Minggu, 22 Maret 2009

Belajar Menyanyi dari Si Bisu

“Kalau aku memuji Cinta dalam seratus ribu bahasa,
Keindahannya lebih besar
daripada semua sarana ungkapannya”

-Rumi –


Siapakah yang tidak kenal Jalalluddin Rumi ? begitu tanya Annemarie Schimmel (2005) saat memulai kupasannya tentang sosok Rumi. Seluruh darwis dan para sufi di muka bumi tidak mungkin lupa dan menyangsikan kedahsyatan sosok ini. Dalam seluruh karya dan persembahan jiwanya, tidak pernah dia melupakan makna cinta. Yaa … Cinta. Bagi Rumi cinta adalah sebuah kekuatan terdahsyat yang menghubungkan dan menciptakan dunia. Cinta kepada kekasih, cinta kepada orang tua, cinta kepada sahabat, bahkan cinta kepada sang Nabi, serta kemulian tertinggi telah jatuh cinta pada cahaya Ilahi. Nigel Watts (2003) yang mencoba menceritakan semua perjalanan hidup Rumi dengan segala cintanya menghabiskan 235 halaman dengan penutup sebuah puisi Rumi yang penuh dengan kerinduan kepada Tuhan, yang dia sebut kekasih tersayang, menjelma dalam diri sosok Syamsudin yang telah membuat gila mabuk kepayang. Tuhan telah muncul dalam diri sosok tersebut, membuat Rumi melupakan segala kecemerlangan dunia. Melupakan kemuliaan dimata manusia, murid-muridnya. Kecintaannya dituangkan penuh hanya pada satu cahaya maha sempurna : Allah SWT dengan beragam representasi dan jati diri. Inilah inti utama agama. Rasa cinta yang tulus. Tentu apabila hanya menyimak ending cerita Rumi, kita akan mudah melihat kenikmatan dan kebahagiaan. Namun jangan bayangkan demikian bila kita membaca pengorbanan dan penderitaan yang dialaminya dalam mengejar sang kekasih. Pemahaman akan cinta membuat dirinya seolah menjadi sosok yang berbeda. Perjalanan panjang menjemput sang kekasih memaksa otak kirinya tidak lagi berfungsi. Ditengah kerinduannya pada sosok Syamsudin, otak kanannya bekerja dengan kemampuan di atas rata-rata. Ribuan puisi tercipta karenanya. Inilah kekuatan cinta. Begitu menyakitkan apabila dia berjalan tidak sesuai dengan harapan. Begitu mengembirakan saat dia tak bertepuk sebelah tangan dan tidak kehilangan.

Stephani Iriana (2005) dalam bukunya ‘Derita Cinta Tak Terbalas’ menyebutkan bahwa ujung dari penderitaan atas penolakan cinta kadangkala justru membuat kita mampu menemukan makna hidup yang sebenarnya. Bagaikan Rumi yang menemukan pencerahan luar biasa setelah kematian Syamsudin, Iriana juga mengistilahkan terkadang derita cinta tak berbalas akan mendatangkan kebahagiaan dalam jangka waktu yang tidak bisa kita ketahui. Inilah cinta suci yang untuk sementara berselubung kabut rintih hati dan nafsu badani. Cinta melepaskan diri dari dimensi waktu dan tempat. Bohong besar andaikata seseorang berkata cinta namun matanya jalang menatap pantat dan tangannya bergerak mengelus paha. Bohong besar kalau seseorang mengungkapkan cinta namun dengus napasnya keras menerpa bagai kuda jantan liar mendekati sang betina. Semua itu hanya sementara, demikian Iriana. Makna sementara berarti dia fana. Setiap yang fana akan musnah bersama waktu dan tempat di mana ia berada. Inilah sisi tragis cinta. Di satu sisi ia menjanjikan dan berkalung keabadian (kalau tidak percaya silahkan lihat kata-kata yang menyertai kado hadiah perkawinan atau pernikahan, semua selalu mendoakan dan berharap keabadiaan), padahal di sisi lain kita sebagai manusia tentu percaya bahwa tidak ada yang abadi di dunia. Bahkan dalam relasi antar dua anak manusia yang di dalamnya terlibat penuh segala citra yang dibentuk mata, bibir, lidah, hidung, dan telinga. Sebagai sebuah citra, tentu saja dia bukanlah sesuatu itu sesungguhnya. Inilah yang disebut fenomena oleh Imanuel Kant (yang mati dengan terus membujang.. ups kasihan !). Fenomena adalah konstruksi makna atas dunia yang berada di dalam kepala manusia. Inilah kesementaraan cinta.

Insting manusia untuk terus mencari dan mendambakan keabadian membuat kita terus bermain dan menikmati kamuflase dari cinta berikut segala pencitraannya. Kita batasi diri kita dengan norma dan etika, untuk mewujudkan mahligai cinta (namanya keluarga, hasil dari perkawinan yang menghalalkan perzinahan). Padahal seperti kata Iriana, kesementaraan dalam cintalah yang menjadi pemantik cinta sesungguhnya. Cantik, tampan, kaya, sempurna di mata manusia pada satu masa tertentu saja. Setelah beranjak tua, segala apa yang menarik dan mengikat mata telah berguguran leleh tak kita mengerti entah mengapa. Kesadaran bahwa manusia akan menjadi tua dan bungkuk tak berdaya nyaris tidak akan muncul dalam pikiran dan hati dua orang mempelai yang membangun mahligai keluarga. Sesuai dengan instink primitifnya, manusia akan menuntut kesempurnaan. Ketika itu gagal atau tidak dia dapatkan, maka ia akan membutuhkan sarana pengalihan. Inilah makna teori katarsis dalam ilmu komunikasi (itu kalau berhubungan dengan daya pengaruh media massa lho !). Terbentanglah kemudian cerita tentang penyelewengan, perselingkuhan, dan kehancuran mahligai yang dibentuk berdasar citra kesementaraan tadi. Setelah itu kita akan mencari-cari kesalahan. Berlomba mengkambing hitamkan, seperti kata Rene Girard, dalam buku cerdas yang ditulis Sindhunata (2006).

Menyalahkan pihak lain entah itu sosok manusia maupun situasi dan kondisi, menjadi penanda betapa pengecutnya manusia. Kepengecutan yang terang-terangan dengan tidak mau menanggung kesalahan. Apabila cinta sudah dikayuh, sangatlah tak pantas lalu mencari-cari kambing hitam atas segala khilaf dan kesalahan. Akui saja. Girard, menyarankan untuk tidak terus menerus membangun monumen kambing hitam dalam hidup. Semua itu percuma ! Semakin lama kita bisa menyusun kambing hitam, semakin lama pula kita tersiksa dengan kepengecutan kita. Bahkan pada titik lebih jauh, hidup kita akan terus menerus dilanda perasaan tak mampu bertanggung jawab. Kalau ini yang sudah kita rasakan, maka tidak salah kiranya kita mulai melihat dan belajar dari sosok-sosok yang hidup ’lurus’, mereka-mereka yang buta matanya namun lebih terang mata hatinya, mereka-mereka yang tuli telinganya namun tajam pendengaran nuraninya, bahkan marilah kita mulai belajar menyanyi dari sosok yang bisu. Mengapa ? karena nyanyian hati yang begitu diridhoi melebihi mulut yang bisa bicara dan mengobral kata-kata. Syaratnya ? karena dia adalah nyanyian hati, maka hanya orang-orang yang peka perasaan dan hati nuraninya sajalah yang mampu mendengar. Selamat kepada mereka yang memiliki mulut, mata, dan telinga namun telah “dimampukan” berbicara dengan hati, dan bernyanyi dalam kebisuan. Inilah esensi kehidupan. Mungkin benar sekali apa yang dikutip oleh pengarang besar Orhan Pamuk, dalam Istambul (2009) bahwa kebenaran dan ketenangan berasal dari sini, dari kemurungan. Kemurungan untuk memikirkan diri sendiri. Mungkin benar sekali, kita selalu terlambat untuk mengerti apa yang dituliskan Rumi.

Lembayung, Maret 09


BIBLIOGRAPHY

Schimmel, Annemarie, (2005). Menyingkap yang Tersembunyi : Misteri Tuhan dalam Puisi-puisi Mistis Islam, penerjemah Saini K.M., Mizan Media Utama, Bandung.

Watts, Nigel, (2003). Jalan Cinta Rumi : The Way of Love, Penerjemah Hodri Ariev, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Iriana, Stephani, (2005). Derita CInta Tak Terbalas : Proses Pencarian Makna Hidup, Jalasutra, Yogyakarta.

Sindhunata, (2006). Kambing Hitam : Teori Rene Gerard, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Selasa, 17 Maret 2009

Terbenam dalam Ideologi ala - Althusser

Taken from “Tentang Ideologi :
Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies”

Hari ini mari kita bicarakan dan diskusikan tentang ide dan pemikiran Althusser. Sosok penulis kelahiran Aljazair ini mengguncangkan dunia setelah meneriakkan : ideologi tidak pernah mati ! Pemaparannya tentang ideologi sebagai sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia membuat buku ‘Essays on Ideology’ (1984) menjadi menarik untuk ditelusuri. Buku tersebut telah diterjemahkan penerbit Jalasutra, Yogyakarta pada tahun 2004 dengan kata pengantar yang diberikan Bagus Takwin. Ide diskusi kali ini sebenarnya lebih pada pengembangan paparan Takwin saja, yakni tentang pertanyaan mendasar : mengapa dan bagaimana manusia tetap tergenang dalam samudera ideologi ? untuk itu mari kita mulai diskusi ini dengan membaca Basmallah bersama-sama .... Bismillah... (huss, emang ini acara kendurian kampung !)

LAHIRNYA IDEOLOGI
Bagi Althusser, kekuatan ideologi lahir dari kesanggupannya untuk melibatkan kelas subordinat dalam praktik, hingga dapat menuntun mereka pada identitas konstruk sosial, ataupun subjektivitas tertentu yang melibatkan diri mereka dengan ideologi tersebut, yang jelas-jelas berlawanan dengan kepentingan sosial politis mereka sendiri (2004 : xi). Lebih lanjut doi mengatakan ideologi lebih merupakan partisipasi segenap kelas sosial, bukan sekadar seperangkat ide yang dipaksakan oleh suatu kelas terhadap kelas sosial lainnya. Fakta bahwa segenap kelas berpartisipasi di dalam praktek tersebut tidak berarti bahwa praktik itu sendiri tidak melayani kepentingan kelas dominan. Yang dimaksud oleh Althusser adalah bahwa ideologi bersifat lebih efektif dibandingkan apa yang diberikan oleh Marx, karena ideologi bekerja dari dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam menginskripsikan cara berpikir dan cara hidup tertentu pada segenap kelas.

DUA PENDEKATAN IDEOLOGI
Ideologi menurut Althusser telah menjerat dan melingkupi manusia sejak kali pertama manusia dilahirkan. Melalui apa ideologi itu telah menjerat kita ? dengan menggunakan pendekatan analisis psikologis gaya Lacan seperti yang dipaparkan oleh Bagus Takwin, ia menjelaskan bahwa semua itu dilakukan dengan menumbuhkan harapan. Seorang calon bayi yang bakal terlahir, sejak dalam kandungan sudah dibebani dengan harapan-harapan ibu bapaknya. Dia sudah dipersiapkan menjadi pelengkap struktur keluarga, berperan sebagai anak yang akan menyandang nama ayahnya, dan dipersiapkan untuk menjalankan tugas-tugas yang dikandung perannya (2004 : xiii – xix). Inilah awal beroperasinya sebuah ideologi dalam kehidupan manusia. Bagaimana sebenarnya Althusser bisa menjelaskan semua ini ? Takwin menjelaskan bahwa Althusser menggunakan dua pendekatan untuk menjabarkan bagaimana ideologi memanggil dan menempatkan individu sebagai subjek.

Pertama, pendekatan psikoanalisis Freudian yang ditafsirkan oleh Jacques Lacan yang menunjukkan bahwa individu selalu telah menjadi subjek, bahkan sebelum lahir. Menurut Lacan sebelum kelahirannya, seorang anak selalu telah diangkat di dalam dan oleh konfigurasi ideologi keluarga yang khusus, yang “diharapkan” telah dipahami bersama. Dari sinilah Althusser meminjam paham Freud. Menurut paham psikoanalisis asumsi dasar kehidupan manusia adalah adanya insting hidup yang mendorong individu untuk mempertahankan hidupanya dan menjaga kelangsungan spesiesnya. Insting inilah yang menjadi dasar mengapa orang tua ingin anaknya kelak menjadi sosok yang berguna, berhasil dalam hidup, bahkan melebihi keberhasilan orang tuanya. Muncullah harapan-harapan itu ! Sementara itu dari Lacan dijelaskan bahwa kemampuan manusia belajar dan meningkatkan keunggulan secara psikologis berangkat dari keterbelakangannya ketika lahir. Sejalan dengan pandangan biolog Bolk (nah… nama ini tidak pernah nyangkut dalam kamus otak dan memori gue, ntar deh gue cari …. He he he ) yang mengatakan bahwa manusia itu terlalu cepat lahir ke dunia, sehingga organ-organ fisiologisnya belum matang dan harus menjalani masa ketergantungan yang lama. Minus secara fisiologis yang menyebabkan masa ketergantungan yang lama, memberi kesempatan manusia untuk mengalami masa belajar yang lama dan mengembangkan kualitas-kualitas psikologis. Fakta menunjukkan bahwa keunggulan manusia dari makhluk hidup lainnya adalah kualitas psikologisnya yang jauh di atas rata-rata makhluk hidup lain. Kualitas psikologis itu memungkinkan manusia untuk bertahan hidup dan melanggengkan spesiesnya lalu dipolakan dalam kebudayaan dan peradaban, menjelma struktur yang kemudian membentuk individu-individu baru sebagai subjek penerus spesies manusia.

Pendekatan kedua bersandar sepenuhnya pada ide materialisme Marx. Takdir manusia yang tidak bisa hidup sendirian dalam mengarungi kehidupan memunculkan dua pola dasar pilihan perilaku : bermusuhan atau berteman ! kebutuhan bagi individu untuk berkelompok menimbulkan kebutuhan kelompok untuk memelihara kepentingan setiap anggotanya. Lahirlah upaya setiap individu untuk bersatu dalam kelompok demi menjaga tetap eksisnya usaha pemenuhan kebutuhan. Wujud konkret semua itu adalah produksi. Usaha itu terus dilakukan dan setiap usaha yang dianggap baik bagi produksi dipertahankan, dibakukan, dan diwariskan kepada generasi penerus (direproduksi). Selain reproduksi itu menciptakan sumber daya manusia dalam wujud tenaga kerja yang terampil guna menghasilkan sumberdaya pemenuh kebutuhan, juga ada reproduksi kesiapsediaan dan kepatuhan. Reproduksi inilah yang sejalan dengan ide Antonio Gramsci tentang hegemoni. Althusser mengatakan bahwa segala bentuk institusi semacam sekolah, tentara, bahkan institusi keagamaan berperan melanggengkan kebutuhan reproduksi kepatuhan tersebut. Dalam penjelasan Althusser, semua agen produksi, eksploitasi dan represi, termasuk para ‘profesional dari ideologi’, dengan cara sedemikian rupa harus ikut bergerak seirama dalam ideologi yang mendukung produksi agar dapat menjalankan tugasnya dengan ‘teliti’ dan ‘berguna’ bagi reproduksi produksi. Berbagai pihak dalam masyarakat terlibat dalam proses reproduksi dan produksi dalam relasi produksi yang terus dipertahankan dan dikembangkan (2004 : xxii – xxiv).

Dari dua pendekatan itu sampailah kita pada kesimpulan Althusser tentang ideologi. Menurutnya manusia itu sebenarnya memiliki karakter dasar sebagai manusia ideologi. Dengan tegas Althusser mengatakan “ dalam posisi ini, sama saja bila dikatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang berada di luar ideologi (bagi dirinya sendiri), atau pada saat yang sama, tidak ada sesuatu apapun yang tidak berada di luar ideologi (bagi ilmu dan realitas).” Jadi manusia telah dan akan terus terbenam dalam ideologi, sejak sebelum jadi bayi hingga mati. Nah … loe… mau gimana lageeee ?