Jumat, 17 April 2009

Televisi Indonesia : Determinisme atau Pluralisme ?

“Itulah teknik kendali ….
Jika Anda duduk sendirian di depan tabung televisi,
Maka ia tak peduli banyak hal yang Anda pikirkan !”
(Chomsky, 14 September 1993)


Perdebatan tentang efek dan pengaruh media televisi terhadap ruang moral dan standar perilaku masyarakat hingga hari ini, telah membuktikan kepada kita tentang betapa peliknya dunia penyiaran di negara ini. Mengapa demikian ? karena ujung-ujungnya bermuara pada masalah peraturan dengan negara sebagai pemangku kekuasaan. Pembicaraan otomatis akan memandu kita pada dunia penyiaran. Pelik dan kompleksitas dunia penyiaran itu kemudian berujung pada posisi dilematis yang akan diemban oleh KPI periode 2007-2010. Di satu sisi KPI harus tetap pada jalur awal untuk menjadi ”watch dog” seluruh materi dan proses tayang broadcast, dan ini membutuhkan sebuah ketegasan sikap seperti yang dipaparkan Ade Armando (AA). Namun di sisi lain KPI juga harus mengerti tentang betapa keras dan dinamisnya sisi industri yang menjadi ekosistem dunia pertelevisian di Indonesia, seperti harapan Ishadi SK (ISK), sang Direktur Utama TransTV, Perbedaan ini tidak hanya semata-mata problem status siaran sebuah stasiun televisi seperti yang diangkat oleh AA (Nasional atau lokal ?) yang lebih bersifat geografis, melainkan sesungguhnya lebih prinsipil pada roh yang menjadi fondasi sikap kita akan kebergunaan televisi. Sikap yang berawal dari dua paham dasar dalam melihat relasi televisi dan masyarakat, yakni Determinisme dan Pluralisme. Tulisan berikut ini mencoba mengelaborasi dinamika dua konsep tersebut.

Ketidakakuran Determinisme versus Pluralisme

Televisi pada satu sisi memang dianggap ”biang kerok” dari menjalarnya pola hidup konsumerisme. Televisi adalah faktor utama munculnya budaya kekerasan, kebebasan seksual, dan dekadensi moral dalam masyarakat. Dia bagai ”hantu” dan ”monster” yang menakutkan bagi banyak orang tua entah itu di Amerika, Eropa, bahkan di seluruh belahan dunia. Semua anggapan ini muncul karena kita menganggap televisi adalah faktor determinan dalam menentukan sisi kognitif, afektif, dan behavior manusia. Paham Determinisme seperti ini, seperti yang dikatakan Graeme Burton (Talking Television : An Introduction to The Study Talk Television, 2000) berawal dari gagasan Marxis yang dikuatkan oleh Mazhab Frankfurt, membuat televisi sebagai kekuatan nyata dalam masyarakat. Fakta memang menunjukkan hal tersebut. Dia adalah media pembentuk kesadaran palsu. Kekuatan pembawa pesan secara massif yang membuat masyarakat hanyalah sebuah hamparan meja tabula rasa yang siap dibentuk oleh televisi. Televisi begitu berbahaya. Dia membuat kita gemar berbelanja dengan ribuan iklan sehari semalam, dan membuat kita percaya dukun dan ulama adalah ”segalanya” ketika terlalu sering menyaksikan Hidayah, Rahasia Illahi, Misteri Dua Dunia, dan program misteri lainnya.

Sementara itu paham Pluralisme sama sekali tidak melihat televisi sebagai sebuah momok yang memicu ketakutan berlebihan (bahkan paranoid) seperti tadi. Bagi kaum Pluralis, televisi hanyalah sebuah kotak pasif yang seluruh makna tayangan di dalamnya tergantung pada sandaran mental khalayak. Televisi memberikan keberagaman segala hal dengan prinsip oposisi biner yang netral. Ada beragam channel yang bisa dipilih khalayak, ada beragam program, ada beragam opini, yang semuanya memiliki nilai sendiri-sendiri. Khalayak cuma mencocokkan nilai dirinya dengan nilai yang sesuai dengan program tayangan televisi saat itu. Menonton Kick Andy kalau anda betul-betul mau serius mencermati masalah sosial politik negeri ini, menonton Empat Mata - Tukul Arwana kalau hanya ingin bincang-bincang yang ringan tanpa merasa capek otak dan tenaga. Semua hanya masalah pilihan. Bahkan kalaupun pilihan itu adalah mematikan pesawat televisi anda ! Inilah yang disebut dengan kepekaan atas isi tayangan. Sebuah kepekaan khalayak yang sangat dituntut dalam konteks memilih. Harapan ini yang ditekankan oleh Neil Postman dalam ”Menghibur Diri Sampai Mati” (1995).

Sejak semula tentu saja kita begitu sadar tentang hadirnya dua paham ini dalam interaksi televisi dan masyarakat. Sejak semula kita telah sadar dengan luar biasanya kekuatan televisi bagi kehidupan kita. Ketakutan akan dampak buruk televisi yang didasari paham Determinisme membuat kita sangat ”paranoid” lalu menciptakan mekanisme ”pertahanan” bersama berujud KPI. Sementara di sisi lain keyakinan bahwa televisi swasta telah berkembang pesat sejak 1989 dengan memberikan pilihan beragam pada masyarakat juga menjadi landasan keyakinan kaum industri televisi. Mengharapkan damainya dua paham ini merupakan hal mustahil, sehingga mau tidak mau kita harus menggeser paham kita menuju paket negosiasi antara keduanya. Prinsip paham Tanggung Jawab Sosial mencoba menawarkan itu.

Adakah Tanggung Jawab Sosial ?

Paham Tanggung Jawab Sosial mencoba menawarkan sebuah area abu-abu antara ekstrimnya jarak Determinisme dan Pluralisme. Kebebasan untuk memilih dan ketakutan pasifnya khalayak coba ditengahi oleh sebuah frasa ’tanggung jawab sosial”. Inti terdalam dari sini adalah betapa inginnya seluruh elemen yang terlibat dalam beroperasinya stasiun televisi menyadari tanggung jawabnya. Salah kaprahnya saat ini adalah ketika kita tiba-tiba melihat hanya RCTI, SCTV, TransTV, Indonesia, TPI dan beberapa stasiun swasta lain-lah yang harus bertanggung jawab atas semua kemerosotan moral dan rusaknya tata laku di masyarakat (Ribuan surat pembaca setiap tahunnya menjadi indikator atas hal ini). Tiba-tiba kita sibuk meminta pemerintah harus bertanggung jawab atas munculnya berbagai tabloid dan majalah semi-porno (Demo dan aksi FPI membuktikan hal tersebut). Tiba-tiba kita repot dengan tidak maksimalnya KPI sebagai representasi kekuatan masyarakat untuk membatasi kebebasan tayangan televisi (Kritik atas kinerja KPI di akhir masa kerjanya menunjukkan itu). Tiba-tiba kita menjadi saling tuduh. Lupa bahwa definisi Tanggung Jawab Sosial bermakna sama untuk seluruh elemen komunikasi.


Kalau kita meminjam elemen komunikasi dari Harold D. Lasswell maka siapapun dia yang berstatus sebagai komunikator (who), menyiarkan apa saja programnya (says what), dengan media apa saja (in which channel), serta khalayak sebagai pemirsa (to whom) semuanya harus bertanggung jawab dalam sebuah proses penyiaran. Dikotomi pemerintah di satu sisi, KPI di sisi lain, pemilik dan penyelenggara siaran televisi di sudut berbeda akan membawa kita pada kesesatan berpikir. Kita lupa bahwa proses komunikasi adalah proses interaksi antara komunikator dan komunikan, dan segala dinamika atas pesan. Kalau klasifikasi ini kita ganti dengan pemerintah, KPI, dan stasiun televisi, maka esensi tanggung jawab antara komunikator dan komunikan menjadi tidak jelas lagi. Pada titik inilah kemudian pemerintah merasa sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengambil alih peran tanggung jawab sosial itu. Alhasil muncullah sebuah kerangka kerja yang bersifat pembatasan. Televisi dipaksa menerima gagasan pemerintah akan definisi dan makna tanggung jawab. Dalam konteks ini, masyarakat massif sebagai khalayak menjadi terbiasa untuk menghindar dari ”tanggung jawab sosial” itu. Pemirsa lebih banyak menuntut pemerintah untuk menyensor, memotong, dan melarang program-program yang mereka anggap merugikan anak mereka, dan keluarga mereka. Tanggung jawab mereka sebagai orang tua yang harus mendampingi anaknya ketika menonton televisi, tanggung jawab sosial mereka untuk memberikan opini kepada institusi televisi, bahkan tanggung jawab mereka untuk mematikan pesawat televisi-pun kemudian menjadi hilang ditengah hiruk pikuknya perseteruan KPI, Pemerintah (Menkominfo), dan stasiun televisi.

Mencermati bahwa masyarakatlah sebagai pihak komunikan yang berpotensi menjadi korban dalam relasi ini, sudah seharusnya kita memberikan pemahaman tentang tanggung jawab sosial yang berbasis komunitas itu sendiri. Sudah waktunya mendukung gerakan-gerakan media literasi (pendidikan melek media) secara luas guna menekankan pentingnya masyarakat bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tak ada gunanya membuat peraturan kalau histeria menonton televisi masyarakat Indonesia perhari melebihi rata-rata pemirsa Cina dan Amerika. Itu sama saja dengan melarang masyarakat untuk hati-hati terhadap tayangan iklan televisi, namun setiap calon presiden dan calon gubernur di negeri ini berlomba-lomba mengiklankan diri di televisi. Tentu saja dengan harapan ditonton khalayak, lalu dipilih ! Lebih baik mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan melek media secara permanen dari pada uangnya habis untuk menggaji anggota Dewan yang bersidang membuat UU dan PP. Hal itu bahkan lebih efektif daripada mengeluarkan anggaran besar dari APBN untuk KPI kalau toh ternyata hasilnya Cuma perbedaan interpretasi terus menerus terkait fungsi dan wewenang dengan pemerintah. Kita harus yakin bahwa pemahaman atas tanggung jawab sosial-lah yang harus ditekankan. Tanggung jawab sosial pemerintah, industri televisi, dan masyarakat. Kita semua.

Kamis, 02 April 2009

FREUD, AGAMA, DAN KEBERADAAN TUHAN

“Religion would thus be
the universal obsessional neurosis of humanity”
-Freud, The Future of an Illusion-



Nama Sigmund Freud mungkin sudah sangat dikenal orang terkait dengan ajaran psikoanalisisnya. Terminologi egois yang kerapkali kita pakai – pun sebenarnya berasal dari konsep ego-nya Freud ini. Terlepas dari kebesaran nama pengusung mazhab pertama dalam psikologi ini, tampaknya orang tidak terlalu memperhatikan pandangan-pandangan dia tentang agama dan ketuhanan. Buku-buku teks Freud yang diterbitkan lebih banyak bercerita tentang terapi psikoanalisis yang dia lakukan. Padahal pemahaman Freud tentang agama dan Tuhan sendiri merupakan sebuah kajian yang menarik untuk dibahas. Ada alasan kuat untuk itu.

Dalam masa-masa keemasannya, saat mana aliran psikoanalisis sangat diminati diseluruh daratan Eropa, Freud menjadi sangat percaya diri dengan ajarannya tersebut. Upaya untuk menjelaskan sebuah mimpi telah menemukan landasan ilmiahnya. Dengan hasil itu semua, Freud tambah jumawa. Dia merasa bahwa kebenaran telah dia temukan. Tidak ada lagi di dunia ini yang memotivasi perilaku manusia selain instink thonatos dan eros. Dalam kejumawaannya itulah dia merasa terserang ketika salah seorang pengikut setianya : Carl Gustav Jung melakukan protes terhadap ajarannya tersebut. Jung terang-terangan tidak ingin mengakui bahwa seksualitas di atas segala-galanya. Ditengah-tengah kegamangan atas kondisi itulah, maka Freud mulai menyadari adanya suatu kekuatan yang menggerakkan manusia. Kekuatan itu termanifestasi dalam agama. Namun pada titik ini Freud mengalami sindrom yang cukup pelik. Dalam upaya mempertahankan aliran psikoanalisis yang sudah di “genggamnya” itu dia bahkan berani menyamakan antara ketaatan terhadap pemahaman psikoanalis (terutama teori seksual) dengan ketaatan pergi beribadat ke gereja setiap hari Minggu (Jung, 2003). Jung marah-marah sambil bersungut-sungut ……. Kayaknya sih dia bilang begini :
“ ini orang tua bego banget sih … masa teori seksual itu dianggap dogma ?” … terus dia bilang :
“ Gue kagak setuju ……. Protes,….. tidak sepakat … !” sambil nyengir-nyengir gitu ……
dan genderang perang-pun ditabuh . Mereka diem – dieman persis anak kecil habis gelut.

Apa yang tersirat pada cerita itu, ternyata Freud juga menyadari pentingnya agama. Sekalipun dia dibesarkan dalam lingkungan Yahudi ortodoks, dan kemudian menjadi atheis namun pada masa-masa senjanya ternyata ia menjadi perenung Tuhan yang cukup serius. Sangat disayangkan bahwa kemudian segala sesuatu tentang yang “maha” itu datang dengan sangat terlambat ketika dia sudah cukup tua. Ini khan kondisi kejiwaan biasa dari sosok orang tua. Hal ini yang dulunya tidak pernah diakui oleh Freud. Dia bahkan menyamakan kondisi kejiwaan orang yang hidup dengan agama relatif sama dengan kondisi para penderita penyakit gangguan jiwa (neurosis). Untuk melihat bagaimana pemikiran Freud tentang agama ini, kita akan coba mengembara dengan lebih banyak menekankan pada konteks lingkungan yang membesarkan dan mempengaruhi pemikiran si dewa psikoanalisis ini, terutama terkait dengan agama.



Tiga Alasan Klaim kebenaran Agama

Pandangan Freud tentang agama secara jelas dipaparkan dalam Totem dan Taboo (1912). Freud menemukan adanya keserupaan antara kostum dan perilaku agama primitif di satu sisi dengan perilaku obsesif pasien-pasien neurosisnya di sisi lain, yang menjadi pertahanan kehidupan mental primitif sampai masa kini (Hans Kung, 2001 : 52-53)

Analisis tentang jiwa (Psyche) membuka suatu pintu tentang motif paling dalam dari pemikiran dan tindakan manusia, dari tekanan kepribadian individu hingga kekuatan besar yang mendorong dan membentuk peradaban (Daniels Pals, 1996 : 54). Justru dengan memahami tentang kondisi kejiwaan inilah kemudian Freud masuk pada titik yang lebih besar yaitu hubungan kondisi kejiwaan itu dengan ketaatan dan keyakinan beragama seseorang. Analisisnya tentang agama berasal dari seorang filusuf jerman yang mendapat ketenaran pada masanya melalui buku The essence of Christianity (1841) yaitu Ludwig Feuerbach. Dia menyatakan bahwa semua agama hanyalah alat psikologis yang kita gunakan untuk menggantungkan harapan, kebaikan, dan nilai-nilai ideal kita sendiri kepada wujud khayal supernatural yang kita sebut “Tuhan” dan dalam proses itu hanya mengecilkan arti diri kita sendiri (Pals, 1996 : 78).

Agama menempati posisi pertama diantara problem-problem masa muda Freud. Kritik utamanya terhadap agama tercurah paling tidak dalam empat karya. Dalam beberapa karyanya itu dia mencermati lebih jauh dari sekedar ritus-ritus agama dan bertanya, apakah “gagasan agama?” dia mengemukakan pandangan reduktif terhadap masalah-masalah ini dalam The Future of an Illusion (1927). Apa yang baru dalam agama tidak lebih jauh dari sekadar analisis sejarah, terutama sebagai fenomena sosial kontemporer. “Gagasan agama mengajarkan dan menjelaskan fakta-fakta dan kondisi-kondisi realitas eksternal (mungkin juga internal) yang menunjukkan pada seseorang apa-apa yang tidak ditemukannya dan yang menghadirkan klaim bagi kepercayaan seseorang. Freud mempermasalahkan apa yang menjadi dasar klaim itu dengan memberikan tiga alasan yang secara mutual saling bertentangan dan secara holistik tidak memuaskan. Pertama ialah bahwa kita harus mempercayai tanpa menuntut pembuktian-pembuktian. Freud mempertanyakan dan menduga bahwa hal itu terjadi lantaran kita benar-benar menyerah pada fakta bahwa klaim itu tidak pasti dan tanpa landasan.

Jawaban kedua ialah bahwa kita harus mempercayai karena nenek moyang kita juga mempercayai. Freud menegaskan bahwa para leluhur kita jauh lebih kolot dibanding kita dan mempercayai sesuatu yang besar yang tidak mungkin kita percayai sekarang. Sementara itu jawaban ketiga adalah bahwa kita harus mempercayai lantaran kita memiliki bukti-bukti yang berasal dari zaman purba. Freud menegaskan bahwa catatan-catatan yang menjadi sumber bukti itu tidak bisa dipercaya, penuh kontradiksi, membutuhkan perbaikan dan sering salah dan menjadikan wahyu itu sendiri sebagai bukti bahwa doktrin mereka tidak otentik.[1] Jika klaim ini dijadikan sebagai bukti-bukti yang menunjuk pada masa sekarang – terutama kaum spiritualis- bukankah menjadi tidak jelas bahwa spirit-spirit agung yang mereka buktikan sebenarnya menyerupai diri mereka sendiri sehingga menjadi mudah untuk menerima informasi yang benar-benar terjadi, sebagai produk masyarakat yang mereka sendiri tidak memiliki bukti kemandirian realitas spiritual dari tubuh, jiwa abadi ?


Akar Ateisme Freud

Dengan beragam pertanyaan tersebut diatas, sebenarnya Freud dipusingkan oleh sebuah kenyataan didepan matanya bahwa segala perilaku penghambaan diri dengan yang namanya “Tuhan” tersebut dalam segala bentuk ritualnya dipertahankan seluruh manusia dimuka bumi dengan sikap “ultrafanatis”. Hingga apabila kita mengikuti cara berpikir Freud bahwa yang melakukan ritual agama sama dengan penderita Neurosis, berarti apakah semua orang beragama itu sudah gila ? nah berarti gue ini termasuk tidak gila, karena jarang sekali melakukan ritual keagamaan tersebut …… tuh khan mau enaknya sendiri jee … he he he….. ! tapi sebenarnya bukan itu yang terjadi. Menurut Hans Kung (2001) si Freud itu sebenarnya tetap dipasung, dibunuh, dan dikuburkan oleh kebingungannya sendiri. Btw, sinisme dia terhadap realitas agama sejalan dengan kebingungannya sendiri dalam memetakan relasi Tuhan dan manusia.

Permusuhannya dengan Tuhan baru bermula ketika dia secara ekstrem mensimplifikasikan makna-makna hieropanis dibalik deretan simbul dan ritual keagamaan yang dijalankan dengan takzim oleh orang-orang di sekitarnya. Lantaran terlalu menyederhanakan makna “kehadiran Tuhan” di dunia nyata, yang profan, dengan menganggap setara eksistensi Tuhan dengan manusia atau bahwa yang sakral tak lain adalah yang profan, maka Freud segera menjadi sosok atheis yang lebih militan dibanding Nietzsche dan Karl Marx. Dengan berani dia telah melakukan inferiorisasi Tuhan pada tingkat yang juga dihuni manusia, ia menentang semua jenis Tuhan yang dipercaya seluruh umat di dunia. Freud pada implikasi selanjutnya memandang semua agama termasuk sophia perennis : sebagai ketidaklogisan semata, lantaran nilai-nilai pengejewantahannya berada dalam frame yang tidak membumi, tidak manusiawi, apalagi fisikis, dan karenanya hanya patut dicap sebagai neurotisisme. Freud telah membangun relasi ketegangan dengan Tuhan. Terus do’i sekarang gimana ya … setelah berjumpa dengan Tuhan ? …. Ini menarik … sungguh menarik ... Apa yang membuat Freud sebegitu tidak percayanya dengan agama sebagai suatu “keyakinan utama” manusia, nampaknya tidak terlepas dari perkembangan kepribadian dan kejiwaannya sendiri sejak dia kanak-kanak hingga dewasa.

Pandangan skeptis Freud tentang agama (kristen) dan nilai-nilainya tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan masa kecilnya. Dilahirkan di Wina tanggal 6 mei 1856 persis satu tahun setelah terbitnya buku Kraft and Stoff (Force and Matter) dari Ludwig Buchner yang menandai establisnya paham materialisme. Saat itu buku tersebut dianggap sebagai “Bibel militan” pandangan dunia saintifik materialistik baru. Menurut paham tersebut seluruh dunia dan juga pikiran manusia, bisa dijabarkan melalui kombinasi aktivitas material-material dan kekuatannya. Sedangkan Tuhan adalah “sesuatu yang berlebih–lebihan”. Dalam kondisi lingkungan demiian Freud sangat terbiasa dengan komunitas “tak bertuhan” yang menurut Hans Kung “hanya terdapat dua persen Protestan dan dua persen lainnya adalah Yahudi” (2001).

saat pendewasaannya, Freud berada pada atmosfer beralihnya keyakinan orang akan semangat kerohanian para pendeta dan uskup geraja menuju upaya rasionalitas dan materialis yang berasal dari penemuan spektakuler Darwin. Dan ilmu yang nampak sangat dipercaya menumbangkan dogma keyakinan teologis adalah kedokteran. Bidang kedokteran menumbangkan dogma itu dengan dua sains yang mendasar : anatomi dan fisiologi. Kondisi ini dianggap sebagai kemampuan paham materialisme menjelaskan seluruh fenomena manusia dan alam semesta. Feuerbach bahkan memuji-muji tokoh pujaannya Martin Luther karena telah memperbolehkan anaknya, Paul untuk belajar studi kedokteran. Ini betul-betul kemenangan. Dan inilah salah satu alasan mengapa kemudian Freud memulai segala sesuatunya dengan sekolah pada bidang kedokteran ! Sampai pada titik ini perdebatan masih saja terjadi : betulkah sejak kecil Freud sama sekali tidak pernah menumbuhkan keyakinan apapun dalam dirinya terhadap Tuhan, sekalipun ia diajarkan tentang semua atribut dan upacara agama Yahudi ? Kalau pertanyaan ini cuma layak ditujukan kepada ayah dan ibu Freud … kita tanya saja pada mereka, tentu bukan di sini tempatnya he he he he …

Lembayung Damai, Maret 09

[1] Keberanian dekonstruksi atas ajaran yang dipegang orang tua dan keluarganya ini dilakukan justru dengan menelaah habis-habisan isi kitab Bibel. Kemampuan penjelasan alternatif atas isi Bibel dilakukan Freud ketika ia memaparkan hidup dan perjalanan Musa. Lebih lengkapnya baca “Musa dan Monoteisme”, Jendela, Yogyakarta, 2003.