Senin, 19 April 2010

The End of Science : Kecemasan Sosok Horgan !

Membaca ulang buku John Horgan : “The end of Science : Senjakala Ilmu Pengetahuan” (2005), membuat saya terus berpikir ulang pula tentang apa sesungguhnya yang dicari manusia dengan terus belajar dan menemukan sesuatu ? Bukankah apabila segala sesuatu telah ditemukan, maka tidak ada lagi misteri yang harus dipecahkan ? dan apabila tidak ada lagi misteri yang harus dipecahkan, maka hidup menjadi tidak menarik lagi ! Beberapa isu utama inilah yang mengilhami sang wartawan (saat itu) American Scientific ini untuk menulis dengan nada provokatif tentang “keberakhiran” ilmu pengetahuan.

Dalam pengantar buku (edisi Indonesia) tersebut, Yasraf A. Piliang menguraikan perspektif keakhiran (the end) yang menjadi ide sentral Horgan. Yasraf menyebutnya dengan konsep kematian. Problema semantik dari konsep kematian menjadi awal elaborasi Yasraf atas karya Horgan. Yasraf menyimpulkan bahwa Horgan minimal telah menggunakan tiga makna “kematian ilmu Pengaetahuan”, yaitu kematian sebagai sesuatu yang melampaui batas untuk menuju titik ekstrem, peleburan dan pencampuradukan (trans), dan kondisi tidak ada lagi objek (ilmu pengetahuan) itu sendiri (hal. xvi). Beberapa nama besar dikutip oleh Yasraf untuk mendukung kategorisasi dan klasifikasi kematian tersebut : Francis Fukuyama, Baudrillard, John Leslie, Victor Burgin, Heidegger, dan Foucault. Masing-masing nama sebenarnya sangat kental dengan ide kematian dalam area mereka masing-masing. Dengan menggunakan nama-nama tersebut, Yasraf ingin menegaskan bahwa ide besar tentang kematian bukanlah murni diprovokasi oleh Horgan, melainkan sudah jauh muncul sejak kegelisahan Baudrillard, Foucault, dan Fukuyama diungkapkan dengan lantang melalui buku-buku cerdas mereka. Bahkan sosok seperti Baudrillard dengan konsep hiperrealitasnya menyatakan bahwa dunia nyata kita telah benar-benar “musnah” dari kerangka berpikir kita.

Manusia telah dimanjakan secara massif oleh dunia-dunia “bayangan” yang lebih dipercaya dengan kenyataan riil hidup sehari-hari mereka. Foucault menjadi pendendang matinya peradaban dengan membongkar habis unsur kepentingan dari pihak-pihak pemegang otoritas untuk memaksakan kehendaknya melalui penindasan. Penindasan yang dibenarkan melalui hegemoni ilmu pengetahuan. Sementara itu sosok Fukuyama menyentak dunia dengan hal ihlal tentang kemenangan demokrasi liberal kapitalisme atas sosialisme. Ketiga orang ini pada dasarnya bermaksud memberitahukan berakhirnya sebuah kekuasaan, berakhirnya sebuah otoritas mutlak atas segala sesuatu. Pandangan umum telah mereka balikkan, mainstream telah mereka porak porandakan. Cerita pembongkaran mainstream dengan kekuatan ilmu pengetahuan ini menjadi cerita memilukan dalam sejarah peradaban. Persis ketika kematian ilmu pengetahuan dibekukan oleh dogma kepercayaan. Dan Brown melalui novel spektakulernya “Demon & Angel” (2005) telah menceritakan itu dengan nada keprihatinan mendalam. Dialog antara Langdon, sosok peneliti dan ahli bahasa dengan Kohler, kurator kaya yang pintar pada bagian tengah konflik buku itu telah menunjukkan keberanian Brown untuk membongkar fakta sejarah.

Tesis Dan Brown sangat lugas. Agama tak pernah sepakat dengan sains. Keduanya akan terus berhadap-hadapan. Tokoh-tokoh nyata semacam Socrates, Galileo, Copernicus, Stephen Hawkin, hingga tokoh-tokoh fiksi semacam Kohler dan Langdon terus menandai ‘pembangkangan’ ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Mereka selalu melihat Agama menjadi institusi pengurung ‘kebebasan’ ekspresi ilmu pengetahuan yang terkadang butuh semacam keliaran tersendiri. Mungkin ini alasan mengapa kemudian sosok-sosok yang menghasilkan pemikiran besar pada zamannya, nyaris semua adalah sosok atheis. Mereka menafikan keberadaan Tuhan. Imbas dari spirit ini adalah mereka tidak lagi terlalu peduli dengan lembaga agama yang menyokong keberadaan Tuhan.

Meskipun banyak karya-karya yang mencoba mensintesakan keberadaan Tuhan dan kemampuan akal manusia untuk ‘merenungkan’ dan ‘mempelajari’ seluruh ciptaan-Nya (Yahya, 2001 ; Zaleski,1999 ; Jammer, 2004), namun tetap saja ketidaksepakatan dan sinisme hadir terus mewarnai relasi antara keduanya. Seperti perumpamaan Donni Gahral Adian bahwa ‘kenakalan’ sains hadir terus menerus untuk membuat risau agama yang ‘keras kepala’. Perdebatan yang tak pernah berakhir antara pembela nalar yang tak kenal lelah, dengan pembela iman yang keras kepala (Adian dalam Piliang, 2004). Apakah keimanan dalam teologi dan keagamaan selalu berhadap-hadapan dengan nalar dan ilmu pengetahuan untuk kemudian membunuh salah satunya ? jawabannya mungkin tidak mensyaratkan posisi berhadap-hadapan antara keduanya. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing bidang ternyata menemukan ‘kematian’ melalui perenungan dan ketidakpuasan dirinya sendiri. Sosok Horgan maju dengan tesis kematian tersebut.

Menyinggung tentang bagaimana relasi antara agama dan sains, Louis Leahy (2006) menegaskan bahwa hubungan keduanya sering dikembangkan mulai dari beberapa masalah etik. Dalam fisika, misalnya, hubungan ini dikembangkan dari pengembangan energi nuklir, sedangkan dalam biologi dari tindakan manipulasi genetika. Melalui pemahaman ini, Leahy membentangkan bagaimana relasi keduanya dalam mencari makna. Makna kehidupan ini. Menurutnya, pada titik inilah hubungan keduanya diarahkan dan berakhir pada pertanyaan tentang Allah (the problem of God). Apakah dengan demikian bermakna agama lebih tinggi posisinya dari sains ? tak ada jawaban eksplisit dari Leahy. Malah pada bab akhir bukunya. Dia berupaya menyandingkan keduanya untuk saling mensyukuri satu sama lain.

Senjakala : Keberakhiran Yang Diimpikan

Konklusi yang dihadirkan Horgan cukup menyentak. Menurutnya ilmu pengetahuan bukan dikalahkan oleh narasi besar keimanan dan keagamaan. Ternyata ilmu pengetahuan telah tewas oleh kerakusan dan kehebatan dirinya sendiri. Ibarat lagenda dewa Narsiscus yang mati hanya karena terpesona dan pengaguman berlebihan atas diri sendiri, ilmu pengetahuan telah jumawa dan lelah dengan dirinya. Kematian nalar dan ilmu telah semakin dekat. Tak ada lagi tantangan ilmu pengetahuan. Horgan menggunakan term senjakala untuk menyebut telah berakhirnya ilmu pengetahuan. Ada delapan wilayah pengetahuan yang diceritakan Horgan telah mengalami senjakala, berbekal investigasi dia dengan sosok pendekar ilmu pengetahuan yang masih hidup. Wawancaranya yang sangat kritis dengan Karl Popper, Sheldon Glashow, Stephen Hawking, Edward Wilson, Noam Chomsky, Christoper Langton, Clifford Geertz, dan banyak lagi ilmuwan lain (rata-rata pemenang nobel Fisika) membuat buku tersebut sampai pada sebuah kesimpulan : tidak ada lagi revolusi dalam ilmu pengetahuan. Tak ada gunanya lagi berlarut-larut dalam tumpukan gelas eksperimen laboratorium, tak ada makna lagi yang bisa direnung-renungkan oleh para filusuf. Semua telah selesai ! Saya tidak mungkin memaparkan satu demi satu dari betapa menariknya kupasan Horgan tentang senjakala. Disiplin ilmu sosial yang saya pelajari membuat saya hanya tertarik untuk mengupas bagaimana ‘kematian’ ilmu sosial versi Horgan.

Ada tiga sosok yang dikupas Horgan terkait dengan senjakala ilmu sosial. Ketiga orang itu adalah Edward Wilson, Noam Chomsky, dan Clifford Geertz. Saya akan mengupasnya secara terbalik. Pertama sosok Geertz. Kesimpulan Horgan tentang Geertz sebagai sosok yang skeptis tersiratkan dari kalimatnya : “Geertz sangat bertekat meluruskan apa yang ia rasakan sebagai kesan umum yang salah, bahwa ia adalah seorang skeptis universal yang tidak percaya ilmu pengetahuan bisa mencapai kebenaran yang bertahan lama” (hal. 208). Menyanggah Edward Wilson, Geertz melihat tidak ada kemungkinan bahwa ilmu sosial akan menciptakan sebuah landasan universal seperti halnya Fisika dan Biologi. Yang akan terjadi di masa depan adalah berkurangnya keteguhan keyakinan akan sebuah pedoman keilmuan, keraguan yang berlipat ganda. Ilmu sosial akan menjadi multiinterpretatif. Apakah ini sejajar nanti dengan paham anything goes-nya Fayerabend ? entahlah ….. namun yang jelas formula Fayerabend itu disatu sisi membuka peluang beragamnya teropong untuk melihat sebuah fenomena sosial (bermakna kekayaan), di sisi lain akan memunculkan kemustahilan bagi lahirnya sebuah formula universal yang justru telah menjadi semacam paten dalam ilmu pengetahuan (bermakna kematian). Akhirnya, seperti pengakuan Horgan, ilmu sosial ironis mungkin tidak membawa kita ke mana pun, tapi paling tidak bisa memberi kita sesuatu yang bisa dilakukan, untuk selamanya, jika kita menghendakinya. Nah atas dasar kehendak inilah ilmu sosial mencatat sejarah dengan lahirnya sosok pemberontak sekaliber Noam Chomsky sebagai sosok kedua.

Noam Chomsky adalah seorang ahli linguistik terkemuka. Semua orang pernah mendengar tentang buku-bukunya yang lebih banyak bernuansa kritis atas hegemoni tanda dan makna. Dua puluh tahun terakhir hidupnya nampak lebih banyak dihabiskan untuk berkutat dengan segala sesuatu yang jauh sekali dari tetek bengek bahasa, yakni dunia politik. Bukunya tentang model propaganda Amerika Serikat melalui media massanya, telah menarik sosok ini kedalam kancah disiplin ilmu komunikasi. Meskipun mungkin Chomsky tidak pernah berpikir untuk menjadi ilmuwan komunikasi, namun “Manufacturing Consent” yang ditulisnya bersama Edward S. Herman (1999) telah melambungkan namanya dalam ranah kajian komunikasi, terutama studi media. Oleh Horgan sosok ini dinilai sebagai sosok pembangkang dalam demokrasi Amerika. Dialah yang selalu berdiri berhadap-hadapan dengan setiap kekuasan yang menindas dan mengabaikan nilai egaliter dan keadilan. Wawancara yang dilakukan Horgan pun lebih banyak menjustifikasi penilaian tersebut. Banyak yang ditanyakan Horgan, sejak beralihnya minat Chosmsky dari bahasa ke dunia politik, posisi ke-Yahudiannya yang justru menentang habis-habisan Zonisme, hingga kehidupan personal dirinya. Kesimpulan Horgan tak berubah : Chosmsky memang pembangkang !

Lain Chomsky lain pula Edward O. Wilson. Sosok peneliti spesies semut di Universitas Harvard ini merasa yakin bahwa kelak akan ditemukan sebuah teori sosial yang mampu menggambarkan seluruh fenomena kehidupan manusia. Disiplin tersebut adalah sosiobiologi. Dasar pijakannya adalah evolusi sosial Darwin. Wilson yang begitu percaya diri akan kelahiran sebuah teori utama ilmu sosial mengatakan bahwa sosiologi akan menjadi disiplin ilmiah yang benar, jika diserahkan pada paradigma Darwinian. Prinsipnya ada determinan sistem gen yang menentukan seluruh perilaku sosial dan budaya manusia. Seperti halnya semut yang selalu bergerak dengan gen dan instink dalam membina sistem kemasyarakatan mereka, manusia juga telah ditakdirkan untuk selalu dipengaruhi metabolisme dalam tubuhnya (hal.191-199). Nampak jelas prinsip reduksionisme dalam teori sosiobiologi. Seperti halnya Donald B. Calne (2005) yang menyimpulkan bahwa nalar hanyalah permasalahan mekanisme kerja otak semata, dan Richard Brodie (2005) yang mengatakan bahwa spesies manusia bertahan dengan kekuatan dan instink gen saja, jelas bahwa Wilson telah menganggap manusia sejajar dengan hewan meskipun upaya memahaminya sedikit mensyaratkan keseriusan. Bagi Wilson ilmu sosial sepenuhnya tergantung pada penjelasan fisiologis sisi manusia perindividu (hal yang kemudian sangat dibantah Geertz). Pada saat menganggap hanya ada satu jawaban atas berbagai permasalahan kehidupan sosial seperti tesis yang dikatakan Wilson inilah, maka ilmu sosial telah diambang ajal.

Wilson, Chomsky, dan Geertz adalah sosok-sosok yang menurut Horgan berupaya dengan segala kecongkakan dan ketidak percayadirian telah membawa ilmu pengetahuan sosial pada senjakala, tanpa mereka sadari. Pesan moral dari Horgan adalah bahwa pada akhirnya kita harus menyadari bahwa kebanggaan berlebihan dan ketidakpercayaan diri yang melekat pada sosok ilmuwan merupakan virus utama yang menyebabkan ilmu tak lagi memiliki kemampuan menghadapi situasi anomali seperti yang dikatakan Thomas Kuhn (1969). Pilihannya : bersyukur akan keberilmuan dan berupaya menjawab setiap tantangan zaman, atau mematikan ilmu pengetahuan melalui kecongkakan dan kejumawaan. Mari kita renungkan ……


REFERENSI

Brodie, Richard, 2005. Awas ! Virus Akal Budi Ganas, Penerjemah T. Hermaya & Christina M Udiani, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Brown, Dan, 2005, Malaikat & Iblis (Engels & Demons), Penerjemah Isma B. Koesalamwardi, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.

Calne, Donald B., 2005. Batas Nalar : Rasionalitas & Perilaku Manusia, Penerjemah Parakitri T. Simbolon, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Horgan, John, 2005. The End of Science : Senjakala Ilmu Pengetahuan, Penerjemah Djejen Zainuddien, Teraju, PT Mizan Publika, Jakarta.

Jammer, Max, 2004. Agama Einstein : Teologi dan Fisika, Penerjemah Arya Budhi, Yayasan Relief Indonesia, Yogyakarta.

Leahy, Louis, 2006. Jika Sains Mencari Makna, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Yahya, Harun, 2001. Mengenal Allah Lewat Akal : Membongkar Kesalahan Faham Materialisme, Penerjemah Muhammad Shadiq, Robbani Press, Jakarta.

Zaleski, Jeff, 1999. Spiritualitas Cyberspace : Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Keberagamaan Kita, Penerjemah Zulfahmi Andri, Mizan, Bandung.

Rabu, 07 April 2010

Mencoba Bicara Cinta

There is nothing either good or bad
but thinking makes it so !

(William Shakespeare)



Hari ini saya mau bicara cinta ...
Cinta dalam beragam makna dan pikiran manusia,

Dalam ranah filsafat modern, kita temukan pertentangan tentang arti cinta, juga tentang ada-tiadanya cinta. Saya mulai dengan pemikiran yang paling radikal dari Friedrich W. Nietzsche yang menolak cinta sebagai bagian dari upayanya menolak filsafat sokratik dan platonik. Dalam buku "The Gay Science", Nietzsche menegaskan bahwa apa yang oleh orang-orang disebut cinta tak lain dari sebentuk egoisme yang ditutup-tutupi dengan ekspresi ‘sok peduli’ atau ‘pura-pura rela berkorban’. Pada dasarnya, setiap orang digerakkan oleh kehendak untuk berkuasa. Hubungan percintaan pun pada dasarnya adalah hubungan kuasa. Mereka yang terlibat dalam hubungan cinta berusaha untuk menguasai orang yang diakui sebagai yang dicintai. Setiap orang berusaha untuk menguasai hasrat orang lain dan itu sangat menonjol dalam cinta. Cinta dalam pandangan Nietzsche merupakan bentuk lain dari perbudakan, bahkan bentuk yang paling parah dari perbudakan. Dalam hubungan cinta, orang ingin menguasai hasrat orang lain, bukan hanya sekadar menguasai tubuh dan pikiran. Hasrat yang menjadi dasar dari kehendak merupakan bagian paling vital dari manusia. Menguasai hasrat seseorang berarti menguasai seluruh diri orang itu, menguasai seluruh aktivitas dan kehidupannya. Hubungan cinta menuntut orang hanya mengarahkan hasratnya kepada orang yang dicintai, menuntut keseluruhan jiwa, raga dan kehidupan dari orang yang terlibat di dalam, tanpa syarat, tanpa mempertimbangkan kondisi apa pun. Total. Ya, bagi Nietzsche, cinta adalah bentuk totalitarianisme paling ekstrem.

Oh iya ...
Hari ini saya mau bicara cinta,
Cinta dalam kesejarahan yang tak menyejarah,

Dalam sebuah bukunya tentang filsafat “Memoar seorang Filosof”, Moore menyesalkan betapa banyaknya filsof yang sama sekali tidak memperdulikan cinta dan seksualitas sebagai salah satu bahasan dalam filsafat. Padahal itulah unsur dan titik utama munculnya kehidupan. Keberadaan itu sendiri. Mengapa sebuah ilmu yang selalu berbicara tentang “ada” jarang sekali membicarakan tentang penyebab pengadaan manusia ? yakni hubungan seksual itu sendiri. Mari kita mulai yang paling kasat mata dan tentu saja, terasa. Bersetubuh sebagai ritual tertua manusia ! kalau ini sih nampaknya cinta yang terlalu bersendikan materialisme ketubuhan... entahlah ...
Dalam ringkasan Ihya Ulumuddinnya, Ghazali mengatakan bahwa kenikmatan bersetubuh menundukkan manusia karena dua faedah besar. Pertama, dia menghasilkan kenikmatan. Janji akan kenikmatan ini jelas sekali terlihat dalam konsep-konsep bidadari yang akan menemani sosok beriman nantinya di akherat. Dalam buku 'Brides of Heaven' (2006:243) disebutkan bahwa kenikmatan memperoleh bidadari itu salah satu penyebab banyak sekali para pejuang Islam bersedia mati syahid. Kalau mati syahid nanti di Surga akan menikah dengan bidadari. Lalu mati menjadi pilihan yang melegakan. Meledakkan dirinya untuk membunuh sekawanan tentara Israel di Palestina. Saya sendiri tidak bisa membayangkan. Tentu saja dengan pertanyaan, iya kalo yang mati syahid itu laki-laki (tentu nikmat mendapat bidadari), tapi bagaimana kalau yang mati syahid itu perempuan (apa nanti lesbianisme dan poliandri akan dilegalkan di surga sono ? huss.. bagian itu tak perlu dibahas!).

Alasan kedua, bersetubuh akan meniscayakan kelanggengan keturunan dan kekekalan eksistensi. Dua hal yang membuat Ha’rut dan Ma’rut sebagai malaikat tidak mampu menyandangnya, seperti ditulis dalam novel menarik karya Ali Ahmad Baktsir (2007) dengan setting kebesaran Babilonia. Mereka tergoda. Mulai menyesali mengapa mereka berani mengambil tantangan mencoba hidup sebagai manusia. Jauh lebih melegakan menjadi sosok malaikat. Hidup statis dan hanya menghamba kepada Tuhan. Tidak fluktuatif dan selalu dilanda kegelisahan seperti halnya manusia. Kembali kepada dua kenikmatan yang mampu menundukkan manusia kepada sebuah lubang kenistaan tadi, nampak ketertundukan manusia itu murni berasal dari instink kehewanan yang memang mendiami relung hati manusia yang paling dalam.

Pada titik ini, Sigmund Freud harus diakui sebagai sosok yang mampu menyadarkan manusia akan betapa kuatnya instink kehewanan itu. Dia menggambarkan bahwa struktur kepribadian manusia pada dasarnya seperti ice montain. Gunung es yang berada di laut. Nampak muncul dipermukaan laut adalah puncak dari gunung es itu, itulah yang kita saksikan. Sementara bagian yang paling besar dan begitu kuat dari gunung es itu adalah dasar gunung yang berada di dalam laut. Tak ada yang bisa membayangkan seberapa besar bagian yang tertutup laut dan tak nampak itu. Sisi tak nampak itulah bagian terbesar dari kepribadian manusia. Bagian dari struktur kepribadian yang coba kita sembunyikan. Mengingat betapa tidak menarik dan memalukannya secara sosial apabila bagian itu muncul dan ketahuan. Dengan tegas dia mengatakan bahwa ada “dark side” pada diri hampir setiap manusia. Sisi gelap yang mampu menghancurkan. Sisi gelap yang terus menerus kita tekan. Tak mau kita akui, tak mau kita sadari. Namun sisi itu terus menekan untuk muncul kepermukaan. Pada banyak kesempatan kita mampu untuk bertahan untuk terus menekannya. Pada saat dan kesempatan lainnya, dia tak bisa kita tekan lagi. Lepas dan liarlah dia.

Inilah jawaban atas perilaku munafik manusia. Ber-alim dan takwa ria di dalam masjid, namun menjadi sosok liar dan ugal-ugalan di jalanan. Menjadi mubalig penentang poligami, sementara memiliki lima istri. Manusia memang unik. Dan ini tidak bisa kita pungkiri. Dalam konsep lain, Irawan (2008) menyebut ini sebagai sisi ambiguitas manusia. Dengan menggunakan pemikiran Ponty dan Lacan, dia bisa menarik kesimpulan bahwa sepanjang hidupnya, manusia adalah makhluk yang ambigu dan mendua. Itulah takdir kita. Tak harus risau dengan kemendua-an kita. Nikmati aja, itu katanya.

Mohamad Sobary suka sekali mengutip kata-kata pujangga besar India Tagore berikut ini,”Kita tak pernah tahu mengapa hari ini akhirnya kita tertawa menghadapi hal-hal yang dulu pernah membuat kita menangis, dan mengapa pula bisa terjadi sebaliknya, kita dibuat menangis oleh apa yang dulu kita terima dengan tertawa.” Waktu memang mengurai begitu panjang pemaknaan. Dalam bahasa yang lebih indah seorang pujangga lain dengan tepat mengatakan bahwa manusia adalah kitab lupa dan gelak tawa. Manusia mudah sekali berubah-ubah. Tak ada yang mampu menerka dalamnya hati dan tabiat manusia. Jauh di dalam sanubari kita masing-masing bersembunyi sesuatu yang sangat jahat maupun sesuatu yang sangat baik. Keduanya hanya menunggu waktu untuk berlomba-lomba keluar dan menampakkan diri yang sesungguhnya.

Ketika mulut kita hari ini dengan sangat tenang mengucapkan cinta pada seseorang, mungkin dalam hati kita bersemayam niat lain yang tidak semata-mata dipenuhi oleh konsep cinta tersebut. Di hati kita penuh dengan keinginan atas tubuh, keinginan atas penguasaan, keinginan atas birahi tak tertahan, atau rangkaian keinginan lain yang serta merta kita tekan apabila dia mulai mencoba muncul dalam ambang batas kesadaran. Inilah esensi id yang terus menerus dirasionalkan oleh ego dan ditekan sekuat-kuatnya oleh relasi kuasa super ego. Meskipun Freud menemukan teori dasar yang simpel itu berabad silam, namun relevansinya bisa dilihat ketika kita mencoba menjelaskan apa yang terjadi hari-demi hari kehidupan kita. Setiap hari kita bertarung untuk menekan id dengan memperbesar rasa ‘salah’ kita pada super ego.


Hari ini saya mau bicara cinta,
Cinta yang mudah sekali membawa malapetaka,

Terkait dengan keharusan melepaskan hasrat bawah sadar memang menarik. Namun, hal yang mungkin terlupakan oleh Freud adalah akibat sampingan dari pengungkapan dan pelepasan impuls-impuls ketidaksadaran yang kita tekan sepanjang hidup itu. Melalui imajinasi manusia mampu menciptakan segala sesuatu yang baru, namun imajinasi tidak melakukan seleksi yang sebenarnya. Ia liar. Namun mengobati rasa penasaran jiwa yang haus dan lara. Imajinasi luar biasa. Namun dia tidak “membuat komposisi”. Sebuah komposisi tercipta akibat saling pengaruh yang luar biasa antara imajinasi dan akal, atau antara pikiran dan renungan. Penyebabnya adalah akan selalu ada unsur kebetulan dalam proses kreatif. Saking asyiknya Freud dengan id sebagai sesuatu yang harus ditemukan dan ‘dilepaskan’ sehingga dia tidak cukup punya waktu untuk berbicara tentang ego. Apalagi super ego, yang selalu dia lihat dari kacamata kritis. Cinta menunjukkan betapa beratnya sebuah imajinasi yang coba kita komposisikan dengan bantuan nalar dan akal sehat. Hasilnya, menurut Allan Pease & Barbara Pease (2010), manusia adalah satu-satunya makhluk hidup di dunia yang selalu bingung setiap berhadapan dengan masalah cinta dan seks ini. Sebagai manusia, kita adalah makhluk paling ahli dalam mempelajari perilaku berpasangan makhluk hidup lainnya. Kita dapat memperkirakan tindakan mereka, memodifikasi mereka, dan kita dapat secara genetis mengubahnya sehingga penampilan mereka menjadi begitu berbeda. Namun, kalau soal memilih pasangan bagi diri sendiri, tanpaknya hanya sedikit manusia yang berhasil. Apalagi untuk mendapatkan pemahaman sejati atas proses kejadiannya. Titik utamanya adalah pada usaha yang kebanyakan gagal untuk menyeimbangkan antara nalar dan akal sehat dengan tekanan nafsu syahwat.

Ketika Leon Fastinger mencoba menjembatani kekurangan itu dengan konsistensi informasi, kita baru mulai menyadari bahwa banyak sekali alasan dan kepintaran telah menghamba pada kepentingan. Merokok bukanlah sesuatu yang berbahaya dan mematikan saat mana ada bukti bahwa kakek kita belum juga mati dan sakit-sakitan saat usia senjanya telah menunjuk angka 90, padahal dia merokok sejak usia 19 tahun ! kita berapologi dengan manjadikan kakek sebagai bumper. Semuanya tentu saja mengarah pada terpenuhinya kepentingan untuk tetap merokok tanpa rasa bersalah. Semua orang tahu betapa berbahayanya bermain dalam percintaan tanpa nalar dan akal sehat (Tiger Woods dan Werren Beatty, contohnya), semua orang tahu resiko mengumbar nafsu syahwat tanpa filter penghambat akan mengundang AIDS menjerat (Elizabeth Pisani menulisnya dengan memikat), namun toh sampai hari ini semua orang berapologi betapa nikmatnya mencoba ‘nakal’ sekali-kali sebagai tanda hidup berjalan normal dan sehat. "seperti orang-orang," katanya santai. Untuk membela diri tersebut, rangkaian argumen dan statement dibangun. Pasti. Nampak cerdas dan tak terbantahkan. Itulah unsur kepentingan yang lepas dari analisis Freud. Mungkin dia belum sempat membayangkan betapa manusia selain makhluk dengan instink dan libido liarnya, juga merupakan makhluk rasional dan memiliki nalar yang energinya akan dimaksimalkan sedemikian rupa saat menghamba pada kepentingan dan kekuasaan. Freud memang sudah terlalu tua untuk sekadar memikirkan hal itu.

Ada satu buku Erich Fromm yang cukup menarik berjudul ‘The Art of Loving’. Ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dia diberi judul yang sama namun dengan anak judul “Memaknai Hakikat Cinta” (2005). Bagian awal buku itu banyak mempertanyakan apakah cinta itu identik dengan seni ? sesuatu yang mengalir begitu saja dalam jiwa dan perilaku orang-orang, tanpa harus kita sibuk memikirkan dan merasionalkan dia ? Jawaban yang diberikan Fromm niscaya sangat melelahkan bagi seorang “Buaya Darat”. Betapa tidak, cinta menurut Fromm membutuhkan sebuah upaya mengembangkan seluruh kepribadian. Pemenuhan cinta seseorang tidak dapat dicapai tanpa kemampuan untuk mencintai orang lain, tanpa kerendahan dan keteguhan hati, serta keyakinan dan kedisiplinan. Inilah yang membuat kemampuan mencintai semakin langka di abad kontemporer saat ini. Nah, tuh ... kemampuan mencintai saja menjadi sebuah prestasi langka ! luar biasa !! sepertinya pemerintah sebentar lagi akan mengeluarkan sertifikasi khusus : kompetensi pecinta.

Berbicara tentang kemampuan mencintai, seorang teman yang kesunyian akan sering berkata, “tidak ada orang yang memperhatikan atau mencintai saya.” Anda langsung mungkin dapat mencoba menenangkan hatinya (pada dasarnya kita memang sok pahlawan sih), “Oh ya, orang tua anda mencintai anda.” Dia segera menukas,”Ya, tapi itu tidak sama.” “teman anda memperhatikan dan mencintai anda.” Ya, tapi bukan itu yang saya maksud.” Kita langsung melirik ke samping kirinya, melihat makhluk menjulurkan lidahnya disamping dia,”Anjing anda tampaknya menyukai anda.” “Ya, tapi itu juga bukan yang saya maksud.” Tahukah anda, bahwa yang sesungguhnya dimaksudkan orang ini adalah, dia tidak memedulikan atau mencintai siapapun juga. Adalah perbuatan memberi, bukan menerima, yang mengusir kesunyian. Jangan-jangan kita hanya menyintai diri kita sendiri ... nabi narsis sejati ! Tepatlah apa yang dikatakan Nietzsche di awal tadi : kita hanya ingin berkuasa. Kita tunggangi cinta sebagai kereta !

Akhirnya ...
Hari ini saya mungkin tidak bisa bicara apa-apa,
Mungkin cinta tidak akan mampu dibicarakan dari sisi mana saja,
Jelas Anda yang membaca tulisan ini pasti bingung tak terkira. Tulisan ini tak jelas mau menceritakan apa, tak tahu mau mengatakan apa. Kebingungan menjadi satu pertanda ketertarikan. Kebingungan pasti mengasyikkan. Itulah cinta. Setiap kali kita akan mencoba mengidentifikasi cinta, kita hanya akan sampai pada kebingungan demi kebingungan. Justru saat kita merasa mengetahui cinta sedemikian rupa. Kita pasti tengah tidak tahu apa-apa. Karena cinta memang tidak untuk dipikirkan. Cinta hanya perlu dirasakan. Dinikmati, tanpa memusingkan diri dengan rangkaian teori. Cinta ... anda punya pendapat berbeda ?


Bingung di pinggir kali, April 10