Rabu, 10 Maret 2010

Communication Unconsciousnes

“Apa yang ada dalam benak anda …
Tidak identik dengan apa yang anda sadari,
apa yang terjadi di dalam pikiran anda,
dan apa yang anda dengar darinya,
Adalah dua hal yang berbeda”



Satu postulat yang ditebarkan oleh aliran Psikoanalisis adalah bahwa kita tidak sepenuhnya mengendalikan diri kita setiap waktu. Kita dipengaruhi oleh cara yang sulit untuk kita mengerti, dan kita melakukan sesuatu untuk alasan yang tidak kita mengerti atau kita tidak mengakui diri kita sendiri. Pendeknya, kita tidak sepenuhnya makhluk yang rasional lalu bertindak atas alasan dan basis logika dan kecerdasan, namun sebaliknya, justru emosional dan hal lain yang tidak rasional atau irasional (Berger, 1999 : 72). Seperti yang dikatakan Ernest Dichter bahwa banyak sekali dari keputusan kita sehari-hari justru diambil dalam kondisi ketidaksadaran dan motivasi yang tidak bisa kita kendalikan. Prinsip ini dinamakan Blink oleh Malcolm Gladwell (2005), dan dinamakan click whirr behavior oleh Robert Cialdini (2000). Singkat kata, menurut paham psikoanalisis manusia itu kebanyakan sama sekali tidak menyadari tentang apa yang telah dilakukannya. Mudah sekali bingung dan tertipu dengan apa yang ada didepannya, sehingga dia tak mampu memilih tindakan apa yang akan dia lakukan. Paradoxnya manusia adalah bahwa dia harus memilih disaat dia sama sekali tak sadar bahwa dia harus melakukan pilihan. Bahkan ketika dia sudah memilih-pun, ternyata dia sama sekali tidak sadar telah memilih. Lalu satu tanya menarik : kapan kita menyadari bahwa kita telah berkomunikasi ?

Komunikasi begitu inheren dalam kehidupan manusia. Saking melekatnya, dia bahkan dianggap tidak ada sama sekali. Bagaikan udara bagi manusia. Bagaikan air bagi sang ikan. Komunikasi telah hadir di mana-mana, sehingga kehadirannya tidak terasa (nikmat sekali andai cinta telah hadir di mana-mana, mengatasi benci, iri, dengki, dan dendam membara !). Justru karena manusia sudah terlalu terbiasa dengan apa yang disebut komunikasi, maka manusia tidak pernah merasa ada yang perlu dilakukan dengan komunikasi. Komunikasi sudah instingtif. Komunikasi sudah berjalan dengan sendirinya, tanpa perlu menekan tombol On. Dia telah melekat dengan kehidupan manusia. Saking telah melekatnya, maka manusia menyepelekannya. Persis seperti perilaku buruk manusia terhadap udara. Merasa bahwa udara selalu ada buat dirinya, mulailah manusia membuat polusi di mana-mana, merokok di mana saja, membuang gas kemana saja, dan setelah lapisan ozon semakin tipis, barulah disadari bahwa udara (sehat) tidak dengan sendirinya selalu tersedia bagi manusia.

Begitu juga dengan komunikasi. Tidak selamanya sebuah komunikasi yang sehat selalu mengiringi kita hari demi hari. Berdasarkan apa yang ditelisik Marshall B. Rosenberg (2010), ternyata komunikasi manusia merupakan ajang kekerasan simbolik yang sudah begitu umum terjadi. Pernahkah kita menghitung berapa banyak kalimat dan kata yang kita keluarkan telah menyakiti hati orang lain ? entah dalam kondisi bercanda maupun dalam kondisi serius, entah dalam situasi sadar maupun tidak sadar, entah dalam kondisi bersama ramai-ramai dalam komunikasi kelompok, atau hanya berdua dalam komunikasi interpersonal ? rasanya jarang sekali. Kita kadang tersentak betapa kalimat kita telah membuat wajah teman di depan kita memerah, marah. Kita kadang terkejut saat hidung kita ditonjok beberapa detik selepas satu dua kalimat meluncur dari mulut kita tanpa bisa dikontrol. Begitulah, kata Rosenberg, kita melancarkan kampanye anti kekerasan. Tak boleh berperilaku kasar dan keras. Namun kita lupa bahwa kata-kata keras dan pedas, alias sarkasme selalu meluncur dari mulut kita. Celakanya, itu mengalir begitu saja, tanpa kita sadari (hmm ... andai Freud bersama kita, tentu ia akan mengumbar tawa). Jadi yang ingin saya katakan adalah, postulat besar psikoanalisis di awal tulisan tadi sebenarnya telah berlaku umum dalam dunia komunikasi.

Ciri utama dari proses komunikasi adalah dia terjadi begitu saja tanpa terlalu disadari. Sehingga proses dan akibat terkadang tidak mudah untuk diramal dan diperkirakan. Paling tidak ada empat ciri mendasar komunikasi antar manusia yang penting sebagai alasan mengapa dia terkadang begitu sering tanpa disadari. Komunikasi itu (1). Inescapable, (2). Irreversible, (3). Complicated, dan (4). Contextual.

Inescapable adalah sifat hakiki komunikasi yang melekat pada diri manusia. Manusia tidak mungkin menghindari komunikasi. “we can’t not communicate !” begitu katanya. Komunikasi hadir seiring dengan hadirnya manusia itu sendiri. Tak pernah sedetikpun manusia terlepas dari komunikasi. Bahkan ketika dia tidur sekalipun. Tentu saja disaat tidurnya (ngorok ?) memberi makna bagi orang lain. Irreversible marupakan kata yang pas untuk mengatakan bahwa proses dan hasil dari komunikasi merupakan sebuah momen ‘sekali jadi’. Artinya dia tidak mungkin dianulir (diulang) baik dalam kesamaan proses pengiriman pesan maupun dalam hasil dan akibat yang telah muncul. Kita tidak akan bisa menciptakan dua efek kemarahan sama persis dalam selang waktu dua jam antara kemarahan pertama dan kemarahan kedua. Begitu juga disaat mengutarakan perasaan (cinta ?) tak akan mungkin menghasilkan efek yang sama pada dua tempat yang berbeda (apalagi dua orang yang berbeda khan ?). ini terjadi karena komunikasi adalah sesuatu yang complicated. Kompleksitas komunikasi terjadi meliputi setiap sosok yang berkomunikasi, baik pembicara maupun pendengar memiliki kompleksitas sendiri-sendiri baik secara sosial maupun personal. Belum lagi apabila menyangkut media dan pesan-pesan yang terkirim. Contextual, menyangkut keberadaan proses komunikasi yang melekat pada tempat dan waktu di mana komunikasi itu terjadi. Tata cara dan perilaku berkomunikasi di sebuah kampung di Sumatera tidak bisa digunakan di sebuah kampung yang lain di pulau Jawa. Akan muncul masalah karena begitu berbeda dan bertolak belakang makna interaksinya. Karena itulah komunikasi antarbudaya, antaretnik, antarbangsa menjadi sangat menarik untuk dipelajari. Paling tidak kita tahu bahwa sejak peradaban diciptakan dengan heterogenitasnya, komunikasi dan bahasa menjadi masalah utama menghubungkan manusia satu sama lain. Empat ciri utama dari komunikasi manusia itu tadi membuat komunikasi menjadi sesuatu yang terkadang terjadi begitu saja, tanpa kita sadari. Lalu adakah saat kita menjadi sadar bahwa kita tengah berkomunikasi ?

Komunikasi yang disadari adalah komunikasi yang sangat disarankan para ahli psikologi. Komunikasi yang tertata dan memiliki alur dan tujuan (positif) harusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila komunikasi dilakukan dengan kesadaran, maka proses transaksi makna baik itu verbal maupun non-verbal akan sangat terkontrol. Hasilnya ? kita akan lebih peka dengan perasaan lawan bicara kita. Kita akan mampu menjaga segala ucapan, gesture, serta perilaku non-verbal lainnya. Pada titik inilah yang terkadang paling sulit. Komunikasi yang mengalir sedemikian lupa, mudah membuat kita lupa bahwa kita sedang berkomunikasi. Karena kita lupa sedang berkomunikasi, lupa pula kita dengan siapa kita berkomunikasi, lupa pula dengan kemungkinan efek yang diakibatkan dari satu dua kata yang terucap. Begitu banyak yang terlupa saat proses komunikasi terjadi. Itulah kita .... manusia .... seperti yang memang sudah ditegaskan oleh aliran psikoanalisis tadi, banyak sekali yang berada di luar kesadaran kita. Anda punya pendapat yang berbeda ?


Tepi kali, Maret 2010