Senin, 22 Desember 2008

Tentang Kelas Pengantar Ilmu Komunikasi

D III Kearsipan UGM
Khusus untuk kelas ini, sepanjang aku menyertai mereka dalam berbagai diskusi dan rutinitas pengajaran, spirit dan jiwa muda mereka terasa hadir setiap Jum’at pagi. Aku harus berangkat pagi-pagi ke D-III Kearsipan. Kuliah dimulai jam 07.30 WIB. Bukan kerena semata-mata alasan profesional, namun juga karena ikatan sejarah. Dahulu mata kuliah ini diajarkan oleh seniorku di tahun 2000 an. Aku sebagai asisten sering menggantikan. Hingga beliau pensiun dan meninggal, aku tetap dipercaya mengasuh mata kuliah ini. Nyaris semacam ritual. Sampai hari ini. Kebiasaan itulah yang membuat aku begitu terikat. Aku senang melihat mata dan tatapan peserta kuliah. Mereka, orang muda penuh semangat. Semangat yang membuatku terus merasa se-usia dengan mereka. Usia dimana seseorang terus merasa perlu belajar. Dengan spirit itulah diskusi dan brainstorming berlangsung. Prinsip demokratis juga diterapkan dalam proses penilaian.
Salah satunya prinsip penilaian adalah dengan meminta mereka mempresentasikan makalah kelompok. Teman-teman yang menjadi audiens dan tidak presentasi ditetapkan menjadi juri dengan memberikan poin atas presentasi mereka. Bagi kelompok yang memperoleh nilai presentasi tertinggi, otomatis akan mendapatkan nilai A untuk setiap anggota kelompoknya.
Nah, kemarin presentasi sudah berakhir. Setiap kepala sudah memberi poin. Hasilnya adalah sebagai berikut :


Edelweis = 3,33
Archieve-holic = 3,30
Hepi = 3,04
Rock & Roll = 2,87
Tema komunikasi kelompok kecil = 2,86
Randi = 2,64
Kura-kura = 2,61
Kelompok dengan tema kom. Massa = 1,97
Kelompok dengan tema kom. Antarpribadi = 1,18

Dengan mengacu pada penilaian di atas, maka kelompok yang menempati posisi nomor 1 (satu) adalah Kelompok Edelweis. Untuk itu, seluruh anggota kelompok Edelweis akan mendapatkan nilai A atas mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Selamat untuk Wening PP, Vreni Hari Astuty, Kris Rahajeng A, Juwita Choirun Nissa, dan Sari Yanuari Putri. Kalian sudah membuktikan kelompok kalian lebih baik. Untuk peserta kuliah yang lain, tetap berjuang dengan mengerjakan soal pribadi.

Keep the spirit,
Terima kasih atas kerja sama selama satu semester ini.

Kamis, 11 Desember 2008

Daya Seduktif Media :

Labirin Ala Baudrillard

“That members of the contemporary world
are voyeurs adrift in a sea of symbols”
-Norman K. Denzin,1991-


Kata-kata Norman K. Denzin yang saya pakai sebagai pembuka esai ini adalah sebuah asumsi dasar saat dia mulai menuliskan buku menariknya “Images of Postmodern Society”. Sebuah buku yang berupaya menyajikan bukti-bukti dari pemikiran Jean Baudrillard tentang telah terciptanya sebuah masyarakat konsumtif yang distimulus oleh media massa. Denzin dengan sangat cerdas merelasikan antara berbagai teori postmodern dengan film-film karya Hollywood yang termasuk mainstream. Ada lima sinema yang dianalisis oleh Denzin dalam upayanya mengatakan bahwa Amerika sepenuhnya telah menjadi sebuah contoh menarik sebuah masyarakat posmodern yang tercipta karena stimulus media. Kelima film itu adalah Blue Velvet, Wall Street, Crime and Misdemeanors, When Harry Met Sally, Sex, lies and videotape. Semua sinema itu dilihat dengan menggunakan kacamata pendekatan teoritis dari C. Wright Mills dan Jean Baudrillard. Kata-kata yang menjadi asumsi dasar dari analisisnya seperti tertuang di pembuka esai tadi merupakan cerminan dari kesimpulan yang dia berikan. Pada setiap film yang dianalisa terdapat sebuah permainan simbol yang membuktikan tentang logika hasrat sebagai sebuah konsep yang selalu dikejar oleh manusia posmodern. Sebuah pembujukan dan rayuan (seduction) yang tidak pernah menyelesaikan tujuannya. Proses bermain-main di lautan simbol itu sendirilah yang menjadi tujuan setiap manusia yang menjadi anggota masyarakat kontemporer. Terus menerus demikian, sehingga tanpa sadar tenggelam di dalam lautan simbol, hingga kematian sosok itu tetap dalam ketidaksadaran atas hegemoni kehidupan simbolis dengan nilai tanda yang tak berujung. Baudrillard sebagai sosok yang memberikan peringatan akan kompleks dan uniknya masyarakat yang tercipta oleh daya seduktif itu merangkai pemikirannya dalam waktu cukup lama. Telaah utamanya tentang masyarakat konsumtif menjadi asal muasal ide tersebut pada sekitar awal 1976. Paparan di halaman berikut ini akan membingkai pemikiran Baudrillard dalam dua hal yang bersifat deduktif. Pertama, akan diurai kembali tentang konsep masyarakat konsumtif dalam pandangan Baudrillard. Kedua, dari fenomena masyarakat konsumtif itu dilihat bagaimana media massa memainkan peranan maksimal dengan konsep eksentriknya : simulakra.

Kelanggengan Masyarakat Konsumtif dari Baudrillard

Gambaran masyarakat kontemporer seperti yang diintrodusir oleh Denzin dalam bentuk konkretnya adalah sebuah gambaran masyarakat konsumtif oleh Baudrillard. Bukunya La Societe de consommation (1970) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Consumer Society (1998) mengambil banyak ide dari John Kenneth Galbraith bercerita tentang struktur dan dinamika masyarakat konsumtif. Disitu Baudrillard menegaskan bahwa pertumbuhan masyarakat, pada hakekatnya adalah lawan dari masyarakat berkecukupan. Pertentangan yang ada di dalamnya mengarah kepada pemiskinan psikologis dan kefakiran sistematis karena “kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang. Karena kekayaan dan kemiskinan melekat di dalam sistem, usaha seperti yang diajukan oleh Galbraith untuk memecahkan masalah kemiskinan akan berakhir dengan kegagalan. Seperti diakui Ritzer saat mengantar buku Consumer Society, melalui berbagai caranya Baudrillard tidak hanya mengeritik, melainkan juga telah berhasil membangun karya Galbraith dengan cara yang sangat modern.

Meskipun dalam teori-teori awalnya ketika menggambarkan masyarakat konsumtif, Baudrillard banyak meminjam teori Marxian, namun semakin lama justru semakin kelihatan bahwa dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk “bercerai” dengan pemikiran Marxis, terutama ketika dia menyebut frasa kunci “tidak mungkin ada revolusi sejati”. Inilah penanda talak tiga dia dengan status Marxian. Imbasnya, demikian komentar Ritzer, pandangan optimistiknya tentang masa depan bertentangan dengan pandangannya tentang dunia yang pada dasarnya pesimistis. Kekuatan masyarakat konsumtif sebagai sebuah fakta sosial yang bernuansa strukturalisme didapat Baudrillard dengan mengacu penuh pada ide Durkheimian. Dia mengeritik namun sekaligus mengakui betapa kuatnya dominasi masyarakat konsumtif yang telah terlembagakan. Kondisi mana yang tidak mungkin dilawan. Baudrillard sama sekali tidak bernafsu untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat gaya baru yang melawan episode kapitalis saat ini. Dia hanya bermaksud mengkritisi dan bergaya nakal dengan mencibir berbagai “kebodohan” terstruktur manusia yang telah larut dalam kemanjaan dan kelenaan kapitalisme. Sesuatu yang “menyadarkan” ketimbang sebuah “pemberontakan” utopis dalam marxisme. Pendekatannya nampak sangat personal. Semua bermula dalam diri manusia secara persona. Apabila kesadaran akan kebodohan telah hadir dalam pikiran setiap manusia, maka bisa dipastikan daya imun terhadap kapitalisme akan tercipta dengan sendirinya. Aku sendiri memiliki keyakinan tersebut saat membayangkan wajah gemuk Baudrillard. Nafsu yang telah diselimuti hasrat sama sekali tidak mampu kita lawan, sejauh kita tetap larut dalam ketidaksadaran. Nafsu menjadi entri poin hidupnya energi kapitalisme. Wujud riilnya adalah konsumsi.

Bagi Baudrillard, konsumsi bukan sekadar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan, atau konsumsi objek. Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu “panoply” dimana tanda-tanda dan pemaknaannya menyerupai prinsip marxis dalam memaknai produksi. Kontrol sarana produksi telah bergeser menjadi kontrol atas kode. Revolusi ini yang menurut Baudrillard menjadi sebuah revolusi sosial yang maha dahsyat. Sejajar dengan revolusi industri di Inggris. Dalam perspektif inilah, menurut Baudrillard, media massa memainkan peran sentral sebagai jembatan keterciptaan kesamaan makna dan sudut pandang atas segala sesuatu.

Ketika tidak ada lagi kebenaran atau realitas, maka tanda tidak lagi melambangkan segala sesuatu. Jadi, kita dapat mengatakan pada hidup seseorang “simulakrum sangat besar” yang nyata. Bahkan simulakrum tidak pernah mengganti apa itu yang nyata, tetapi mengganti dengan sendirinya, dalam suatu sirkuit yang terputus-putus tanpa rujukan atau lingkaran (Ritzer,2004:163). Akibatnya, simulasi membunuh makna secara absolut. Simpulan Baudrillard sangat menyindir Amerika (terutama Los Angeles) bahwa apapun yang mengelilingi Amerika tidak ada lagi yang nyata, namun sudah merupakan suatu tatanan hiperrealitas dan tatanan simulasi. Amerika adalah sebuah negara yang penduduknya telah terstimulasi oleh media massa. Kenyataan riil sehari-hari mereka telah tergantikan dengan simbolisasi dan permainan tanda di televisi dan media massa lainnya.


Komunikasi Media di Mata Baudrillard

Komunikasi, menurut Baudrillard khususnya melalui media massa memiliki satu bentuk “teknis, aseptis” dan “tidak lagi dicapai melalui satu media simbolis”. Dia miskin dengan proses didaktis atau proses simbolis yang sebenarnya. Dalam masyarakat modern, orang menampilkan semacam “rasa ingin tahu yang absurd” tentang berbagai hal. Mereka “bermain-main dengan kombinasi”. Yang hilang adalah “ permainan penuh gairah”, dengan gairah yang mengimplikasikan adanya keterlibatan total dan dalamnya nilai simbolis. Konsumsi modern melibatkan manipulasi tanda secara eksternal dan dia miskin akan nilai-nilai simbolis yang terlibat dalam proses penciptaan (Ritzer,pengantar dalam Baudrillard, 2004). Hal ini menyatu dengan pendapat utama Baudrillard tentang beda signifikan antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern, yakni hilangnya hubungan antar manusia yang spontan, timbal balik dan simbolis dalam masyarakat modern. Hal-hal itu menjadi apa yang dulunya dianggap fundamen bagi masyarakat primitif. Bagi Baudrillard sebuah ciri memabukkan masyarakat modern adalah adanya diferensiasi dan logika bahwa semuanya tidak mungkin pernah cukup. Masyarakat yang tidak pernah tahu apa makna kata ikhlas ! yang ada cuma kurang melulu. Mungkin Baudrillard sepakat sepenuhnya dengan Albert Camus tentang absurditas kehidupan masyarakat modern. Sebuah gambaran masyarakat yang sakit dan selalu mengejar hasrat tak terputus. Liar, mubazir, dan tak pernah mencapai titik puas. Pada titik itulah komunikasi menjadi sebuah sarana penting (melalui media) untuk memediasi terciptanya nilai-nilai absurd tersebut. Baudrillard mengambil sikap tegas untuk skeptis dan pesimis.

Paparan tentang komunikasi dari Baudrillard muncul seiring dengan bongkarannya atas satu konsep sentral : simulasi. Konsep ini masuk akal saat mana orang memandangnya dari sudut pandang Baudrillard tentang pertukaran simbolis dan pengistimewaan masyarakat primitif. Mereka melihat alam sebagai sesuatu yang asli dan spesifik yang bertentangan dengan kebudayaan. Namun bagi masyarakat modern, alam cenderung direduksi menjadi sesuatu yang dirapikan, diatur, diawasi dan disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Alam dalam bentuk ini adalah simulasi hal-hal yang ada pada masyarakat primitif. Dia telah menjadi satu kepalsuan, simulasi dapat didefinisikan sebagai “objek palsu” dan subjek seperti inilah yang mendefinisikan masyarakat konsumsi kita. Mereka adalah objek yang menawarkan gemilangnya tanda yang nyata, namun pada kenyataanya tidak. Media memainkan peran besar dalam menciptakan simulasi ini.

Media massa telah mendorong dan menggeneralisasikan proses simulasi. Ketimbang realitas, orang diperlakukan sebagai simulasi yang melibatkan rekombinasi konstan dari pelbagai tanda, elemen-elemen kode. Baudrillard menghadapi masalah di sini, dan dipelbagai tempat, dia miskin dengan sudut pandang Archimedian, dia tidak bisa memberi simulasi ini, label palsu. Masyarakat modern dicirikan bukan hanya oleh objek yang disimulasikan, namun juga oleh hubungan yang disimulasikan. Sebagai contoh, pengiklan dipandang meniru cara komunikasi yang akrab dan personal dalam usahanya untuk menghasilkan perasaan dekat, di mana pada kenyataanya, tidak satupun yang eksis. Satu keakraban yang disimulasikan diciptakan antara orang yang mengiklankan dan konsumen potensial, juga antara konsumen potensial dengan produk yang diiklankan. Tidak lain ini adalah satu bagian dari yang dilihat Baudrillard sebagai permainan hubungan antar manusia yang digeneralisasi. Ketimbang resiprositas yang menjadi karakteristik masyarakat primitif dan pertukaran simbolis, dalam masyarakat modern kita memiliki begitu banyak model simulasi hubungan antar manusia yang bersifat resiprokal seperti itu.


Referensi :

Baudrillard, Jean, (2006). Ekstasi Komunikasi, Penerjemah Jimmy Firdaus, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
_______________, (2001). Galaksi Simulakra : Esai-esai Jean Baudrillard, Penerjemah Galuh E. Akoso & Ninik Rochani Sjams, LkiS Yogyakarta.

_______________,(1988). The Consumer Society : Myths and Structures, Sage Publications, London.

_______________,(2000). Berahi, Penerjemah Ribut Wahyudi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.

Best, Steven, Dauglas Kellner, (2003). Teori Posmodern : Interogasi Kritis, Penerjemah Indah Rohmani, Boyan Publishing, Malang.

Ritzer, George, (2004). Teori Sosial Postmodern, Penerjemah Muhammad Taufik, Juxtapose & Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Minggu, 07 Desember 2008

"Jurnalisme Kuning yang Merah Menggoda"

Hans Miller B, sang ketua Departemen Wartawan Infotainment PWI Pusat akhirnya tidak tahan juga dengan letupan pemikiran Veven Sp Wardhana. Pada tanggal 21 September 2005 dia menulis di Surat Pembaca Kompas yang isinya berupa tanggapan atas “tuduhan” Veven terkait tidak realistisnya tayangan infotainment di televisi. Dalam surat pembaca itu, Hans Miller menganggap Veven telah melakukan dua hal tidak arif yakni (1). Tuduhan bahwa infotainment melakukan penggelapan fakta, tentu bertolak belakang dari kenyataan, (2). Beberapa ciri jurnalisme infotainment yang dipaparkan Veven dalam tulisannya tidak lebih sebagai karangan pribadi belaka. Tersirat upaya pembelaan diri dari PWI (yang dikatakan Miller sebagai hak koreksi mereka atas media pers) atas tulisan Veven. Apa sebenarnya yang telah terjadi, hingga tulisan seorang Direktur Institute for Media and Social Studies (IMSS) mendapatkan balasan yang bernuansa “tuduhan balik” seperti di atas ?

Lebih dari seminggu sebelum hak koreksi PWI dimuat di surat pembaca, Veven telah menulis di Kompas (11 September 2005) tentang ciriwanci jurnalisme dan polemik di seputar dunia infotainment. Tulisan berjudul “Sarah Azhari dan Infotainment” memaparkan enam ciri bekerjanya jurnalisme infotainment televisi yang saat ini tengah marak di Indonesia. Sayangnya, seluruh ciri yang dipaparkan Veven lebih sebagai upaya mengkritisi tayangan dan cara kerja wartawan infotainment yang menunjukkan bahwa tayangan infotainment bukanlah bagian dari proses kerja profesi jurnalisme. Merujuk pada penilaian tersebut, sangatlah wajar kemudian kalau Miller sebagai sosok dari PWI merasa perlu melakukan koreksi atas penilaian Veven.

Masalah ini sebenarnya lebih merupakan gambaran polemik tayangan infotainment di televisi yang semakin marak akhir-akhir ini. Sebuah tayangan yang berupaya memadu unsur-unsur informasi (information) disatu sisi, dengan unsur-unsur hiburan (entertainment) di sisi lain. Pihak yang terlibat sengketa dengan tayangan ini sebenarnya lebih berada dalam konteks oposisi biner antara sang public figur (artis, pemain sinetron, aktor, dan lain sebagainya) sebagai pihak yang tidak ingin kehidupan pribadinya di “acak-acak”, dengan pihak stasiun televisi atau production house (PH) yang selalu ingin mengetahui dan mengungkap sisi “lain” dari kehidupan pribadi sang public figure. Kedua pihak sama-sama bertahan dengan argumentasi masing-masing : pihak artis keberatan karena privacy-nya terganggu, pihak stasiun televisi atau PH yang terus mengejar bahan berita dengan alasan “pemirsa layak mengetahui berita apapun dari artis idola mereka”. Pada titik inilah segala insiden antara sang artis dengan wartawan infotainment menjadi semakin sensasional. Tercatat berbagai insiden yang dialami artis yang mengindikasikan bahwa bekerjanya para wartawan infotainment sudah berada pada titik mengkhawatirkan. Nicky Astria pernah stres saat wartawan menggedor-gedor mobilnya, Elma Theana sempat shock saat didakwa melakukan kejahatan bernama “kebohongan terhadap publik” terkait dengan rumor perselingkuhan, dan Farhat Abbas yang sangat emosional saat mengetahui segala detail pernikahan sirinya telah dibongkar wartawan. Salahkah kemudian para wartawan tersebut ? kita harus hati-hati dalam memberikan jawaban. Penelusuran atas segala polemik dan benturan kepentingan ini sesungguhnya mengisyaratkan relasi berbanding lurus antara kehendak media massa sebagai sebuah institusi ekonomi, yang terhubung dengan insting dan semangat “ingin tahu” yang besar dari audiens sebagai publik. Kita akan mengulas beberapa faktor yang saling terkait untuk menjelaskan masalah tersebut : ekonomi politik media yang menghadirkan jurnalisme semu, kehausan akan nilai sensasional berita dari audiens, dan sikap pemerintah yang sarat kepentingan politis dalam setiap kebijakannya.

NGOBROL ITU MURAH : FAKTA JURNALISME SEMU

Ekonomi politik media massa pada intinya mencoba melihat bahwa media massa merupakan sebuah organisasi yang juga tidak “bebas nilai” (Vincent Mosco,1998). Artinya bahwa organisasi itu tidak akan mampu melepaskan diri dari hukum-hukum standar hidup matinya institusi. Saat setiap organisasi harus berusaha mempertahankan diri dan menghidupi seluruh elemen pendukungnya, maka organisasi media juga terlibas hukum yang sama (lihat Albarban, 1996 ; McQuail,2000 ; Bagdikian,1992). Bagi media massa Indonesia sendiri, kondisi itu telah diperjelas oleh pernyataan Ishadi SK, Direktur Trans TV dalam sebuah diskusi peluncuran buku karya Philip Kitley : “Television, Nation, and Culture in Indonesia” yang diadakan di Teater Utan Kayu, Jakarta, 20 Juni 2001. Saat itu seorang ibu mempertanyakan mengapa semua program stasiun televisi nyaris sama, meskipun dengan judul yang berbeda-beda. Ibu itu akhirnya memutuskan untuk tidak menonton saja, karena tidak ada lagi keunikan dan informasi yang didapatkan. Menjawab tanya ibu tersebut, Ishadi SK mengatakan bahwa sang ibu itu sangat sombong, karena :”Bikin satu produksi yang ditayangkan televisi itu butuh banyak tenaga, banyak waktu, dan banyak pikiran ; alangkah sombongnya Anda ternyata malah tidak menontonnya !” (Wardhana, 2002). Pada tahap selanjutnya yang terungkap terkait dengan munculnya keseragaman program di hampir seluruh stasiun televisi tidak lain dan tidak bukan hanya pemenuhan atas selera pasar semata. Institusi media harus mampu menghidupi dirinya melalui kompromi atas selera pasar tersebut. Argumen ini “diamini” nyaris oleh seluruh produser dan para pengelola rancangan program tayangan televisi.[1]

Maka tidak heran kemudian saat sebuah televisi swasta berjaya dengan program reality show, maka serentak televisi lain meniru dengan reality show pula, saat satu stasiun televisi meraih rating tinggi melalui program sinetron agamis (dengan keranda mayat dan lokasi shooting di area pekuburan), maka serentak televisi lain membuat program serupa, tepat disaat tengah malam ketika sebuah stasiun televisi berhasil meraih rating tinggi melalui tayangan berbau seks dengan kelucuan yang dibuat-buat, maka serentak beberapa stasiun lain membuat program serupa. Hal yang sama berlaku untuk seluruh tayangan : entah itu talks show, infotainment, sinetron, telenovela, dan sebagainya. Bila melihat fakta di atas, maka kegusaran sosok ibu di Utan Kayu itu bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Masalahnya mengapa hingga terjadi proyek “tiru meniru” tersebut ?

Pemahaman seluruh produser program tetap saja tidak bergerak sejak dahulu, logika menuruti selera pasar dengan menghambakan diri pada prinsip dan cara kerja rating menjadi tuhan di hampir setiap stasiun televisi. Pada sebuah tayangan yang memang bernuansa fiksi (Sinetron, telenovela, musik) hal itu mungkin tidak berimbas pada masalah lain yang lebih besar. Minimal penonton sudah sadar bahwa itu hanya bohong-bohongan belaka. Namun prinsip ini bisa menimbulkan masalah apabila kita melihat tayangan infotainment dimana terselip prinsip jurnalistik di dalamnya. Dalam tayangan infotainment yang logikanya adalah penerapan keahlian jurnalistik, ternyata harus berhadapan dengan kebutuhan informasi yang cepat, bombastis, dan kontroversial yang ternyata mampu mengangkat rating tayangan tersebut. Bagaimana mungkin prinsip keakuratan dan prinsip balances pada diri wartawan terdistorsi oleh pemenuhan kebutuhan informasi kontroversial atas diri audiens ?

Logika media massa sebagai sebuah insitusi ekonomi menjadi dasar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam sebuah bukunya tentang sembilan elemen jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) memaparkan bahwa salah satu orientasi membuat program televisi adalah bagaimana agar penonton senang, dan tentu saja diupayakan membuat program itu semurah mungkin. Inilah yang menurut mereka menjadi embrio “jurnalisme semu”. Sejarah telah mencatat kasus Chris Matthews dan Cody Shearer saat affair Bill Clinton-Monica Lewinsky tengah menjadi sorotan publik media Amerika, sebagai kasus yang dipicu oleh gaya jurnalisme semu tersebut.[2] Dengan realitas munculnya program-program talks show yang banyak ditayangkan beberapa stasiun televisi, Kovack dan Rosenstiel bermaksud mengatakan bahwa “talk is cheap” (ngobrol itu murah !), sedangkan untuk membangun infrastruktur reportasi yang mendalam sebuah media bukan saja harus menggaji puluhan bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasional mereka. Belum lagi kalau media bersangkutan bermaksud membuka biro-biro baik di dalam maupun dil uar negeri. Atas dasar itulah maka program yang cuma menghadirkan sosok pembicara (entah itu artis, tokoh politik, budayawan, atau bahkan paranormal) itu menurut Andreas Harsono jauh lebih murah ketimbang melakukan reportasi serius (Pantau, 20 Desember 2001). Pada titik inilah kepentingan media yang mensyahkan prinsip ekonomis dan efisiensi untuk membuat program infotainment bertemu dengan kepentingan audiens yang berhasrat untuk melihat program berita yang aktual, bombastis, dan “lain dari pada yang lain”.


AUDIENS YANG PENAT : STIMULUS JURNALISME SEMU

Barangkali manusia yang cukup beruntung saat menyingkap selubung dunia malam dan mendapatkan respon positif adalah si Moammar Emka. Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 30 tahun lalu ini adalah jebolan IAIN Jakarta, yang bukunya berhasil mencetak best seller, sekaligus melambungkan namanya. Buku Jakarta Undercover : Sex ‘n the city laku keras di pasaran, kemudian dilanjutkan dengan seri 2 Jakarta Undercover : Karnaval Malam. Saya tidak bermaksud mengungkap lagi apa isi buku tersebut, namun proses Emka untuk mendapatkan bahan ceritanya adalah sebuah perjalanan panjang kehidupan seorang wartawan. Ia melakukan investigasi hampir setiap malam, menelusuri lorong-lorong kehidupan malam di Jakarta, mengingat-ingatnya (kadang juga larut di dalamnya), lalu kemudian menuliskannya dengan imaji seorang wartawan. Jadilah rangkaian buku yang sangat provokatif, bahkan nyaris seperti peta dan penunjuk jalan (sex-guide-tour) bagi seseorang yang bermaksud menikmati dunia malam. Salah seorang Profesor dari Fakultas Ilmu Psikologi UGM mengatakan andaikata seluruh kerja Moammar Emka adalah sebuah penelitian ilmiah, maka tidak terbayangkan berapa uang yang akan dihabiskan untuk membiayai risetnya.

Kontroversi-pun kemudian muncul. Ada pihak yang menuduh Emka lebih banyak menggunakan fantasi dan daya khayalnya dalam bercerita, sambil mengkhawatirkan buku itu akan berdampak negatif pada masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap buku itu sebuah revolusi mendobrak persepsi masyarakat Indonesia yang masih menganggap kehidupan seksual manusia sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Terlepas dari terbukti atau tidaknya segala kekhawatiran itu, buku itu kemudian menjadi embrio lahirnya program-program televisi yang fokus mengangkat kehidupan “dunia malam”. Sekadar menyebut contoh kita bisa menikmati tontonan tari telanjang (meskipun dengan gambar yang dikaburkan dan disamarkan) dalam tayangan Fenomena, Hot, Sisi lain, Cakrawala Malam, atau Fenomena Plus, yang ditayangkan rata-rata di atas jam 23.30 WIB. Seluruh tayangan itu masih tetap eksis karena ratingnya di atas rata-rata sehingga tetap dipertahankan. Kecaman dan protes-pun mengalir atas tayangan tersebut, namun disisi lain peminat dan penonton setia tayangan itupun tetap ada. Inilah wajah audiens Indonesia.

Buku dan tayangan yang digambarkan di atas seluruhnya boleh dikatakan hasil investigasi wartawan. Artinya seluruh proses kerja penggarapan cerita dan tayangan di atas adalah kegiatan jurnalistik. Wartawan bekerja dengan mengikuti prinsip dan kaidah jurnalistik dalam menghadirkan nara sumber, mengambil gambar, dan melakukan proses editing ketat atas program mereka. Mereka telah menghadirkan informasi (baca : cerita) yang lain dari biasanya. Tentu saja kita tidak bisa menghakimi segala upaya insan jurnalis ini sebagai provokator menuju pada sosialisasi nilai free sex dan istilah negatif lainnya. Kita bisa menyaksikan kesungguhan dan semangat profesionalisme itu dalam dunia cetak. Tengoklah apa yang dikatakan Pemimpin Umum Tabloid Metropolis[3] saat memberi pengantar redaksi pada edisi ke 6 tabloid tersebut :

“Tidak ada kata istirahat bagi kami untuk terus berkarya dan berinovasi dalam membangun METROPOLIS yang sangat kita cintai ini ….. meskipun masih bayi … kami talah melakukan perubahan dalam menyajikan berita. Pembenahan yang kami lakukan ini, merupakan pemikiran kami bersama untuk benar-benar menampilkan sesuatu yang lain dari yang telah ada.”
(Tabloid Metropolis Edisi 06/Tahun1/ Rabu 07 – 13 September 2005)

Metropolis adalah sebuah tabloid yang menyajikan “kenakalan” sebagai barang dagangan. Nakal dalam menyajikan berita bisa dimaknai sebagai sebuah upaya investigasi untuk “bergerilya” ala Moammar Emka untuk menyajikan sudut remang-remang dunia sex di seluruh pelosok Indonesia. Pola ini bisa kita temukan pada tabloid-tabloid dengan nama beragam di pinggir jalan seperti Lipstik, Exotica, Top, On-Air, Lelaki, dan lain sebagainya. Bisa jadi “kenakalan” itu adalah sebuah upaya mencari ceruk pasar (selling point) untuk menciptakan keuntungan dengan menghamba pada politik dagang. Tawaran menghadirkan “kenakalan” itu sendiri hadir ditengah-tengah berbagai media cetak lain yang mengusung berita-berita politik dan ekonomi yang rumit, informasi situasi sosial yang semakin anti-sosial, dan perang opini pihak-pihak yang bermain politis. Ditengah-tengah situasi frustrasi mengikuti perkembangan situasi ekonomi dan kondisi politik yang semakin tidak pasti, maka kehadiran tabloid dan majalah yang ”nakal” menjadi tawaran tersendiri yang menyulut antusiasme pasar. Seperti surat pembaca yang dimuat di tabloid Metropolis berikut ini :
“Ternyata Metropolis lain dari pada yang lain, investigasinya full aktual. Cepat dan akurat. Foto-fotonya juga tajam. Berita-beritanya oke punya, apalagi di edisi lima, makin berani……. Terus pertahankan konsep ini. Terutama informasi-informasi seputar kehidupan malam kota Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, kalau perlu seluruh Indonesia…. “
(Surat Pembaca dari Alfin Winata, Bekasi, Jawa Barat)

Antusiasme audiens ini bisa jadi muncul sebagai sebuah bentuk pemberontakan atas situasi ekonomi politik Indonesia yang hanya memunculkan berita-berita kebohongan dan sandiwara di mana-mana. Membaca Kompas akan menemukan politik retorika pemerintah yang tidak pernah mampu membuktikan segala omongannya, membaca Republika kita hanya disodori tentang argumen-argumen para ahli analisis, dan tokoh politik yang saling berdebat mengusung ideologi dan pendapatnya masing-masing. Muncul kebosanan akan informasi yang hanya berbau politik dan intrik kepentingan berbagai pihak. Bentuk kebosanan ini mungkin jarang diungkapkan secara langsung oleh masyarakat, namun paling tidak satu surat pembaca yang masuk ke redaksi Exotica yang dimuat di edisi 87, th. II, 15 – 21 Juni 2005 berikut ini bisa sedikit memberi gambaran tentang kebosanan dan pemberontakan tersebut :
“Setelah melihat Tabloid Exo edisi 85, saya merasa puas karena saran saya mengenai tampilan untuk model cover Exo mendapat respon serta perbaikan dari pihak Exo. Dan secara jujur sebagai pembaca setia, saya salut dan bangga dengan tabloid ini, sekali diberikan kritik dan saran diterima dan ditanggapi dengan baik, tidak seperti pejabat tinggi pemerintahan yang sering dikritik tetapi tidak pernah ada sedikitpun sikap untuk memperbaikinya.”
(Surat pembaca dari Dede Lukman, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat)

Menyambut stimulus berupa kebosanan dan semangat pemberontakan audiens inilah kemudian muncul “ide-ide cerdas” dari para pekerja jurnalistik untuk menghadirkan bentuk pemberitaan baru dengan berbagai bentuk (Majalah, Tabloid, Surat Kabar) yang pada akhirnya lebih banyak menonjolkan aspek kriminalitas, kekerasan, dan seksualitas. Pada bagian-bagian tertentu dari isi media tersebut dilakukan kegiatan investigasi wartawan yang isinya nyaris seperti penulisan cerpen semata yang diiringi dengan konstruksi berita atas dasar wawancara dengan sosok-sosok tertentu (yang nama dan tempatnya sudah begitu disamarkan sehingga sulit untuk dilakukan klarifikasi dan cek ulang). Uniknya kemudian audiens sama sekali tidak terlalu mempermasalahkan penyamaran lokasi dan nama tokoh dalam media tersebut. Mereka tetap membelinya. Sampai di titik ini sebenarnya tidak ada masalah sejauh kita mengikuti hukum ekonomi pasar bebas (invisible hand). Artinya hidup mati media-media “nakal” ini tergantung sepenuhnya dari respon pasar. Kalau tidak dibeli maka perusahaan penerbitannya akan gulug tikar, sebaliknya kalau pasar audiens membeli maka perusahaan akan untung besar. Namun prinsip bekerjanya mekanisme pasar ini kemudian bercampur aduk dengan problematika etika dan isi media massa yang dianggap membawa nilai-nilai negatif bagi masyarakat. Pada tataran inilah kemudian permasalahan jurnalisme semu membawa-bawa negara (pemerintah) sebagai aktor yang (merasa) memiliki tanggung jawab atas kestabilan etika dan norma dalam masyarakat.

HUKUM MEDIA : KEPENTINGAN POLITIS PEMERINTAH ?

Maksud pemerintah dengan mengeluarkan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah dalam rangka memberikan kemerdekaan bagi dunia pers sebagai wujud kedaulatan rakyat. Ada jaminan atas kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 UUD 1945, yang menjadi roh UU tersebut. Disebutkan dengan jelas dalam salah satu konsideran UU No. 40 tersebut bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Begitu jelas bahwa apapun berita yang disajikan oleh pers (media cetak) pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Logika sederhananya adalah tingkat kebutuhan akan segala bentuk informasi itu (entah itu tentang politik, sosial, budaya, dan lain sebagainya) akan terukur melalui tinggi rendahnya oplag media bersangkutan. Masyarakat yang membutuhkan informasi bagi dirinya akan dengan sadar mengeluarkan uang untuk membeli majalah, tabloid, surat kabar, dalam rangka memuaskan rasa ingin tahunya. Sampai dititik ini sama sekali tidak ada kaitan antara kekuasaan negara (pemerintah) dan penyelenggara media untuk menegosiasikan permasalahan isi (content) media bersangkutan. Audiens butuh, mereka akan membeli. Audiens tidak butuh, mereka tidak akan rela mengeluarkan uangnya sepeser-pun untuk membeli majalah, tabloid, atau surat kabar. Undang-undang No. 14 tahun 1999 tentang Pers tidak secara spesifik mengatur tentang bagaimana muatan (content) media yang diperbolehkan pemerintah. Justru hal ini diatur dalam undang-undang lain yang lebih bersifat lex generalis, yakni Kita Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Ada beberapa bagian tentang isi media yang dengan tegas diatur dalam KUHP, seperti larangan pers menyebarkan pornografi (pasal 282 KUHP), penghinaan agama, penyerangan kehormatan seseorang (pasal 310 KUHP), fitnah (pasal 314 KUHP), penghasutan (pasal 160 KUHP), dan sebagainya. Prinsip diterapkannya perangkat hukum lain dalam permasalahan pers menurut Ernanto Soedarno adalah dalam rangka mengontrol agar kebebasan pers tidak disalahgunakan secara anarki, sehingga merugikan pihak lain (Jawapos.com, 22 Desember 2004). Dalam koridor hukum inilah terjadi ambivalensi sikap dari para pengelola media sendiri dalam menerapkan aturan atas diri mereka. Kita tentu masih ingat kuatnya tuntutan kaum media agar pengadilan menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 sebagai landasan hukum saat pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pidana penjara satu tahun terhadap pemimpin redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti terkait dengan kasus pencemaran nama baik Tommy Winata. Menurut kaum pers, penerapan KUHP dalam proses pengadilan itu telah melanggar esensi UU Pers yang selama ini menjadi dasar bergerak dan hidup matinya pers. Namun disisi lain nampak terjadi inkonsistensi saat terjadi kasus pidana yang menimpa Harian Radar Jogja (Jawa Pos Group) yang diadukan Pemimpin Umum Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta, Soemadi Wonohito, yang menuntut harian itu karena telah mencemarkan nama baiknya dengan berazaskan KUHP (Jawa Pos, 16 Desember 2004). Di satu sisi ada upaya keras untuk menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 sebagai dasar hukum, sementara di sisi lain ada pengabaian atas landasan itu. Jadi nuansa yang muncul dalam koridor penggunaan hukum ini adalah aspek kepentingan. Bukan hukum yang berada di atas kepentingan, melainkan sebaliknya : hukum “diutak-atik” agar bisa memuluskan kepentingan. Bicara tentang kepentingan, maka negara (pemerintah) sebagai sosok pengatur sendiri memiliki kepentingan. Dan inilah alasannya mengapa setiap pemerintahan Indonesia memiliki pola kurang lebih sama dalam menjalankan UU tentang media massa.

Seperti yang diungkapkan Agus Sopian (Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2004) bahwa sepanjang sejarah berkuasanya pemerintahan, maka pemerintahan saat inipun tidak jauh berbeda dengan gaya pemerintah sebelumnya : membiarkan pers mengatasi sendiri masalahnya. UU No. 40/1999 tentang Pers memang memberikan ruang yang memadai bagi pers untuk menyatakan kemerdekaannya, namun ruang ini bisa dikatakan tanpa perlindungan memadai.Terbukti bahwa alih-alih melindungi institusi pers dengan segenap hati, pemerintah membiarkan berlakunya pasal-pasal pemidanaan terhadap insan pers. Akibat tiadanya perlindungan memadai ini, malanglah nasib Karim Paputungan (Rakyat Merdeka) yang divonis lima bulan karena dianggap bersalah menista Akbar Tandjung, harap-harap cemas juga pernah dialami redaktur Tengku Iskandar dan Ahmad Taufik (Tempo) yang pernah diancam dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Dalam realitas penerapan hukum yang sangat sarat dengan kepentingan politis negara dan pemerintah seperti saat ini, maka tidaklah layak untuk berharap terlalu banyak dengan segala UU yang ada. Pernyataan seorang tokoh tentang bergunanya “hukum rimba mekanisme pasar” untuk mengatur isi dan kehidupan media mungkin lebih bisa kita nikmati hari ini dan hari-hari selanjutnya. Bagaimana pendapat Saudara ?

REFERENSI

Albarban, Alan B., (1996). Media Economics : Understanding Markets, Industries, and Concepts, Iowa State University Press, Ames, Iowa.

Bagdikian, Ben. H., (1992). The Media Monopoly, Fourth Edition, Beacon Press, Boston.

Broder, David S., (1996). Berita Di Balik Berita, Penerjemah Lilian Tedjasudhana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel,.(2004). Elemen-Elemen Jurnalisme : Apa yang seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik, Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta.

McQuail, Denis., (2000). McQuail’s Mass Communication Theory, Fourth Edition, Sage Publication, London.

Mosco, Vincent., (1998). The Political Economy of Communication : Rethinking and Renewal, Sage Publications, London.

[1] Saat ini di Indonesia tercatat ada 25 stasiun televisi (termasuk stasiun televisi daerah dan tv kabel), ditambah sekitar 1.500 bahkan hingga 2.000-an penerbitan media cetak. Ini berimbas pada penambahan jumlah wartawan, dari sekitar 6000 pada tahun 1998 menjadi sekitar 20.000 pada tahun 2004. Artinya dalam kurun waktu lima atau enam tahun telah terjadi penambahan wartawan sedikitnya 14.000, dan sejumlah itulah mereka yang menggantungkan hidupnya pada industri media massa (Agus Sopian, Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2004).
[2] Chris Matthews adalah pemandu acara Hardball yang kemudian bersengketa dengan Cody Shearer setelah dalam tayangannya menghadirkan Kathleen Willey, seorang perempuan yang menyatakan bahwa Presiden Bill Clinton pernah menggarayanginya di Gedung Putih. Talk show ternyata mengarahkan perempuan itu untuk menyatakan bahwa ia menerima ancaman apabila berani membeberkan “aib presiden” tersebut. Sosok yang kemudian diidentifikasi dan diperkirakan melakukan teror atas dirinya itu adalah Cody Shearer. Matthews kemudian menjadikan rumor itu seoleh-olah fakta, dan akibatnya sehari kemudian hampir 100 telepon masuk ke rumah Shearer yang hampir semuanya mengancam membunuh atau melukainya secara fisik. Padahal rumor tentang keterlibatan Shearer sama sekali tidak terbukti.
[3] Metropolis adalah sebuah tabloid yang terbit sekitar awal Agustus 2005 dengan slogan “Leaure & entertainment” mengikuti jejak beberapa tabloid sukses lainnya seperti Lipstik, Exotica, Top, On-Air, dan Lelaki. Nilai jual tabloid-tabloid ini lebih pada pengungkapan aspek sensualitas, dan sex-guide-tour.

Selasa, 02 Desember 2008

Tipisnya Batas Malu dan Arogansi

PARADOKS KE-IBLIS-AN

“Dihadapan yang Maha Pengasih,
adalah sebuah dosa untuk sampai merasa
putus asa terhadap pengampunan-Nya”

Semua orang tahu bahwa Iblis adalah makhluk Tuhan yang dengan segala kemurkaan-Nya diusir dan dikutuk sepanjang zaman. Semua kitab agama selalu memiliki konsep hal ikhwal awal keterusiran manusia dari surga karena godaan Iblis. Ikrar Iblis untuk menggoda itu sendiri bermuasal dari rasa keki dia setelah dikutuk oleh Tuhan. Kuatnya godaan Iblis pula yang membuat Adam dan Hawa ternyata harus bernasib sama seperti Iblis : terusir dari surga atau nirwana. Namun apakah hanya sebatas itu pemahaman kita ? rasa-rasanya terlalu naif untuk menerima mentah-mentah seluruh cerita dari kitab suci agama-agama samawi itu. Marilah kita mencoba untuk membayangkan konteks peristiwa ketika Adam dibulatkan oleh Tuhan dan saat mana para makhluk ciptaan-Nya diminta untuk sujud pada Adam. Pertanyaan sederhana adalah : mengapa Tuhan dengan sangat tegas meminta seluruh ciptaanya saat itu untuk sujud kepada makhluk baru ciptaan-Nya sendiri ? bukankah jauh sebelum itu Tuhan telah memerintahkan seluruh makhluk hanya tunduk dan sujud hanya kepada-Nya saja ? apakah manusia dianggap Tuhan begitu mulianya sehingga layak disembah seluruh makhluk seperti halnya mereka menyembah kepada sang maha pencipta ? layakkah kita alamatkan sebuah ungkapan inkonsistensi atas diri Tuhan sendiri ketika memerintahkan itu ?

Dalam buku semi fiksinya, The Madness of God (2004), yang di terjemahkan dengan judul Iblis Menggugat Tuhan (2005), Shawni memberikan gambaran betapa Iblis dengan sangat lantang mengatakan bahwa semua peristiwa kejadian yang diceritakan dalam surah Al-Baqarah, Al Hijr, dan Q.S Al Kahfi tentang proses penciptaan manusia dan ihwal pembangkangannya pada Tuhan, adalah semata-mata by design (sesuai skenario) Tuhan sang maestro itu sendiri ! terungkap bahwa sejak awal sebenarnya Tuhan sudah akan menempatkan manusia di bumi sebagai khalifah, sehingga tidak ada alasan Adam dan Hawa harus berlama-lama di surga. Q.S Al-Baqarah 30 menyatakan bahwa jauh sebelum Adam dibulatkan, Tuhan sudah berkata kepada para malaikat, “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” nah … kita renungkan dulu ayat ini ! tidak pernah sekalipun Tuhan mengatakan bahwa Adam (dan mungkin Hawa serta anak kerurunannya kelak) diciptakan untuk mendiami surga. Tidak sekalipun ……! sejak semula kita seluruh umat manusia ini sudah di desain untuk hidup di dunia, dimuka bumi. Jadi kalaupun manusia Adam itu harus berada dulu di surga dan bersenang-senang disana, maka itu hanyalah sebatas transit semata. Artinya bagaikan pesawat yang berada di bandara transito, hanya singgah sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan terbang kembali menuju bandara tujuan akhir. Adam dan Hawa pun Cuma singgah sebentar di surga untuk kemudian harus diturunkan ke bumi, sesuai dengan desain Tuhan tadi. Namun sangatlah tidak mungkin untuk menurunkan Adam dan Hawa dari surga ke bumi tanpa sebuah alasan yang kuat, yang pada intinya nanti akan membuat seluruh makhluk meragukan konsistensi Tuhan. Pada titik inilah desain godaan Iblis menemukan relevansinya. Artinya harus ada sosok penggoda yang akan menjerumuskan Adam dan Hawa, agar Tuhan punya argumen dan reasoning yang kuat untuk mengusir mereka dari surga, hal yang sama juga telah dilakukan untuk mengusir Iblis dari surga. Jadilah perlu sebuah drama pembangkangan dari Iblis atas diri Adam yang menyisakan dendam hingga akhir zaman. Iblis tak akan berani marah pada Tuhan (demikian kata Shawni !). Segala kemarahan dia tumpahkan pada manusia. Jadi drama pembuka pembangkangan Iblis adalah sebuah fragmen awal dan pengantar untuk masuk pada bagian skenario selanjutnya yakni : kemampuan menggoda Iblis atas diri Hawa yang kemudian menjerumuskan Adam melanggar perintah Tuhan. Padahal logika sederhana saja cukup mampu mementahkan cerita konteks penggodaan itu.

Saat itu Adam dan Hawa berada di taman surga, yang tentu saja sudah demikian steril dari keberadaan Iblis. Asal tahu saja Iblis sudah terlebih dahulu dilaknat dan dikutuk Tuhan, sehingga tidak mungkin doi masih berleha-leha ada di dalam surga. Jadi setelah kutukan , logikanya Iblis sudah tidak mungkin lagi berada di surga. Dalam koridor berpikir inilah kemudian menjadi sangat aneh ketika Iblis bisa mendekati dan membujuk Hawa untuk memakan “buah pengetahuan” yang otomatis melanggar perintah Tuhan. Lha wong mereka berdua berada di surga, dan Iblis tak akan bisa masuk ke sana ! jadi kalaupun rayuan itu mampu menembus diri Adam dan Hawa berarti mereka saat itu sama sekali tidak terjaga, bahkan akal mereka sendiri tidak mampu mereka gunakan. Padahal saat itu akal telah dianugerahkan oleh Tuhan. Jadi sangatlah jelas bahwa terdapat kemungkinan bahwa saat godaan datang itu mereka berdua (Adam dan Hawa) sudah tidak lagi berada di surga, melainkan di bumi. Kalau paham ini salah, maka sungguh Iblis menjadi makhluk paling beruntung. Setelah dikutuk oleh Tuhan, toh dia bisa saja dengan santainya keluar masuk surga, bahkan hanya untuk misi khusus dan maha penting, menggoda Adam dan Hawa ? emangnya Iblis kurang kerjaan ? seperti yang dipaparkan Shawni, sesungguhnya tidak ada satupun momen dalam fakta penciptaan itu yang tidak diketahui oleh Tuhan. Tepatlah pengakuan Iblis bahwa dirinya memang direncanakan oleh Tuhan untuk membangkang sujud pada Adam, dan menjadi bagian sebuah teori konspirasi besar dalam proses kehidupan manusia sepanjang zaman. Apakah kita mampu membayangkan betapa kagetnya Tuhan saat tiba-tiba Iblis tidak mau sujud pada Adam ketika itu ? tentu saja Tuhan tidak akan kaget karena : “sesungguhnya Dia mengetahui apa yang tidak kalian ketahui !” (QS. Al-Baqarah : 30). Jadi … dengan demikian seluruh proses pembangkangan Iblis, penggodaan pertama Iblis, dan keterusiran Adam dan Hawa ke bumi sesungguhnya sebuah konspirasi tingkat tinggi antara Iblis dan Tuhan yang pada intinya membuktikan kemaha Kuasaan Tuhan itu sendiri. Inilah yang disebut by design oleh Shawni !

Tentu saja cerita Shawni tidak berakhir disitu. Pada bagian akhir novelnya, dia menutup dengan sebuah (mungkin rangkaian cerita) betapa pembelaan diri Iblis tidak bisa ditolerir sedikitpun. Iblis sudah jelas makhluk pendusta. Pintar memutarbalikkan fakta dan realita. Kesimpulan Shawni adalah bahwa seluruh cerita Iblis itu hanyalah bualan belaka. Meskipun bualan itu nampak sangat masuk akal, namun hendaknya manusia harus tetap waspada dan terus berhati-hati. Diceritakannya bagaimana seorang pemuda yang jatuh cinta setengah mati terhadap ratu Balqis harus menerima kekalahan ketika dia tidak bisa lagi membedakan mana sosok Balqis dan mana sosok perempuan lain dengan wajah jelek yang tidak lain adalah Balqis itu sendiri. Maksudnya semua skenario yang dibuat Balqis memang sengaja untuk membuat sang pemuda teruji dengan sangat seberapa besar cintanya. Ternyata pemuda itu mencintai Balqis bukan untuk mendapatkan Balqis, namun untuk memenuhi hasrat egonya sendiri. Hanya untuk kepuasan dirinya sendiri. Inilah misteri yang tidak terpahami oleh Iblis. Novel yang sangat menarik, karena pemahaman yang keliru sedikit saja akan membuat kita terjebak pada propaganda sang Iblis. Namun setelah saya membaca novel ini, saya bisa menarik konklusi. Selain merupakan makhluk Tuhan yang pintar luar biasa (jadi terasa aneh kalau Tuhan memproklamirkan hanya manusia yang memiliki akal, memangnya Iblis tak punya akal untuk memperdaya kita ?), Iblis juga sangat cerdas dan mampu memanfaatkan semua momen. Jadi sepertinya kita harus rendah diri mengakui bahwa akal yang diberikan kepada kita manusia mungkin saja tidak ada artinya dibanding dengan akal yang dimiliki sang Iblis.
Terima kasih Shawni …

Ambarawa, 11 Juni 2006

Rabu, 26 November 2008

ANTARA ELIENASI DAN HARGA DIRI

“Sepertinya seseorang hanya menikah satu kali saja sepanjang hidupnya.. ya mbak ..” kata-kata itu meluncur begitu saja saat aku mulai memindah porsneling mobil dari satu ke dua. Mobil berjalan lambat meninggalkan tempat merias calon pengantin. Aku baru saja menjalankan tugas mengantar rombongan perias pengantin pagi ini, 13 Maret 2005 waktu Ambarawa. Kota yang tenang meskipun tepat di salah satu sudut kecamatan ini terdapat area latihan dan penggemblengan tentara. Area latihan berujud lapangan yang selalu diramaikan oleh teriakan-teriakan satu atau dua kompi tentara yang berlatih setiap hari, namun tidak merubah kota ini dalam kerangka berpikirku sebagai kota yang tenang. Tak ada relasi historis antara aku dengan kota ini. Kota ini tak pernah aku simpan dalam memoriku, tak pernah kuucapkan dengan mulutku, tak pernah aku bayangkan akan kuinjak dengan kakiku. Namun apa yang terjadi hari ini membuatku tersenyum renyah saat menyadari perjalanan hidup manusia. Relasi aku dan kota ini dibingkai oleh perjalanan batin pencarian sebuah makna kehidupan.

Kota yang dahulu hanya aku kenal melalui buku-buku sejarah, terutama terkait dengan tugu Palagan Ambarawanya. Untuk beberapa waktu kemudian menjadi akrab dengan kehidupan hari-hariku setiap minggu. Semua berawal dari pilihan hidup untuk menikah dan beranak pinak (tentu saja meniru dan menuruti perjalanan normal sejarah ras manusia). Tanpa pernah aku impikan, satu tahun yang lalu aku telah menyunting gadis kota ini : Erni. Jadilah aku penduduk semi permanen kota ini, yang hanya berkunjung setiap weekend saja, menikmati liburan, menghindari rutinitas kehidupan kampusku yang padat dan melelahkan. Menurutku kota ini sangat cocok buat peristirahatan. Ditunjang dengan udara dinginnya, keramahan penduduknya, aneka macam masakan dan pengobatannya, betul-betul menjadi kota yang cocok bagi pensiunan dan para penikmat hari tua. Kutuliskan tipologi manusia terakhir itu tanpa pretensi bahwa aku akan menjadi seperti itu nantinya (he he he he ), kerena gambaran hari tua sama sekali tidak mau aku pikirkan untuk saat ini : aku masih tetap merasa muda, itulah alasannya !

“Kok begitu ? “ mbakyu paruh baya itu menukas : “Mengapa ?”
“Habiiss … !” aku tersenyum ”menikah menuntut ongkos begitu banyak !”
“iya ya mas … menikah itu emang kadang membuat orang mboross…”
“Terlalu banyak aturan dan tata krama yang harus dijalankan saat kita menikah… apalagi di Kalimantan sono mbak … wuahh .. muahal buanget ..” aku memindah porsneling tiga.
“tapi anehnya kita sering memaksa untuk membuat pestanya menjadi ramai .” mbakyu itu menimpali separuh membenarkan: “bahkan kalo perlu, ngutang aja berani kok ..”
Aku hanya tersenyum tanpa memberi jawaban. Sangat membenarkan kata-kata mbakyu tadi. Dia tidak mengecap pendidikan di sekolah tinggi, pendidikannya hanya sampai SMP. Bekerja lepas sebagai juru rias. Hari ini kebagian job bersama ibu mertuaku yang juga juru rias. Tadi dari tempat pengantin pria, tiba-tiba ibu mertuaku meminta tolong mengambil salah satu equipment yang tertinggal di rumah. Jadilah aku dan mbakyu ini harus kembali lagi ke rumah dan mengambil peralatan itu.
Suasana sunyi, hanya terdengar bunyi mesin mobil.
Mbakyu ini telah memotret sebuah realitas sosial yang berputar mengelilingi kita. Sebuah fenomena budaya yang kadung membuat sosok individu tidak berdaya menolak kekuatan masyarakat. Kali ini sosok manusia itu terjebak pada pola budaya dan tata krama yang bernama pernikahan.

Dahulu aku pernah membaca sebuah artikel di koran nasional. Isinya tentang bagaimana sebuah event organizer di Jakarta berupaya menghadirkan dan meramu beragam acara spektakuler untuk sebuah hajat bernama perkawinan. Mereka tentu saja mematok harga yang cukup membuat kita geleng-geleng kepala. Untuk sebuah upacara pernikahan yang menurut mereka sederhana saja, mereka menghabiskan paket 20 juta. Ada bahkan yang bisa mencapai ratusan juta. Semua hanya demi satu kata : prestis ! semua orang tiba-tiba terjerembab, terperangkap oleh satu kata : gengsi ! meskipun kemudian secara faktual kemampuan ekonomi mereka tidak cukup untuk menyandang biaya sebesar itu, namun bisa saja mereka memaksakan diri, mungkin juga dengan berutang. Lebih baik berutang dulu ketimbang malu karena tidak bisa membuat acara pernikahan yang spektakuler. Nikah dan perkawinan menjadi tidak lagi sekadar acara sakral, namun penuh dengan politisasi uang dan unjuk ego yang berkepanjangan.

Budaya ini tidak akan berhenti sepanjang zaman. Rasa malu, tertekan, tak mau dipandang remeh telah menjadi energi yang luar biasa membuat pesta pernikahan harus mengeluarkan banyak uang. Seseorang tidak mungkin mengelak untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Cobalah bayangkan : sejak kita mengurus surat-surat syarat nikah itu di RT dan Kelurahan, kita sudah harus mengeluarkan uang. Ketika harus mendaftarkan diri di KUA setempat sebagai calon suami dari calon istri kita, maka uang juga harus bicara. Inilah faktanya. Tak bersedia berdamai dengan sistem itu : urusan menjadi serba lambat. Sosok pribadi ini kemudian harus ikut dengan tata aturan dan kesepakatan tidak tertulis ini. Sebagai manusia individu, kita tak akan bisa melepaskan diri dari ikatan dan norma-norma sosial. Apa jadinya kalau sosok individu tidak mau ikut dalam pola dan alur permainan itu ? dia akan tersingkir dalam arti luas dari tata pergaulan masyarakat. Diomongkan tetangganya kanan-kiri, dicap pelit tidak mau mengeluarkan sedikit uang untuk hari bersejarahnya, dianggap tak tau pergaulan zaman sekarang, dan setumpuk cap lainnya yang akan menyudutkan dia secara sosial dan psikologis. Permasalahannya bukan lagi pada cap dan omongan miring itu tadi, namun lebih pada sebuah prinsip mendasar kedirian manusia : siapkah dia dengan segala prasangka negatif itu ? segelintir orang akan mampu bertahan dengan segala prasangka, namun ratusan bahkan ribuan orang akan menyerah terkapar dihantam oleh prasangka itu (masih ingat lagu “Kepala Dua” karya Ian Antono, dedengkotnya group musik Gong 2000 ?) Pada titik inilah aku teringat dengan konsep Alienasi – Karl Marx.

Konsep alienasi Marx datang dari pemahaman dia atas makna implisit yang tercermin dari perilaku menyembah berhala pada manusia masa lalu (Fromm, 2001 : 58 – 75). Seperti yang diutarakan Fromm bahwa ketika manusia menyembah berhala, maka sebenarnya ia semakin memberikan daya potensialnya kepada berhala itu. Kekuatan dirinya diberikan kepada berhala-berhala. Hal ini nampak dari perilaku menyerahkan kekuasaan penuh pada berhala untuk menangani hidupnya. Pada berhala-lah dia meminta, pada berhala-lah dia memohon, akhirnya berhala pulalah yang mensugesti dirinya untuk melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan perbuatan yang lain. Pada titik inilah kematian dan kekosongan telah melanda manusia. Lewat perilaku menyembah berhala, manusia telah mematikan dirinya. Marx mengutip ungkapan dalam kitab Perjanjian Lama : “mata yang mereka miliki tidak melihat, telinga yang mereka miliki tidak dapat mendengar” dan seterusnya. Semakin manusia memindahkan kekuasaannya pada berhala, semakin dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan semakin ia tergantung pada berhala, semakin sedikit bagian dari dirinya yang asli yang dapat diperolehnya. Berhala ini menurut Fromm bisa jadi berupa patung, negara, gereja, orang, atau kepemilikan.

Dalam pembicaraan dengan mbakyu tadi, berhala itu adalah sistem budaya pernikahan yang mengungkung setiap orang untuk tidak memiliki alternatif perbuatan lain, selain ikut dalam arus putaran sistem tersebut. Sejak acara pinang meminang, setiap orang sudah terjebak pada seremonial dan tata cara yang menjadi konsensus bersama, dan tidak boleh dilanggar (tanpa sebab dan alasan yang masuk akal), semua berbalut dengan mitos dan dongeng yang menyejukkan hati pasangan calon suami istri, dan handai taulan. Ada nilai kesakralan yang ditempelkan pada setiap titik seremonial pinang meminang dan pernikahan. Pada titik inilah terjadi pembalikan logika antara area profan dan area kesakralan yang tidak lagi berjalan seperti fenomena kehidupan lain dalam kehidupan manusia. Perjalanan manusia dalam memaknai “keberadaan” sepanjang sejarahnya selalu berayun bolak-balik antara bandul profan dan sakral (Eliade, 2002). Sholat sebagai salah satu manifestasi kehidupan keagamaan pada titik dan waktu tertentu bisa dimaknai dalam koridor kesakralan (menangis khusyu ditengah malam saat ketakutan atas azab dan siksa neraka), namun pada titik lain menjadi sesuatu yang sangat profan sifatnya (melenggang ke masjid dengan pakaian serba baru dan perhiasan emas yang berlebihan karat untuk diperlihatkan kepada jamaah lainnya). Hal demikian terjadi pula dalam sisi lain kehidupan : sex, makan, minum, dan sebagainya. Banyak yang semula dianggap sakral berubah menjadi profan saja. Namun dalam kasus pernikahan, nampaknya terjadi pergeseran antara upaya pemaknaan profan menjadi sebuah upaya menggeser pemaknaan itu menjadi sakral. Logika dari Mircea Eliade (2002) bisa digunakan sebagai pisau bedah dalam menganalisis fenomena ini.

Antara Sakral dan Profan : Kemana Bandul Berayun ?
Sebenarnya buku Eliade tidak bercerita tentang konteks perkawinan secara langsung (bahkan sangat jauh dari dunia kawin mengawin itu), namun ide dasar dia tentang pemahaman manusia atas dunia melalui agama bisa dijadikan dasar pijakan untuk menganalisis fenomena gemerlapnya pesta perkawinan. Eliade tentu dengan ikhlas memperbolehkan hal itu. Apalagi dengan mengamati rangkaian kalimatnya untuk memulai analisis atas pengalaman beragama umat manusia. Eliade menandaskan bahwa bukunya tidak akan membahas berbagai variasi pengalaman religius tentang dunia yang pernah ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Hal ini menjadi jelas, bahwa ada konteks sosial budaya, sejarah, dan organisasi sosial yang membuat area pemaknaan manusia berbeda satu sama lain atas sebuah fenomena seragam. Seperti ilustrasinya dalam melihat pemujaan pada Ibu Bumi pada masyarakat agrikultur yang tidak pernah bisa disamakan maknanya dalam konteks pemburuan masyarakat pra-agrikultur. Namun menurut Eliade tetap saja kita temukan kemiripan perilaku antara pemburu nomaden itu dengan petani yang menetap ketimbang membesar-besarkan perbedaan mereka : keduanya hidup dalam kosmos yang disakralisasikan, keduanya sama-sama berada dalam kesakralan kosmik yang mewujud secara sejajar dalam dunia hewan maupun tumbuhan (jadi ingat buku Totem dan Taboo karya Sigmund Freud ya ….!).

Atas ijin implisit Eliade itulah saya mengantar ingatan pada sebuah artikel lagi di koran langganan saya tentang upaya menjadikan pesta perkawinan sebagai sesuatu yang sakral. Artikel dikoran itu menceritakan bagaimana sebuah adat perkawinan Jawa mengharuskan adanya 12 prosesi ritual yang dilakukan dalam sebuah pesta perkawinan. Sejak dimulai dari tebus pisang sanggan dan kembar mayang hingga prosesi terakhir berupa ngolorot manten, semuanya memiliki nilai dan makna simbolis yang bermuara pada satu keyakinan : menyatukan cinta laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan hukum dan batin (Kompas, 29 Maret 2005). Semua makna simbolik itu dibangun dan dibudayakan sedemikian rupa guna mancapai nilai sakralitas bagi mereka yang terlibat dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalam budaya jawa sendiri, seluruh proses itu berimplikasi pada pengontrolan oleh sebuah sistem nilai yang diiringi oleh perenungan, dan bahkan sangsi moral. Bagaimana tidak, jantung sang mempelai bisa saja berdetak keras setiap kali melangkahkan kaki dengan diiringi suara gemelan dan petatah-petitih dari sosok pramuwicara. Berjalan menjadi tidak biasa, langkah kaki terasa berat, sadar bahwa saat itu dia disaksikan orang banyak, berikrar yang ditangkap oleh telinga banyak orang, semuanya menimbulkan makna sakral dan unik bagi dirinya. Dalam hati dia mengguman : masak dengan segala tetek bengek ini aku mau sembarangan nanti saat menjalani rumah tangga. Timbul niat dan tekat kuat menjaga perkawinan, tentu saja terutama takut karena malu atas kecaman banyak orang sebagai saksi hidup. Bayangkan saja kalau menikah dan prosesi perkawinan itu sama sekali tidak disaksikan orang lain, tentu lain suasana batinnya (maaf premis ini bukan bermaksud menyimpulkan bahwa perkawinan yang hanya disertai akad nikah doang menjadi kurang nilai sakralnya). Pencapaian nilai sakral inilah yang menurut saya telah menggeser nilai profan yang pada dasarnya menjadi landasan perkawinan. Pertanyaan utama dari pandangan ini adalah konteks sejarah perkawinan pertama manusia setelah “terlempar” ke bumi.

Apakah kita bisa memberikan jawaban atas pertanyaan : apakah Adam dan Hawa dulu juga menikah ? kalau menikah, siapa yang menjadi walinya, siapa pula yang menjadi penghulu atau pendetanya ? kalau kemudian kita merasa yakin bahwa dorongan seks adalah suatu insting hewani yang berada dalam tubuh manusia, dan menjadi pendorong manusia untuk melakukan persetubuhan (tentu saja untuk mendapatkan keturunan), maka kita akan sampai pada kesimpulan : Tuhan sama sekali tidak melakukan intervensi saat kali pertama Adam menyetubuhi Hawa ! mereka berdua melakukannya atas dasar fungsi melanggengkan keturunan semata, tanpa pernah berpikir tentang ritual, nilai simbolik, bahkan tata cara berpakaian dan prosesi segala macam untuk mensyahkan persetubuhan itu. Artinya saya bermaksud mengatakan bahwa perkawinan dan pernikahan (dalam hal ini secara teknis : persetubuhan) dilakukan dalam koridor sistem fungsi. Di sana tak ada nilai sakral sama sekali. Jadi secara bergurau, salah seorang teman saya di kantor mengatakan bahwa tradisi kumpul kebo pada diri manusia telah dimulai sejak Adam dan Hawa melakukan persetubuhan dan tinggal bersama tanpa ikatan apa-apa, selain bahu membahu memproduksi anak sebanyak-banyaknya ! lha .. terus apa beda mereka berdua dengan Sophia Latjuba dan teman kumpul kebo bule-nya itu ?

Tenang … tenang …. Pertanyaan terakhir itu tadi nampaknya muncul dari rasa cemburu teman saya yang berlebihan terhadap selingkuhan si Sophia Latjuba, karena memang dia tidak pernah mungkin menjadi pacar si Sophi (he he he he). Tapi okelah kembali pada masalah nilai sakral dan nilai profan sebuah perkawinan, sejak dulu memang sama sekali tidak ada penjelasan tentang sakralitas nilai perkawinan, bahkan dahulu laki-laki suku oborijin dan masyarakat masa lalu bisa menjawil lengan seorang perempuan untuk kemudian mengajaknya melakukan hubungan seks tanpa ada ikatan apa-apa. Kesuburan produksi dan beranak pinak menjadi fokus hubungan seks itu, tanpa harus diembel-embeli dengan beragam pernak-pernik kesakralan. Sehingga kalaupun kemudian kedua pasangan yang ketika menikah direkatkan dengan seratus prosesi sekalipun, pada akhirnya toh dengan alasan rasionalitas bisa saja tersenyum saat bersepakat memutuskan tali pernikahan mereka. Mereka telah kembali pada titik awal sejarah perkawinan : semua dilakukan atas sistem fungsi yang profan, dan sangat jauh dari nilai kesakralan. Tentu saja apabila saya menjelaskan berpanjang lebar seperti ini, mbakyu yang menumpang di sampingku pagi ini, tidak akan bisa memahami. Yah … memang dia tidak perlu mengerti kompleksnya dunia. Seperti juga diri saya yang tidak pernah bisa mengerti tentang apa makna dan orientasi berputarnya waktu dan dunia. Seperti halnya saya, dia hanya dipersilahkan menjalani dan mematuhi apa yang sudah terjadi …. Bahkan secara tak sadar telah menggantungkan nafkah hidupnya dari energi sakralitas yang dengan kuat berupaya dibangun dalam sebuah ritual hidup yang bernama perkawinan.
Aku hanya bisa menghela napas panjang.
Ambarawa tetap tenang, meskipun mobilku telah melewati sepasukan tentara yang berbaris dan bernyanyi riang, berisik memang….., namun tetap tak mengganggu indra pendengaran.

Ambarawa, Maret 2005

Bibliorafi
Fromm, Erich, (2001). Konsep Manusia Menurut Marx, Penerjemah Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Pruitt, Dean G., dan Jeffrey Z. Rubin, (2004). Teori Konflik Sosial, Penerjemah Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Maalouf, Amin, (2004). In The Name of Identity, penerjemah Ronny Agustinus, Resist Book, Yogyakarta.

Eliade, Mircea, (2002). Sakral dan Profan : Menyingkap Hakekat Agama, Penerjemah Nuwanto, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.