dengan apa yang terpampang tadi. Tak cukup hanya membaca, mereka butuh penjelasan kata-kata. Informasi oral dibutuhkan untuk meyakinkan diri. Itulah mental oral. Tak mudah percaya dengan apa yang tertulis dan terpampang. Dari kenyataan itu tadi, makna menyediakan informasi tidak selesai hanya dengan menghadirkan perangkat teknis. Dibutuhkan seperangkat regulasi untuk menciptakan mental menyeimbangkan kepercayaan terhadap tradisi literal disamping keyakinan tradisi oral.

Mulai dengan Fact Finding

Fakta bahwa audiens di Indonesia sangat plural, sudah selayaknya menjadi prioritas perhatian sang Menkominfo baru ini. Pluralitas yang paling signifikan adalah tingkat pendidikan yang tidak selalu sejajar dengan peta area geografis. Sebagai contoh, di sebuah desa terpencil di Kalimantan, seorang lulusan sarjana Hukum ternyata sangat membutuhkan layanan internet dengan akses di atas rata-rata. Ini terjadi karena sarjana ini mengecap pendidikan tinggi di pulau Jawa, dengan mental terdidik yang didapatnya di pulau termaju Indonesia itu, kebutuhan akan informasi up date dia tidak lagi bisa disuplai oleh Kompas, Media Indonesia, Bulletin Siang, dan program-program built up lain (bullet theory). Dia butuh komunikasi interaktif sesuai dengan kebutuhannya (uses and gratifications). Kondisi ini memaksa pemegang otoritas tidak semata-mata terpana dengan prinsip kuantitas dan statistik dalam memutuskan diseminasi informasi dan pengadaan prasarana fisik infrastuktur bidang komunikasi. Ada wilayah kualitas yang terkait dengan pemaknaan dan penghargaan atas informasi yang jauh lebih penting dari sekadar melandasi diri dengan fakta berupa angka betapa “katro’ nya kita di depan PC atau laptop yang terhubung dengan sistem internet. Simpulnya, mengetahui bahwa prasarana fisik yang disediakan benar-benar digunakan sesuai kebutuhan jauh lebih berarti dan bermakna positif dibanding menyediakan prasarana fisik infrastuktur tadi hanya untuk kebutuhan hedonis, gaya, dan intertain semata.

Bila yang terjadi adalah yang kedua maka, kementrian itu akan lebih disibukkan dengan fakta banyaknya pengakses situs dengan kata kunci Maria Ozawa, Miyabi, pornography, sex, dan sejenisnya. Takutnya, kita merasa telah berbuat menyelesaikan masalah, padahal yang terjadi adalah kita berhasil menciptakan masalah demi masalah. Berikutnya, kita serahkan segala keputusan pada sang Menteri baru agar bisa manakar dan menimbang atas segala keputusannya nanti. Dan tidak terpancing pada gebyar parade dan promosi keberhasilan program menteri melalui beragam iklan di radio, koran, dan televisi. Karena Menteri bukanlah selebriti. Itu pasti !!!



Pojok Ruang Daihatsu, Oktober 09