Rabu, 26 November 2008

ANTARA ELIENASI DAN HARGA DIRI

“Sepertinya seseorang hanya menikah satu kali saja sepanjang hidupnya.. ya mbak ..” kata-kata itu meluncur begitu saja saat aku mulai memindah porsneling mobil dari satu ke dua. Mobil berjalan lambat meninggalkan tempat merias calon pengantin. Aku baru saja menjalankan tugas mengantar rombongan perias pengantin pagi ini, 13 Maret 2005 waktu Ambarawa. Kota yang tenang meskipun tepat di salah satu sudut kecamatan ini terdapat area latihan dan penggemblengan tentara. Area latihan berujud lapangan yang selalu diramaikan oleh teriakan-teriakan satu atau dua kompi tentara yang berlatih setiap hari, namun tidak merubah kota ini dalam kerangka berpikirku sebagai kota yang tenang. Tak ada relasi historis antara aku dengan kota ini. Kota ini tak pernah aku simpan dalam memoriku, tak pernah kuucapkan dengan mulutku, tak pernah aku bayangkan akan kuinjak dengan kakiku. Namun apa yang terjadi hari ini membuatku tersenyum renyah saat menyadari perjalanan hidup manusia. Relasi aku dan kota ini dibingkai oleh perjalanan batin pencarian sebuah makna kehidupan.

Kota yang dahulu hanya aku kenal melalui buku-buku sejarah, terutama terkait dengan tugu Palagan Ambarawanya. Untuk beberapa waktu kemudian menjadi akrab dengan kehidupan hari-hariku setiap minggu. Semua berawal dari pilihan hidup untuk menikah dan beranak pinak (tentu saja meniru dan menuruti perjalanan normal sejarah ras manusia). Tanpa pernah aku impikan, satu tahun yang lalu aku telah menyunting gadis kota ini : Erni. Jadilah aku penduduk semi permanen kota ini, yang hanya berkunjung setiap weekend saja, menikmati liburan, menghindari rutinitas kehidupan kampusku yang padat dan melelahkan. Menurutku kota ini sangat cocok buat peristirahatan. Ditunjang dengan udara dinginnya, keramahan penduduknya, aneka macam masakan dan pengobatannya, betul-betul menjadi kota yang cocok bagi pensiunan dan para penikmat hari tua. Kutuliskan tipologi manusia terakhir itu tanpa pretensi bahwa aku akan menjadi seperti itu nantinya (he he he he ), kerena gambaran hari tua sama sekali tidak mau aku pikirkan untuk saat ini : aku masih tetap merasa muda, itulah alasannya !

“Kok begitu ? “ mbakyu paruh baya itu menukas : “Mengapa ?”
“Habiiss … !” aku tersenyum ”menikah menuntut ongkos begitu banyak !”
“iya ya mas … menikah itu emang kadang membuat orang mboross…”
“Terlalu banyak aturan dan tata krama yang harus dijalankan saat kita menikah… apalagi di Kalimantan sono mbak … wuahh .. muahal buanget ..” aku memindah porsneling tiga.
“tapi anehnya kita sering memaksa untuk membuat pestanya menjadi ramai .” mbakyu itu menimpali separuh membenarkan: “bahkan kalo perlu, ngutang aja berani kok ..”
Aku hanya tersenyum tanpa memberi jawaban. Sangat membenarkan kata-kata mbakyu tadi. Dia tidak mengecap pendidikan di sekolah tinggi, pendidikannya hanya sampai SMP. Bekerja lepas sebagai juru rias. Hari ini kebagian job bersama ibu mertuaku yang juga juru rias. Tadi dari tempat pengantin pria, tiba-tiba ibu mertuaku meminta tolong mengambil salah satu equipment yang tertinggal di rumah. Jadilah aku dan mbakyu ini harus kembali lagi ke rumah dan mengambil peralatan itu.
Suasana sunyi, hanya terdengar bunyi mesin mobil.
Mbakyu ini telah memotret sebuah realitas sosial yang berputar mengelilingi kita. Sebuah fenomena budaya yang kadung membuat sosok individu tidak berdaya menolak kekuatan masyarakat. Kali ini sosok manusia itu terjebak pada pola budaya dan tata krama yang bernama pernikahan.

Dahulu aku pernah membaca sebuah artikel di koran nasional. Isinya tentang bagaimana sebuah event organizer di Jakarta berupaya menghadirkan dan meramu beragam acara spektakuler untuk sebuah hajat bernama perkawinan. Mereka tentu saja mematok harga yang cukup membuat kita geleng-geleng kepala. Untuk sebuah upacara pernikahan yang menurut mereka sederhana saja, mereka menghabiskan paket 20 juta. Ada bahkan yang bisa mencapai ratusan juta. Semua hanya demi satu kata : prestis ! semua orang tiba-tiba terjerembab, terperangkap oleh satu kata : gengsi ! meskipun kemudian secara faktual kemampuan ekonomi mereka tidak cukup untuk menyandang biaya sebesar itu, namun bisa saja mereka memaksakan diri, mungkin juga dengan berutang. Lebih baik berutang dulu ketimbang malu karena tidak bisa membuat acara pernikahan yang spektakuler. Nikah dan perkawinan menjadi tidak lagi sekadar acara sakral, namun penuh dengan politisasi uang dan unjuk ego yang berkepanjangan.

Budaya ini tidak akan berhenti sepanjang zaman. Rasa malu, tertekan, tak mau dipandang remeh telah menjadi energi yang luar biasa membuat pesta pernikahan harus mengeluarkan banyak uang. Seseorang tidak mungkin mengelak untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Cobalah bayangkan : sejak kita mengurus surat-surat syarat nikah itu di RT dan Kelurahan, kita sudah harus mengeluarkan uang. Ketika harus mendaftarkan diri di KUA setempat sebagai calon suami dari calon istri kita, maka uang juga harus bicara. Inilah faktanya. Tak bersedia berdamai dengan sistem itu : urusan menjadi serba lambat. Sosok pribadi ini kemudian harus ikut dengan tata aturan dan kesepakatan tidak tertulis ini. Sebagai manusia individu, kita tak akan bisa melepaskan diri dari ikatan dan norma-norma sosial. Apa jadinya kalau sosok individu tidak mau ikut dalam pola dan alur permainan itu ? dia akan tersingkir dalam arti luas dari tata pergaulan masyarakat. Diomongkan tetangganya kanan-kiri, dicap pelit tidak mau mengeluarkan sedikit uang untuk hari bersejarahnya, dianggap tak tau pergaulan zaman sekarang, dan setumpuk cap lainnya yang akan menyudutkan dia secara sosial dan psikologis. Permasalahannya bukan lagi pada cap dan omongan miring itu tadi, namun lebih pada sebuah prinsip mendasar kedirian manusia : siapkah dia dengan segala prasangka negatif itu ? segelintir orang akan mampu bertahan dengan segala prasangka, namun ratusan bahkan ribuan orang akan menyerah terkapar dihantam oleh prasangka itu (masih ingat lagu “Kepala Dua” karya Ian Antono, dedengkotnya group musik Gong 2000 ?) Pada titik inilah aku teringat dengan konsep Alienasi – Karl Marx.

Konsep alienasi Marx datang dari pemahaman dia atas makna implisit yang tercermin dari perilaku menyembah berhala pada manusia masa lalu (Fromm, 2001 : 58 – 75). Seperti yang diutarakan Fromm bahwa ketika manusia menyembah berhala, maka sebenarnya ia semakin memberikan daya potensialnya kepada berhala itu. Kekuatan dirinya diberikan kepada berhala-berhala. Hal ini nampak dari perilaku menyerahkan kekuasaan penuh pada berhala untuk menangani hidupnya. Pada berhala-lah dia meminta, pada berhala-lah dia memohon, akhirnya berhala pulalah yang mensugesti dirinya untuk melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan perbuatan yang lain. Pada titik inilah kematian dan kekosongan telah melanda manusia. Lewat perilaku menyembah berhala, manusia telah mematikan dirinya. Marx mengutip ungkapan dalam kitab Perjanjian Lama : “mata yang mereka miliki tidak melihat, telinga yang mereka miliki tidak dapat mendengar” dan seterusnya. Semakin manusia memindahkan kekuasaannya pada berhala, semakin dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan semakin ia tergantung pada berhala, semakin sedikit bagian dari dirinya yang asli yang dapat diperolehnya. Berhala ini menurut Fromm bisa jadi berupa patung, negara, gereja, orang, atau kepemilikan.

Dalam pembicaraan dengan mbakyu tadi, berhala itu adalah sistem budaya pernikahan yang mengungkung setiap orang untuk tidak memiliki alternatif perbuatan lain, selain ikut dalam arus putaran sistem tersebut. Sejak acara pinang meminang, setiap orang sudah terjebak pada seremonial dan tata cara yang menjadi konsensus bersama, dan tidak boleh dilanggar (tanpa sebab dan alasan yang masuk akal), semua berbalut dengan mitos dan dongeng yang menyejukkan hati pasangan calon suami istri, dan handai taulan. Ada nilai kesakralan yang ditempelkan pada setiap titik seremonial pinang meminang dan pernikahan. Pada titik inilah terjadi pembalikan logika antara area profan dan area kesakralan yang tidak lagi berjalan seperti fenomena kehidupan lain dalam kehidupan manusia. Perjalanan manusia dalam memaknai “keberadaan” sepanjang sejarahnya selalu berayun bolak-balik antara bandul profan dan sakral (Eliade, 2002). Sholat sebagai salah satu manifestasi kehidupan keagamaan pada titik dan waktu tertentu bisa dimaknai dalam koridor kesakralan (menangis khusyu ditengah malam saat ketakutan atas azab dan siksa neraka), namun pada titik lain menjadi sesuatu yang sangat profan sifatnya (melenggang ke masjid dengan pakaian serba baru dan perhiasan emas yang berlebihan karat untuk diperlihatkan kepada jamaah lainnya). Hal demikian terjadi pula dalam sisi lain kehidupan : sex, makan, minum, dan sebagainya. Banyak yang semula dianggap sakral berubah menjadi profan saja. Namun dalam kasus pernikahan, nampaknya terjadi pergeseran antara upaya pemaknaan profan menjadi sebuah upaya menggeser pemaknaan itu menjadi sakral. Logika dari Mircea Eliade (2002) bisa digunakan sebagai pisau bedah dalam menganalisis fenomena ini.

Antara Sakral dan Profan : Kemana Bandul Berayun ?
Sebenarnya buku Eliade tidak bercerita tentang konteks perkawinan secara langsung (bahkan sangat jauh dari dunia kawin mengawin itu), namun ide dasar dia tentang pemahaman manusia atas dunia melalui agama bisa dijadikan dasar pijakan untuk menganalisis fenomena gemerlapnya pesta perkawinan. Eliade tentu dengan ikhlas memperbolehkan hal itu. Apalagi dengan mengamati rangkaian kalimatnya untuk memulai analisis atas pengalaman beragama umat manusia. Eliade menandaskan bahwa bukunya tidak akan membahas berbagai variasi pengalaman religius tentang dunia yang pernah ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Hal ini menjadi jelas, bahwa ada konteks sosial budaya, sejarah, dan organisasi sosial yang membuat area pemaknaan manusia berbeda satu sama lain atas sebuah fenomena seragam. Seperti ilustrasinya dalam melihat pemujaan pada Ibu Bumi pada masyarakat agrikultur yang tidak pernah bisa disamakan maknanya dalam konteks pemburuan masyarakat pra-agrikultur. Namun menurut Eliade tetap saja kita temukan kemiripan perilaku antara pemburu nomaden itu dengan petani yang menetap ketimbang membesar-besarkan perbedaan mereka : keduanya hidup dalam kosmos yang disakralisasikan, keduanya sama-sama berada dalam kesakralan kosmik yang mewujud secara sejajar dalam dunia hewan maupun tumbuhan (jadi ingat buku Totem dan Taboo karya Sigmund Freud ya ….!).

Atas ijin implisit Eliade itulah saya mengantar ingatan pada sebuah artikel lagi di koran langganan saya tentang upaya menjadikan pesta perkawinan sebagai sesuatu yang sakral. Artikel dikoran itu menceritakan bagaimana sebuah adat perkawinan Jawa mengharuskan adanya 12 prosesi ritual yang dilakukan dalam sebuah pesta perkawinan. Sejak dimulai dari tebus pisang sanggan dan kembar mayang hingga prosesi terakhir berupa ngolorot manten, semuanya memiliki nilai dan makna simbolis yang bermuara pada satu keyakinan : menyatukan cinta laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan hukum dan batin (Kompas, 29 Maret 2005). Semua makna simbolik itu dibangun dan dibudayakan sedemikian rupa guna mancapai nilai sakralitas bagi mereka yang terlibat dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalam budaya jawa sendiri, seluruh proses itu berimplikasi pada pengontrolan oleh sebuah sistem nilai yang diiringi oleh perenungan, dan bahkan sangsi moral. Bagaimana tidak, jantung sang mempelai bisa saja berdetak keras setiap kali melangkahkan kaki dengan diiringi suara gemelan dan petatah-petitih dari sosok pramuwicara. Berjalan menjadi tidak biasa, langkah kaki terasa berat, sadar bahwa saat itu dia disaksikan orang banyak, berikrar yang ditangkap oleh telinga banyak orang, semuanya menimbulkan makna sakral dan unik bagi dirinya. Dalam hati dia mengguman : masak dengan segala tetek bengek ini aku mau sembarangan nanti saat menjalani rumah tangga. Timbul niat dan tekat kuat menjaga perkawinan, tentu saja terutama takut karena malu atas kecaman banyak orang sebagai saksi hidup. Bayangkan saja kalau menikah dan prosesi perkawinan itu sama sekali tidak disaksikan orang lain, tentu lain suasana batinnya (maaf premis ini bukan bermaksud menyimpulkan bahwa perkawinan yang hanya disertai akad nikah doang menjadi kurang nilai sakralnya). Pencapaian nilai sakral inilah yang menurut saya telah menggeser nilai profan yang pada dasarnya menjadi landasan perkawinan. Pertanyaan utama dari pandangan ini adalah konteks sejarah perkawinan pertama manusia setelah “terlempar” ke bumi.

Apakah kita bisa memberikan jawaban atas pertanyaan : apakah Adam dan Hawa dulu juga menikah ? kalau menikah, siapa yang menjadi walinya, siapa pula yang menjadi penghulu atau pendetanya ? kalau kemudian kita merasa yakin bahwa dorongan seks adalah suatu insting hewani yang berada dalam tubuh manusia, dan menjadi pendorong manusia untuk melakukan persetubuhan (tentu saja untuk mendapatkan keturunan), maka kita akan sampai pada kesimpulan : Tuhan sama sekali tidak melakukan intervensi saat kali pertama Adam menyetubuhi Hawa ! mereka berdua melakukannya atas dasar fungsi melanggengkan keturunan semata, tanpa pernah berpikir tentang ritual, nilai simbolik, bahkan tata cara berpakaian dan prosesi segala macam untuk mensyahkan persetubuhan itu. Artinya saya bermaksud mengatakan bahwa perkawinan dan pernikahan (dalam hal ini secara teknis : persetubuhan) dilakukan dalam koridor sistem fungsi. Di sana tak ada nilai sakral sama sekali. Jadi secara bergurau, salah seorang teman saya di kantor mengatakan bahwa tradisi kumpul kebo pada diri manusia telah dimulai sejak Adam dan Hawa melakukan persetubuhan dan tinggal bersama tanpa ikatan apa-apa, selain bahu membahu memproduksi anak sebanyak-banyaknya ! lha .. terus apa beda mereka berdua dengan Sophia Latjuba dan teman kumpul kebo bule-nya itu ?

Tenang … tenang …. Pertanyaan terakhir itu tadi nampaknya muncul dari rasa cemburu teman saya yang berlebihan terhadap selingkuhan si Sophia Latjuba, karena memang dia tidak pernah mungkin menjadi pacar si Sophi (he he he he). Tapi okelah kembali pada masalah nilai sakral dan nilai profan sebuah perkawinan, sejak dulu memang sama sekali tidak ada penjelasan tentang sakralitas nilai perkawinan, bahkan dahulu laki-laki suku oborijin dan masyarakat masa lalu bisa menjawil lengan seorang perempuan untuk kemudian mengajaknya melakukan hubungan seks tanpa ada ikatan apa-apa. Kesuburan produksi dan beranak pinak menjadi fokus hubungan seks itu, tanpa harus diembel-embeli dengan beragam pernak-pernik kesakralan. Sehingga kalaupun kemudian kedua pasangan yang ketika menikah direkatkan dengan seratus prosesi sekalipun, pada akhirnya toh dengan alasan rasionalitas bisa saja tersenyum saat bersepakat memutuskan tali pernikahan mereka. Mereka telah kembali pada titik awal sejarah perkawinan : semua dilakukan atas sistem fungsi yang profan, dan sangat jauh dari nilai kesakralan. Tentu saja apabila saya menjelaskan berpanjang lebar seperti ini, mbakyu yang menumpang di sampingku pagi ini, tidak akan bisa memahami. Yah … memang dia tidak perlu mengerti kompleksnya dunia. Seperti juga diri saya yang tidak pernah bisa mengerti tentang apa makna dan orientasi berputarnya waktu dan dunia. Seperti halnya saya, dia hanya dipersilahkan menjalani dan mematuhi apa yang sudah terjadi …. Bahkan secara tak sadar telah menggantungkan nafkah hidupnya dari energi sakralitas yang dengan kuat berupaya dibangun dalam sebuah ritual hidup yang bernama perkawinan.
Aku hanya bisa menghela napas panjang.
Ambarawa tetap tenang, meskipun mobilku telah melewati sepasukan tentara yang berbaris dan bernyanyi riang, berisik memang….., namun tetap tak mengganggu indra pendengaran.

Ambarawa, Maret 2005

Bibliorafi
Fromm, Erich, (2001). Konsep Manusia Menurut Marx, Penerjemah Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Pruitt, Dean G., dan Jeffrey Z. Rubin, (2004). Teori Konflik Sosial, Penerjemah Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Maalouf, Amin, (2004). In The Name of Identity, penerjemah Ronny Agustinus, Resist Book, Yogyakarta.

Eliade, Mircea, (2002). Sakral dan Profan : Menyingkap Hakekat Agama, Penerjemah Nuwanto, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.