Minggu, 31 Januari 2010

Homo ludens Huizinga : Kritik Senyap Modernitas

Historical imagination dwelt by preference on crusades,
Tournaments, khights-errant. Since then history has become democratic”

-Huizinga, The Wanning of the Middle Ages (1924)-



A.Pengantar

Sejarah panjang upaya untuk menjelaskan dan menjawab problema peradaban manusia yang dilanda ketidakadilan, telah tersaji dalam beragam terminologi. Bermula dari label Homo Erectus (manusia tegak) di zaman pra-sejarah, menjadi penanda berbedanya manusia dengan makhluk lain, yang melata dengan empat kakinya. Lalu era modern ditandai oleh prinsip Homo Sapiens (manusia cerdas) yang menjadi penanda manusia semakin mengandalkan rasionalitasnya, seperti diungkapkan Rene Descartes (Scruton, 1986 ; Strathern, 2001). Masing-masing terminologi menyajikan kompleksitas dan dinamika yang berbeda-beda. Khusus untuk menjawab problem modernitas hasil kapitalisasi industri yang faktanya mendehumanisasi manusia, kritik utama Marxisme melahirkan istilah Homo Faber (manusia pekerja). Terma yang terakhir ini menggambarkan fakta pengisapan tenaga manusia pekerja oleh manusia lainnya sang pemilik modal, peradaban ingin diformulasi ulang dalam kerangka produksi dan persamaan kelas oleh Karl Marx.

Seperti rata-rata argumen utama pendukung mazhab Frankfurt, istilah manusia pekerja dinilai mewakili situasi dehumanisasi manusia. Segala aktivitas manusia hanya dipandang sejajar dengan logika produksi kapitalis. Sang ”iblis” di sini adalah spirit kapitalisme. Semua menghamba pada prinsip produktifitas dan efisiensi. Pencapaian yang dinikmati peradaban manusia dengan berkonsumsi ria (Baudrillard,1998), sebagai hasil mesin kapitalisme melahirkan kerinduan akan semangat humanisme. Upaya melawan efek buruk kapitalisme dengan konsep masyarakat tanpa kelas ala Marxisme terbukti gagal dan tenggelam dalam utopia. Dibutuhkan sebuah kerangka pemikiran untuk menjelaskan mengapa Marxisme gagal membumikan teori tanpa kelasnya tanpa memantik paranoid seperti catatan sejarah yang ditinggalkan Lenin, dan Stalin. Bagaimana upaya menjelaskan fenomena masyarakat yang tetap asyik berbelanja, sementara mereka sendiri sadar akan fakta begitu miskinnya orang disekelilingnya. Struktur kognitif tidak lagi mampu memandu segala perilaku. Kritik utama yang diarahkan kaum Marxis pada fenomena modernitas bersendikan pada tibanya masyarakat yang serba berkesadaran. Contohnya adalah antitesis Marx atas kondisi alienasi yang uncenciousness. Kritik ini gagal. Ternyata masyarakat sendiri begitu menikmati kondisi ketidaksadaran ini. Tak perlu ‘sadar’ untuk berbelanja dengan kartu kredit (yang penting gesek), tak perlu ‘sadar’ untuk kredit mobil dan rumah (yang penting angsuran ringan), dan masih banyak ketidaksadaran lain yang ternyata begitu dinikmati.

Hal yang ternyata dilupakan oleh kaum Marxis adalah begitu kuatnya area ketidaksadaran itu melekat pada masyarakat. Bagaikan insting yang inheren dalam diri manusia. Insting ‘permainan’ melekat erat dalam kehidupan. Sebagaimana layaknya insting, dia tidak perlu rasional dan bernalar. Insting membuka peluang pada hati nurani dan semangat humanisme untuk muncul kepermukaan. Johan Huizinga (1872-1945) mengintrodusir terminologi homo ludens untuk menjelaskan dan menjawab problematika manusia modern.

Tulisan ini bermaksud mengurai konsep homo ludens tersebut dengan mengambil setting kemunculan sikap kritik atas modernitas dalam berbagai segi. Diyakini bahwa konsep homo ludens sebenarnya memiliki roh dan semangat kritik serupa, untuk memeriksa kondisi sosial politis masyarakat di Eropa. Tulisan diawali dengan penjelasan hubungan antara Marxisme dan psikoanalisis. Psikoanalisis bercerita tentang ketidaksadaran, demikian pula homo ludens. Berbeda dengan mazhab Frankfurt yang sukses menuai popularitas sebagai teori kritis, pemikiran Huizinga tidak diketahui banyak pihak. Tawaran untuk membaca ulang pemikiran Huizinga melalui perspektif kritis akan dihadirkan dengan mengembalikan konsep ludens tadi sebagai sebuah hasrat. Psikoanalisis akan digunakan sebagai dasar pijakan penjelasan. Lalu barulah analisis selanjutnya akan dikerangkai dengan pendekatan postmodernisme melalui konsep Skizofrenik dari Gilles Deleuze & Felix Guattari.

B.Kritik Atas Kehancuran Peradaban Manusia : Memasok Psikoanalisis dalam Marxisme

Dalam bukunya “Civilization and Discontents” (Pertama kali terbit tahun 1955), Sigmund Freud melihat sebuah masa depan peradaban yang suram. Sesuram instink dari id yang pada akhirnya tidak bisa lagi dibendung oleh super ego, terlebih oleh ego itu sendiri. Masa dimana kehancuran melanda, saat manusia hanya diperbudak oleh nafsu dan keinginan kehewanan mereka. Nafsu yang selama ini tertekan oleh katup pengaman norma dan relasi sosial kemasyarakatan, tiba-tiba secara bebas memberontak. Dia menyeruak bukan karena terus ditekan, melainkan norma dan nilai masyarakat sebagai katup pengaman telah terjalari pula oleh instink id itu sendiri. Boleh dikata karya Freud ini adalah sebuah puncak penggambarannya akan id yang semakin liar. Seperti ide besar yang ditawarkan oleh Freud pada buku-buku utamanya tentang relasi id, ego, dan super ego (Wollheim & Hopkins, 1982; Freud, 1998; ) Id yang tidak lagi bertahta dalam singgasana kedirian seseorang, namun telah keluar menuju ranah sosial mempengaruhi lingkungan manusia. Sebuah dimensi sosial yang terjalari oleh id tanpa kekuatan super ego untuk mengamankan id yang semakin ‘nakal’ dan ‘tak terkendali’. Itulah inti dari kekhawatiran Freud.

Sayang sekali upaya untuk mulai mengeritisi ranah sosial dengan pendekatan psikoanalisis ini tenggelam di tengah-tengah kepopuleran Freud sebagai ahli terapis yang hanya berhubungan dengan orang sakit jiwa (neurosis). Freud meninggal di tengah-tengah upaya memulai elaborasi tersebut. Untunglah kemudian pemikirannya tidak lantas selesai seiring dengan kematiannya. Elaborasi selanjutnya atas kritik ideologi yang diberikan Freud dilanjutkan oleh Erich Fromm. Seorang anggota mazhab Frankfurt yang berhasil menghubungkan antara psikoanalisis dengan pendekatan Marxian. Psikoanalisis yang sangat personal individual, terhubungkan dengan Marxisme yang sosial komunal.

Sebelum masuk ke sekolah Frankfurt, Fromm sudah menulis suatu karya The Dogma of Christ (1963). Para tokoh Frankfurt menganggap bahwa karya tersebut sebagai contoh konkret integrasi ajaran Freud dan Marx. Dalam karyanya tersebut, Fromm menunjukkan bahwa Marxisme membutuhkan psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat makin mempertajam kritik ideologi dari Marx. Pemahaman Marx melihat bahwa segala sesuatu hanya demi meteri, dan untuk memeroleh materi itu orang kemudian melakukan manipulasi (ini dia namakan konsep ideologi) dengan orientasi membenarkan segala perilaku dan keinginannya. Dalam prakteknya, ideologi yang sebenarnya merongrong martabat insani diterangkan dan dibenarkan atas nama gagasan-gagasan luhur. Penganut ideologi berusaha menegaskan bahwa praktek ini dan praktek itu sesuai dan dituntut oleh gagasan ini dan gagasan itu. Jadi segala sesuatu yang mengontruksi kebutuhan atas materi itu sebenarnya berasal dari penciptaan gagasan-gagasan saja. Terkait dengan ideologi, menurut Marx ideologi itu lahir bukan dari kesadaran manusia itu sendiri tapi dari kebutuhan dan kepentingan material manusia secara nyata. Melalui pemaparan inilah Fromm menawarkan “proyek damai” antara psikoanalisa dan Marxisme.
Seperti yang diajarkan Freud, Fromm (2001; 2002) menunjukkan bahwa dalam psikis terdapat dua naluri dasar yang selalu berkonflik, yakni naluri seksual dan naluri mempertahankan diri (self preservation drive). Satu Eros dan yang lainnya Thanatos. Naluri mempertahankan diri selalu minta dipuaskan secara langsung, misalnya rasa lapar hanya bisa dipuaskan dengan makanan. Sedang naluri seksual dapat digantikan, disublimasikan dan dipuaskan dalam fantasi. Jadi naluri seksual itu lebih luwes terhadap kondisi sosial yang tidak dapat memuaskannya, sedangkan naluri mempertahankan diri sangat kaku terhadap lingkungannya. Maka ideologi mestinya ditinjau dalam hubungan dengan naluri seksual ini, karena ideologi adalah semacam fantasi yang dapat memuaskan naluri seksual itu. Naluri seksual itulah kunci untuk memahami ideologi.

Menurut Fromm (2002), ideologi justru merupakan semacam represi atau penundaan terhadap kebutuhan tersebut. Patut dikemukakan bahwa dorongan-dorongan psikis itu tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga historis. Artinya mereka juga merupakan produk dari situasi sosial tertentu. Dengan demikian, psikoanalisa tidak hanya dapat menerangkan gejala-gejala yang sifatnya individual, tapi juga sosial. Analisa terhadap dorongan-dorongan psikis yang sifatnya sosial ini, tentu akan makin membantu untuk menyelami berbagai bentuk “rasionalisasi sosial” yang terkandung dalam ideologi. Bagi mazhab Frankfurt, usaha Fromm untuk mengintegrasikan psikoanalisa Freud dengan ajaran Marx dari sudut teori tentang naluri itu memang merupakan sumbangan besar untuk makin memperkaya kritik ideologi mereka. Namun mereka beranggapan bahwa teori Freud tentang superego lah yang paling memberi kunci untuk menjalankan kritik ideologi. Sebab teori superego itu paling memberi keterangan tentang manipulasi dan dominasi sebagai unsur-unsur yang menjadi minat mazhab Frankfurt dalam menjalankan kritik ideologi.

Melalui tafsir yang diberikan Fromm, teori superego memberi alasan jelas mengapa masyarakat dapat memanipulir naluri-naluri bawaan demi suatu identifikasi yang disodorkan masyarakat. Dengan teorinya tentang Oedipus kompleks yang diterapkan kepada masyarakat secara luas, Freud menerangkan bahwa “ego ideal” atau “superego” dapat berbentuk pribadi, kelompok yang mungkin saja dibenci dan dimusuhi secara aktif (seperti anak terhadap bapak dalam sebuah keluarga) namun individu atau kelompok tertarik dan kagum padanya. Secara ringkas ajaran Freud itu bisa berbunyi, kendati penguasa itu dibenci dan tidak disukai, ternyata kelas yang ditindas oleh penguasa tetap tertarik secara emosional kepada penguasa tersebut. Superego bisa berbentuk rasionalisasi atau ideologi penguasa yang terus-menerus menentukan dan mungkin memaksa anggota masyarakat, tapi anggota masyarakat mematuhinya. Padahal dibalik superego tersebut tersembunyi berbagai kepentingan untuk manipulasi dan menindas. Jelaslah bahwa teori superego ini dengan demikian bisa memberi penjelasan makin mantap tentang pengertian dan timbulnya ideologi. Lewat kritik terhadap superegolah maka bisa dijalankan kritik ideologi yang memadai.

Kemampuan tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt untuk menggabungkan gagasan-gagasan Freud dengan Marx menjadi kekuatan aliran ini untuk mengkritisi situasi modernitas yang merugikan peradaban manusia. Catatan sejarah mereka yang sama-sama teraniaya karena perlakuan Nazi Jerman ternyata sanggup menghasilkan pemikiran yang kritis bahkan bukan hanya pada pihak Nazi itu sendiri, melainkan mampu melebarkannya pada aras sosial lainnya. Muncul kekuatan kritis yang menghasilkan banyak sekali pemikiran pendobrak atas keterjajahan manusia karena kekuatan modern itu sendiri (baca misalnya Kolakowski, 1978; Elster, 2000; Berman, 2002). Pada titik akhir sulit untuk memisahkan pemikiran kritis mereka yang pada awalnya bernuansa meterialisme (dan buta filsafat) lalu terus bergeser semakin masuk ke ranah filsafat. Untuk itu saya harus mundur sedikit kebelakang, untuk menjelaskan pemikiran sosok lain yang berkeyakinan bahwa psikoanalisis bisa digunakan untuk memperjelas kritik ideologi.
Sosok itu adalah Harbert Marcuse (1898-1979). Salah satu karyanya yang menonjol untuk melihat relasi tersebut adalah “Eros and Civilization” (Pertama terbit tahun 1970). Buku ini mencoba menggunakan berbagai kategori-kategori psikologis yang menyeruak jauh sekali kepada kategori politis. Dari buku ini terlihat bahwa apa yang dilakukan Fromm telah pula dilakukan oleh pemikiran Marcuse.

Marcuse memulai penulisan bukunya (1970) dengan melihat kondisi manusia di zaman ini, batas-batas ruang psikologis individual dengan filsafat politik dan filsafat sosial telah semakin kadaluwarsa dan kabur. Ini artinya, menerapkan hukum dan sudut pandang secara parsial untuk masing-masing permasalahan di dua ruang terpisah tadi nampaknya juga harus ditinggalkan. Apa yang pada mulanya murni diterima sebagai masalah-masalah psikologis (berarti menjadi unit analisis dari kajian psikologi) dan hanya sebatas proses kejiwaan yang otonom dan dapat diidentifikasi sebagai semata-mata masalah kejiwaan, pada saat ini telah diserap oleh fungsi, peran individu di dalam masyarakat negara. Ini mutlak wilayah kajian filsafat publik dan filsafat sosial (berarti menjadi unit analisis kajian sosial). Masalah-masalah psikologis segera saja berubah menjadi masalah politis. Dalam bahasa Marcuse (2004: v-vi), segala macam gangguan, masalah personal, sekarang dapat secara lebih langsung merefleksikan gangguan-gangguan, masalah-masalah masyarakat secara keseluruhan, dan penyembuhan atau pengobatan gangguan atau masalah personal tersebut semakin tergantung secara langsung pada penyembuhan masyarakat secara keseluruhan.

Ada alasan kuat mengapa Marcuse menggunakan pendekatan psikologis untuk menyelesaikan masalah-masalah sosiologis. Psikologi menurutnya hanya akan memiliki kekuatan analisis andai individu yang berada dalam konteks kekuatan sosial politik itu memiliki kekuatan untuk membentuk kebebasan dirinya sendiri. Namun andaikata kekuatan ranah sosial telah berhasil menekan dan membuat sang individu tidak lagi memiliki kekuatan untuk menjadi diri sendiri, dia akan teralienasi. Dalam kondisi demikian, menerapkan psikologi dalam analisis peristiwa-peristiwa sosial dan politik berarti menggunakan suatu pendekatan yang telah dilemahkan oleh peristiwa-peristiwa pengekangan itu sendiri. Ini tidak ada gunanya untuk dilakukan. Marcuse akhirnya menawarkan sebuah formula baru dalam buku sebelas chapter tersebut. Dia bermaksud mengambangkan beragam substansi politis dan sosiologis dari psikologi. Energinya adalah psikologi, namun diarahkan untuk mengungkap fenomena politik dan sosial yang berlaku pada zamannya. Apa yang dirisaukan oleh Marcuse sebenarnya adalah kekecewaan terhadap situasi umat manusia yang berada dalam kondisi ketidaksadaran (unconsciousness) atas pembudakan sukarela yang dilakoni atas nama kemajuan ekonomi dan peradaban itu sendiri.

Menurut Marcuse, psikoanalisa telah berubah fungsinya dalam kebudayaan dewasa ini, dia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial fundamental yang terjadi selama paruh awal abad 20. Ambruknya era liberal berikut janji-janji, semakin meluasnya kecenderungan totalitarian dan upaya meredam kecenderungan tersebut, terpantul dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh psikoanalisis (Marcuse, 2004 : 306). Sejajar dengan realitas id yang terus bergerak liar, segala keinginan ideologi kapitalis sebagai mesin liberalisme, berikut segala ikutan di belakangnya menjadi sebuah energi penggerak masyarakat modern. Marcuse meyakini bahwa arah baru kemajuan manusia berikut peradabannya sangat tergantung pada apa yang dia sebut sebagai “seksualitas polimorf” (bersegi banyak). Istilah itu mengacu pada kesempatan menghidupkan, membangkitkan kebutuhan-kebutuhan organik, kebutuhan-kebutuhan biologis yang tertindas dan ditahan, intinya menjadikan tubuh manusia sebagai instrumen kesenangan, bukan sebagai instrumen kerja.

Gagasan tentang Prinsip Realitas yang baru ini didasarkan pada asumsi bahwa prasyarat material (teknis) bagi pengembangan Prinsip Realitas tersebut telah tersedia ataupun dapat disediakan dalam masyarakat industri maju seperti saat ini. Penjabaran kemampuan teknis ini ke dalam realitas sama artinya dengan revolusi. Namun cakupan dan keefektifan introyeksi demokrasi telah membenamkan sang subjek historis, sang agen revolusi : manusia bebas tidak merasa membutuhkan pembebasan, dan mereka yang merasa tertindas tidak cukup kuat untuk membebaskan diri mereka sendiri. Kondisi ini mendefinisikan kembali konsep utopia : pembebasan adalah kemungkinan historis yang paling realistis dan konkret juga sekaligus adanya kemungkinan ketertindasan secara rasional dan efektif.

Masyarakat yang makmur dengan caranya sendiri mempersiapkan diri menghadapi kondisi keterkekangan dengan mengorganisir ‘hasrat akan keindahan’ dan ‘kehausan akan komunitas’, pembaharuan ‘cara berhubungan dengan alam’, pengayaan pikiran dan penghargaan atas ‘penciptaan demi penciptaan itu sendiri’. Kegagalan dalam menerapkan tujuan-tujuan semacam itu adalah pertanda bahwa dalam sistem yang ada, aspirasi-aspirasi tersebut diterjemahkan ke dalam aktivitas-aktivitas kultural yang diatur, didukung oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Mereka bertindak sebagai perluasan kakuasaan eksekutif pada jiwa-jiwa massa. Merupakan sebuah kerja yang sulit, menurut Marcuse, untuk melihat isi aspirasi ini kecuali kembali mendefinisikan isi Eros (konsep kehidupan dalam terma psikoanalisis) dan transformasi otonomnya dari lingkungan dan eksistensi yang represif. Jika tujuan-tujuan yang dapat didefinisikan ini dapat dipenuhi tanpa konflik yang terdamaikan dnegan persyaratan-persyaratan ekonomi pasar, tujuan-tujuan tersebut harus dipuaskan di dalam kerangka kerja perdagangan dan keuntungan. Namun demikian, pemenuhan semacam ini pasti akan banyak menimbulkan penolakan, karena energi erotis inting kehidupan tidak dibebaskan dalam kondisi yang tidak memanusiakan dalam masyarakat makmur yang berorientasi pada profit.

Ketakutan paling mendasar yang dialamatkan Marcuse pada perjalanan peradaban adalah saat insting untuk mempertahankan kehidupan berhadapan langsung dengan ilusi pencapaian kehidupan yang lebih baik namun bersendikan thanatos. Kapitalisme yang nampaknya menjanjikan kehidupan lebih baik pada dasarnya adalah thanatos berselimut eros. Dia menjanjikan kemajuan dengan menciptakan kemunduran di sisi lain. Dia menawarkan kesejahteraan bagi penduduk di negara maju dengan mengeksploitasi dan menggerogoti negara-negara berkembang. Bahkan menurut Marcuse, sisi tergelap dari perjalanan peradaban adalah munculnya insting menikmati thanotos itu sendiri dengan berlagak mengibarkan panji-panji eros. Berbendera perdamaian bagi pasukan perang sama saja dengan menciptakan ilusi. Berdalih menciptakan kedamaian dan ketentraman namun pesawat tempur mereka terus membombardir rumah sakit, sekolahan, dan rumah-rumah penduduk sipil yang sama sekali tidak tahu menahu tentang perang berikut segala alasannya.

Apa yang terjadi kemudian adalah pengingkaran eros. Protes tentu saja terus berlanjut atas semua itu. Sebuah protes yang menurut Marcuse berawal dari insting mendasar mempertahankan kehidupan itu sendiri. Munculnya sosok-sosok yang berjuang demi Eros melawan kematian. Mempertaruhkan kehidupan mereka sendiri. Mereka melawan kematian, dan melawan peradaban yang berusaha memperpendek ‘perjalanan kembali menuju kematian’ (2004, hal.xxviii). sementara mereka sadar betul bahwa mereka telah terjebak dalam peradaban yang memiliki kuasa kontrol sarana-sarana yang memperpanjang atau memperlama perjalanan menuju kematian itu. Upaya mengontrol itu harus dilawan dengan kekuatan tandingan untuk mengatasi kontrol pula. Cara yang segera harus dilakukan adalah mensinergikan antara pemahaman eros itu sendiri dengan sebuah kerangka strategi politik yang berdimensi sosial. Simpul Marcuse menyebutkan bahwa abad ini adalah sebuah abad di mana perjuangan kehidupan, perjuangan demi eros itu sendiri, adalah sebuah perjuangan politik.

Seperti yang diakui oleh Dauglas Kellner, kekuatan filsafat menjadi roh analisis Harbert Marcuse atas fenomena sosial politik. Dengan mengelaborasi beberapa karya utama Marcuse, Kellner mengatakan bahwa, ”his (Marcuse) articulations of philosophy with social theory, cultural criticism, and radical politics seem an enduring legacy”. Disaat para pemikir lain melupakan filsafat sebagai basis analisis, Marcuse datang dengan, “critical theorists provide philosophy with an important function within social theory and cultural criticism and develop philosophical perspectives in interaction with concrete analyses of society, politics, and culture in the present age.” Jadi dengan penilaian Kellner ini, saya kira cukuplah paparan kontribusi Harbert Marcuse dalam memberikan kritik terhadap perjalanan peradaban manusia. Sebuah kritik yang mampu menyandingkan pendekatan Marxian dengan psikoanalisis Freud dalam sinergi yang mengejutkan. Terlihat nyata bahwa psikoanalisis telah bermetamorfosis pada ranah sosial sebagai sebuah kritik. Kritik itu membawa kembali insting kehidupan (eros) dan kematian (thanatos) ke dalam ranah perdebatan. Keduanya bergerak untuk menjelaskan salah satu aspek mendasar kehidupan manusia yang begitu terlupakan oleh modernitas. Aspek itu adalah hasrat (desire) yang sangat terkait erat dengan tokoh-tokoh pemikir posmodernisme. Saya akan menjelaskan sisi keterlupaan ini terlebih dahulu.

Kalau mau jujur, hasrat (desire) merupakan sebuah konsep yang ‘dilupakan’ oleh para pejuang Mazhab Frankfurt ketika membangun teori kritis mereka. Itu terjadi saat Mazhab itu terlalu menjadikan kritik Marx sebagai pintu masuk menelaah modernitas. Perhatian atas hasrat baru disuarakan oleh Harbert Marcuse, lalu kemudian Erich Fromm. Tepat pada saat Fromm menemukan pintu masuk untuk mengawinkan psikoanalisis dengan Marxian, para pengusung pendekatan dan pemikiran posmodern telah bergerak begitu jauh melampaui apa yang digelisahkan dan dianalisis pengeritik modernitas tadi. Akhirnya para pemikir dan pengeritik aspek negatif modernitas tidak terlalu mengenal konsep hasrat.

Ketika mencoba menarasikan lanskap teori-teori sosial modern, tidak ada satu katapun dalam index buku George Ritzer “Modern Sociological Theory” (1996) yang menuliskan kata hasrat (desire). Kritik terberat pada modernisme yang mengagung-agungkan rasionalitas justru tidak melalui kekuatan oposisi biner rasionalitas, melainkan pada prinsip-prinsip kemanusian penuh kerinduan akan keselarasan, persamaan hak, romantisme sejarah, yang pernah diagung-agungkan pasca revolusi Prancis. Terlalu fokusnya Mazhab ini pada inti rasionalitas justru membuat mereka membuang lawan utama rasionalitas itu sendiri. Nalar yang terlalu kuat justru akan mematikan insting primitif manusia untuk ‘mengada’ secara natural. Kemampuan produksi yang dikritik oleh Mazhab ini memang terlalu berada dalam diskursus Marx atas logika produksi yang disadari. Padahal kalau melirik sejenak pada ide besar munculnya alienasi pada diri manusia, kita akan menemukan pintu masuk Marx yang mulai bermain-main dengan aspek psikologis dan filsafat dalam membongkar kejahatan produksi. Dua upaya Max Horkheimer untuk menelisik ulang rasionalitas hanya jatuh pada sebuah kerangka inventarisasi negatifnya rasionalitas tanpa nilai-nilai kemanusiaan semata. Dia meninggal sebelum dia sampai pada sebuah usulan konkret melawan rasionalitas produksi yang begitu menggila. Kemampuannya membeberkan ciri dan sifat dasar irasionalitas manusia dalam logika produksi menarik pemikiran filsafat yang justru bermaksud menaikkan prinsip rasionalitas dalam segala dalil dan argumennya. Hasil yang muncul sebagai muara analisis adalah terlupakannya hasrat dalam ranah kritik tersebut. Sebuah konsep yang begitu menonjol dalam pemikiran-pemikiran posmodernisme.

Apakah hasrat sungguh terlupakan oleh para tokoh dialektika modernitas yang melakukan kritik ideologi ? Mungkin di Jerman sebagai pusat aliran kritis hal itu terjadi. Mungkin pula hal itu juga dialami para tokoh pengkritik ideologi di Amerika. Namun sesungguhnya energi untuk memaparkan tentang hasrat sebagai elemen penting untuk menghadapi himpitan hidup dan menghilangnya nilai-nilai humanisme telah dihembuskan sejak 1930-an. Seorang tokoh sejarawan Belanda telah melakukan itu. Namanya Johan Huizinga. Salah satu karyanya telah mengangkat elemen hasrat menjadi begitu penting dalam kehidupan manusia. Hasrat itu adalah insting bermain (ludens) manusia.

C.Huizinga & Play Element of Culture

Johan Huizinga lahir di Groningen, Belanda pada tahun 1872, sebagai putra Dirk Huizinga, guru besar Fisiologi. Sejak berusia dua tahun Huizinga telah menyandang anak piatu karena ibunya, Jacoba Tonkens, meninggal dunia saat Huizinga baru berusia dua tahun. Sebuah kehidupan piatu yang membuat dia tidak mendapatkan kasih sayang dan sentuhan seorang ibu. Kondisi batiniah yang kelak akan sangat terlihat di beberapa bukunya yang selalu tidak jauh dari kesepian, pesimisme, dan kerinduan akan kebersamaan. Dengan kondisi ekonomi yang relatif baik, Huizinga menempuh pendidikan di atas rata-rata anak seusianya. Dia masuk ke pendidikan universitas tahun 1891, dan mendapatkan gelar dalam bidang bahasa Indo-Jerman pada 1895. Huizinga kemudian belajar ilmu bahasa perbandingan di Universitas Leipzig, dan setelah kembali dari Jerman dia mendapat Ph.D. nya di 1897. Disertasinya adalah tentang topeng dalam drama sangsekerta. Sejak awal Huizinga sangat meminati sejarah sebagai sebuah kajian yang mempesona. Namun karena keterbatasan dosen pembimbing berikut pengajar pada bidang itu, maka minatnya beralih pada linguistik. Selama tahun-tahun berikutnya ia mengajar sejarah di sebuah sekolah menengah di Harlem dan pada tahun 1903-1905 menjadi pengajar tentang sejarah kuno di Universitas Amsterdam. Pada 1905 ia menjadi guru besar sejarah di Groningen.

Setelah kematian istri pertamanya, Maria Vincentia Schorer (1877-1914), dia pindah dari Groningen ke Leiden, di mana ia diangkat pada tahun 1915 sebagai guru besar umum sejarah di universitas terbesar di Belanda tersebut. Ketika menulis pemikirannya tentang bermain menjadi sebuah buku berjudul Homo Ludens, dia berstatus sebagai rektor universitas Leiden. Buku inilah yang menurut Mangunwijaya (1990) memiliki ide yang belum tertandingi karena menceritakan sebuah hal yang nampak terlalu biasa namun memiliki akibat sangat luar biasa dalam peradaban manusia. Diakui oleh Huizinga, pada buku inilah emosinya begitu terlibat.

Buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Homo Ludens : a Study of the Play Element in Culture” (1955) itu telah diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia dengan judul singkat : Homo Ludens (1990). Pengakuan Huzinga bahwa dia begitu terlibat dalam proses penyusunan buku itu bukanlah tanpa alasan dan bukti kuat. Dia mengakui bahwa untuk mengintrodusir konsep ludens sebagai sesuatu yang inheren dalam kebudayaan, dia berjuang pada setiap kesempatan yang tersedia. Bahkan setiap kali menyampaikan ide itu entah di seminar, atau acara akademis serupa, Huizinga akan memerotes keras panitia yang mengubah judul makalahnya dari “The Play Element of Culture” menjadi “The Play Element in Culture”. Setiap kali panitia mengoreksi “of Culture” nya menjadi “in Culture”, maka dia langsung memprotes keras. Dia langsung mengutarakan maksudnya untuk menganggap dan menegaskan bahwa kebudayaan itu sendiri di dalamnya mengandung karakter permainan. Budaya bermain bukan cuma menjadi salah satu wujud dari manifestasi lain sebuah kebudayaan. Permainan itu inheren dalam kebudayaan. Bahkan kebudayaan adalah permainan.

Membaca keseluruhan buku Homo Ludens itu membuat kita terbawa pada romantisme Huizinga tentang kedahsyatan abad pra-sejarah. Menurutnya, hanya manusia-manusia pada zaman Arkhais-lah yang sangat terlibat dengan insting bermain mereka. Insting itu dalam perjalananan sejarahnya sempat hilang ditelan peperangan dan kehancuran zaman, namun kemudian muncul dengan kuat selepas manusia mengenal renaisans. Abad Renaisans telah menghidupkan kembali kedua khayalan kehidupan ludik yang utama, yakni mengenai kehidupan di pedesaan dan mengenai kehidupan ksatria. Sementara itu dua dunia yang sangat kuat semangat kebermainan di dalamnya manurut Huizinga adalah dunia sastra dan dunia pesta (Huizinga,1990:251). Hal yang sama diakui oleh Alison (2009) tentang betapa cintanya masyarakat era renaisans terhadap buku-buku, sekolah, seni dan arsitektur. Salah satu ciri khas yang begitu kuat bagi masyarakat yang hidup di zaman renaisans adalah humanisme.

Khusus kepada istilah humanisme, tampaklah bahwa apa yang telah kita catat tentang ciri permainan dari renaisans juga berlaku bagi humanisme. Lebih daripada renaisans, humanisme terbatas kepada mereka yang tergolong orang dalam dan mereka yang “tahu”. Kaum humanis mengejar suatu rumusan ideal tentang kehidupan dan kerohanian yang dirumuskan dengan ketat. Mereka bahkan mampu mawarnai pengungkapan kepercayaan kristiani mereka dengan unsur-unsur pagan antik dan dengan bahasa klasik mereka (Huizinga, 1990:252). Dalam mencoba memberikan contoh kuatnya insting bermain dalam kehidupan masyarakat abad pertengahan itu, Huizinga mengambil kasus penggunaan wig dalam konteks sosial kemasyarakatan. Untuk menjelaskan mengapa mode wig bisa bertahan begitu lama (membentang dari abad ke-17 hingga ke-18, menurut Huizinga, kita harus bertolak dari kenyataan bahwa pemeliharaan rambut panjang dengan segera akan menimbulkan tuntutan-tuntutan yang lebih besar daripada apa yang dapat dipenuhi oleh kebanyakan kaum pria. Dan begitu wig sudah menjadi mode, ia tidak lagi dianggap sebagai rambut tiruan atau rambut palsu dan menjadi unsur corak mode. Hampir sejak lahirnya mode itu dalam abad ke – 17, wig merupakan suatu hasil seni. Dalam arti yang paling harfiah, wig dimaksudkan sebagai “bingkai” wajah, sebagaimana lukisan diberi bingkai. Wig tidak dimaksudkan untuk meniru-niru, melainkan untuk mengisolasi wajah, sehingga akan kelihatan lebih muda, lebih indah. Maka dari segi ini, wig merupakan yang paling barok dari segala Barok (Huizinga, 1990:255).

Abad ke-19 tampaknya tidak punya banyak tempat lagi bagi fungsi permainan sebagai faktor dalam proses kebudayaan. Terdapat kecenderungan-kecenderungan yang semakin kuat yang tampaknya tidak memungkinkannya untuk terjadi sebagai basis kehidupan manusia. Sudah sejak abad ke-18, umpamanya, utilitarianisme yang prosais dan berkepala dingin (ini yang fatal bagi Barok) dan ideal Borjuis tentang kesejahteraan sosial, sudah mulai berpengaruh dalam masyarakat. Menjelang akhir abad itu, revolusi industri dengan keefektifan teknisnya yang semakin meningkat memperkuat kecenderungan-kecenderungan itu. Kerja dan produksi menjadi ideal dan hampir menjadi idola di zaman tersebut. Eropa mengenakan seragam kerja. Kesadaran sosial, tujuan pendidikan dan pengetahuan ilmiah merupakan faktor-faktor yang menentukan proses kebudayaan. Semakin meningkat perkembangan industri dan teknik, mulai dari mesin uap sampai kepada tenaga listrik, semakin kuat ilusi yang diciptakannya, bahwa dalam dirinyalah terletak segala kemajuan peradaban. Akibatnya terbukalah kemungkinan bagi manusia untuk menyusun dan menganut konsepsi yang keliru dan yang memalukan; seolah-olah peristiwa di dunia ini ditentukan dan dikuasai oleh kekuatan dan kepentingan ekonomi (Huizinga, 1990:265).

Bagaimana Huizinga menjelaskan unsur permainan abad modern setelah memudarnya budaya Arkhais abad ke-18 ? Minimal ada beberapa simpulan yang bisa diperoleh dari dia. Pertama, semuanya begitu terkait dengan kegiatan olehraga. Olahraga dengan segala kompleksitas dan sifatnya masih menjadi habitat subur dimana insting bermain itu tidak pernah benar-benar mati. Dikatakan oleh Huizinga, sesuatu yang penting bagi kita adalah peralihan dari permainan hiburan yang dilakukan sesekali ke sistem perkumpulan dan pertandingan yang terorganisasi. Meskipun begitu, ada perbedaan substantif antara masa arkhais dengan dunia modern dalam memaknai olahraga sebagai sebuah aktivitas ludik. Dalam masyarakat terkini, olahraga menduduki tempat tersendiri, terpisah dari proses kebudayaan yang sesungguhnya, yang berlangsung di luarnya. Dalam kebudayaan arkhis, kompetisi merupakan bagian dari pesta sakral. Kompetisi selalu bermuara pada harapan akan datangnya kesejahteraan, tidak dapat ditiadakan. Dalam olahraga modern, hubungan dengan ritus itu sudah hilang sama sekali. Ia sudah menjadi profan sepenuhnya dan tidak mempunyai ikatan organis lagi dengan struktur masyarakat, sekalipun kegiatannya diharuskan oleh pemerintah. Ia masih merupakan pengungkapan mandiri dari naluri-naluri agonal daripada suatu faktor semangat kemasyarakatan yang subur (Huizinga, 1990:273). Suatu perusahaan besar dengan sadar telah memasukkan faktor permainan ke dalam lingkungannya sendiri, untuk kemudian berlomba mengukir prestasi demi prestasi. Orang terjebak di dalamnya. Prosesnya sudah dibalikkan : permainan menjadi sungguhan. Seorang atlit sepakbola internasional saat ini tidak bisa lagi hanya sekadar menikmati permainan sepakbola sebatas permainan riang gembira memainkan si kulit bundar, namun sudah terlalu sibuk dengan berapa gol yang akan tercipta sekaligus harga transfernya, berapa gaji bulanannya, berapa asuransi kakinya, berapa iklan yang akan dia bintangi selama dia menjadi bintang. Sepakbola telah menjadi bisnis dan tidak ada lagi unsur ludik di dalamnya. Semua ditaksir dan diprediksi sedemikian rupa.

Kedua, terdapat kecenderungan bahwa kegiatan-kegiatan yang pada mulanya sangat terimpit dengan kepentingan, keharusan, atau kebutuhan (sama sekali tidak menunjukkan bentuk-bentuk permainan) secara sekunder mengembangkan suatu sifat yang hanya dapat dinamakan sifat permainan. Validitas kegiatan-kegiatan itu hanya terbatas dalam suatu lingkungan yang tertutup, dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya kehilangan finalitas umumnya. Contoh konkret dunia modern adalah anggapan bisnis yang semakin kehilangan sisi kesungguhannya dan berubah menjadi semi permainan. Cerita tentang jual menjual saham dari para spekulan tak lebih dari sebuah permainan angka-angka numerik di papan keyboard komputer mereka. Tak lagi dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi terbesar abad ini nampaknya hanya bermula dari semangat iseng seorang spekulan raksasa dalam mengkalkulasi tarik ulur dana di berbagai pasar saham dunia. Menganggap dunia permainan saham sebatas permainan games telah menyengsarakan banyak orang dengan tak terkendalinya nilai mata uang. Beberapa manajer puncak perusahaan-perusahaan global merasa bahwa dalam dekade terakhir mereka lebih banyak terlibat dalam suasana kompetisi yang lebih mirip sebuah permainan ketimbang tuntutan profesional pekerjaan.


Tesis utama Huizinga adalah bahwa kebudayaan itu sendiri mengandung karakter permainan. Secara ekstrim dia bahkan mengatakan bahwa peradaban muncul dan berkembang di dalam dan sebagai permainan (1955). Usahanya untuk mencoba mengintegrasikan konsep permainan ke dalam kebudayaan, nampaknya hingga hari ini tenggelam ditengah-tengah semangat humanisme yang ditiupkan generasi baru abad 20. Sekalipun sesungguhnya apabila direnungkan, Huizinga telah berupaya memberikan jawaban atas ketertundukan manusia sebagai Homo Faber logika produksi. Mengapa demikian ? karena karakter Homo Ludens dengan sendirinya sudah mencakup spirit Humanisme. Demi memaparkan bagaimana telaahnya atas esensi bermain manusia dalam kebudayaan, Huizinga memberikan empat ciri-ciri yang bisa dijadikan patokan. Pertama, permainan itu suatu aktivitas sukarela (voluntary activity) , yang -walaupun disadari sebagai-“tidak sungguhan”. Kedua, bermain selalu dipandang berada diluar kehidupan yang biasa (not real life and only pretending) - dapat menyita seluruh perhatian pemain untuk berkonsentrasi memainkan peran tertentu ketika terlibat dalam permainan ; Ketiga, tertutup dan terbatas (secludedness and limitedness). Sebuah permainan hanya dimainkan dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ia berlangsung dan bermakna dalam dirinya sendiri. Keempat, permainan menciptakan ketertiban (create order, is order). Bahkan ia adalah ketertiban itu sendiri. Dalam sebuah permainan, seluruh pihak yang bermain harus taat pada sebuah aturan khusus yang harus dipatuhi. Ketidakrelaan mengikuti aturan membuat permainan tidak bisa lagi dijalankan.

Esensi dari permainan menurut Huizinga, adalah insting mendasar manusia untuk tampil menunjukkan diri atau sesuatu. Pada tataran ini identitas menjadi kata kunci. Eksistensi manusia yang dipertunjukkan dalam permainan mewakili sifat dan fungsi permainan (Huizinga, 1950). Bila membicarakan permainan, maka kita akan menemukan upaya mencapai posisi ”juara”, ”nomor satu”, yang pada intinya adalah memenangkan permainan. Esensi kalah menang ini menjadi bagian integral dalam kehidupan. Bahkan menjadi kunci dalam interaksi kehidupan manusia sehari-hari. Dari pembacaannya atas energi ludens tersebut, Huizinga sebenarnya tengah memperhalus dan mengurai konsep relasi kuasa yang bersumber dari ‘hasrat berkuasa’ (will to power) dari Nietzche. Sebuah hasrat yang menjadi fondasi pemikir-pemikir Prancis posmodern. Pada titik inilah kemudian menginterpretasi insting ludens tadi dalam fenomena kekinian akan menjadi sebuah kajian menarik. Tafsir yang ditawarkan adalah pembacaan atas hasrat ludens tadi dengan meminjam konsep-konsep Deleuze & Guattari. Namun menjelaskan lebih dahulu tentang konsep hasrat nampaknya menjadi sebuah keharusan.

Dari sedikit ilmuwan yang begitu peduli akan konsep hasrat ini, kita boleh menyebut Sigmund Freud lah yang paling detail dalam mengelaborasinya. Terbukti dua abad sejak dia tuliskan, perbincangan hasrat semakin menemukan atmosfir untuk tumbuh dan berkambang. Tersebutlah nama Lacan, Foucault, Derrida, Barthes, Deleuze & Guattari, Irigaray, Lyotard, dan Kristeva, semuanya adalah pemikir dan filosof yang banyak membicarakan dinamika hasrat dalam rangkaian karya mereka. Freud menelusuri genesis hasrat dari pengalaman badani awal antara bayi dan ibunya. Manusia terlahir prematur. Dia tidak seperti kambing atau rusa yang langsung bisa berjalan beberapa saat setelah dilahirkan sang induk. Bayi manusia sepenuhnya tergantung atas perawatan sang ibu untuk pemenuhan kebutuhan biologisnya. Dinamika relasi antara anak, ibu, kecemburuan pada peran ayah serta ketakutan akan kartrasi (pengebirian) berakhir pada usaha keras Freud untuk menundukkan Id dalam selubung ego dan campur tangan super ego (Adian, 2006:25-43). Upaya penundukan itu ternyata tidak serta merta menghilangkan id sebagai kekuatan latent. Ia mengambil bentuk baru lewat penyingkapan fantasi. Hasrat atas kepuasan serta merta sementara mengalah guna mencapai kepuasan yang lebih tahan lama dan permanen sifatnya.

Formasi ego pun pada tataran selanjutnya melibatkan hasrat. Kehilangan ‘yang dicintai’ adalah pengalaman yang menyakitkan sehingga sebentuk ego mesti dibentuk lewat identifikasi dan inkorporasi. Identifikasi adalah proses di mana individu menginternalisasi atribut orang lain dan mentransformasi lewat imajinasi tak sadar. Identifikasi ini kemudian menjadi bagian dari individu melalui inkorporasi : pengambil-alihan-objek-sebagian atau seluruhnya-untuk menyusun basis dari ego. Dari sepenggal paparan ini, hasrat paling tidak bisa didefinisikan sebagai sebuah kekuatan alam bawah sadar yang menggarakkan manusia. Hasrat hadir karena posisi belum sempurnanya manusia sebagai makhluk yang berkeinginan. Keinginan yang karena munculnya peradaban berhasil dikekang dan dikendalikan. Namun pada saatnya terlihat bahwa inilah sebuah konsep yang mampu menjelaskan perilaku manusia abad ini. Seperti yang coba dibahas tuntas oleh para pemikir posmodern.


D.Posmodernisme dan Hasrat : Me-luden-kan Kehidupan

Dalam uraiannya tentang sosiologi posmodern, Scott Lash (2006:88-91) menegaskan bahwa untuk berbicara tentang hasrat, kita tidak bisa melepaskan diri dari ciri-ciri intelektual Prancis. Dengan tiga penulis utama Prancis – Foucault, Lyotard, dan Gilles Deleuze – Lash menyatakan bahwa pembicaan tentang hasrat akan sangat terkait dengan ciri tersebut, yakni kuatnya pemikiran posmodern. Dengan menggunakan tiga logika Foucault, Lash mengatakan bahwa sumbangan kaum neo-Nietzschean bukan hanya pada wilayah estetika, melainkan juga etika posmodernitas, yang telah mengangkat “perlawanan” dan “penemuan” melawan isu hirarki dan penaklukan. Kata pertama yang penting untuk melihat peralihan posmodern estetis menuju posmodern teoretis adalah mengangkat narasi atau “kisah” melawan diskursus.
Di Prancis, posmodern teoretis terutama menjadi persoalan keterpisahan dengan strukturalisme. Dalam perkembangannya kemudian para teoretisi Prancis terbelah menjadi dua kubu. Di satu kutub ada para strukturalis atau modern seperti Barthes, Lacan, dan Derrida yang sangat terinspirasi oleh pendekatan bahasa Saussurean; di sisi lain ada kaum posmodernis seperti Foucault, Deleuze, dan Lyotard yang bersifat Nietzschean. Satu kutub pertama sangat mengidolakan bahasa menjadi pintu masuk menjelaskan fenomena, satu kutub berikutnya menjadikan hasrat diri sebagai upaya menjelaskan semuanya. Sekalipun keduanya berbeda jalan, namun keduanya memiliki sasaran kritik yang sama yakni melawan narasi besar modernitas. Seorang filosof kontemporer yang benar-benar menjadikan hasrat sebagai landasan berpikir melawan narasi besar itu adalah Gilles Deleuze.

Sebagai salah satu bentuk kekhawatiran atas terlalu kuatnya kecendrungan dehumanisasi manusia yang dihasilkan oleh modernitas, Gilles Deleuze & Felix Guattari dalam masterpeice mereka “Anti-Oedipus : Skizophrenia & Capitalism” (2008) menawarkan konsep masyarakat Despot. Seperti yang dilakukan Fromm dan Marcuse, kedua orang ini juga menggunakan analisis Freudian dalam membaca zaman dengan perspektif strukturalis. Untuk menyebut mereka sebagai penerus Freud nampaknya tidak sesuai dengan maksud buku mereka tadi, jadi lebih baik ide mereka berdua dinamakan sebuah upaya pelebaran (pembantahan) atas kritik besar Freud terhadap kemajuan peradaban yang terus menerus meninggalkan manusia pelaku peradaban itu sendiri. Saat Freud sama sekali tidak tertarik pada ide tentang masyarakat dan bagaimana masyarakat sebagai sebuah kesatuan sosial bisa terbentuk dan lalu hancur lebur, justru Deleuze & Guattari berhasil memperluas ide mikro Freud menjadi senjata utama kritik menghancurkan narasi besar Marxian. Interpretasi Freud yang sangat personal individual, dipinjam untuk melihat perspektif lebih luas berupa kompleksitas dan dinamika masyarakat sosial. Dengan menggunakan konsep Schizophrenia, keduanya merelasikan antara hasrat dengan produktifitas Marxian.

Relasi antara hasrat yang produktif dan kekuatan antiproduksi merupakan bahasan yang penting di dalam karya Deleuze & Guattari (2008). Dengan dua konsep yang saling berelasi inilah mereka berusaha memecahkan logos hasrat yang selama ini berwajah Oedipus. Menurut mereka subyek yang ter-Oedipalisasi sudah merupakan sebuah produk atau hasil dari pertentangan antara hasrat produktif dengan kekuatan antiproduksi. Semuanya terjadi di bawah sadar, dan dengan cara pembacaan diri yang restropektif akan memungkinkan kita menyadari setelah pertarungan itu usai dan siapapun pemenangnya. Schizophrenia merupakan suatu kondisi dimana hasrat yang produktif dan kekuatan antiproduktif secara permanen bergantian menguasai koneksi atau diskoneksi tubuh-tanpa-organ. Sebuah revolusi permanen yang tanpa henti, dan tentunya tidak mengijinkan pembentukan subjek.

Untuk membedakan konsep utamanya dengan psikoanalisis (yang terlanjur dianggap sebagai dogma) Deleuze & Guattari (2008) menggunakan istilah Skizoanalisis. Formula yang ditawarkan oleh keduanya untuk keluar dari krisis kemanusiaan mengacu pada konsep schizophrenia yang menurutnya masih lebih bermartabat daripada apa yang ditawarkan kaum psikonalisis. Mereka bilang, “a schizophrenic out for a walk is a better model than a neurotic lying on the analyst’s couch” (2008:2). Seorang skizofrenik yang ingin sekali melangkah bisa jadi merupakan model yang lebih baik daripada model neurotik yang terbaring di atas dipan seorang analisis (pendekatan psikoanalisis).

Permasalahan akan muncul ketika kekuatan antiproduksi memenangkan pertarungan dan membebaskan hasrat dari pengaruh insting atau kebiasaan yang menentukan. Ketika koneksi organ dan mesin hasrat terputus, hasrat yang produktif menjadi rentan untuk tertangkap di dalam representasi sosial yang represif, yakni bentukan-bentukan sosial tentang apa yang harusnya kita inginkan dan patuhi.

Dari titik inilah kemudian skizoanalisis memulai proyeknya untuk memeriksa masyarakat sebagaimana memeriksa psikis manusia. Permainan mesin hasrat yang produktif dan kekuatan antiproduktif tidak hanya diam di dalam psikis individual, lebih lanjut di bawa ke ranah sosial untuk menunjukkan bagaimana hasrat yang selama ini dituduh sebagai kambing hitam sejarah justru memperoleh representasinya dari ranah sosial. Untuk membuktikan hal tersebut, Deleuze & Guattari melakukan sebuah genealogi, metode pelacakan silsilah yang dikembangkan oleh Nietzsche & Foucault. Tidak ketinggalan, pisau analisis Marx untuk memeriksa ekonomi sosial, strukturalis Lacan dan Levi-Strauss untuk memeriksa simbol, bahasa, dan bentuk-bentuk interaksi sosial, serta Freud. Dari pemikir sosial kontemporer, Deleuze & Guattari yang pertama membawa psikoanalisis dalam bentuk barunya, yakni skizoanalisis, ke tahap yang menggabungkan analisis kuasa Nietzchean, analisis politik-ekonomi marxian, dan strukturalisme Lacanian.

Kemampuan untuk memindahkan konsep Marx tentang masyarakat sosial ke dalam prinsip psikis individual dibuktikan oleh Deleuze & Guattari (2008). Tekanan mereka melihat hasrat sebagai yang ditekan namun tak tertiadakan. Ide awal mereka adalah dengan mengurai konsep Oedipus dari Freudian. Perlu diketahui bahwa sosok mitologi Yunani bernama Oedipus ini adalah gambaran Freud tentang sosok anak yang membunuh bapaknya untuk kemudian mengawini ibunya. Hasrat disederhanakan setara dengan kompleksitas sosok Oedipus. Setelah mengupas Oedipus versi Freud mereka berdua sampai pada pertanyaan kunci, apakah memang hasrat selalu mengambil bentuknya sebagai Oedipus di dalam kesejarahan manusia ? untuk memecahkan pertanyaan itu, Deleuze & Guattari melakukan geneologi terhadap Oedipus dengan membagi momen kesejarahan manusia menjadi momen Savegery, Despotism, Capitalism, dan Permanent Revolution.
Membicarakan tentang hasrat sebagai konsep utama dalam teori-teori kritis sesungguhnya menandai membaurnya pendekatan posmodern untuk melihat apa yang sama sekali tidak terlalu dilirik oleh teori-teori tersebut. Dalam pandangan awal Ben Agger (2003) posmodernisme neoliberal dan multikultural sama sekali tidak mengeksplisitkan diri sebagai teori sosial kritis karena mereka tidak memunculkan tantangan radikal bagi sistem sosial yang telah mapan. Namun pada bagian akhir tulisannya, Agger menyarankan agar teori-teori sosial posmodern bisa dibaca dalam narasi besar teori kritis. Untuk mendukung asumsinya itu, Agger memberikan delapan asumsi terkait dengan dasar berpikir teori-teori posmodern.


E.Homo Ludens Sebagai Kritik : Tawaran Simpulan

Paling tidak ada dua skenario besar untuk mencoba menelaah hasrat yang bermetamorfosis dalam ke-bermain-an manusia abad ini. Pertama, jika memang benar dia telah menjadi sebuah gejala masif (mempermainkan bentuk hasrat sedemikian rupa untuk mengelabui super ego) bagaimana cara menditeksi keberadaannya agar manusia tidak lagi terjebak pada labirin metamorfosis hasrat yang absurd ? Kedua, jika memang dia tidak bisa direpresi sedemikian rupa oleh kekuatan imaji sosial masyarakat, maka dalam wujud dan rupa seperti apa dia bisa ditoleransi untuk merepresentasikan diri ? Kemampuan untuk menyembunyikan segala insting dengan formulasi yang sangat halus bisa dijawab dengan hasrat bermain (ludens).

Konsep homo ludens sungguh datang pada saat yang tepat. Konsep yang ditawarkan lebih dari satu abad silam oleh Huizinga ini paling tidak menjadi alternatif menerangkan fenomena manusia kontemporer. Ternyata di luar dunia relijius, seni spontan, dan segi-segi manusiawi lain yang tidak bisa dibawahkan oleh hukum-hukum empirik dan rasionalitas instrumental belaka, masih ditemukan suatu dunia yang sangat manusiawi, spontan, dan asli dalam diri manusia, yang diharapkan dapat mengimbangi distorsi dunia rasionalitas yang ternyata adalah irasionalitas yang absurd. Dunia itu adalah dunia bermain.

Esensi ke-bermain-an manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, dan aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan, dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berproses emansipatorik, dan semua itu hanya akan tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan. Dalam kondisi bermain itulah seharusnya manusia menikmati prinsip konsumsi. Menikmati hidup yang semakin berat. Mencoba untuk menafsir homo ludens dengan perspektif posmodern akan menghasilkan daya bongkar atas perilaku tak terjelaskan manusia kontemporer.