Kamis, 30 Juli 2009

Menjadi Dosen Pembimbing Lapangan KKN : Sebuah Kesalahan ?


Menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) bukanlah sebuah aktivitas favorit di kalangan dosen-dosen. Dalam satu dekade karier saya sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada, tak sekalipun saya menjumpai dosen di fakultas saya (FISIPOL) yang bangga, gembira dan rela menjadi DPL. Terbayang di mata saya bahwa menjadi DPL adalah aktivitas dosen yang kurang kerjaan. Mau bersusah-susah mengurus anak-anak mahasiswa di dusun dan kampung yang jauh dari pusat peradaban dan simbol-simbol modernitas. Merekapitulasi laporan dari mahasiswa yang sebagian besar salah. Atau aktivitas apalagi yang menjemukan dan membosankan. Itu terasa hampir dua tahun belakangan. Dan menjadi sesuatu yang tidak habis saya pikirkan, mengapa kemudian saya mau menandatangani formulir permintaan menjadi dosen pembimbing lapangan dari Dira, Ria, dan beberapa teman lain mahasiswa jurusan ilmu komunikasi 2006 pada bulan Mei 2009 lalu. Begitu gampang saja saya mengiyakan permintaan mereka untuk menjadi dosen pembimbing lapangan. Selepas menandatangani, jujur saya mulai berpikir : “ini sebuah kesalahan !”

Mereka bilang akan melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di desa Sugian, Sambelia, Lombok Timur. Mendengar nama desa itu saja baru satu kali seumur hidup saya, apalagi membayangkan tempatnya. Pasti jauh dan terpencil sekali. Semakin memikirkan hal itu, semakin pula saya berpikir bahwa telah melakukan sebuah kesalahan. “Mengapa saya tandatangani ?” itu mengganggu pikiran seiring dengan berbagai masalah yang kemudian muncul yang mengharuskan saya berurusan dengan lembaga payung yang menaungi kegiatan KKN ini, namanya Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM. Sebuah lembaga yang nampaknya sangat kerepotan mengurusi berbagai tetek bengek mahasiswa dikarenakan kekurangan sumber daya dan ketidakmampuan manajeman mereka. Mulailah terjadi masalah. Pertama, proposal KKN anak bimbingan saya ditolak oleh LPPM. Teman-teman mahasiswa sedih. Setelah berupaya menyusun proposal, melakukan survey ke desa Sugian, proposal mereka ditolak. Terjadi negosiasi. Akhirnya LPPM menyetujui dengan syarat teman-teman mengganti tema dan judul proposal menyesuaikan dengan apa yang diinginkan oleh LPPM. “just do it, “ komentar saya saat teman-teman menanyakan itu. Akhirnya jadilah saya sebagai DPL harus bolak-balik turun naik tiga lantai untuk datang ke kantor LPPM di gedung pusat UGM. Sampai disitu masalah selesai. Tapi dalam hati saya kembali berpikir : “sebuah kesalahan menjadi DPL !”

Masalah kedua, tentu saja erat kaitan dengan dana operasional mereka. Kebutuhan akan dana program yang hampir 80 jutaan, pada akhirnya sama sekali tidak bisa ditanggung dengan mengandalkan sponsor. Sampai menjelang keberangkatan, tidak ada sponsor yang bisa mereka dapatkan. Kapasitas saya sebagai DPL berikut berbagai kesibukan pekerjaan membuat saya tidak mampu terlibat terlalu jauh dalam upaya mencarikan sponsor. Saya hanya bisa menelpon beberapa teman dan selalu mendapat jawaban mengambang dan “masukan saja proposalnya !”. Padahal saya tahu, teman-teman KKN sangat tergantung pada dana itu untuk transport, akomodasi, dan konsumsi, berikut berjalannya program di lapangan. Waktu sudah begitu mepet. Padahal saya juga tahu bahwa keterbatasan dana akan membuat pemangkasan berbagai item di atas. Terus terang ini membuat hati saya galau dan gelisah. Dalam hati saya kembali mengumpat : “sebuah kesalahan menjadi DPL !”

Benar dugaan saya. Pemangkasan dana pertama adalah dana transportasi. Berbagai alternatif moda transport yang ditawarkan begitu jauh dari jangkauan dana teman-teman. Dengan jumlah anggota KKN sebanyak 25 orang maka perhitungan untuk naik bus dari Jogjakarta – Lombok sangat mustahil. Boro-boro naik pesawat. Janganlah menyindir saya dengan pernyataan itu. Mengapa ? dari kebutuhan 80 juta yang dianggarkan mereka, dana yang bisa mereka gunakan hanya sekitar 19 juta. Itu sudah termasuk untuk makan, program, dan transportasi. Bisa dibayangkan betapa miskinnya mereka nanti. Dan dugaan tentang kemiskinan itu berubah menjadi kenyataan setelah saya mendengar keputusan mereka tentang cara mencapai Lombok. Mereka akan menggunakan sistem estafet. Wah apa pula itu ?

Begini. Mereka akan naik kereta api ekonomi dari stasiun lempuyangan, Jogjakarta menuju stasiun Banyuwangi, sebuah stasiun yang paling dekat dengan feri penyeberangan Ketapang. Selepas itu berjalan kaki menuju pelabuhan Ketapang. Berlanjut menumpang feri penyeberangan ke Gilimanuk, Bali. Dari Gilimanuk mereka akan menumpang bus ekonomi untuk seterusnya menuju pelabuhan Padang Bai, ujung timur Bali. Dari sana akan estafet menumpang feri penyeberangan menuju Lembar, pelabuhan sebelah barat Lombok. Dari Lembar mereka akan naik angkutan kota menuju desa Sugian, Sambelia, lombok Timur, setelah melewati kota Mataram. Dengan model estafet begitu dana yang akan ditanggung setiap anggota KKN berkisar sekitar Rp. 125.000,-. Whats ? ... sebegitu murah untuk mencapai Lombok ? dari Jogja pula ? sampai disitu saya terkekeh-kekeh. Membayangkan dan membandingkannya dengan dana rekreasi yang telah dihabiskan fakultas saya dahulu untuk pergi ke Bali. Sebuah kegiatan rekreasi setiap 2 tahun sekali yang dilaksanakan oleh FISIPOL dengan melibatkan seluruh staf dosen dan keluarganya. Kebetulan saya selalu menjadi panitia. Kalau tidak salah ingat dana yang dihabiskan untuk rekreasi ke Bali saat itu sekitar 400 hingga 500 juta. Berbeda sekali dengan dana anak-anak KKN ini yang cuma 19 juta. Woalah pasti anak-anak ini akan menderita sekali di perjalanan. Sampai saat itu bahkan saya mulai berpikir : “KKN adalah sebuah kesalahan !”

Namun entah mengapa begitu diberitahu tentang model estafet itu, naluri petualang saya (yang sudah saya matikan sejak menjadi dosen) tiba-tiba tergelitik. Satu pertanyaan yang memantiknya “apa mungkin perjalanan sejauh itu bisa sebegitu murah ?” lalu bagaimana susahnya perjalanan semurah itu ? dari berbagai rasa penasaran itu akhirnya sama memutuskan untuk mencoba saja, dari pada menduga-duga dan membayangkan. Hal terpenting bagi saya adalah berupaya untuk terus empati di tengah kekurangan dana dan berbagai masalah yang muncul dalam rombongan yang notabene sudah menjadi tanggung jawab saya. Untuk itu saya putuskan untuk ikut serta dengan rombongan mereka. Well, begitulah saya mengambil keputusan. Meskipun dalam hati tetap saja membisikan “KKN adalah sebuah kesalahan !”
Kami harus berangkat selepas pemilihan presiden tanggal 8 Juli. Berangkat dari stasiun lempuyangan, Jogjakarta pagi hari tanggal 9 Juli 2009, jam 7.30 WIB. Padahal hingga tanggal 7 itu saya masih berada di Jakarta, setelah sebelumnya berada di Gorontalo, dan Makasar. Ditengah-tengah kesibukan pembagian jadwal dan manajeman waktu saya yang benar-benar buruk, tanggal 8 Juli saya harus menyoblos calon presiden RI. Sisa hari tanggal 8 itu harus saya habiskan di kantor mengerjakan policy brief sebuah draft undang-undang yang harus diajukan ke DPR RI. Ditambah malamnya saya harus mengoreksi dua mata kuliah hasil ujian akhir mahasiswa saya. Betul-betul sebuah minggu yang melelahkan. Sampai disitu saya kembali berpikir : menjadi DPL adalah sebuah kesalahan !

Begitulah, pada tanggal 9 Juli 2009. Pagi hari saya harus bangun. Padahal saya baru bisa tidur jam 3 dinihari selepas mengoreksi hasil ujian mata kuliah Psikologi Komunikasi yang tersisa. Satu tas kuning pakaian lengkap telah dipersiapkan istri saya, Erni. Sosok istri terbaik sepanjang dunia ini. Sosok istri yang sangat mengerti segala kesibukan dan kenakalan suaminya. Dia yang telah memelihara buah hati kami berdua, Harsa. Ingat Harsa, saya masuk ke kamarnya. Saya pandangi wajah gantengnya. Dua kali saya mencium kening Harsa, anak saya semata wayang yang masih lelap dalam mimpi. Dia baru berusia tiga tahun. Terlalu sering ditinggal pergi ayahnya. Mungkin nanti dia akan bertanya-tanya mengapa ayah selalu pergi ? saya tepis segala lamunan cengeng di kepala, lalu memanggul tas berisi laptop dan beragam dokumen lain. Saya minta diantar istri naik sepeda motor untuk sampai ke Lempuyangan. Cuma butuh 3 menit. Rumah saya dekat sekali dengan stasiun itu. Sesampai di sana, saya jumpai wajah-wajah ceria dan semangat dahsyat ke 23 teman mahasiswa. Oh iya, dari 25 orang anggota KKN, yang kemudian memastikan untuk ikut serta hanya tinggal 23 orang. Beragam masalah dan kesibukan membuat dua orang mengundurkan diri. Tak mengapa. Yang tersisa sudah lebih dari cukup untuk menjadi satu rombongan luar biasa. Itu faktanya. Mereka penuh canda. Gembira. Memanggul tas masing-masing berikut membantu membawakan tas temannya. Saya segera bergabung dengan mereka. Sambil di telinga saya terdengar bisik lirih : “yakinlah, menjadi DPL bukanlah sebuah kesalahan !”

Jam 07.30 WIB tepat kereta ekonomi yang penuh dengan manusia itu berangkat. Berderak-derak. Aku duduk ditengah-tengah mahasiswa. Mereka membawa banyak makanan rakyat. Membawa kebahagiaan. Sama sekali tidak terlihat canggung dan menyesali keadaan. Inilah model transportasi rakyat Indonesia. Sampai di titik itu saya malu dengan mereka. Malu dengan kesungguhan hati mereka. Betapa sangat berbeda dengan saat saya menikmati perjalanan ke Gorontalo, Makasar, Jakarta, Singapura, yang sama sekali tidak menyisakan kesusahan. Semua sudah tersedia. Duduk manis dalam pesawat. Dijemput dengan mobil berpendingin buatan. Tidur nyenyak di kamar hotel berbintang empat. Sungguh kontras. Tapi mungkin itulah dunia. Perbedaan menjadi niscaya. Tinggal keinginan untuk berempati dan mau merasakan kehidupan orang lain. Dan itu nampak pada tekad dan semangat teman-teman mahasiswa. Mereka telah memberi pelajaran tentang kesusahan dan kebersamaan. Sampai di sini dalam hati saya berkata : “KKN bukanlah sebuah kesalahan !”

Butuh waktu satu hari penuh untuk menyelesaikan perjalanan hingga tiba di stasiun Banyuwangi. Rombongan baru tiba di statiun Banyuwangi pada jam 22.00 WIB. Maklumlah, kereta ekonomi harus mampir-mampir dulu di Surabaya setelah beberapa stasiun kecil sepanjang perjalanan dari Jogja. Persis seperti bus ekonomi yang selalu berhenti setiap ada lambaian tangan penumpang di pinggir jalan. Tak perduli di manapun tempatnya. Dalam hati saya bergumam, untung kereta api tidak perlu berhenti di sembarang tempat semaunya sang Masinis. Dia hanya berhenti di setiap stasiun saja. Merskipun itu adalah satu-satunya faktor yang membuat perjalanan menjadi sangat lama bila dibandingkan dengan menumpang kereta api eksekutif. Beragam pikiran itu terus berkecamuk dalam hati sepanjang perjalanan, diantara tawa ramai dan terbahak-bahak teman-teman KKN. Pada saat itu barulah saya tahu betapa susahnya untuk buang air kecil alias kencing dalam perjalanan kerata api kelas ekonomi. Dalam satu kesempatan, karena tidak mampu lagi menahan tekanan dan kodrat alami untuk pipis, saya mencoba bergerak menuju toilet. Di sela-sela kursi manusia penuh berdesak-desakan, saya harus menerobos dengan resiko berkali-kali menginjak kaki manusia. Tentu saja ada makian dan protes karena kakinya saya injak. Dan itu terjadi lebih dari tiga kali. Saya Cuma tersenyum dan minta maaf sambil terus bergerak menuju toilet yang terdapat persis di sambungan antar gerbong. Setelah berjuang lebih dari 15 menit, saya mencapai ujung gerbong. Saya tersenyum mengingat jarak kursi tempat duduk saya hanya berkisar tiga meter dari sambungan gerbong tempat toilet berada. Saya tempuh lebih dari 15 menit dengan keringat membanjir. “Luar biasa !” gumam saya dalam hati. Meski begitu hati saya sungguh gembira, sebentar lagi acara buang hajat saya pasti terlaksana. Indahnya dunia !! saya bergegas menuju pintu toilet sebelah kiri, dan melengok ke dalam karena pintu toilet dalam posisi terbuka dengan tiga atau empat orang berdesakan di depannya. Mata saya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah karung besar sekali yang nangkring di atas dudukan toilet. Disampingnya berdiri santai seorang tua sambil memegangi karung itu. Sebuah tindakan simbolis untuk menyatakan bahwa karung itu miliknya. Bagi saya tindakan itu juga sekaligus ingin menegaskan bahwa toilet berikut dudukan dan seisinya telah menjadi kuasa dia. Saya menatap dan mencoba tersenyum padanya. Berharap dia mengerti keinginan buang hajat ini. Wajah bapak itu dingin. Tak ada senyum. Melengos. Cukup untuk mengomunikasikan ketidakrelaan berbagi istana kecil seukuran 1 meter persegi itu. Hukum rimba telah terjadi. Dan dalam hati saya cuma bergumam “batalkan saja niat buang hajat itu bung !” sambil ditambah, “daripada cari ribut ?” . sekelebat pemikiran itu membuat saya menelan kembali senyum saya. Nyengir dan berbalik posisi kembali ke tempat duduk saya. Kursi no 15 D gerbong 2. Dalam hati terbersit : “DPL yang malang !”. Berjuanglah menahan hajat kecilmu itu ! Kereta terus melaju dengan tangis dan rengekan anak kecil yang menambah keakraban suasana. Suasana sebagai rakyat kecil yang harus rela dengan fasilitas tak seberapa. Dalam hati saya menghibur diri. Paling tidak saya tidak sendirian terjebak dalam labirin kasta struktural masyarakat negeri ini. Sisa perjalanan masih harus ditempuh enam jam lagi. Hati saya berbisik : “sebuah kesalahan naik kereta api kelas ekonomi !”

Pukul 23.00 WIB kereta sampai di Banyuwangi. Stasiun tujuan akhir kereta ini. Hari sudah gelap dan sepi. 23 orang anggota rombongan turun dan harus memanggul tas masing-masing untuk berjalan sejauh 500 meter menuju pelabuhan Ketapang. Bagi mereka nampak sudah biasa. Namun tidak bagi saya. Setelah 10 tahun tidak lagi menjadi mahasiswa, dan terlanjur dimanjakan oleh berbagai fasilitas sebagai dosen, tentu memanggul tas dan berjalan sejauh itu bukanlah sesuatu yang biasa bagi saya. Tetap aja megap-megap dan berat he he he .Hanya prinsip dramaturgi dan manajeman kesan yang membuat saya tidak menunjukkan perilaku yang mengendorkan semangat mereka. Sampai di pelabuhan Ketapang, rombongan hanya tinggal membayar 5.700 per orang untuk sampai ke Gilimanuk, Bali. Perjalanan menyeberang ditempuh lebih dari satu jam. Tentu saja mata saya mengantuk. Tapi mimpi tentang tidur nyenyak akan tetap sebagai mimpi. Setelah makan dan merokok, sisa waktu saya habiskan dengan membaca buku. Buku tentang dokter yang melawan aturan dunia kesehatan. Cerita yang akan menjadi bahan presentasi saya nanti dalam pelatihan tentang komunikasi kesehatan di fakultas kedokteran. Feri penyeberangan yang membawa kami merapat ke Gilimanuk pukul 1 tengah malam waktu Bali.Lagi-lagi rombongan kecil ini harus berjalan sekian puluh meter menuju terminal di Gilimanuk. Sebuah bus kelas ekonomi sudah menanti. Tarif senilai Rp. 35.000,- tentu lebih murah ketimbang Rp.200.000,- apabila kami langsung naik bus dari Ketapang tadi. Anak-anak ini memang super irit. Mungkin juga pelit he he he...

Pukul 2 dinihari bus bergerak. Saya sudah tidak bisa bicara lagi. Antimo yang 15 menit sebelumnya telah saya telan mulai menunjukkan pengaruhnya. Saya langsung tertidur. Mungkin lebih tepat disebut pingsan. Kelelahan. Sudah tidak terasa lagi bagaimana lajunya bus itu. Mata saya terbuka saat bus sudah sampai di pelabuhan penyeberangan Padang Bai, ujung timur pulau Bali. Dari situ kami bisa naik feri penyeberangan seharga Rp. 31.000,- menuju Lembar (dibaca seperti kita mengucapkan huruf ‘e kedua’ pada kata sepeda !). Pelabuhan paling barat pulau Lombok. Menurut keterangan mahasiswa, dalam kondisi laut tenang perjalanan menuju Lembar bisa diarungi selama 4 jam. Namun bila laut menggila, kita harus siap lebih dari 6 jam. Sebuah perjalanan yang melelahkan. Ini hari Jum’at. Ada ritual sholat Jum’at bagi umat Islam. Tapi katanya musafir tak diharuskan untuk sholat Jum’at. Saya tersenyum. Mungkin sudah lebih dari dua tahun tidak pernah sholat Jum’at.

Pukul 8 pagi feri penyeberangan siap diberangkatkan. Selepas sarapan saya dan semua anggota KKN ini masuk ke feri. Menikmati perjalanan 4 jam saya isi sepenuhnya dengan tidur dan membaca. Selepas tengah hari tibalah kami di Lembar. 24 orang ini turun dan mengepak barang masing-masing menuju angkot yang khusus kami carter yang akan membawa kami menuju desa Sugian, Sambelia. Saya sama sekali tidak memiliki bayangan bagaimana wujud desa tersebut. Yang saya nikmati sepenuhnya adalah semangat dan canda yang tiada henti meluncur dari mulut teman-teman mahasiswa. Jawaban atas ketidaktahuan itu saya dapat mulai empat jam kemudian setibanya kami di Sugian. Sebuah desa yang tepat berada di tepi laut. Dari desa ini kita bisa melihat permukaan laut yang rata dengan tanah. Membiru di mana-mana. Begitu indah. Sulit digambarkan dengan kata-kata. Rencananya desa ini akan terus diproyeksikan menjadi salah satu desa wisata di kepulauan Lombok. Empat hari lamanya saya menginap di desa itu. Beragam kenangan dan pelajaran saya dapat. Semakin banyak pengalaman berbaur dengan para mahasiswa, semakin hati saya berbisik : begitu banyak pelajaran yang didapat dari KKN. Daya tempa semangat. Kekuatan pembentuk mental dan karakter. Membina teamwork. Saling menghargai antar teman. Dan saya yakin dalam dua bulan mereka di desa tersebut, akan banyak sekali pelajaran hidup yang mereka dapat. Mengapa ? karena hanya dalam empat hari di sana, saya sendiri mendapat begitu banyak pelajaran berguna untuk hidup. Perlahan tapi pasti hati saya berbisik, “menjadi DPL bukanlah sebuah kesalahan !” .... terima kasih teman-teman ..

Sugian, Sambelia, 12 Juli 09