Kamis, 29 Januari 2009

CINTA : DIBIMBING MALAIKAT SUCI ATAU IBLIS HINA DINA ?

“Di era Victoria (abad ke –17) di Eropa,
orang berusaha mencari cinta tanpa harus terjerumus ke dalam seks.
Di era sekarang, orang berusaha mencari seks
tanpa mau terjebak dalam cinta”

(Croock – Brauer : Quantum Love, 2005)


Cinta bisa saja sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu yang serba indah, keterpesonaan, campur aduknya perasaan, dan dahsyatnya libido berkepanjangan. Bisa jadi dia sama sekali tidak ada kaitannya dengan berjuta rasa itu tadi. Perlu bukti ? baiklah saya akan paparkan mengapa saya berani mengatakan hal itu. Mari kita mulai dengan susunan kata cinta itu dulu. Dalam bahasa Inggris, cinta digantikan oleh konsep love, sementara itu jatuh cinta disebut fall in love. Kita berhenti dulu pada kata terakhir itu …. Fall in love artinya jatuh cinta, merasakan cinta. Pertanyaanya : mengapa harus memakai kata fall (jatuh) ? yang konotasinya negatif ? mengapa tidak menggunakan kata naik (up in love) ? dari penggunaan kata pertama itu tadi terkesan jatuh cinta bisa lebih bersifat kejatuhan, kesakitan, dan (mungkin) penderitaan, dan seakan menjadi objek pasif. Sementara ada kata lain yang juga bermakna cinta dan menimbulkan kesan produktif dan aktif : making love (he he he he). Disinilah bermainnya bahasa sebagai jawara.

Pada konsep fall in love, cinta menjadi sesuatu yang irasional karena love itu sendiri sudah direduksi oleh kata fall yang bersifat pasif. Dan atas alasan itulah dia berada di area ketidaksadaran (uncenciousnes). Sementara pada kata making love, cinta menjadi sesuatu yang rasional karena telah diimprovisasi pendekatan marxis atas konsep produksi. Saya tidak berani untuk menuliskan apa terjemahan resmi untuk kata : making love, namun satu hal yang selalu melekat dalam diri saya bahwa kata itu pastilah bernuansa kenikmatan, kenyamanan, dan selalu ingin dilakukan dengan kesadaran. Tidak jelas benar kapan manusia mulai mendekatkan cinta dengan seks. Mengait-ngaitkan kesucian dan rasa ketertarikan atas hati dengan ketertarikan manusia atas fisik diri : pantat dan bokong yang seksi, dada membuncah mengundang birahi, serta rintihan lirih mengharu biru berazaskan hubungan jasmani.

Panjang upayaku untuk mengetahui kapan Adam dan Hawa melakukan hubungan seks pertama kali, setelah mereka tergelincir ke bumi ? Apakah Tuhan juga ikut-ikutan memerintahkan Adam untuk mulai menindih dan mengarahkan penisnya pada vagina Hawa ? ataukah semuanya terjadi berdasarkan instink dan nafsu semata : Hawa terlentang lalu Adam horny dan kemudian terjadilah semuanya ? panjang upayaku untuk menyimak bagian terpenting itu, namun selalu tidak ada referensi yang bisa menjawab segala tanya dan kegelisahan ku. Mengapa aku begitu gelisah ? Asumsi bahwa manusia berasal dari Adam dan Hawa membawaku pada satu kesimpulan bahwa pada diri merekalah segala miniatur dan model perilaku manusia diseluruh dunia saat ini bisa disingkap dan diterangkan. Termasuk tentang mengapa harus terjadi hubungan seks. Masalahnya : apakah hubungan seks antara Adam dan Hawa itu didasari cinta, atau hanya instink hewani nafsu belaka ? jangan lupa bahwa mereka telah melakukan “hubungan” tanpa didahului dengan pernikahan ! Aku sendiri tidak mau berdebat tentang kalimat terakhir itu. Kalaupun mereka harus “diresmikan” melalui sebuah ritual pernikahan terlebih dahulu, maka satu-satunya yang bisa melakukan hal itu (pada saat itu) pastilah si – Tuhan sendiri. Terus kalau logikanya hubungan itu disyahkan oleh Tuhan, maka pastilah tidak ada nafsu hewani di dalamnya, semua bersih berdasarkan cinta, penuh harum bunga surga. Namun kalau kemudian hubungan seks antara Adam dan Hawa hanya sebatas agar mereka memperoleh keturunan belaka, maka apa beda mereka dengan sepasang anjing, kuda, gajah, harimau, dan (tentu saja) monyet ? toh sekumpulan nama terakhir yang aku sebutkan itu tidak perlu mengetahui dan peduli dengan apa itu inner beauty, puisi cinta memilukan hati, air mata mengalir membasahi pipi karena keperawanan sang putri telah ditembus semena-mena oleh otoritas penis lelaki, nothing ….. semua itu tidak ada ! yang ada hanya hubungan badan pemuas nafsu birahi. Bagi monyet, saat tiba masa kawin dan diselimuti birahi, maka sang jantan akan memberi isyarat pada betina, mendekati, bergaya, lalu memeluk betina, betinapun cuek dan menerima saja … bergelayutan di pohon, atau rebahan di tanah, terus … pejantan menindih … lalu mereka mengerang-ngerang … berpindahlah sperma si jantan kedalam rahim tubuh betina. Terjadilah pembuahan … udah deh. Semua terjadi dengan begitu saja. Tak ada akal di dalamnya. Hingga hari ini aku masih mencoba untuk percaya bahwa hubungan kelamin pertama antara Adam dan Hawa bukanlah hanya semata-mata untuk mencipratkan sperma lalu muncul manusia-manusia baru, melainkan penuh dengan landasan rasional dan ungkapan diri manusia yang memiliki akal. Akallah yang membawa manusia untuk bisa membedakan mana yang tulus cinta murni ketika harus menindih seorang perawan, ataukah tindihan dan erangannya itu hanya sebatas kebutuhan biologis pamer penis ?

Sementara dalam semua kitab suci, Tuhan sudah mengatakan bahwa tidak ada satu pengetahuan-pun yang didapat manusia melainkan dengan berfungsinya akal manusia tersebut. Tidak juga jelas tentang apakah saat di Surga itu Adam dan Hawa sudah memiliki akal ? sebab ketika harus menyebutkan nama-nama benda dihadapan malaikat dan iblis pun, ternyata Adam masih harus didiktekan oleh Tuhan. Berasumsi bahwa daya ingat hanya tumbuh karena kekuatan penyimpanan memori di otak manusia, dus berarti dengan otak itulah maka manusia bisa menimbang, berpikir, dan memanggil kembali (rehersal) segala isinya, maka okelah kita asumsikan bahwa saat itu Adam sudah berakal. Masalahnya fungsi otak itulah yang kemudian menjerumuskan Adam ! kemampuan Iblis untuk membujuk Adam justru dengan menggunakan logika terbalik untuk berargumen tentang alasan mengapa Tuhan melarang Adam mendekati dan memakan “buah dari pohon pengetahuan”. Waktu itu Iblis Cuma bilang begini :
“Justru Tuhan tidak ingin agar diri-Nya tersaingi,”
“Maksudnya ? “
“Ketahuilah wahai Adam ..” Iblis mulai memprovokasi. “ Dengan memakan buah dari pohon itu, maka seluruh pengetahuan Tuhan akan segera kamu miliki”
Pada titik inilah maka kemampuan otak Adam sudah bisa memainkan logika dengan benar. Bahwa memakan buah sama dengan memiliki kemampuan Tuhan, kalau tidak memakan buah maka tidak akan memiliki kekuatan seperti kekuatan Tuhan. Logika yang sederhana : dan Iblis masuk dengan lihainya ……. Pertanyaannya : mungkinkah Adam sama sekali tidak berakal atau tak punya otak apabila mau menerima provokasi logis dari sang Iblis ? justru logika oposisi biner (Tuhan dan pengetahuan tanpa batas) yang dijadikan landasan argumen si Iblis itu hanya bisa dipikirkan oleh otak yang telah ber akal ? Jelas sekali bahwa otak yang dikaruniakan Tuhan pada si Adam saat itu adalah otak pasif. Entahlah .... silahkah lah jawab pertanyaan iseng itu, namun ada juga versi lain tentang mengapa Adam menjadi tergoda bujuk rayu Iblis.

Kata versi ini, penjerumus Adam untuk mengambil buah khuldi itu adalah karena bujuk rayu Hawa. Iblis tidak memiliki kemampuan lagi untuk memprovokasi dan mempengaruhi Adam secara langsung, akhirnya memanfaatkan diri Hawa untuk membujuk Adam, dengan memanfaatkan satu titik kelemahan Adam sebagai manusia : rasa cintanya pada Hawa. Lagi-lagi saya ingin menyampaikan satu kesimpulan sementara bahwa rasa cintalah yang membuat Adam dan Hawa tersungkur ke Bumi ! Kalau saja saat itu Adam lebih bisa menggunakan logika dan rasionalitasnya (tentu saja kalau saat itu sudah dianugerahkan kemampuan berpikir dan diisi oleh Tuhan) untuk lebih mementingkan perintah dan larangan Tuhan, tentu dia akan menomor duakan rasa cintanya pada Hawa. Tapi sejarah dari seluruh kitab agama Samawi di dunia ini mengatakan bahwa faktanya Adam telah menomorduakan perintah dan larangan Tuhan ! Inilah dosa pertama dan akan kekal selamanya.

Melalui asumsi dan cerita tadi, apakah kemudian kita perlu pertanyakan lagi mengapa sampai seorang gadis rela untuk melepaskan keperawanan dan kemolekan tubuhnya untuk pertama kali pada seorang pria atas nama cinta ? apakah kita juga mau pertanyakan seorang pengusaha kelas kakap begitu terlena hingga menghabiskan seluruh kekayaannya karena desahan dan liukan manja serta bisikan kata cinta dari sang gundiknya ? Kejatuhan Mussolini, Hitler, Napoleon Bonaparte, bahkan ssstttt ….. katanya kejatuhan presiden Soekarno sendiri berawal dari terlalu percaya atas omongan dan nasehat dari sosok wanita ? Cinta sucikah itu namanya kalau membawa pada kehancuran dan kemelaratan ? seperti pada sederet nama yang tadi aku tuliskan. Kesucian cintakah namanya kalau kemudian perut seorang gadis muda belia tiba-tiba membuncit dan kemudian dia ditelantarkan oleh lingkungan sosialnya ? atas nama cinta pulakah kemudian sebuah resepsi perkawinan diselenggarakan dengan sang mempelai wanita yang sudah mengandung janin berusia lima bulan ?

Konsep cinta sekali lagi begitu bergeser dari konsep yang tertuang begitu agung dan suci dalam Weda dan Mahabrata. Cinta tak bisa lagi hanya dipandang secara kaku, begitu indah penuh keluhuran dan bertabur kesucian. Cinta dalam wujudnya yang nyata tidak lebih sebagai media pemenuhan nafsu dunia. Nafsu untuk menguasai, nafsu untuk mendominasi, nafsu untuk mengangkangi, nafsu untuk mengatur, bahkan menjadi sebuah tolls semata saat birahi naik begitu tinggi. Zaman bergeser. Masa berganti. Cerita cinta selalu berputar antara sosok putih halus budi, dengan sosok hitam suka memerawani. Dalam cerita selalu digambarkan sang sosok putih menang untuk kemudian mendapatkan wanita pujaannya. Cerita akan berakhir di situ … Happy ending . Tapi apa setelah itu ? sama saja bahwa sang wanita akan menyerahkan dirinya (termasuk pula keperawannya) pada sosok putih halus budi itu, yang dengan menyeringai akan menikmati pula proses penuntasan birahi. Semua sama saja. Bedanya : kalau dengan sosok hitam jahat itu sang wanita tidak bersedia dan mengharamkannya, namun dengan sosok putih maka sang wanita bersedia dan merelakannya. Tidak akan berbeda prosesinya, bahkan justru dengan sosok putih halus budi semua bisa dituntaskan sesuai dengan instink kebinatangannya. Saat itulah begitu sulit untuk membedakan apakah lenguhan yang terdengar merupakan tanda kesucian cinta yang dibimbing oleh Tuhan melalui malaikatnya, atau hempasan nafsu birahi semata yang diarahkan sepenuhnya oleh sang Iblis durjana yang menontonnya dengan senang dan tertawa ? kalau sudah sampai pada titik pemikiran demikian maka sampai pulalah kita pada alasan sebenarnya mengapa pemahaman antara relasi cinta dan seks di zaman Victoria telah begitu bergeser sedemikian rupa hingga tidak lagi mau melibatkan cinta di dalamnya. Satu hal yang mungkin bisa diambil dari kalimat pembuka pada tulisan ini adalah bahwa setiap zaman sebenarnya telah berupaya untuk jujur dan terbuka terhadap dirinya sendiri. Pada perkembangannya kemudian, keterbukaan itu tidak selalu bisa diterima dengan lapang dada oleh setiap orang yang hidup pada zaman itu. Hal inilah yang kemudian menimbulkan sosok-sosok munafik tak terperi, sosok-sosok yang bagaikan srigala berbulu kelinci, bahkan tak segan-segan untuk menggunakan asma Tuhan (bersumpah kanan kiri) untuk menutupi kejahatan birahi. Lihat saja tuh Syekh Puji ! Tak pernah mau mengakui bahwa dirinya telah terperangkap dalam nafsu dan mencoba untuk menutupinya dengan ungkapan cinta suci penuh arti. Seakan lupa bahwa ketergelinciran Adam dan Hawa memang sudah ditulis skenarionya berlandaskan cinta birahi. Sudah saatnya kita mencoba untuk lebih jujur pada diri sendiri. Terimalah cinta seperti air yang terus mengalir, berbelok kekanan berbelok ke kiri. Kadang arusnya deras, kadang tersendat. Hidup memang terus mengalir, dan sudah selayaknya kita tidak terlalu mencari kambing hitam atas segala keterjebakan dan dosa yang telah dilakukan. Iblis yang selalu kita vonis sebagai segala biang keladi pun terkadang tidak merelakan dakwaan atas dirinya. Kenapa sih tidak berani kembali pada hati nurani ? jujur pada diri sendiri ?

Kota Tua, 4 Desember 08

Selasa, 06 Januari 2009

Komunikasi, Ruang Publik, dan Negasi Sosialisasi

Mengacu pada terminologi social contract dari Jean Jacques Rousseau, masyarakat sebagai sebuah entitas, menyerahkan sebagian atau keseluruhan dari kekuatannya itu kepada sistem perwakilan yang kita sebut negara. Dengan mandat itulah kemudian negara memiliki hak untuk mengatur dan memberikan sangsi pada setiap diri personal yang berada dalam wilayah geografis kekuasaan negara bersangkutan. Bagi Rosseau, perjanjian bersama merupakan jalan terbentuknya negara (Noer, 2000:152). Dia juga menyamakan konsep ini dengan polis seperti masa Yunani kuno, atau republik dan badan politik. Dengan beragam sudut pandang, bahasan menarik Rousseau lebih melekat pada dinamika relasi antara negara itu sendiri dengan rakyatnya (Rousseau, 2007). Guna menciptakan satu kesatuan pengaturan, diciptakan berbagai sistem yang pada dasarnya menjadi derivasi hak negara atas rakyat. Turunan hak itu kemudian muncul dalam proses produksi beragam aturan perundang-undangan, kebijakan, dan tata peraturan lainnya dengan implikasi ketertundukan sang pemberi kekuatan kepada negara yang diberi kekuatan.

Dari sinilah muncul oposisi biner reward and punishment (penghargaan dan hukuman). Tercipta pembangkangan dan ruang oposan saat relasi terjadi antara negara di satu sisi dengan masyarakat di sisi lain. Beragam tegangan dan kontradiksi kemudian terjadi. Negara menghadapi sebuah pilihan yang sulit : membuat negara begitu kuat, sehingga masyarakat menjadi lemah, atau sebaliknya membuat masyarakat menjadi kuat dan negara menjadi begitu lemah. Nampak tak ada ‘warna abu-abu’ diantaranya. Prinsip masyarakat komunikatif yang ditawarkan Jurgen Habermas (1970; 2007) mencoba untuk tidak terperangkap dalam dua titik ekstrem itu. Tawarannya akan keterciptaan ruang publik sehingga masyarakat diberdayakan secara fungsional membuat sebuah konsep yang menurut Douglas Kellner menjadi konsep yang penting untuk dikaji ulang. Terlebih –lebih hari ini, saat negara tampil menggunakan satu terminologi yang sangat sejajar dengan stimulan keterciptaan ruang publik. Satu terminologi yang bernama sosialisasi.

Musim Sosialisasi Rancangan ?
Terlepas dari adanya sebuah kebetulan, pada tanggal 6 Desember 2007 kemarin, Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia juga telah menyelenggarakan acara temu konsultasi publik dan sosialisasi RUU Kepemudaan di UGM. Menurut Menpora Adhyaksa Dault, inti dari perlunya sebuah payung hukum bagi kepemudaan adalah bahwa dengan angka sekitar 80 juta, pemuda layak mendapatkan jaminan kelangsungan hidup, perlindungan dari diskriminasi, akses terhadap pendidikan, dan peningkatan kualitas hidup (Kompas, 7 Desember 2007). Harus ada jaminan hukum dan jaminan sosial atas itu semua. Pada hari ini, 17 Desember 2007, kembali ada sebuah diskusi publik tentang sebuah RUU yang bernama Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan nafas kurang lebih serupa. Adanya sebuah kedaulatan bagi masyarakat atas hak mendapatkan informasi dan komunikasi yang pada tataran hukum harus dijamin dengan keberadaan sebuah UU. Mungkin sebuah kebetulan saja ...

Terlepas dari adanya agenda besar pemerintah untuk mulai memperhatikan suara dan opini dari masyarakat, dua kegiatan dengan napas sosialisasi kebijakan ini dapat dibaca sebagai sebuah niat baik. Sebuah kegiatan yang di dalamnya terdapat dua esensi besar pergeseran paradigma relasi negara dan masyarakat. Pertama, negara mengambil peran aktif. Dalam konstelasi perjanjian sosial ala-Rousseau seharusnya titik rakyatlah yang aktif karena kumpulan individu ini kemudian disebutnya dengan rakyat berdaulat. Namun dalam mencermati upaya sosialisasi ini, pemikiran Rousseau dijungkirbalikkan. Esensinya kemudian adalah rakyat pasif. Hal ini yang cukup menarik apabila disandingkan dengan esensi besar pergeseran kedua. Kedua, negara memberikan apresiasi besar terhadap masyarakat (rakyat). Melalui upaya sosialisasi, negara telah memfasiltasi terbukanya ruang-ruang publik dimana rakyat selaku personil dalam sebuah negara, diharapkan mampu memberikan saran-saran, kritik, solusi, dan berbagai perspektif pribadinya untuk sebuah kebijakan negara. Dalam situasi ini tercipta paradox. Di satu sisi negara memberikan kesan betapa aktifnya negara dalam mensosialisasi sebuah kebijakan, namun di sisi lain dengan menggunakan terminologi diskusi publik negara nampak sangat membuka ruang kepasifan dengan menyodorkan problematika sebuah kebijakan kepada masyarakat melalui wacana publik terbuka. Pada titik inilah berdiskusi mengenai konsep ruang publik menjadi relevan untuk diketengahkan.

Public Sphere dan Communicative action – ala Habermas ...
Ruang publik terdiri dari organ-organ penyedia informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar dan jurnal; termasuk ruang publik adalah juga lembaga-lembaga diskusi politis seperti parlemen, klub-klub politik, klub-klub sastra, perkumpulan publik, rumah minum, dan warung kopi, balaikota, dan tempat-tempat publik lainnya yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik.[1] Ditempat-tempat itu kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik dijunjung tinggi (Juliawan, Basis No. 11-12, 2004). Kepublikan yang terjadi dalam ruang publik dengan sendirinya mengandung daya kritis terhadap proses-proses pengambilan keputusan yang tidak bersifat publik.

Upaya Habermas untuk menjelaskan konsep ruang publik (public sphere) menuntunnya pada konklusi bahwa dalam perkembangannya, hampir selama satu abad kemudian fondasi-fondasi sosial bagi ruang publik ini nyaris terjebak di dalam proses pembusukan. Membicarakan ruang publik bahkan hampir tanpa menemukan esensi nyata dari keberadaan ruang publik itu sendiri (Habermas, 2007:1-40). Habermas menelusuri bahwa dalam fase perkembangan konsep ini sejak zaman Yunani, sama sekali tidak ditemukan negasi antara konsep ruang privat dan ruang publik. Keduanya menyumbang kekuatan terbesar bagaimana sebuah wacana mengalir dan diperdebatkan secara terbuka. Sebuah kenyataan yang saat ini justru bertolak belakang.
Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik. Arti penting dari refleksi Habermas ini terletak pada konsepsinya tentang proses diskursus, yang diidealkannya haruslah berbentuk perdebatan yang rasional dan kritis. Perdebatan ini dipagari oleh aturan-aturan yang melarang penggunaan bahasa yang bersifat emotif, dan fokus terhadap isi serta kerangka yang rasional saja. Pada titik inilah Habermas menyumbangkan sebuah konsep yang dia sebut tindakan komunikatif (communicative action) yang secara filosofis menjadi mesin kerja dari berfungsinya ruang publik tadi.

Dalam dunia modern, sulit untuk membayangkan bahwa ruang publik hanya terjadi pada media-media sosial dan tempat-tempat publik seperti abad ke-17 yang dilukiskan Habermas. Saat mana internet dan dunia maya sudah betul-betul menciptakan transformasi sosial, maka harapan akan ruang publik lebih merupakan sebuah harapan terciptanya teknologi informasi yang berpihak pada sisi-sisi humanisme ketimbang industri (Green, 2002; Wilhelm, 2003; Briggs & Burke, 2006). Landasan normatif yang digunakan dalam melihat dinamika masyarakat komunikatif adalah partisipan debat memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Disamping itu, sikap kritis merupakan salah satu unsur kunci yang memegang peranan, sehingga berbagai bentuk argumentasi yang disodorkan dapat diuji melalui debat publik, dan partisipan dapat menemukan makna secara bersama sebagai hasil dari proses debat rasional kritis tersebut (Calhoun, 1993). Dalam konteks itu, media memainkan peran yang semakin obyektif dalam diskursus ruang publik. Namun sayangnya, penelusuran Habermas atas keterlibatan media sejak awal abad ke- 17 dalam konstelasi wacana publik menunjukkan sikap mengambil jarak yang justru membuat media terperangkap dengan dunianya sendiri : dunia komoditas dan kompetisi yang tidak mencerdaskan esensi ruang publik.

Peran media tradisional, seperti televisi, majalah, dan surat kabar, di dalam masyarakat demokratis tampak semakin problematik. Problematikanya terletak pada sejauh mana media tersebut mampu menjadi tempat bagi sikap kritis publik ataupun debat rasional tentang berbagai problem yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Demokrasi memang telah menjadi “ideologi” dominan didalam kehidupan politik modern. Akan tetapi, jarak antara perumusan ideologi yang luhur dengan implementasi praktisnya tampak sangat jelas, sehingga atas itu semua, sebuah pertanyaan penting layak kita ajukan, “apakah cita-cita ideal demokrasi dapat tercapai, terutama dengan meningkatkan peran praksis komunikatif di dalam ruang publik?” Jawaban utopis Habermas pada akhirnya sangat menyandarkan diri pada kesediaan media massa ikut bertanggung jawab dalam proses dialektis dinamis ruang publik. Realitas yang hari demi hari nampak semakin menjauhkan harapan Habermas.

Alih-alih menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat di dalam debat rasional, media telah melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan. Menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamor, seberapapun jenius dan luhurnya ide-ide yang dikembangkan. Pada titik ini sampailah kita pada dunia pencitraan yang telah sukses menggunakan mesin-mesin psikologi persuasi (Setiyono, 2007; Firmanzah, 2007). Tidak lagi penting niat otentik tentang kemajuan bersama. Yang lebih diutamakan adalah struktur pesan dan bagaimana kekuatan pesan mampu menghipnotis khalayak. Esensi debat rasional kritis telah musnah seiring dengan gegap gempitanya dunia politis selebritis dalam media. Program debat politik pun dapat juga ditelaah sebagai upaya untuk menciptakan semacam ilusi kolektif dari partisipasi kritis publik, yang membuat warga seolah-olah merasa bahwa hak-hak politik demokratis mereka telah terpenuhi. Padahal yang terjadi sesungguhnya ada proses “pengebirian hak berpolitik”.

Demokratisasi dan Peran Ruang Publik
Habermas menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik hasil proses debat didalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional. Ia juga menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan didalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipan haruslah dilampaui, yakni warga negara, yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik didalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual (Habermas, 2007). Virtualitas kehadiran partisipan tersebut bukanlah tanpa kritik. Habermas sendiri melihat kemunduran akibat rekayasa media atas subyek partisipan, dan kemudian menjatuhkan semua tanggungjawab pada para wartawan, yang kerap kali memanipulasi data untuk mendapatkan berita yang lebih sensional, dan lebih menjual. Apa yang ditulis secara gamblang oleh David S. Broder (1994) menunjukkan betapa stimulan public sphere yang diberikan wartawan hadir dalam kondisi yang jauh dari otentisitas realita.

Kondisi semacam itu tidak akan pernah dapat menciptakan suatu bentuk opini publik yang otentik, yang sungguh-sungguh mengena ke inti permasalahan, dan kemudian mencari solusi dari inti permasalah tersebut. Opini publik yang otentik hanya dapat terbentuk, jika partisipan rasional ikut serta didalam debat politik rasional, yang menyangkut kepentingan bersama diantara pihak-pihak yang berbeda secara rasional. Pada titik inilah sesungguhnya kita harus meyakini bahwa spirit demokratis merupakan sebab atas keterciptaan ruang publik, dan bukan menjadi akibat dari sebuah ruang publik. Menceritakan sebuah ruang publik tanpa energi dan spirit demokrasi merupakan sebuah langkah yang utopis. Seperti yang diintrodusir oleh Wilhelm (2003) bahwa semangat kesetaraan (baik dalam tataran kesempatan dan akses atas teknologi informasi) membuat seseorang bisa larut atau termarjinalkan dalam sebuah dinamika ruang publik. Secara lugas bahkan Hebermas menekankan, “proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya, adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya, proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai di dalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang di dalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik” (Habermas, 2007).

Pada awal abad ke-19, opini publik yang terbentuk dari debat rasional kritis menjadi proses resmi didalam parlemen-parlemen di Jerman dan Inggris. Berbagai pidato politik dibacakan didepan parlemen, seperti yang juga dilakukan sekarang, dengan pertimbangan rasional atas kepentingan publik sebagai keseluruhan, sehingga pengaruhnya semakin besar didalam kehidupan masyarakat untuk mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan sosial. (Habermas, 2007). Didalam upayanya untuk membentuk opini publik yang otentik, media tampak belum maksimal menjalankan fungsinya, terutama karena media tidak memberikan ruang yang cukup untuk proses debat rasional, dan proses diskursif didalam pembentukan opini, dan yang lebih penting lagi didalam proses pembentukan kehendak politik. Proses komunikasi didalam ruang publik berarti proses pembentukan opini publik yang otentik, yang dimatangkan didalam proses debat kritis itu sendiri.

Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik. Pertama, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi. Kedua, opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali. Yang pertama mensyaratkan energi demokratisasi di dalamnya, sementara yang kedua lebih melihat opini publik sebagai sebuah upaya rekayasa dan kemampuan mengorganisir pesan sedemikian rupa, lepas dari esensi moral dan manfaat bersama.

Dari apa yang dipaparkan Habermas paling tidak kita mencoba menyadari bahwa ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar di dalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti, membenarkan ketidakadilan tertentu.

Sebuah Negasi Sosialisasi ...
Lalu bagaimana dengan sebuah upaya menciptakan ruang publik dalam sebuah konteks sosialisasi atas kebijakan negara dalam wujud sebuah kebijakan ? Peran yang dimainkan oleh Departemen Kementrian Komunikasi dan Informasi terkait dengan sosialisasi kebijakan ini bisa dilihat dalam dua koridor besar. Pertama, fungsi proses normatif. Kembali pada terminologi pembedaan dua konsep besar seperti yang diberikan Rousseau bahwa negara dalam hal ini memiliki kuasa dan hak membuat kebijakan (UU, Perda, PP, dan sebagainya) dengan tujuan menciptakan kesejahteraan. Dalam konsep ruang publik yang diintrodusir Habermas, nampak bahwa inilah ujung dari buah kapitalisme dan mekanisme pasar bebas. Konsep welfare state. Negara merasa perlu untuk kembali turun gunung, saat menyaksikan janji-janji ’invisible hand’ dan ’penyerahan mekanisme pasar’ lebih banyak mendatangkan masalah ketimbang sebuah solusi atas berbagai ketimpangan ekonomi. Proses berjalannya kebijakan bersifat linear. Negara mengeluarkan kebijakan, masyarakat sebagai entitas penerima dan pasif dalam proses menjalankan aturan dan kebijakan tersebut. Nuansa yang tertangkap adalah kuatnya negara dan lemahnya masyarakat. Ini implikasi logis dari pembalikan logika pasar bebas dalam ekonomi kapitalis. Landasan-landasan berjalannya pasar, dan otomatis berjalannya mekanisme demokratis ditawarkan lalu diterapkan melalui kebijakan pemerintah alias negara.

Kedua, fungsi dialektis. Sebuah fungsi yang berseberangan dengan fungsi pertama. Energi demokratisasi yang telah ada menjadi penggerak utama bekerjanya ruang publik. Keterbukaan atas informasi menjadi sebuah keniscayaan, ada atau tidak ada payung hukum yang melindunginya. Pada titik inilah masyarakat diberikan kebebasan untuk mengaktualiasikan dirinya untuk berdialog dengan ’negara’, ’pemerintah’, ’rezim’, melalui rangkaian kesepakatan opini publik yang sudah terbentuk diantara mereka. Para aktor dalam masyarakat dengan sendirinya akan terbedayakan. Pemerintah tampil sebagai fasilitator. Pada koridor ini posisi vis a vis negara dan rakyat akan bisa diminimalisir ke dalam dialektika ruang publik yang telah terfasilitasi sikap arif negara. Kalau fungsi ini tidak berjalan, maka seluruh aktivitas sosialisasi akan menjadi sebuah upaya pemborosan dan dengan sendirinya menegasikan makna positif ruang publik itu sendiri. Semoga ini hanya kecurigaan saya semata, dan diskusi mungkin akan menghapusnya ...



REFERENSI

Briggs, Asa, & Peter Burke, 2006. Sejarah Sosial Media : Dari Gutenberg Sampai Internet, Penerjemah A. Rahman Zainuddin, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Calhoun, Craig (Ed). 1993. Habermas and the Public Sphere, New York : Massachusetts Institute of Technology.

Firmanzah, 2007. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta : Yayasan Obor.

Green, Lelia, 2002. Communication, Technology, and Society, London : Sage Publications.

Habermas, Jurgen, 1970. Toward a Rational Society : Student Protest, Science, and Politics, New York : Beacon Press.

_______________, 2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Penerjemah Yudi Santoso, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

_______________, 2007. Teori Tindakan Komunikatif II : Kritik atas Rasio Fungsionalis, Penerjemah Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Juliawan, B. Hari., 2004. Ruang Publik Habermas : Solidaritas tanpa Intimitas, tulisan dalam Majalah Basis No. 11 – 12, Tahun Ke- 53, November – Desember 2004.

Noer, Deliar, 2000. Pemikiran Politik di Negeri Barat (Edisi Revisi), Bandung : Penerbit Mizan.

Rousseau, Jean Jacques, 2007. Du Contract Social ( Perjanjian Sosial), Penerjemah Vincent Bero, Jakarta : Transmedia Pustaka.

Setiyono, Budi, 2007. Iklan dan Politik : Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum, Jakarta : AdGOAL.Com.

White, Stephen K (Ed)., 1995. The Cambridge Companion to Habermas, New York : Cambridge University Press.

Wilhelm, Anthony G., 2003. Demokrasi di Era Digital : Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber, Penerjemah N. Veraningtyas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

[1] Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik di dalam masyarakat demokratis dewasa ini.