Kamis, 13 Agustus 2009

Kekuatan Kontrol yang Tak Mampu Mengontrol

“Melihat dunia dalam sebutir pasir,
dan surga dalam bunga hutan,
peganglah Yang Tidak Terbatas di
telapak tanganmu, dan Keabadian
dalam satu jam.”

-William Blake -


Setelah Rene Descartes memberikan penegasan betapa berkuasanya akal pikiran untuk mengatur diri dan dunia di sekeliling kita, sampailah kita pada masa di mana akal telah kehilangan kekuatannya. Pendewaan pada akal telah mengakibatkan hilangnya kekuatan imajinatif, puitis, dan simbolis, bahkan pada sudut terjauh telah menghilangkan visi akan landasan etis. Sebuah landasan yang menjadi rahim peradaban. Kekuatan imajinatif yang seharusnya kita kelola dengan otak kanan, telah kita dorong dan kembangkan dengan otak kiri. Ini kemungkinan yang tidak mungkin. Seperti tuduhan telak Kevin O’Donnell (2009) bahwa saat otak kiri meminta konkritisasi atas apapun di dunia ini, lahirlah materialisme. Dia telah membuat visi tentang keindahan tidak lagi bermakna apa-apa. Semua diubah menjadi komoditas dan bukan ekosistem yang halus dan menakjubkan. Kekuatan akan penciptaan dan penghayatan akan keindahan hanya bisa dihadirkan dengan mekanisme otak kanan.
Namun saat ini, dengan ikut campurnya otak kiri untuk mengapresiasi beberapa hal tadi, kita telah menghancurkan semuanya. Mau bukti ? berjalan-jalanlah di sepanjang gerai yang dipajang di Mall Ambarukmo Plaza (Jogja). Kita akan temukan semua nilai kehidupan yang mewujud dalam baju, celana, kamera, komputer, mobil, sepeda, dan aneka komoditas lainnya. Semua bercerita tentang diri. Mengonstruksinya. Membingkainya. Menekan kita. Pernahkan kita berpikir terlalu lama untuk memilih salah satunya ? satu-satunya yang mungkin kita pikirkan adalah “masih cukupkah uang kita untuk membelinya ?” Panjang lebar Jean Baudrillard mengurai ini dalam The Consumer Society (1998), yang dengan lebih radikal disuarakan Martyn J Lee (2006). Mereka khawatir dengan budaya hidup konsumtif. Pada titik terjauh saat ini kita akan melihat parade pameran bertitel unjuk budaya setiap daerah di Indonesia yang muncul dalam rupa kerajinan tangan, baju adat, rumah adat, makanan khas daerah, serta beragam hasil kreasi budaya lainnya. Ironisnya, semua ditempa dalam wujud material yang harus laku jual. Mau bukti ? kunjungi saja Pameran Investasi Daerah se-Indonesia yang setiap tahun digelar di Jogja Expo Center (JEC). Budaya sebagai artefak diperdagangkan di sana. Hasil budaya telah dihilangkan nilai sakralnya. Itulah komoditas. Sebuah bukti kerja budaya yang sarat dengan nilai keindahan dan abstraksi seni tingkat tinggi, telah dinilai dengan berapa dollar dan berapa rupiah dia terbeli. “uang berbicara, dan semua adalah imej dan super-realitas !” begitu kata Baudrillard.
Otak yang pada dasarnya kita gunakan untuk berpikir segala sesuatu yang memang layak untuk dipikir, telah menyimpang untuk menilai sesuatu yang selayaknya tidak perlu dipikirkan. Keindahan, kebahagiaan, kesenangan, adalah sesuatu yang tidak meminta untuk dipikirkan. Dia hanya meminta dirasa dan dinikmati. Dijalani. Semua sudah mengalir dengan sendirinya. Semua telah dikupas tuntas oleh Malcolm Gladwell (2009) dengan menggunakan terma blink sebagai ungkapan bahwa manusia bisa mengembangkan kemampuan berpikir tanpa berpikir. Inilah energi besar yang terlupakan (atau sengaja dilupakan) oleh otak. Pertanyaan besarnya adalah : bisakah otak kita gunakan tidak sekadar untuk berpikir ? tentu bisa. Asal berikan sesuai porsi mereka. Otak kiri telah diberikan kemampuan sebagai sentral berpikir manusia. Untuk sisi yang lain terkait dengan keindahan dan daya cipta kebahagiaan, telah tersedia sudut kanan untuk memamahnya. Biarkanlah dia bekerja. Rasakan saja. Ketika semua ingin dimamah oleh otak kiri, maka peradaban manusia telah didorong pada komoditas tiada henti. Sesuatu yang tak berujung. Tak pernah berhenti. Mesin komoditas telah menciptakan komoditas atas dirinya sendiri. Namanya bisa apa saja. Lengkungan emas McDonald yang lebih dikenal daripada salib kristen (Ritzer,2002), kosmetik yang menjadi acuan kecantikan (Davis, 1995; Wolf, 2004), dan hampir keseluruhan nilai seni yang telah tergusur menjadi komoditi jual beli (Smiers,2009). Inilah abad dimana bahkan seks sebagai media penerus keberlangsungan spesies manusia, telah dijadikan komoditas dengan daya jual luar biasa (Diamond, 2007).

Dengan menukik lebih dalam dari filsafat posmodern Gilles Deleuze & Felix Guattari, Yasraf Amir Piliang (2004) telah membuka pemikiran tentang pergeseran peradaban kita menuju nilai tanda (sign value). Sebuah nilai yang sungguh lentur dengan beragam makna yang terus berubah. Seiring dengan kekuatan terbesar konsumsi masyarakat itu sendiri. Masalahnya adalah, disaat semua orang terlena dengan aktualisasi diri mereka, terlena dengan narsisme mereka, tanpa sadar kita tergiring pada pinggiran peradaban tak bertujuan. Sebuah epidemi akan narsisisme yang sangat dikhawatirkan Jean M. Twenge & Keith Campbell (2009).
Akar dari semua fenomena tadi adalah saat akal dianggap memiliki kemampuan membuat segala sesuatunya bisa dipahami. Termasuk emosi. Kita merasa bahwa akal bisa mengontrol kita untuk mencapai kebaikan. Justru masalahnya adalah di saat kita merasa bisa mengontrol, kita tengah jatuh ke dalam ketidakmampuan mengontrol. Itulah batas nalar, seperti dikatakan Donald B. Calne (2005). Kreasi budaya, hasil narasi seni dan rasa, tidak cukup mampu diterjamahkan dalam bilik “kemasuk akalan”. Bila itu dipaksakan, kita memang telah jatuh dalam pemberhalaan akal pikiran. Kita kehilangan sensitifitas keindahan. Rasa tertinggi kemanusiaan. Berikutnya musnahlah peradaban ...

Bantaran Kali Kesunyian, Agustus 09