Senin, 19 April 2010

The End of Science : Kecemasan Sosok Horgan !

Membaca ulang buku John Horgan : “The end of Science : Senjakala Ilmu Pengetahuan” (2005), membuat saya terus berpikir ulang pula tentang apa sesungguhnya yang dicari manusia dengan terus belajar dan menemukan sesuatu ? Bukankah apabila segala sesuatu telah ditemukan, maka tidak ada lagi misteri yang harus dipecahkan ? dan apabila tidak ada lagi misteri yang harus dipecahkan, maka hidup menjadi tidak menarik lagi ! Beberapa isu utama inilah yang mengilhami sang wartawan (saat itu) American Scientific ini untuk menulis dengan nada provokatif tentang “keberakhiran” ilmu pengetahuan.

Dalam pengantar buku (edisi Indonesia) tersebut, Yasraf A. Piliang menguraikan perspektif keakhiran (the end) yang menjadi ide sentral Horgan. Yasraf menyebutnya dengan konsep kematian. Problema semantik dari konsep kematian menjadi awal elaborasi Yasraf atas karya Horgan. Yasraf menyimpulkan bahwa Horgan minimal telah menggunakan tiga makna “kematian ilmu Pengaetahuan”, yaitu kematian sebagai sesuatu yang melampaui batas untuk menuju titik ekstrem, peleburan dan pencampuradukan (trans), dan kondisi tidak ada lagi objek (ilmu pengetahuan) itu sendiri (hal. xvi). Beberapa nama besar dikutip oleh Yasraf untuk mendukung kategorisasi dan klasifikasi kematian tersebut : Francis Fukuyama, Baudrillard, John Leslie, Victor Burgin, Heidegger, dan Foucault. Masing-masing nama sebenarnya sangat kental dengan ide kematian dalam area mereka masing-masing. Dengan menggunakan nama-nama tersebut, Yasraf ingin menegaskan bahwa ide besar tentang kematian bukanlah murni diprovokasi oleh Horgan, melainkan sudah jauh muncul sejak kegelisahan Baudrillard, Foucault, dan Fukuyama diungkapkan dengan lantang melalui buku-buku cerdas mereka. Bahkan sosok seperti Baudrillard dengan konsep hiperrealitasnya menyatakan bahwa dunia nyata kita telah benar-benar “musnah” dari kerangka berpikir kita.

Manusia telah dimanjakan secara massif oleh dunia-dunia “bayangan” yang lebih dipercaya dengan kenyataan riil hidup sehari-hari mereka. Foucault menjadi pendendang matinya peradaban dengan membongkar habis unsur kepentingan dari pihak-pihak pemegang otoritas untuk memaksakan kehendaknya melalui penindasan. Penindasan yang dibenarkan melalui hegemoni ilmu pengetahuan. Sementara itu sosok Fukuyama menyentak dunia dengan hal ihlal tentang kemenangan demokrasi liberal kapitalisme atas sosialisme. Ketiga orang ini pada dasarnya bermaksud memberitahukan berakhirnya sebuah kekuasaan, berakhirnya sebuah otoritas mutlak atas segala sesuatu. Pandangan umum telah mereka balikkan, mainstream telah mereka porak porandakan. Cerita pembongkaran mainstream dengan kekuatan ilmu pengetahuan ini menjadi cerita memilukan dalam sejarah peradaban. Persis ketika kematian ilmu pengetahuan dibekukan oleh dogma kepercayaan. Dan Brown melalui novel spektakulernya “Demon & Angel” (2005) telah menceritakan itu dengan nada keprihatinan mendalam. Dialog antara Langdon, sosok peneliti dan ahli bahasa dengan Kohler, kurator kaya yang pintar pada bagian tengah konflik buku itu telah menunjukkan keberanian Brown untuk membongkar fakta sejarah.

Tesis Dan Brown sangat lugas. Agama tak pernah sepakat dengan sains. Keduanya akan terus berhadap-hadapan. Tokoh-tokoh nyata semacam Socrates, Galileo, Copernicus, Stephen Hawkin, hingga tokoh-tokoh fiksi semacam Kohler dan Langdon terus menandai ‘pembangkangan’ ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Mereka selalu melihat Agama menjadi institusi pengurung ‘kebebasan’ ekspresi ilmu pengetahuan yang terkadang butuh semacam keliaran tersendiri. Mungkin ini alasan mengapa kemudian sosok-sosok yang menghasilkan pemikiran besar pada zamannya, nyaris semua adalah sosok atheis. Mereka menafikan keberadaan Tuhan. Imbas dari spirit ini adalah mereka tidak lagi terlalu peduli dengan lembaga agama yang menyokong keberadaan Tuhan.

Meskipun banyak karya-karya yang mencoba mensintesakan keberadaan Tuhan dan kemampuan akal manusia untuk ‘merenungkan’ dan ‘mempelajari’ seluruh ciptaan-Nya (Yahya, 2001 ; Zaleski,1999 ; Jammer, 2004), namun tetap saja ketidaksepakatan dan sinisme hadir terus mewarnai relasi antara keduanya. Seperti perumpamaan Donni Gahral Adian bahwa ‘kenakalan’ sains hadir terus menerus untuk membuat risau agama yang ‘keras kepala’. Perdebatan yang tak pernah berakhir antara pembela nalar yang tak kenal lelah, dengan pembela iman yang keras kepala (Adian dalam Piliang, 2004). Apakah keimanan dalam teologi dan keagamaan selalu berhadap-hadapan dengan nalar dan ilmu pengetahuan untuk kemudian membunuh salah satunya ? jawabannya mungkin tidak mensyaratkan posisi berhadap-hadapan antara keduanya. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing bidang ternyata menemukan ‘kematian’ melalui perenungan dan ketidakpuasan dirinya sendiri. Sosok Horgan maju dengan tesis kematian tersebut.

Menyinggung tentang bagaimana relasi antara agama dan sains, Louis Leahy (2006) menegaskan bahwa hubungan keduanya sering dikembangkan mulai dari beberapa masalah etik. Dalam fisika, misalnya, hubungan ini dikembangkan dari pengembangan energi nuklir, sedangkan dalam biologi dari tindakan manipulasi genetika. Melalui pemahaman ini, Leahy membentangkan bagaimana relasi keduanya dalam mencari makna. Makna kehidupan ini. Menurutnya, pada titik inilah hubungan keduanya diarahkan dan berakhir pada pertanyaan tentang Allah (the problem of God). Apakah dengan demikian bermakna agama lebih tinggi posisinya dari sains ? tak ada jawaban eksplisit dari Leahy. Malah pada bab akhir bukunya. Dia berupaya menyandingkan keduanya untuk saling mensyukuri satu sama lain.

Senjakala : Keberakhiran Yang Diimpikan

Konklusi yang dihadirkan Horgan cukup menyentak. Menurutnya ilmu pengetahuan bukan dikalahkan oleh narasi besar keimanan dan keagamaan. Ternyata ilmu pengetahuan telah tewas oleh kerakusan dan kehebatan dirinya sendiri. Ibarat lagenda dewa Narsiscus yang mati hanya karena terpesona dan pengaguman berlebihan atas diri sendiri, ilmu pengetahuan telah jumawa dan lelah dengan dirinya. Kematian nalar dan ilmu telah semakin dekat. Tak ada lagi tantangan ilmu pengetahuan. Horgan menggunakan term senjakala untuk menyebut telah berakhirnya ilmu pengetahuan. Ada delapan wilayah pengetahuan yang diceritakan Horgan telah mengalami senjakala, berbekal investigasi dia dengan sosok pendekar ilmu pengetahuan yang masih hidup. Wawancaranya yang sangat kritis dengan Karl Popper, Sheldon Glashow, Stephen Hawking, Edward Wilson, Noam Chomsky, Christoper Langton, Clifford Geertz, dan banyak lagi ilmuwan lain (rata-rata pemenang nobel Fisika) membuat buku tersebut sampai pada sebuah kesimpulan : tidak ada lagi revolusi dalam ilmu pengetahuan. Tak ada gunanya lagi berlarut-larut dalam tumpukan gelas eksperimen laboratorium, tak ada makna lagi yang bisa direnung-renungkan oleh para filusuf. Semua telah selesai ! Saya tidak mungkin memaparkan satu demi satu dari betapa menariknya kupasan Horgan tentang senjakala. Disiplin ilmu sosial yang saya pelajari membuat saya hanya tertarik untuk mengupas bagaimana ‘kematian’ ilmu sosial versi Horgan.

Ada tiga sosok yang dikupas Horgan terkait dengan senjakala ilmu sosial. Ketiga orang itu adalah Edward Wilson, Noam Chomsky, dan Clifford Geertz. Saya akan mengupasnya secara terbalik. Pertama sosok Geertz. Kesimpulan Horgan tentang Geertz sebagai sosok yang skeptis tersiratkan dari kalimatnya : “Geertz sangat bertekat meluruskan apa yang ia rasakan sebagai kesan umum yang salah, bahwa ia adalah seorang skeptis universal yang tidak percaya ilmu pengetahuan bisa mencapai kebenaran yang bertahan lama” (hal. 208). Menyanggah Edward Wilson, Geertz melihat tidak ada kemungkinan bahwa ilmu sosial akan menciptakan sebuah landasan universal seperti halnya Fisika dan Biologi. Yang akan terjadi di masa depan adalah berkurangnya keteguhan keyakinan akan sebuah pedoman keilmuan, keraguan yang berlipat ganda. Ilmu sosial akan menjadi multiinterpretatif. Apakah ini sejajar nanti dengan paham anything goes-nya Fayerabend ? entahlah ….. namun yang jelas formula Fayerabend itu disatu sisi membuka peluang beragamnya teropong untuk melihat sebuah fenomena sosial (bermakna kekayaan), di sisi lain akan memunculkan kemustahilan bagi lahirnya sebuah formula universal yang justru telah menjadi semacam paten dalam ilmu pengetahuan (bermakna kematian). Akhirnya, seperti pengakuan Horgan, ilmu sosial ironis mungkin tidak membawa kita ke mana pun, tapi paling tidak bisa memberi kita sesuatu yang bisa dilakukan, untuk selamanya, jika kita menghendakinya. Nah atas dasar kehendak inilah ilmu sosial mencatat sejarah dengan lahirnya sosok pemberontak sekaliber Noam Chomsky sebagai sosok kedua.

Noam Chomsky adalah seorang ahli linguistik terkemuka. Semua orang pernah mendengar tentang buku-bukunya yang lebih banyak bernuansa kritis atas hegemoni tanda dan makna. Dua puluh tahun terakhir hidupnya nampak lebih banyak dihabiskan untuk berkutat dengan segala sesuatu yang jauh sekali dari tetek bengek bahasa, yakni dunia politik. Bukunya tentang model propaganda Amerika Serikat melalui media massanya, telah menarik sosok ini kedalam kancah disiplin ilmu komunikasi. Meskipun mungkin Chomsky tidak pernah berpikir untuk menjadi ilmuwan komunikasi, namun “Manufacturing Consent” yang ditulisnya bersama Edward S. Herman (1999) telah melambungkan namanya dalam ranah kajian komunikasi, terutama studi media. Oleh Horgan sosok ini dinilai sebagai sosok pembangkang dalam demokrasi Amerika. Dialah yang selalu berdiri berhadap-hadapan dengan setiap kekuasan yang menindas dan mengabaikan nilai egaliter dan keadilan. Wawancara yang dilakukan Horgan pun lebih banyak menjustifikasi penilaian tersebut. Banyak yang ditanyakan Horgan, sejak beralihnya minat Chosmsky dari bahasa ke dunia politik, posisi ke-Yahudiannya yang justru menentang habis-habisan Zonisme, hingga kehidupan personal dirinya. Kesimpulan Horgan tak berubah : Chosmsky memang pembangkang !

Lain Chomsky lain pula Edward O. Wilson. Sosok peneliti spesies semut di Universitas Harvard ini merasa yakin bahwa kelak akan ditemukan sebuah teori sosial yang mampu menggambarkan seluruh fenomena kehidupan manusia. Disiplin tersebut adalah sosiobiologi. Dasar pijakannya adalah evolusi sosial Darwin. Wilson yang begitu percaya diri akan kelahiran sebuah teori utama ilmu sosial mengatakan bahwa sosiologi akan menjadi disiplin ilmiah yang benar, jika diserahkan pada paradigma Darwinian. Prinsipnya ada determinan sistem gen yang menentukan seluruh perilaku sosial dan budaya manusia. Seperti halnya semut yang selalu bergerak dengan gen dan instink dalam membina sistem kemasyarakatan mereka, manusia juga telah ditakdirkan untuk selalu dipengaruhi metabolisme dalam tubuhnya (hal.191-199). Nampak jelas prinsip reduksionisme dalam teori sosiobiologi. Seperti halnya Donald B. Calne (2005) yang menyimpulkan bahwa nalar hanyalah permasalahan mekanisme kerja otak semata, dan Richard Brodie (2005) yang mengatakan bahwa spesies manusia bertahan dengan kekuatan dan instink gen saja, jelas bahwa Wilson telah menganggap manusia sejajar dengan hewan meskipun upaya memahaminya sedikit mensyaratkan keseriusan. Bagi Wilson ilmu sosial sepenuhnya tergantung pada penjelasan fisiologis sisi manusia perindividu (hal yang kemudian sangat dibantah Geertz). Pada saat menganggap hanya ada satu jawaban atas berbagai permasalahan kehidupan sosial seperti tesis yang dikatakan Wilson inilah, maka ilmu sosial telah diambang ajal.

Wilson, Chomsky, dan Geertz adalah sosok-sosok yang menurut Horgan berupaya dengan segala kecongkakan dan ketidak percayadirian telah membawa ilmu pengetahuan sosial pada senjakala, tanpa mereka sadari. Pesan moral dari Horgan adalah bahwa pada akhirnya kita harus menyadari bahwa kebanggaan berlebihan dan ketidakpercayaan diri yang melekat pada sosok ilmuwan merupakan virus utama yang menyebabkan ilmu tak lagi memiliki kemampuan menghadapi situasi anomali seperti yang dikatakan Thomas Kuhn (1969). Pilihannya : bersyukur akan keberilmuan dan berupaya menjawab setiap tantangan zaman, atau mematikan ilmu pengetahuan melalui kecongkakan dan kejumawaan. Mari kita renungkan ……


REFERENSI

Brodie, Richard, 2005. Awas ! Virus Akal Budi Ganas, Penerjemah T. Hermaya & Christina M Udiani, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Brown, Dan, 2005, Malaikat & Iblis (Engels & Demons), Penerjemah Isma B. Koesalamwardi, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.

Calne, Donald B., 2005. Batas Nalar : Rasionalitas & Perilaku Manusia, Penerjemah Parakitri T. Simbolon, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Horgan, John, 2005. The End of Science : Senjakala Ilmu Pengetahuan, Penerjemah Djejen Zainuddien, Teraju, PT Mizan Publika, Jakarta.

Jammer, Max, 2004. Agama Einstein : Teologi dan Fisika, Penerjemah Arya Budhi, Yayasan Relief Indonesia, Yogyakarta.

Leahy, Louis, 2006. Jika Sains Mencari Makna, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Yahya, Harun, 2001. Mengenal Allah Lewat Akal : Membongkar Kesalahan Faham Materialisme, Penerjemah Muhammad Shadiq, Robbani Press, Jakarta.

Zaleski, Jeff, 1999. Spiritualitas Cyberspace : Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Keberagamaan Kita, Penerjemah Zulfahmi Andri, Mizan, Bandung.

Tidak ada komentar: