Minggu, 22 November 2009

Society as Sacred Emile Durkheim ?

Bagi orang seperti Emile Durkheim, agama diakui sebagai sebuah realitas sui generis. Maksudnya adalah bahwa representasi atau simbol-simbol agama bukanlah khayalan (delusion), juga bukan sekadar mengacu kepada fenomena yang lain, seperti kekuatan-kekuatan alam. Melainkan sebuah fenomena sosial semata (Bellah, 2000). Ada relasi yang kuat antara ide pembentukan masyarakat dengan digunakannya agama sebagai alat pemersatu dan menjaga harmonisasi kehidupan masyarakat tersebut. Karya utama Durkheim yang terkait dengan hal ini adalah The Elementary Form of Religious Life (1915). Tulisan berikut ini akan memokuskan diri pada pemahaman beberapa bagian dari ide Durkheim dalam buku tersebut melalui sudut pandang Daniel L. Pals (1996). Penjelasan akan bermula dari landasan pemikiran Durkheim tentang konsep komunitas sebagai penentu atas apa yang harus dilakukan setiap individu.

KOMUNITAS SEBAGAI DASAR : IDE AWAL DURKHEIM

Dengan mengacu pada paham Baron de Montesquieu dan Saint Simon (Pals, 1996 : 91-93), Durkheim menandaskan bahwa pada diri manusia sejak dahulu kala selalu ada kebutuhan untuk terus menyatu dan terikat kepada suatu komunitas. Hal ini dia paparkan ketika mengulas kehidupan masyarakat purba dengan menggunakan konsep kontrak sosial. Dalam masyarakat pra-sejarah itu, setiap individu yang dilahirkan langsung mendapati dirinya berada dalam kelompok-kelompok, keluarga, klan, suku dan bangsa yang kesemuanya tumbuh dalam konteks kelompok. Prinsip utama yang ada dalam kelompok inilah yang seterusnya berkembang menjadi masyarakat. Manusia yang ada dalam kelompok itu mengembangkan suatu kesepakatan sosial yang berorientasi pada penciptaan harmoni dalam kehidupan kelompok tersebut. Kesepakatan sosial itu diantaranya terjewantah dalam bentuk agama. Ini nampak dalam fakta-fakta yang ditunjukkan Durkheim. Dalam masyarakat purba ini, kontrak sosial selalu terikat dengan sumpah-sumpah sakral keagamaan yang memperlihatkan bahwa setiap kesepakatan antara mereka tidak hanya bermakna ikatan antara dua belah pihak saja, namun melibatkan campur tangan dewa didalamnya, sebab yang merasakan implikasi yang ditimbulkan kesepakatan tersebut adalah seluruh anggota masyarakat. Kontrak sosial yang melibatkan para dewa tentu akan memiliki legitimasi yang sangat kuat. Tesis ini paling tidak bermula dari bukunya “The Division of Labor” (1893) tentang asal mula terciptanya kontrak sosial sebagai hakekat suatu masyarakat.

Dalam “The Devision of Labor” itu, Durkheim menuliskan penemuannya tentang perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat purba dan modern dalam usaha mewujudkan kesatuan dan harmonisasi dalam masyarakat. Pada masyarakat purba, usaha untuk mewujudkan kesatuan terwujud dan bergerak dalam solidaritas mekanik. Pada masyarakat modern terjadi perubahan solidaritas mekanik menjadi pembagian jam kerja, setiap orang berbeda pekerjaannya. Masyarakat purba juga memiliki “kesadaran kolektif” yang kuat dan luas, dalam kesadaran ini terkandung kata sepakat tentang ketentuan yang benar dan yang salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sedangkan dalam masyarakat modern yang menentukan salah benar adalah moral individualisme. Inilah prinsip moral yang terus hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu kita tidak bisa memisahkan moralitas dan agama dalam kerangka sosial. Hal ini disebabkan konsensus tentang moral (terutama yang benar dan yang salah) terutama ditetapkan dalam agama. Jadi apabila konteks sosial dalam masyarakat berubah, maka dengan sendirinya agama dan moralitas pun berubah. Dalam peradaban Barat saat ini telah terjadi perubahan dari kesadaran kolektif purba diganti dengan moral individualistik yang pada akhirnya hak yang dimiliki agama dan moral telah berubah seiring dengan perubahan tatanan sosial.

Penyebab bertahannya agama secara konvensional menurut Durkheim adalah wejangan-wejangan yang menggugah dari pemuka agama, namun bertahannya agama dalam koridor fungsi sosial tidak disadari oleh setiap anggota masyarakat itu sendiri. Dalam pandangan sosiolog, keberhasilan pemuka agama tidak dinilai dari berapa banyak pendosa yang disadarkan para pemuka agama, tapi dari ragam peristiwa yang bisa mengembalikan perasaan bersama, saling berbagi rasa dan kepentingan kepada tetangga yang miskin terkucilkan dan putus asa. Dalam studinya tentang bunuh diri : “Suicide” (1895) yang diterbitkan tak lama setelah karyanya “Rule”, Durkheim menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri paling tinggi terjadi dalam masyarakat yang menganut agama Protestan, dan paling rendah pada masyarakat Katolik (Pals, 1996 : 97). Hal ini terjadi karena dalam masyarakat Protestan lebih memberikan kebebasan berpikir dan bertindak pada pengikutnya, dengan prinsip “manusia adalah pemilik utama dirinya sendiri“. Dalam masyarakat Katolik, individu-individu mempunyai integritas yang relatif lebih tinggi satu sama lain, dimana para pendeta menjadi perantara masyarakat dengan tuhan. Jadi semakin kuat ikatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka akan semakin rendahlah angka rata-rata bunuh diri yang terjadi di dalamnya. Sumber dari kekuatan ikatan sosial itu adalah berhasilnya penanaman norma-norma dan nilai dari agama Katolik yang lebih berorientasi sosial apabila dibandingkan Protestan. Kekuatan agama inilah yang kemudian dipotret oleh Durkheim dengan menggunakan konsep dunia sakral dan dunia profan.

DUNIA SAKRAL DAN DUNIA PROFAN : DUA KONSEP UTAMA

Dalam menceritakan tentang agama sebagai konstruksi sosial dari masyarakat, Durkheim melakukan analisis dengan memunculkan seluruh latar yang berbentuk kebiasaan dan adat istiadat dalam suatu masyarakat. Ia menolak penemuan dari Tylor, Freud dan Frazer yang memberikan definisi agama sebagai bentuk kepercayaan kepada kekuatan supernatural, seperti tuhan atau dewa-dewi (hal : 98-100). Durkheim menyatakan bahwa pada masa lalu, masyarakat primitif tidak berpikir tentang dua dunia, natural dan supernatural seperti yang dipikirkan oleh masyarakat beragama dalam kebudayaan modern. Masyarakat sekarang berfikir seperti itu karena mereka sangat terpengaruh dengan asumsi dan kaidah-kaidah dasar sains, sedangkan masyarakat primitif tidak. Mereka melihat semua peristiwa (mukjizat dan hal biasa) pada dasarnya sama. Disamping itu konsep tentang dewa-dewi juga dianggap bermasalah, karena tidak setiap agama mempercayai adanya tuhan, walaupun mereka meyakini adanya satu kekuatan supernatural. Berangkat dari pemikiran ini ia kemudian memberikan konsep dunia sakral dan dunia profan sebagai langkah awal memahami asal mula “terciptanya” agama.

Durkheim menemukan karakteristik paling dasar dari setiap kepercayaan agama yang menurutnya tidak terletak pada elemen-elemen supernatural, tetapi pada konsep yang “sakral” (the sacred). Dalam masyarakat beragama manapun, dunia dibagi menjadi dua arena : arena yang sakral dan arena yang profan. Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal tidak tersentuh, dan selalu pantas mendapat penghormatan tinggi. Sebaliknya arena profan mengacu pada bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Ia juga memberikan definisi bahwa agama adalah satu kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Perilaku-perilaku tersebut dapat disatukan kedalam satu komunitas moral yang disebut gereja, tempat dimana masyarakat memberikan kesetiaannya. Yang sakral memiliki pengaruh yang luas untuk menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sedangkan yang profan tidak memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan komunitas itu sehari-harinya. Hal yang profan ini adalah masalah-masalah kecil yang mencerminkan urusan setiap individu sehari-hari (Kegiatan dan usaha pribadi yang lebih kecil dari kehidupan pribadi dan keluarga dekat). Yang sakral muncul terutama berkaitan dengan apa yang menjadi konsentrasi sebuah masyarakat, sedangkan yang profan adalah apa yang menjadi perhatian pribadi dari seorang individu. Dalam usaha menjelaskan pemikirannya tersebut, Durkheim mengambil contoh pemujaan totem yang dilakukan oleh masyarakat Aborigin di Australia.


TOTEMISME :
YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN SUKU ABORIGIN, AUSTRALIA


Sama seperti para penulis tentang totem : Frezer, Roberston Smith, Freud, dan peneliti ataupun Antropolog yang lain, Durkheim juga terpukau dengan fakta terciptanya sistem totemisme yang dianggap sebagai agama pada berbagai suku primitif di dunia. Namun penjelasan Durkheim atas fenomena itu berbeda jauh dengan para peneliti tersebut. Dia mulai dengan menghubungkan sistem totem itu dengan gambaran tentang yang sakral dan yang profan untuk kemudian memaparkan implikasi dari totemisme itu bagi masyarakat atau suku bersangkutan (Pals,1996 : 101 –110).

Durkheim berkeyakinan bahwa ide tentang pemujaan totem tidak lain adalah pemujaan terhadap masyarakat itu sendiri. Mengapa selalu yang menjadi totem adalah hewan atau binatang, karena masyarakat menginginkan obyek yang spesifik, nyata dan dekat dengan keseharian mereka. Sedangkan tujuan dari klan itu sendiri adalah untuk menyatakan kesaling terkaitan dengan berbagai hal, berbagai hubungan yang sangat mengikat seseorang dengan orang lain didalam klan, kaitan klan dengan alam fisik, dan kaitan-kaitan antara berbagai fenomena alam itu sendiri.


Di bagian akhir “The Elementary Form of Religious Life”, Durkheim menyatakan bahwa sebenarnya perasaaan keagamaan pertama kali muncul bukan dari momen-momen pribadi, akan tetapi dari upacara-upacara klan yang bersifat komunal. Karena upacara pemujaan dari setiap klan dilakukan secara bersamaan dengan tujuan kesadaran tentang arti penting klan, dan memberikan perasaan bahwa mereka adalah bagian dari klan dan memastikan yang sakral selalu terhindar dari segala sesuatu yang profan. Bentuk pemujaan pertama kalinya biasanya berisi tentang larangan-larangan yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan usaha untuk memperbaharui klan itu sendiri.

Sebenarnya ide masyarakat itu ada dan hidup hanya didalam individu-individu, jadi jika ide tentang masyarakat itu dihilangkan sedangkan kepercayaan, tradisi, aspirasi dari kelompok-kelompok hanya dikembangkan secara individu maka dengan sendirinya masyarakat akan mati. Demikian juga dengan tuhan dan agama. Keduanya hanya akan ada sejauh dia memiliki tempat dalam kedaran masyarakat, jadi tuhan tidak akan bisa berbuat apa-apa jika tidak ada yang menyembah dan memikirkan-Nya.


AGAMA SEBAGAI EKSPRESI SIMBOLIK : MENCOBA SIMPULAN

Kesimpulan yang bisa diambil tentang agama adalah, bahwa keyakinan ritual keagamaan merupakan ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Jadi pemujaan terhadap Totem sesungguhnya adalah pernyataan kesetiaan terhadap klan. Hari dan upacara upacara suci diadakan hanya untuk menempatkan kembali masyarakat kedalam pikiran anggotanya, sekaligus menekan keinginan personal kembali ke posisi tempat mereka berasal yaitu hal-hal yang profan.

Baik di dunia Timur maupun Barat, masyarakat modern ataupun purba, kepercayaan dan ritual keagamaan selalu mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yaitu menuntut setiap anggotanya untuk lebih memikirkan kelompok ketimbang diri pribadi, merasakan arti penting dan kekuatan yang dimiliki masyarakat dan mau mengorbankan kepentingan pribadinya demi masyarakat. Dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan jugalah yang telah membantu kelahiran agama, oleh karena itu agama tidaklah bersifat intelektual tapi lebih bersifat sosial. Agama berfungsi sebagai pembangkit perasaan sosial, memberikan simbol dan ritual-ritual yang memungkinkan masyarakat mengekspresikan perasaan mereka yang selalu terikat dengan komunitasnya, dan selalu untuk melindungi yang benar dan jiwa masyarakat. Oleh karena itu agama adalah sesuatu yang bersifat sangat sosial dan dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari kehidupan sosial, agama melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan kesadaran akan perasaan tertentu yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat, untuk kemudian memperkuat eksistensi masyarakat itu sendiri.

Mengenai masalah ritual dan kepercayaan, Durkheim lebih mengutamakan ritual keagamaan, sebab ritual inilah yang lebih fundamental dalam melahirkan keyakinan. Jika ada sesuatu yang abadi dalam agama maka kebutuhan masyarakat akan hal yang bersifat ritual inilah sesuatu yang lebih abadi, berupa upacara-upacara yang bisa dimaknai peneguhan kembali dedikasi setiap anggota masyarakat. Kebutuhan untuk mengadakan upacara selalu ada karena merupakan sumber sebenarnya dari kesatuan sosial dan tali pengikat utama seluruh anggota masyarakat. Jika masyarakat masih memerlukan ritual keagamaan maka konsekuensinya adalah tidak akan ada satu masyarakat yang tidak memiliki suatu agama, walaupun ide-ide agama dianggap salah dan absurd oleh sebagian kalangan, namun perilaku keagamaaan akan selalu ada dalam setiap masyarakat karena hal ini yang memberikan kekuatan kepada masyarakat tersebut.


Tepi Kali, November 09

Kamis, 12 November 2009

Gaji Tinggi Berarti Tidak Korupsi ?

“Gaji yang tercatat Rp. 62 juta, dengan catatan hilang Rp. 25 juta karena membayar pajak,” kata Antasari, si pimpinan KPK. Dia ungkapkan itu pada sebuah kesempatan (Jawa Pos, 4 April 08), sisanya, ujar dia, paling hanya sekitar Rp. 40 juta.
Sementara itu gaji sang ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan menurut catatan Jawa Pos per 28 Januari 2005 sebesar Rp. 24.390.000, terdiri atas gaji pokok Rp. 5.040. juta. Tunjangan jabatan Rp. 18,9 juta, dan uang paket Rp. Rp. 450 ribu. Lalu ditambah dengan tunjangan khusus (Rp. 31,1 juta). Alhasil si Manan ini setiap bulan akan membawa pulang Rp. 55.490.000, tanpa potongan pajak. Belum lagi penerimaan dari uang sidang.

“Bangsat !” sumpah serapah muncrat dari mulutku,
BRAKK ... Kursi kantor jadi sasaran kaki,
“Dasar pejabat edan tak pernah mikir rakyat kelaparan !”. Sumpah lagi..
Tentu saja sumpah itu terasa wajar ditengah-tengah semua orang sibuk mencari gas dan minyak tanah yang tiba-tiba hilang entah kemana. Terasa wajar ditengah banyaknya TKI kita di Malaysia dan Arab Saudi yang pulang hanya tinggal nama. Yang sampai ke Bandara Soekarno Hatta hanyalah “mayatnya”. Mereka mati. karena beratnya bekerja menanggung dan membiayai beban hidup mereka. Atau mereka mati karena disiksa majikan di negeri orang sana. Semua terasa wajar, wajar menyumpahi pejabat tak tahu diri ditengah kondisi seperti tadi.

“Namanya juga pejabat,” suara parau menimpali
“Mending kalau bekerja dengan benar,” tukang ketik di kantor itu bernada risau
“Apa tidak malu yaa ?” suara cleaning service sekaligus merangkap office boy sekalian satpam.
“Khan agar mereka tidak korupsi,” ada suara malaikat di sudut situ.

Itu dia masalahnya coy !
Meskipun telah ada kebijakan negara untuk memberikan gaji yang jumlahnya nyaris tak terpikirkan oleh masyarakat umum di Indonesia, toh perbuatan “main belakang”, praktek “meminta amplop tambahan”, “pungli” dan entah apalagi namanya begitu subur dilakukan oleh para pejabat bergaji tinggi itu tadi. Mulailah dari si Bagir Manan. Lembaga terhormat yang dipimpinnya itu pernah tersandung skandal BLBI yang jumlahnya tak tanggung-tanggung 6,2 milyar. Si Urip sebagai seorang jaksa agung muda tindak pidana korupsi tertangkap basah dengan uang sejumlah itu di tas yang dibawanya. Masalahnya adalah tertangkapnya itu selepas dia keluar dari rumah Syamsul Nursalim, si tersangka kasus BLBI yang baru saja diputus bebas. Orang goblok sekalipun akan bisa menghubungkan fenomena sederhana ini. Nursalim bebas, Urip dapat uang yang jumlahnya tak tanggung-tanggung.

“Gampang,” kata si tukang jual minuman di depan kantor siang itu,”pasti itu uang suap !”
“Bisa juga ucapan terima kasih,” timpal si penjual bakso, “khan udah jadi hal biasa,”

Itulah masalahnya coy !
Apapun nama uang 6,2 milyar itu, bahkan si Urip sendiri mengaku bahwa uang itu adalah hasil bisnis permata dia dengan keponakan si Nursalim. Enak sekali dia bilang ! bisnis permata hingga milayaran rupiah. Kenapa baru terbongkar dan mengaku sekarang bahwa seorang pejabat tinggi yang sangat sensitif berhubungan dengan hajat pembongkaran korupsi dan “main mata” berbisnis ? sebuah dagelan yang sempurna (kata Andra & The Backbone). Kemiskinan, ketidaknyamanan, kepahitan hidup yang dirasakan hampir merata oleh seluruh rakyat, nampaknya tidak membuat mereka paham bahwa hidup harus berhemat dan empatik pada rakyat. Di saat si Anto harus ngamen dan menjajakan koran untuk uang receh seratus dua ratus perak, di saat itu pula si Urip berbisnis permata milyaran rupiah. Hidup memang tidak adil. Kalau memang ini adalah sistem yang sudah diatur oleh Tuhan. Artinya ketidakadilan juga termasuk apa yang ditakdirkan Tuhan, aku akan bertanya : Mengapa harus ada ? apa tujuannya ? untuk membuat si miskin semakin potensial masuk neraka (karena mengumpat dan merutuk si kaya?), atau untuk membuat si kaya semakin potensial masuk surga karena uang kekayaannya bisa mendirikan masjid dan gereja ? ahh semakin banyak yang tidak bisa dimengerti dari fenomena ini.

Kemarin ketika membaca majalah Tempo, baru aku tahu bahwa di badan moral seperti Lembaga Sensor Film itu ternyata juga terjadi praktek percaloan. Calo yang berkeliaran menjadi traffic menghubungkan para produser dan sutradara dengan sepucuk surat keterangan atau stempel tanda “lolos sensor” dari LSF. Menurut cerita Tempo, pembayaran atas sensor itu bervariasi atas panjang dan durasi film. Ada yang dihitung berdasarkan panjang reel nya (film 33 mm), dan ada pula yang dihitung durasi tayangannya (film iklan dan sinetron). Sampai disitu semua wajar-wajar saja. Anggota LSF bekerja menyensor, lalu produser membayar biaya kerja itu. Ini wajar. Sekali lagi wajar. Nah .. menjadi tidak wajar kalau ternyata di kantor atau gedung Film itu, tidak konkret dimana tempat memberikan reel film yang akan disensor, semacam loket penerimaan dan loket pengembalian film begitulah (bayangkan saja saat kita mau buat SIM di kepolisian, khan banyak loket tuh). Artinya di gedung Film itu tidak ada sama sekali kegiatan orang hilir mudir membawa reel film dan apapunlah yang menunjukkan telah adanya bukti konkret film yang disensor. Terus transaksi penyerahan bahan film yang akan diedit itu dilakukan dimana ? he he .. yang paling ekstrem bisa dilakukan dilahan parkir ! Bagaimana caranya ? Begini neh, nanti akan ada “penghubung’ yang mendatangi mobil produser atau orang suruhan itu. Bicara tentang penghubung mungkin tak apa-apa. Masalahnya adalah “jasa” yang ditawarkan sang penghubung mampu mempercepat proses keluarnya surat tanda lulus sensor. Kecepatan itu akan berbanding lurus dengan berapa “ongkos” yang dititipkan pada sang penghubung. Artinya semakin besar duit yang dititipkan, maka semakin cepat proses penyuntingan dan pengecekan dari LSF. Itulah masalahnya. Jadi urusan lembaga sensor film bukan semata-mata hanya melihat dan mengecek kesesuaian film dengan moral dan budaya bangsa, melainkan juga terkait dengan seberapa besar duit yang disetor pada “kaki-tangan” lembaga tersebut. Ahh memang semakin banyak yang tidak bisa dimengerti dari fenomena ini.

“Terus bagaimana nasib orang-orang seperti kita ini ?”
“Diam sajalah,” Napas berat mengiringi, “diteguk dan ditelan saja,”
“Kenapa kita harus diam ?”
“Karena kita emang miskin dan tak mampu melawan,”
“Sampai kapan ?”
“Besok sampai mereka yang zalim itu sadar, “
“Kapan mereka sadar ?”
“Tunggu saja hingga kau terbiasa dizalimi,”
“Jadi kudu kita yang terbiasa dan menganggap tak ada apa-apa ?”
“Ya iyalah,” gigiku gemerutuk, “emang begitulah nasib kita,”

Memang ternyata ditengah segala ketidakadilan dan kezaliman yang mendera, tak ada yang bisa dilakukan selain membiasakan diri dengan ketidakadilan itu. Melihat dunia seolah-olah tak ada apa-apa. Menjalaninya dengan menutup mata. Membiasakan diri bahwa semua baik-baik saja. Larilah dari realitas dunia. Maka jangan pernah heran, di Indonesia segala bentuk sinetron dan film tentang mimpi, yang bintangnya kaya raya, pasti ditongkrongin dari ashar hingga isya. Memang inilah Indonesiaku tercinta. Tempat di mana uang sebesar 5,1 milyar hanya dititipkan lewat seorang kurir tanpa kejelasan apa-apa. Katanya untuk menyogok para ketua KPK. Lalu terjadi masalah pada wewenang dan kekuasaan, tempat segala dramaturgi dimainkan. Memang inilah Indonesiaku tercinta. Tempat di mana kita hanya bisa bermimpi dan mengumbar utopia tentang sejahtera nan merata, sambil berbincang lagenda ‘cecak & buaya’.
Percuma saja menggaji Antasari di atas rata-rata, percuma saja memberi Ketua MA nilai bulanan besar tak terkira. Itu semua tidak akan membuat mereka ogah menerima sogokan dan tekanan uang ‘pelicin’ dan apa namanya ? gratifikasi ? ahh istilah apa pula itu ! Begitu besar godaan uang dan kekuasaan. Begitu berat melawan naluri kehewanan. Jabatan tinggi dipertaruhkan. Terobos sana-terobos sini dengan menggunakan wewenang. Cara kerja kepolisian di republik ini telah memberi kita gambaran. Sekali lagi kita hanya bisa diam, menekan semua itu di alam bawah sadar. Tempat di mana kita hanya bisa bermimpi dan mengumbar utopia tentang sejahtera nan merata.

Itulah masalahnya coy, dan nampaknya itu akan tetap jadi masalah kita. Bukan para petinggi di atas sana.

Gondosuli, pukul 03 dinihari, 5 Agustus 09

Minggu, 08 November 2009

Permintaan Maaf sang ” Buaya” ?




Pengantar

Beberapa hari yang lalu kita semua mungkin sempat menyaksikan konflik antar dua lembaga tinggi di negeri ini : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Beragam versi penceritaan terkait dengan kasus pengusutan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tubuh dua lembaga itu terus berlanjut hingga hari ini. Di tengah-tengah gencarnya pemberitaan tentang fenomena tarik menarik kekuasaan antar dua lembaga itu, muncullah istilah unik untuk menggambarkan kedua belah pihak. Istilah itu adalah ‘Cecak dan Buaya’. Istilah itu muncul dari hasil wawancara wartawan media massa dengan salah seorang petinggi Markas Besar (Mabes) Polisi Republik Indonesia, yakni Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duaji. Analoginya untuk menggambarkan KPK dan Polri adalah dengan mengistilahkan Cecak melawan Buaya. KPK dianggap sejajar dengan cecak, sementara Polri dianggap sebagai buaya. Sampai di situ tidak ada masalah, andai saja kata itu hanya sekadar dimaksudkan untuk mencari padanan yang tepat untuk membuat wartawan dan publik agar lebih mengerti. Masalahnya kemudian adalah penyertaan “nilai” pada kedua kata itu.

Merujuk pada kata Cecak yang dilekatkan pada KPK, opini publik terbawa pada makna dontotasi kapasitas tubuhnya yang kecil, dan lemah, menuju pada makna konotasi ketidakberdayaan, pihak yang bakal kalah, pokoknya stereotipe keteraniayaan. Cecak ini harus berhadapan dengan buaya sebagai kata ganti lembaga kepolisian. Anda tahu khan buaya ? makhluk melata yang kuat luar biasa, tak tembus peluru pada bagian tubuh tertentu, dan memiliki kepekaan dan saraf sensor yang peka. Dia pemangsa. Ganas. Sulit untuk ditaklukkan. Apalagi diajak ‘berkawan’. Itulah makna konotasi atas lembaga kepolisian. Dari dua istilah ini kemudian, masalah terus bergulir. Pendek kata, publik kemudian meletakkan dua kata itu berhadap-hadapan, seperti halnya KPK dan POLRI yang berhadap-hadapan. KPK teraniaya, kepolisian jumawa dan arogan luar biasa. Merasa sudah terjebak dengan dua istilah itu, maka pada kesempatan berikutnya Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) menyatakan permohonan maaf atas problematika yang ditimbulkan dua istilah tersebut. Permintaan maaf itu kemudian beberapa kali diulangi dalam dengar pendapat dengan komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa hari lalu. Hal ini begitu menarik. Jarang sekali sebuah lembaga sebesar kepolisian dengan terbuka meminta maaf kepada publik atas ucapan seorang pejabatnya. Dari sisi dunia public relations, ini merupakan cerminan betapa beratnya menyandang dan mempertahankan citra positif. Sedikit saja salah mengeluarkan pernyataan, maka efek negatifnya akan membuat lembag sulit untuk lepas dari prasangka buruk publik. Sangat merugikan.

Tulisan berikut ini berupaya mensejajarkan pernyataan maaf Kapolri, jenderal BHD di atas sebagai sebuah representasi permintaan kelembagaan. Sudut pandangnya adalah strategi dan taktik public relations yang baik. Pemahaman kita akan dibangun dengan menguraikan beberapa konsep tentang public relations (PR), menyangkut peran dan fungsi PR, aplikasi praktek PR, kesenjangan aplikasi, dan akhirnya mencoba mencari ruang ‘negosiasi’ atas kesenjangan ranah praktek tersebut.


Pencitraan Positif : Peran & Fungsi PR ?strong>

Permintaan maaf yang disampaikan Kapolri sebenarnya menjadi sebuah strategi menarik dari sudut pandang praktek PR. Dengan melakukan itu, dia telah menyelamatkan institusinya. Lembaga yang dinilai telah menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Sebuah permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka kepada publik menjadi penanda pahamnya institusi ini pada akibat negatif dari publisitas yang buruk. Hal ini tidak gampang dilakukan. Seperti dilansir oleh John Kador (2009) bahwa meminta maaf akan mampu menjadi kekuatan penyembuh secara psikologis. Kapolri telah melakukan itu. Namun masalah tidak serta merta selesai. Sebuah praktek PR yang baik bukan sekadar meminta maaf. Masih banyak rangkai strategis lain yang harus dibangun. Sebagai sebuah institusi bentukan pemerintah, Polri membutuhkan sebuah rangkai strategis PR jangka panjang. Beberapa catatan konseptual akan membantu kita memahami situasi ini.

Dunia public relations selalu diidentikkan dengan sebuah dunia program strategis menuju pencitraan positif kelembagaan di depan mata publik melalui kekuatan informasi dan publisitas maksimal (Lovel, 1982; Cutlip, et.al, 2000; Laermer & Prichinello, 2009). Pada beragam konteks (Bank, 1995) peran dan fungsi PR dilekatkan dengan beragam kiat dan strategi yang sangat dinamis (Black, 1994; Gregory : 2003). Apabila kita merujuk pada peranan PR, maka kita akan membicarakan tentang bagaimana sebuah divisi dan bagian PR dalam sebuah lembaga atau institusi bekerja keras untuk mendesain beragam program strategis. Sementara itu, kalau kita berbicara tentang fungsi PR maka kita akan membicarakan tentang beragam kapasitas dan keahlian yang melekat pada lembaga maupun sosok personal yang terlibat dalam praktek penyelenggaraan PR. Kedua-duanya tidak selalu hadir bersamaan pada saat praktek PR dilaksanakan. Kadang-kadang sebuah lembaga tidak merasa harus memiliki sebuah departemen atau bagian PR. Untuk menangani berbagai masalah terkait dengan memberikan informasi, mereka menunjuk seseorang yang bertindak sebagai juru bicara. Inilah PR dalam konteks fungsional. Institusi merasa terlalu dini untuk membentuk sebuah divisi PR. Untuk itu mereka melekatkan peran itu ke dalam fungsi komunikasi personal seseorang yang ditunjuk tadi. Beberapa kasus perbankan, lembaga pemerintah, dan dunia bisnis di Indonesia telah melakukan ini. Saat krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika, beberapa perusahaan besar seperti IAG, LG, menempatkan direktur utama dalam kapasitas dan fungsinya sebagai PR bagi perusahaan saat harus bernegosiasi dengan pemerintah. Hal ini memang penting guna menunjukkan kepedulian dan respek pada pemerintah (Dominguez, 1982). Pencitraan positif yang diharapkan sebagai tujuan akhir dari sebuah upaya strategis PR ini didapat melalui empat jalur utama yakni public understanding (pengertian publik), public confidence ( kepercayaan publik), public support (dukungan publik), dan public cooperation (kerjasama publik). Apa yang telah dilakukan oleh Kapolri adalah sebuah upaya pencapaian dan perbaikan atas empat jalur utama tersebut.

Kesenjangan Ruang Teori dan Praktek PR : Salah Siapa ?

Dari ungkapan permintaan maaf secara terbuka Kapolri, muncul pertanyaan : mengapa bukan kabag Hubungan Masyarakat (public relations officer -PRO) kepolisian saja yang meminta maaf ? Mengapa harus Kapolri sendiri yang mengucapkan hal itu ? Inilah sebuah aplikasi PR yang tidak melulu harus sesuai dengan beragam ranah teori dan konseptual di berbagai pelatihan PR. Bukan rahasia lagi berbagai praktek pelaksanaan program PR selalu tidak pernah persis sama dan sesui dengan rangkai teori dan ranah konseptual yang diajarkan di berbagai sekolah maupun kursus. Begitu besar nampaknya tugas yang harus diemban seorang PR officer, sehingga dia dituntut untuk pandai-pandai memahami situasi dan kondisi agar tujuan pencitraan dan reputasi tercapai tanpa mengorbankan atau ‘melacurkan’ konsep-konsep PR itu sendiri. Dalam beberapa dekade terakhir PR bahkan telah menjadi semacam alat dari rangkai strategi marketing dalam meningkatkan penjualan (Harris, 1998 ; Ries & Ries, 2002 ; Scott, 2009). Padahal keinginan tertinggi dari para konseptor dan praktisi PR adalah menjadikan PR sebagai prinsip filsafat manajeman dan rancang strategis jangka panjang (Moore, 1987; White & Mazur, 1995). Di mana titik permasalahan dan kesalahannya ?

Mencari siapa yang bersalah atas berkembangnya definisi dan aplikasi PR dalam kehidupan nyata sebuah institusi mungkin bukanlah langkah bijak. Penelusuran atas kebutuhan dan daya adaptasi PR atas berbagai masalah institusi dalam relasi dengan publiknya mungkin menjadi semacam ‘pintu masuk’ yang lebih tepat. Dalam penjelasannya tentang sejarah PR, Cutlip et.al (2000) telah mengingatkan bahwa PR di masa depan mungkin akan bermetamorfosis menjadi sebuah strategi yang tidak pernah terbayangkan oleh para konseptor PR pada awalnya. Hal yang sama telah diungkapkan pula oleh Edward Barney saat melihat pesatnya perkembangan dunia PR (Seitel, 2001). Menurut Barney, pada saatnya nanti PR menjadi tak lebih dari sekadar alat untuk kepentingan lain yang lebih besar dari sebuah institusi. Pada satu titik, ini sangat menguntungkan bagi dunia PR. Pada titik lain kondisi mencampur adukkan PR dengan alat-alat publisitas lain (iklan, promosi penjualan, POP, event) akan membuat PR tidak lagi memiliki keistimewaan penjaga reputasi dengan prinsip proaktif. Tak bisa dipungkiri, keputusan di tingkat manajer tertinggi institusi akan berdampak pada cara pandang terhadap PR. Namun kemampuan para praktisi PR untuk menunjukkan kompetensi dirinya juga harus semakin dikembangkan. Perpaduan dua hal ini akan membuka ruang negosiasi antara kebutuhan manajeman institusi dengan kekuatan PR secara fungsional sebagai penjaga reputasi dan publisitas.

Ruang Negosiasi yang Bukan Basa-Basi

Pilihan agar permintaan maaf langsung disampaikan oleh Kapolri menunjukkan betapa masalah wacana ‘cecak dan buaya’ ini menjadi begitu krusial bagi kepolisian. Apa yang kita pikirkan andai posisi kepolisian dianalogikan sebagai sang cecak, yang mendapat perlakuan semena-mena “buaya’ KPK ? Tentu Kapolri tidak perlu meminta maaf. Wacana publik menguntungkan mereka. Sungguh berbeda dengan situasi saat ini. Mereka dirugikan. Untuk itu seluruh orientasi strategis saat ini diarahkan untuk pemulihan reputasi dan kredibilitas yang sudah dirintis sejak lembaga ini resmi ‘berpisah’ dengan TNI. Memandang kasus ini harus melihat luasnya ruang negosiasi antara teori PR dengan aplikasi prakteknya di lapangan. Praktek yang mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan konteks evolusinya.

Keinginan Frazier Moore (1987) untuk membuat PR sebagai sebuah filsafat manajemen bukanlah tanpa alasan. Menurutnya, prinsip-prinsip dasar PR itu selalu konsisten dan kekal. Namun dalam prakteknya, karena dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, perkembangan teknik dan sains, serta lingkungan yang berubah terus-menerus, membuat dia terus ber-evolusi secara konsisten. Cakupan perkembangan yang dipetakan Moore secara tidak langsung menunjukkan luasnya peta evolusi tersebut. PR menurutnya telah berkembang paling tidak dalam ruang-ruang opini publik dan persuasi; teori, metode, dan evaluasi komunikasi; riset media; analisis isi; studi khalayak; manajemen; peraturan pemerintah dan hukum; bahkan pada titik pertanggungjawaban sosial (CSR). Terbukanya peluang PR diterapkan dalam dunia pemasaran membuat dunianya menjadi lebih menarik. Terlebih-lebih PR memiliki kedekatan dengan sisi publisitas media massa. Pemanfaatan prinsip PR dalam menghadapi fenomena media baru (new media) nampak mengemuka dalam satu dekade ini. McQuail (2000) telah menempatkan empat kategori sebagai alat ukur kekuatan media baru yang bisa digunakan dalam dunia PR : media komunikasi interpersonal, kontribusi media interaktif, media pencari informasi, dan media untuk pertisipasi kolektif. Seperti yang disarankan oleh Scott (2009) bahwa memahami PR dalam konteks kompleksitas media informasi baru, akan menjadi area negosiasi antara sikap pihak manajeman dan kepasitas para praktisi PR. Sebuah ruang negosiasi yang akan terus menerus tercipta sepanjang PR itu harus tetap ‘hidup’ dan ‘berguna’.


Ruang negosiasi inilah yang memungkinkan PR menggunakan seluruh aktivitas untuk pencapaian tujuan menjaga reputasi institusi. Seperti diungkapkan Ananda (2002), terdapat duapuluh aktivitas PR yang bisa digunakan sebagai ruang negosiasi penerapan. Banyaknya aktivitas tersebut menunjukkan bahwa PR mampu menjadi strategi yang sangat lentur atas beragam alat aplikasi di lapangan.

Duapuluh aktivitas PR yang disodorkan Ananda pada dasarnya sudah sering dilakukan seorang praktisi PR, entah sadar atau tidak. Ruang negosiasi yang begitu terbuka lebar bagi praktisi PR sama sekali tidak dimaksudkan untuk ‘melacurkan’ PR. Ini adalah sebuah upaya menciptakan energi baru terus menerus untuk ‘survival of the fittest’ di tengah-tengah perubahan teknologi dan informasi yang demikian pesat dalam diri publik. Justru manajer dan praktisi PR yang tidak siap akan tergilas oleh perubahan itu sendiri.

Integrasi Sikap : Tawaran Simpulan

Untuk membuat PR menjadi sebuah rancang strategis yang dinamis dibutuhkan pemahaman dan pengertian dua sisi yang simetris. Pertama, pihak manajeman institusi wajib mengetahui asas dan esensi public relations itu sendiri sebagai sebuah filsafat manajeman strategis. Kedua, para praktisi di level menengah dan tenaga teknis PR harus memiliki standar keahlian dan kemampuan atas beragam teknik dan strategik aplikasi PR. Penggabungan kedua sisi ini secara strategis bisa mewujud ke dalam ruang-ruang negosiasi penerapan PR sejak dari tahapan manajerial hingga tahapan teknis di lapangan.






Referensi :

Ananda, Ida Anggraeni, 2002. Public Relations : Sebuah Telaah dari Sudut Fungsi, Peran, dan Kedudukannya dalam Organisasi, Jurnal Visi Komunikasi, Jakarta: Fakultas Ilmu Komunikasi Mercu Buana.
Banks, Stephen P., 1995. Multicultural Public Relations : A Social-Interpretive Approach, London : Sage Publications.
Black, Sam,. 1994. The Essentials of Public Relations, London : Kogan Page Limited.
Cutlip, Scott M., Allen H. Center, & Glen M. Broom., 2000. Effective Public Relations, Eighth Edition, New Jersey : Prentice-Hall. Inc.
Dominguez, George S., 1982. Government Relations : A Handbook for Developing and Conducting The Company Program, New York : John Willey & Sons.
Gregory, Anne., 2003, Planning, and Managing A Public Relations Campaign: A Step by Step Guide, New Delhi : Kogan Page Limited.
Kador, John, 2009. Effective Apology : Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan, penerjemah Kunti Saptoworini & Th. Dewi Wulansari, Jakarta : Penerbit Gemilang.
Laermer, Richard, & Michael Prichinello, 2009. Full Frontal PR : Membuat Orang Membicarakan Anda, Bisnis Anda, atau Produk Anda, Penerjemah Lenny Hidayat, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Lovell, Ronald. P., 1982. Inside Public Relations, Boston : Allyn and Bacon. Inc.
McQuail, Dennis, 2000. McQuail’s Mass Communication Theory, 4th edition, London : Sage Publication.
Moore, H. Frazier,. 1987. Hubungan Masyarakat : Prinsip, Kasus, dan Masalah, buku Satu, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Scott, David Meerman, 2009. The New Rules of Marketing & PR, Penerjemah Anastia Putri Ridiasa, Jakarta : Publishing One.
Seitel, Fraser P., 2001. The Practise of Public Relations, Eighth edition, New Jersey : Prentice Hall.
White, Jon, & Laura Mazur., 1995. Strategic Communications Management : Making Public Relations Work, London : Addison-Wesley Publishing Company.