Selasa, 17 Agustus 2010

Sang Juara Kelima ?

Perayaan Tujuhbelasan kali ini tak jauh berbeda ...
Tetap ada berbagai perlombaan. Dari sekadar meniup balon yang murah meriah, hingga lomba futsal yang menghabiskan jutaan rupiah. Pesertanya pun beragam. Dari anak-anak kecil yang baru mengerti apa itu bendera merah putih, hingga para peserta pasca dewasa yang tak sadar kalau sepertiga rambut di kepalanya sudah memutih. Semua menikmati perlombaan. Semua menikmati pertandingan. Seakan Tujuhbelasan cukup berhenti pada pertanyaan siapa pemenang menyanyi mars perjuangan ? Siapa pemenang bola Pingpong ala kampung ? Tujuhbelasan adalah tentang kesan menjadi pemenang. Bangsa Indonesia merayakan kemenangan mereka merebut kemerdekaan. Semangat menjadi pemenang inilah yang perlahan-lahan menciptakan ‘gelembung sabun’ tak berkesudahan. Kita merdeka. Bangga. lalu apa ?

Tadi malam, saat pengumuman para pemenang lomba tingkat anak-anak disampaikan, ibu-ibu berdiri berjejer berdesakan. Aku terjepit diantara banyak ragam parfum dan wewangian. Sambil menghirup segala macam bau itu, aku rasakan kebanggaan mereka melihat dan menyaksikan anak-anak menerima trophy dan piala. Seorang ibu berkata, “itu anakku yang pake baju biru,” Lalu melanjutkan dengan nada jumawa, “Dia juara satu mengikat sepatu,”. Disusul mulut ibu yang lain, “Anakku juara lomba sepeda,”. Mulut yang lain tak kalah seru menimpali, “Si Nita juara menari lho, “. Ditengah-tengah gumam dan pengakuan itu, seorang ibu, bersuara padaku, “Itu anak saya pemenang lomba menggambar bunga,” Sudut mataku langsung melirik. Putih, cantik, untuk ukuran seusianya. Anak itu mendapat juara. Tapi urutan kelima ! lho kok ada urutan juara sampai lima ? Otak ku tidak terima dengan urutan juara kelima. Biasanya juara yang tampil hanya sampai urutan tiga. Juara satu, juara dua, dan juara tiga. Cukup. Kenapa harus ada juara lima ? Mengapa bisa begitu ?

Dasar indera etnografi, tak puas sampai disitu, aku bergeser menjauh dari mereka. Aku dekati seorang ibu panitia lomba kenalan baikku. Iseng berbisik aku bertanya padanya, “Mengapa harus ada juara lima segala ?” . Sambil tersenyum si ibu yang jadi panitia lomba itu menjawab,”Itu juara titipan dari ibunya kok mas!”. Juara Titipan ? istilah apa pula itu ?

Ternyata yang terjadi adalah setiap kali pengumuman lomba tingkat anak-anak seperti itu, ada saja ibu-ibu yang sengaja membeli trophy dan piala dari uangnya sendiri lalu dititipkan pada panitia. Pesannya : nanti nama anaknya disebut dan diumumkan sebagai salah satu juara ! Anaknya maju ke depan. Menerima trophy atau piala. Ibunya bangga lalu bertukar cerita. Alasan mereka sederhana, mau menyenangkan dan membuat gembira anaknya. Kalau itu sih aku percaya.

Tapi yang nampak lebih berbinar-binar adalah sang ibu saat melihat anaknya diberi piala. Piala dari dirinya. Yang nampak lebih keluar sombong dan jumawanya adalah sang ibu pula. Yang justru berkoar-koar bercerita sana-sini adalah mulut sang ibu juga. Ini yang aku tidak percaya. Kok tega-teganya bergembira dan berbangga di atas keluguan dan ketidakmengertian anaknya yang erat-erat mencengkram piala ? Piala yang tentu dia tidak tahu berasal dari ibunya sendiri ? Lalu makna juara kelima berikut piala itu sesungguhnya untuk siapa ? Kebanggaan ibunya, atau menyenangkan anaknya ?

Bangsa ini memang sakit.
Kebanggaan sang ibu berikut segala binar mata saat mengklaim anaknya juara nampak seperti potret ironi perjalanan bangsa Indonesia. Kebiasaan membelikan piala untuk diterima anaknya sebagai sebuah kebanggaan, mempersetankan kenyataan anaknya berprestasi atau tidak. Kalau saya bisa membelikan dia trophy, kenapa harus susah-susah memaksa dia mengukir prestasi. Andai semua bisa dibeli karena kelimpahan uang dan kekayaan, apa susahnya hanya sekadar menetapkan diri sebagai pemenang. Aku jadi ingat Abraham Maslow dengan paradigma motivasi dan aktualisasi diri. Kata dia, kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi, di atas pangan, sandang, papan, dan tentu saja kemewahan. Tapi aktualisasi diri tanpa prestasi sama saja dengan penyakit akut pembohongan diri sendiri. Lupakan proses, pengakuan lebih penting. Setelah kaya raya, gunakan kekayaan itu untuk mendapat pengakuan dan simpati kekaguman. Kalau sudah kaya raya, buat apa susah payah sekolah. Beli aja sekolahnya, lalu ciptakan sistem peringkat yang membuat diri sendiri berada di puncak. Toh yang penting adalah hasil akhirnya. Toh yang penting adalah kebanggaan saat pengakuan. Sistem pendidikan di negeri ini adalah sistem pendidikan dengan orientasi dramaturgi. Yang diutamakan bukanlah proses memperoleh dan mendapatkan pengajaran, melainkan hasil nilai tertinggi membanggakan dan diakui banyak orang. Tak perlu paham dan terlalu mengerti seluruh mata pelajaran yang ada. Cukup berjibaku mempelajari mata pelajaran yang menjadi subjek Ujian Nasional saja. Keberhasilan bukan ditentukan oleh tiga tahun proses belajar sebagai siswa SMP maupun SMU, melainkan beberapa hari saat tes mata pelajaran ujian nasional dilalui. Cukup belajar itu saja, dan kalau nilainya tinggi, akan meraih penghargaan luar biasa. Proses belajar sebagai sesuatu yang mengasyikkan, telah tergantikan dengan nilai akhir sebagai sebuah tujuan.

Bangsa ini memang sakit.
Keinginan untuk terlihat hebat membuat setiap orang berusaha menciptakan manajemen impresi (manajeman kesan). Prinsip menabung untuk perlahan memiliki barang tidak lagi dikenang. Kenapa harus menunggu punya barang, kalau kita bisa berutang ? Kenapa harus menunggu punya mobil dan rumah baru, kalau kita bisa kredit dulu ? Seperti sudah kodratnya sebuah menajemen kesan. Yang utama adalah penampilan dan diri di mata orang. Sang ibu merasa anaknya akan bahagia karena berdiri di atas panggung dan menerima piala. Ada kebanggaan di sana. Namun sesungguhnya tanpa disadari dia telah menanamkan virus berbahaya pada pikiran anaknya. Paling tidak ada dua. Pertama, dia mengajari anaknya untuk tidak perlu bersusah payah mengejar posisi tertinggi. Kalau semua bisa dimanipulasi untuk hasil akhir nanti, mengapa proses harus dijalani ? Toh ujung-ujungnya adalah kebanggaan diri. Kedua, kebiasaan itu menempatkan anaknya untuk selalu terbiasa menjadi pemenang dan juara utama. Anaknya kelak tidak akan pernah mengenal posisi nomor dua. Dia selalu melihat dirinya nomor satu. Padahal perjalanan hidup dia nanti akan sangat mungkin menempatkan dia di nomor dua bahkan tiga. Karena hidup memang tidak selalu sempurna. Itu sangat berbahaya.

Perjalanan bangsa ini memang ironis.
Kita sebagai bangsa terlalu sibuk merayakan kehebatan partai politik dan lomba berkampanye sebagai yang terbaik. Tentu tak lupa liputan wartawan infotainment sebagai media menampilkan rupa kita di televisi. Berkoar-koar kita. Melupakan ledakan tabung gas di mana-mana. Bersandiwara kita, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Saling berdusta antara kita, untuk menutupi perilaku keji di sana-sini. Tak mengapalah segala keburukan itu disembunyikan. Toh kita bisa tutup dengan memperdengarkan lagu keberhasilan dan harapan. Toh kita bisa tetap santai menikmati angka pertumbuhan produksi minyak dan gas bumi untuk diekspor ke luar negeri, tanpa peduli fakta sulitnya rakyat kecil mencari minyak tanah walau harus berkelahi. Semua kebaikan lebih baik disiarkan dan berakhir di layar televisi. Bagaimana fakta dan kondisi sesungguhnya, itu perkara nanti ! Memang tak ada ironi yang lebih menyedihkan, selain ironi perjalanan bangsa ini.

Lalu tibalah saatnya pengumuman pemenang lomba tari balet, seorang ibu lagi-lagi bersuara, nyaris berteriak, “itu si Nikita, dia juara favorit menari balet,” lagi-lagi mataku menghunjam panggung. Anaknya cantik, lumayan tinggi untuk ukuran anak 5 tahun, memakai kostum Balerina, mempesona. Dia sedang disalami oleh ketua RW yang didaulat memberikan piala. Piala erat dicengkramnya. Besar juga. Mungkin 30 senti hingga sedikit menutupi wajahnya. Asal tahu saja, juara favorit adalah posisi juara di atas juara satu, dua, dan tiga. Sangat istimewa. Tapi di mataku, tetap saja yang muncul wajah lugu. Perlahan sang ibu panitia disampingku berbisik, “Itu si Nikita juga titipan dari ibunya,” sambil tersenyum dia lanjutkan, “Padahal dia sendiri tidak ikut saat acara lomba !” hah ?.... gubbraak ...


Baciro, Agustus 2010

Sabtu, 14 Agustus 2010

Keong Racun & Media Baru

Mulut kumat kemot
Matanya melotot
Lihat body semok
Pikiranmu jorok


Sambil memelototi ulah nakal Shinta & Jojo di Youtube, saya sedikit menikmati lirik lagu “Keong Racun” yang mereka bawakan secara lipsync. Entah sengaja atau tidak, upaya merekam diri seperti yang dilakukan Shinta & Jojo menurut saya jauh lebih baik daripada apa yang dilakukan Ariel Peterporn. Keduanya sama sekali tidak bermaksud untuk menyimpan karya iseng itu sebagai manifestasi keakuan dalam konteks narsis. Mereka memilih untuk meng-upload gerak-gerik nakal di ruang tamu sebuah rumah di gang sempit kota Bandung di situs Youtube. Sengaja untuk menyebarkan, tanpa esensi mencari keuntungan dan popularitas. Diakui mereka bahwa tindakan itu iseng ala remaja-remaja semata, yang butuh ekspresi dan menemukan salurannya melalui media baru (new media). Media baru yang membuat Ariel menghuni penjara. Media baru yang membuat Shinta & Jojo terkenal tanpa mereka sangka.

Dan memang dari situlah segala sesuatunya bermula…
Yang mereka tidak sangka-sangka, wajah menarik, perilaku unik dengan gaya lepas dan bermain (ludens) yang mereka pertontonkan di Youtube itu membuat penggila dunia maya tertarik. Bahkan kata kunci Keong Racun sebagai judul lagu itu menempati posisi teratas dalam mikroblogging twitter beberapa waktu lalu. Padahal lagu itu sudah diciptakan 3 tahun lalu. Sudah dibuat video klip nya pula dengan penyanyi asli bernama Lissa. Namun fenomena yang muncul kemudian sangat unik. Si Charly ST 12 khabarnya sampai menggedor-gedor pintu rumah Buy Akur, sang pencipta lagu Keong Racun, di tengah malam. Charly bernafsu sekali membuat kesepakatan agar bisa menggubah ulang lagu itu (aji mumpung, tentunya). Group musik RAN memperbolehkan Shinta & Jojo untuk menyanyikan lagu-lagu mereka (mengikuti jejak populer, maksudnya). Sementara si Lisa, sang penyanyi asli lagu itu menyesalkan, mengapa Charly ST 12 tidak mau menjadikan dirinya sebagai penyanyi latar dalam aransemen ulang lagu tadi (ini sih harapan, namanya). Pada akhirnya, bang Buy Akur sendiri berniat untuk ’mengunjungi’ Shinta & Jojo, untuk mengucapkan ’terima kasih’ (rejeki nomplok, tentunya).

Dan dari situlah memang segala sesuatunya menjadi perkara...
Bagi seorang Ariel, keberadaan media baru segera menggeser ranah privat yang menjadi urusan ’bawah perut’ dia menjadi ranah publik urusan ’polisi dan penjaga moral bangsa’. Niat menyimpan segala kenangan sebagai wujud keterkenalan dan keakuan dalam bentuk video ternyata burujung kehancuran karier dan popularitas positif diri. Imbasnya sangat negatif. Bagi duo Shinta & Jojo, keberadaan media baru juga merubah ranah privat urusan ’iseng-iseng’ di ruang tamu, menjadi ranah publik urusan ’politik dagang’ hak cipta dan rejeki industri musik. Niat untuk sekadar lipsync dengan berekspresi bebas seadanya berujung pada ketertarikan media, industri, dan artis-artis ternama pada sosok mereka. Imbasnya sangat positif, minimal bagi mereka berdua. Dua imbas media baru ternyata memiliki implikasi yang jauh berbeda. Sangat disesali bagi Ariel, sangat disyukuri bagi Shinta & Jojo.

Dan memang begitulah media baru adanya...
Sifat media baru yang menjadikan personal individual selayaknya sebuah institusi komunikator melembaga, membuat produsen pesan sangat mudah terjerembab pada posisi ironis. Maksud hati mungkin sekadar main-main, namun imbas tersebarnya informasi justru mematikan eksistensi. Maksud hati mungkin ingin sekadar nampang, namun akibatnya membuat masuk dalam masalah tak berkesudahan. Posisi ironis ini bermula dari kurang dipahaminya sifat media baru. Begitu cepat menyebar, begitu cepat pula buyar. Mengapa demikian ? sifat informasi yang disampaikan media baru adalah sekilas. Maksudnya segala sesuatu yang disampaikan begitu cepat terlewat dalam memori banyak orang. Begitu cepat terlewat karena dia begitu banyak. Tak terhitung dan tak terhingga. Saking banyak dan tak terhingganya, orang tidak bisa lagi memilih mana yang harus disimpan dalam waktu yang lama, dan mana yang sekadar singgah dan dilewatkan begitu saja. Artinya hanya dibutuhkan sebuah ’kebakaran yang lebih besar’ untuk mengalihkan perhatian dari sebuah ’kebakaran yang lebih kecil’. Hanya masalah siapa yang ’mencuri kambing’ untuk menyembunyikan ’pencuri ayam’. Namun efek rotasi media baru ini sangat berimbas pada sosok produsen pesan alias komunikator tadi. Metamorfosis media konvensional menuju media baru terbukti mempercepat penciptaan dan konstruksi ’kebakaran besar’ dan ’pencurian kambing’ itu tadi. Dalam laporannya tentang fenomena twitter, Kompas telah menyebut akselerasi media ini sebagai sebuah revolusi.

Dan itulah memang yang telah dirasakan oleh Shinta & Jojo...
Saat saya mengetikkan kata kunci Keong Racun pada mesin pencari Google pagi ini, sebanyak 854.000 daftar web terhampar di depan saya. Dari situlah bisa dikatakan bahwa fenomena penggunaan media baru paling tidak menjadi jalan unik bagi Shinta & Jojo untuk menjadi terkenal. Sebuah media yang mungkin tidak disadari namun hadir sebagai realitas sosial keseharian kita saat ini. Mungkin tak perlulah menggunakan media baru dengan gaya seperti Ariel Peterporn, cukup dengan menghadirkan diri sewajarnya dan memancing kontroversi seperti mereka berdua. Apabila memang disadari media baru lebih cepat menciptakan dan mengonstruksi dengan efek dua sisi mata uang (baik dan buruk) maka apa yang dilakukan Shinta & Jojo minimal memberi contoh positif dari pemanfaatan media baru itu. Hal yang sama dulu pernah terjadi dan mampu mendongkrak serial Marimar. Jadi apabila masih ada sisi positif dari media baru, mengapa tidak dimaksimalkan dan menjadi ranah kajian menarik ? Minimal bisa dilakukan saat mata saya memelototi cantik dan nakalnya gaya Shinta & Jojo, sambil otak saya terus mencerna lirik lagu Keong Racun (yang sungguh menyinggung saya secara pribadi)....wuak kk kk ..

Mentang-mentang kokai
Aku dianggap jablay
Dasar koboy kucai
Ngajak check-in dan santai

Sorry sorry sorry jack
Jangan remehkan aku
Sorry sorry sorry bang
Ku bukan cewek murahan


Bidakara, Agt 2010

Wanita dan Betina : Mengundang Asa !

Betina memang selalu begitu ...
Dia dekap aku dengan maksud memberikan keharuman dan kewangian badan. Keharuman tersaput lulur satu jam barusan. Meski dia tahu bahwa rangkaian slide power point di depanku masih menuntut penuntasan. Dia jadikan diri stimulan. Aku tersenyum. Menoleh. Menemukan wajah penuh gairah. Pelan, kutelusuri bibir itu dengan nakalnya lidah. Praktis ada hal lain yang juga menuntut untuk dituntaskan. Dia memelukku dari belakang. Pengalamanku memberi sinyal tentang sesuatu yang membuncah. Menunggu untuk dijamah. Biasanya aku tidak akan memberi jeda. Aku tidak akan membuat waktu terbuang percuma. Apalagi dengan keharuman lulur mandi. Sesegera mungkin kutuntaskan dan kuakhiri. Yang ada di otakku begitu mudah dinalar dan dilakukan, di 206 semua itu dimungkinkan !

Wanita tidak sesederhana itu ...
Sambil menyeruput bir dingin dalam cawan, ekor mataku memperhatikan wajahmu. Tak tercium keharuman yang mengundang. Meski aku tahu dia baru saja bertabur sabun dalam bath tub jam dua malam. Wajahnya bersinar menandakan kecerdasan. Sedikit nampak jiwa yang kelelahan. Namun tetap saja tak tercandra sempurna. Persepsi memang tak pernah mampu mengakhiri diri. Aku mulai lontarkan kata membuka wacana. Tak ada sentuhan. Apalagi ciuman. Aku lebih suka mendengar lontaran kata cerdas dari bibirnya, ketimbang harus mengganyang bibir itu dengan ciuman penuh nafsu. Disamping itu, belum tentu dia mau ? Kenapa aku harus melakukan itu kalau aku yakin akan berakhir dengan malu ? Tak ada pesan atas hasrat yang tersampaikan. Sebagaimana pangalaman memberi pelajaran, aku akan terus ikuti wacana dan konsensus yang telah terpetakan. Yang ada di otakku begitu sulit untuk dinalar, terlebih untuk dipraktekkan. Meski mungkin segala konteks tempat dan waktu memungkinkan, di 152 tak perlulah semua itu dilakukan !

Amarah Betina memang begitu gampang terlampiaskan ...
Bercerita dia tentang kondisi terpuruknya sehabis dibohongi sang mantan. Katanya, lelaki itu bajingan ! Setelah puas meniduri dan menghabisi rasa kasihnya sebagai sebuah investasi, ternyata lelaki itu memiliki anak dan istri. Menangkap asa dia ikuti lelaki itu ke Jakarta. Menahan geram setelah tahu hanya menjadi simpanan, tempat semua sperma dimuncratkan. Pantaslah kemudian dia menumpahkan segala kekesalan dan dendamnya di atas tubuhku. Dia nikmati aku. Dia lampiaskan amarah dengan menunda dan menunda ejakulasi. Dia ingin mempermainkanku. Sesedikit mungkin dia tahu aku begitu menikmati. Aku tak perduli. Dan tak perlulah dalih itu, aku selalu menikmati setiap permainan. Menikmati setiap sesi peralihan gaya dan gerakan. Mengikuti setiap ritme yang disodorkan. Menikmati wajah tersaput marah. Mata yang menatap sinis penuh jengah. Aku biarkan dia memuaskan diri. Aku sediakan diri menjadi objek kegamangan dan kelabilan. Toh aku berpikir bahwa ini hanya sebatas perpaduan Lingga dan Yoni. Seperti halnya aku menghayati Psikoanalisis Freud tentang cinta yang tak lebih dari sebuah kontak bodi mencari esensi. Tanpa pretensi main hati. Toh di 206 semua insting dan naluri bisa dilakoni.


Misteri wanita tak mudah terpecahkan ....
Bercerita dia tentang posisi esensialisnya. Sebuah posisi yang lahir dari patahan-patahan perjalanan hidup. Sebuah perjalanan hidup yang menurutku masih menunggu sebuah illuminati. Terperangkap pada kesemuan dan garis batas kekakuan. Dimana posisi objek dianggap subjek. Penuh keyakinan, namun memancing rasa kasihan. Tanpa kegeraman dia juga bercerita tentang sosok lelaki bajingan. Yang menutupi belang dengan kembang setaman. Aku bayangkan wajah lelaki itu sama seperti rupa Harut & Ma’rut, sepasang malaikat yang diuji menjadi manusia. Munafik di setiap sudutnya. Kala itu, dia masih terlalu muda untuk mengerti dunia. Kala itu, dia masih terlalu rapuh untuk tidak tersimpuh. Kala itu, dia selalu mencoba berdamai dengan fenomena. Menahan asa dia tanggung derita. Menahan geram dia bereskperimen dengan tubuhnya. Mencoba mengurai definisi dari sebuah kata otonomi. Dari semua itu, bagiku langkah-langkahnya akan terbalut misteri. Mencari sesuatu yang samar. Sekaligus mudah tergelincir pada titik sumir berbuah getir. Otakku berupaya keras mencerna setiap kata. Meladeni benturan dua dunia. Mencoba menciptakan kotak diantara tesa dan antitesa. Tapi otakku buntu. Teringat Sartre yang cuma menawarkan dua area : being atau nothing ? Setiap kali kita menoleransi menciptakan sintesa antara keduanya, kita akan masuk dalam labirin misteri. Bagaimana mungkin mendamaikan esensi dan eksistensi ? Saat dia terus berusaha mendamaikan dua titik itu, dia akan membulatkan diri menjadi misteri tanpa henti. Ruang tiba-tiba menjadi penuh dengan segala panasaran dan pertanyaan tanpa jawaban. Satu hal yang bisa kusimpulkan, ini permainan keliaran pikiran. Begitu mengasyikkan. Aku tidak boleh memuaskan dan terpuaskan. Jangan dihentikan ! Ruang 152 memberi pelataran, bahwa semua masih mungkin dilanjutkan. Karena misteri memang tidak menuntut ejakulasi.

Wanita dan Betina memang berbeda ...
Keduanya menuntut ketepatan kadar dan ketepatan rasa yang tidak sama. Menikmati permainan adalah sejumput energi agar semua bisa berjalan. Berganti stimulus dan respon tanpa ada paksaan. Tiba-tiba aku teringat wajah arif Johan Huizinga. Sejarawan Belanda ini memberi empat ciri tentang permainan. Pertama, permainan itu suatu voluntary activity (aktivitas yang dilakukan sukarela), di dalamnya terkandung makna kebebasan tanpa tekanan. Kedua, bermain selalu dipandang bukanlah sungguhan (play is not “ordinary” or “real” life). Dalam konteks permainan, pihak tertentu merasa bahwa apa yang sedang dimainkan bukanlah sebuah realitas kehidupan sesungguhnya ; Ketiga, permainan itu secludedness, dia adalah keterbatasan (limitedness). Sebuah permainan hanya dimainkan dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ia berlangsung dan bermakna dalam dirinya sendiri. Keempat, permainan menciptakan ketertiban (order). Bahkan ia adalah ketertiban itu sendiri. Dalam sebuah permainan, seluruh pihak yang bermain harus taat pada sebuah aturan khusus yang harus dipatuhi. Ketidakrelaan mengikuti aturan membuat permainan tidak bisa lagi dijalankan.

Bagiku, Betina adalah tentang not ‘ordinary’ or ‘real’ life , Wanita adalah tentang order dan kesepakatan. Berinteraksi dengan keduanya harus dijalani dengan prinsip voluntary activity. Namun paling tidak aku semakin menyadari bahwa entah itu wanita, entah itu betina harus disentuh dengan dawai limitedness (keterbatasan). Sebab di situlah terletak kenikmatan permainan sebagai sebuah misteri tak berkesudahan. Semakin dibatasi, dia akan menuntut keliaran. Semakin dikekang, dia akan menerjang. Pada titik ini, entah satu lima dua ataupun dua kosong enam hanya menyisakan keterbatasan. Keterbatasan atas waktu dan ruang. Yang masih menunggu untuk dilanjutkan. Berisi setumpuk asa yang digemakan. Sebuah asa akan permainan memabukkan.

Anda berbeda saran, atau hanya sebuah gumam ?


Agustus, 2010

Selasa, 20 Juli 2010

Inception : Bermimpi Menonton Film Tentang Mimpi

“it (dream) is a perfectly valid psychic phenomenon,
actually a wish-fulfilment”

(Sigmund Freud, 1950)


Mimpi hampir selalu merupakan pemenuhan harapan. Dia memberikan daya katarsis atas beragam ketidakpuasan yang terjadi dalam dunia nyata. Namun bagaimana andai kita tidak bisa lagi membedakan dengan tegas mana dunia nyata dan mana dunia mimpi ? bukankah kemudian daya katarsis itu sendiri akan kebingungan untuk memilih objek mana yang akan diambil ? Christopher Nolan menghadirkan ketipisan dua realitas itu dengan cerdas melalui film menariknya, ‘Inception’. Bercerita tentang mimpi, film ini layak membuat kita mengaduk-aduk segala akar teoretis psikoanalisis yang didirikan Sigmund Freud (1856-1939). Dalam upaya menjelaskan sisi tergelap kehidupan manusia, Freud sampai pada kesimpulan betapa banyaknya perilaku manusia yang dituntun oleh motif-motif tidak sadar. Insting yang tidak terlalu berbeda dengan kondisi hewan. Tesis besar Freud adalah tentang ketidaksadaran (uncenciousness) yang menjadi dasar perilaku manusia, namun selalu diingkari oleh manusia itu sendiri. Ini tidak terlepas dari fase kemajuan pola pikir manusia untuk terus merenungi dirinya.

Kekuatan paradigma rasionalistik yang dikumandangkan Rene Descartes (1596-1650) melalui diktum ‘berpikir’nya, membuat hampir setiap orang di abad ke-19 selalu berpikir bahwa manusia adalah sosok yang selalu memiliki akal sehat. Dengan akal sehatnya itulah manusia menjalani hidup hari demi hari. Hasil dari bekerjanya akal sehat adalah seluruh perilaku yang terkontrol, tertata, dan bisa terkendali sedemikian rupa. Freud hadir dengan sebuah antitesis. Manusia menurutnya adalah makhluk yang selalu dipenuhi dengan insting-insting tidak sadar. Banyak motif yang tidak bisa dijelaskan atas sebuah perilaku tertentu. Kemarahan, kebinalan, kesedihan, atau perilaku-perilaku tidak sesuai norma dan tata susila kemasyarakatan terus saja terjadi. Padahal katanya manusia adalah makhluk yang memiliki kekuatan menata diri dan masyarakatnya. Apa yang bisa menjelaskan beragam kasus pembunuhan, pemerkosaan, perzinahan, perampokan, dan beragam kasus yang dinilai negatif lain ? Freud sampai pada kesimpulan adanya energi terdalam dari manusia untuk melepaskan naluri-naluri kebinatangannya. Naluri yang selama ini terus menerus ditekan dan diawasi oleh gengsi kebernalaran manusia itu. Naluri yang dikendalikan terus oleh seperangkat norma dan aturan kemasyarakatan. Sisi yang pertama tercipta karena keberadaan akal manusia (ini sangat didukung oleh isi seluruh kitab-kitab agama Samawi). Sisi yang kedua tercipta karena bentukan budaya sebagai penanda manusia memiliki sensitifitas kemajuan melebihi binatang. Namun menurut Freud, keberadaan dua hal terakhir ini sama sekali tidak otomatis menghilangkan kekuatan instingtif manusia tadi.

Pada diri manusia selalu ada keinginan untuk bebas melakukan apa saja. Bebas berbuat apa saja. Pokoknya apapun yang diinginkan selalu harus tertuntaskan. Termasuk bila perilaku itu sangat tidak sesuai dengan tata nilai dan aturan yang berlaku. Motif yang kuat inilah sepanjang sejarah manusia harus terus ditekan. Pada saat-saat tertentu dia boleh dilakukan melalui keabsahan dan apologi ala manusia. Membunuh diperbolehkan sejauh dalam tema peperangan, merampas diperbolehkan dalam konteks telah berkuasa atas tanah jajahan, memuaskan nafsu syahwat difasilitasi dalam konteks poligami, serta beragam apologi hasil olahan intelektual manusia. Namun, bila dicermati energi dasarnya tetap sama, gelap, hitam, dan penuh aroma kebinatangan. Sejauh dia terus ditekan, demikian Freud, energi ini akan terus berada di alam bawah sadar. Bagaimana katarsis agar tidak terjadi ketegangan pada diri manusia, sekaligus agar energi itu tetap tertumpahkan, sementara masyarakat dan gengsi manusia tetap terhargainya ?

Mimpi menjadi jawaban Freud atas pertanyaan esensial tersebut. Pada mimpilah kita menemukan ‘jalan keluar’ sebagai katarsis atas kuatnya desakan energi utama tadi. Sebagai sebuah energi, dia akan mencari jalan keluarnya sendiri. Pada titik inilah tesis Freud semakin menarik. Manusia bukan hanya tidak memiliki kekuatan untuk menginventarisasi energi utama itu tadi, melainkan manusia juga tidak memiliki kontrol untuk mengatur kapan katarsis itu bisa dihadirkan. Artinya, disamping kita tidak bisa menjelaskan insting dan hasrat apa saja yang ada dalam benak kita yang meminta dipuaskan, kita juga tidak memiliki kekuatan untuk bermimpi agar desakan untuk melampiaskan insting tadi di alam nyata terwakili di alam mimpi. Tidak ada kekuatan untuk mengatur dan mengontrol mimpi. Tesis besar inilah yang dijungkirbalikkan Nolan. Tokoh utama dalam ‘Inception’, Cobb (Leonardo DiCaprio) bukan cuma bisa mengatur mimpi. Dia bisa mencuri mimpi orang lain !

Mimpi yang menurut Freud menjadi sebuah aktivitas alam bawah sadar itu sendiri, diangkat kepermukaan alam sadar oleh Cobb. Menggunakan alat berteknologi canggih, tim Cobb memasukkan obat ke dalam tubuh seseorang. Secara kimiawi, obat inilah yang memancing saraf untuk menciptakan mimpi sesuai dengan harapan setiap orang yang diinjeksi. Mimpi yang konsensusnya dianggap berada di luar kekuasaan manusia, telah mampu diciptakan oleh Cobb. Yang jauh lebih menarik lagi, dengan obat sedatif itu seseorang bisa meminta bermimpi lagi saat mereka tengah bermimpi. Jadi ada dua lapis mimpi ! ide ini sama sekali tidak terpikirkan, bahkan mungkin tidak pernah hadir dalam mimpi Freud !

Dalam tesis Freud, apabila kita bermimpi maka kita hanya memiliki dua realitas. Mimpi terjadi saat kita sedang tertidur sebagai realitas kedua. Apabila kita terbangun, maka kita menjadi sadar bahwa kita tengah bermimpi. Keterbangunan kita mengembalikan kita kepada realitas pertama. Realitas utama yakni kehidupan nyata. Mudah sekali untuk membedakannya. Namun dengan menggandakan tingkat mimpi, Nolan telah menghadirkan sebuah realitas maya lain dalam sebuah realitas maya. Pertanyaannya, lalu yang mana dari realitas itu yang muncul sebagai sebuah harapan ? apakah mimpi utama (tingkat satu) atau mimpi tingkat dua ? Meskipun terkesan mengada-ada, Nolan telah menghadirkan betapa rumitnya harapan manusia di abad 21 ini. Apabila mimpi pertama menjadi upaya pemenuhan harapan, maka mimpi kedua adalah sebuah pemenuhan harapan dari tidak terpenuhinya harapan di mimpi pertama. Artinya, mimpi pertama tidak cukup menuntaskan kebutuhan terpenuhinya harapan, dia harus ditindaklanjuti oleh katarsis tingkat lanjut di mimpi kedua. Berlapisnya harapan ini menandakan betapa kompleksnya hidup manusia dalam dunia, sehingga jangan-jangan saat kita merasa sudah terbangun (kembali ke dunia nyata) ternyata kita baru tersadar dari mimpi kedua menuju mimpi pertama. Jadi sesungguhnya kita masih bermimpi. Lalu, andai mimpi itu sendiri sudah menembus lapisan ketiga, maka saya membutuhkan tiga kali bangun untuk sampai pada realitas nyata. Lalu siapa yang bisa meyakinkan bahwa saya telah sampai pada realitas nyata yang utama ? Kesadaran Ariadne saat berbincang dengan Cobb di sebuah kafe di pinggir jalan kota Paris sebagai sebuah mimpi, ditindaklanjuti untuk masuk kembali dalam mimpi lapisan kedua. Meskipun ini ditentang oleh Cobb, namun tetap ada kemungkinan mimpi di lapisan kedua. Sebuah lapisan ketidaksadaran baru yang lahir dari kesadaran atas mimpi pertama. Demikian seterusnya, tercipta lapisan simetris atas kesadaran mimpi dan ketidaksadaran mimpi.

Mimpi yang bisa dikontrol yang hadir karena kesadaran tentang mimpi pertama menunjukkan adanya upaya pemenuhan harapan lebih lanjut dari sebuah ketidak-utuhan pemenuhan harapan di level pertama. Hadirnya kemungkinan pemenuhan kebutuhan sistem berlapis itu tadi mengindikasikan kompleksnya kebutuhan insting manusia modern yang dikatarsisi oleh mimpi. Semakin tinggi harapan yang muncul karena kompleksitas kebutuhan itu, semakin seringlah manusia bermimpi. Pada titik yang semakin mengkhawatirkan, manusia tidak mau lagi terbangun dari mimpinya. Atau saat dia merasa telah bangun, dia sebenarnya tengah berada dalam lapisan mimpi tertentu yang sebenarnya belum menghadirkan dia ke realitas nyata. Akhirnya manusia benar-benar hidup di alam mimpinya. Tragedi yang dialami oleh Cobb karena istrinya, Mal (Marion Cotillard) tidak mampu lagi membedakan mana realitas mimpi dan realitas nyata menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk mengontrol satu hal utama : harapan. Mal begitu memiliki harapan untuk hidup terus bersama Cobb sampai mereka tua. Dia merasa tengah bermimpi dalam sebuah dunia yang sebenarnya nyata. Untuk membangunkannya, dia harus bunuh diri. Dari sinilah segala petaka hidup Cobb berawal. Bermula dari sebuah ide sederhana dengan konsekuensi dan implikasi luar biasa. Membuat binasa. Ide itu adalah bahwa apa yang kamu rasakan, kamu alami, kamu nikmati adalah sesuatu yang tidak nyata. Imbasnya adalah kita hanya hidup di alam mimpi, yang celakanya tidak pernah nyata.

Sampai disini, saat kaki saya melangkah keluar dari gedung bioskop sehabis terpesona oleh visual efek ‘Inception’, hati saya bertanya gundah : “Apakah saat ini saya telah betul-betul bangun dari sebuah mimpi yang bernama kehidupan ?”, Kapankah saya benar-benar terbangun dari mimpi buruk tentang kenaikan harga-harga, meledaknya tabung gas di mana-mana, dan koruptor yang menghabisi uang negara ?, “Jangan-jangan saya hanya tengah bermimpi hidup di Indonesia, sebuah negeri yang tidak pernah lagi memberi rasa bangga ?” “Jangan-jangan saya hanya bermimpi telah menonton “Inception” ? ”,
Entahlah ...


Tepi Kali, Juli 19

Minggu, 11 Juli 2010

Mengapa Saya Ingin Belanda Juara ?

Dalam laga final piala dunia 2010 tadi pagi (pukul 02.00 WIB dinihari) saya sejak awal selalu menjagokan Belanda yang muncul sebagai pemenang. Saya tahu bahwa pilihan ini mengandung resiko. Resiko pertama saya kelihatan begonya, karena mungkin saja pasukan Belanda memiliki tingkat keahlian di bawah tim Spanyol. Saya tidak perduli dengan itu. Resiko kedua saya dianggap tidak memiliki sensitifitas kebangsaan dan nasionalisme. Bekas penjajah kok didukung ! Saya tidak ambil pusing dengan anggapan itu. Yang pasti keinginan saya sejak awal mendukung Belanda andaikata dia bertanding dalam laga final melawan Spanyol, lebih didasari oleh keinginan untuk mengutarakan dua hal mendasar.

Pertama, saya ingin sekali melihat Belanda menang agar segala wujud ramalan dan separuh kebodohan manusia di dunia ini agak terpatahkan. Mengapa ? saya terlalu benci dan sangat tidak mengerti bagaimana bisa seekor Gurita bisa dijadikan referensi atas nasib sebuah negara dalam ajang sekaliber piala dunia ? Ini tentang sosok Paul. Si Gurita peramal. Makhluk ini dipercaya memiliki kemampuan semacam indera keenam untuk meramalkan negara mana saja yang akan muncul menjadi pemenang saat akan bertanding. Caranya di dalam aquarium yang menampung si Paul diletakkan dua kotak yang pada masing-masing kotaknya disematkan bendera negara bersangkutan. Nanti pelan-pelan si Paul ini akan turun dan akan cenderung memilih untuk memeluk (atau apalah istilahnya) salah satu kotak dengan bendera tertentu itu. Nah kotak dengan bendera yang dipilih si Paul lah yang dipercaya akan memenangkan pertandingan. Ini terjadi ketika Uruguay lawan Ghana, Jerman melawan Argentina, Jerman melawan Spanyol, dan beberapa pertandingan lain. Kebanyakan memang pelukan (atau apalah kita menyebutnya) si Paul tepat dengan kenyataan. Ini berarti pilihan kotak si Paul dianggap sebagai komunikasi eksplisit Paul meramal negara yang akan menang. Ini dianggap kemampuan supranatural yang langka. Banyak orang begitu yakin dan percaya. Si Paul menempati urutan selebritis yang selalu diberitakan. Bahkan menjelang ajang tanding Spanyol dan Belanda kemarin, Menteri Luar Negeri Spanyol bermaksud untuk memberikan perlindungan ‘khusus’ kepada Paul. Saya benar-benar tertawa. Tak habis mengerti. Terlepas dari tingkat probabilitas yang sangat sederhana (Paul khan hanya memilih salah satu : kalau tidak kotak A ya otomatis kotak B), sejak awal saya sudah menertawakan kepercayaan orang-orang.

Di zaman yang sudah sangat modern dan rasional ini, ternyata bukan cuma Indonesia yang terlalu gandrung dengan hal-hal yang gaib. Kalau di Indonesia saya tidak lagi bisa tertawa saat melihat begitu banyak orang yang sangat percaya lalu berbondong-bondong mendatangi rumah si Polari (Jawa Timur) untuk mendapat berkah dari batu mujizatnya. Saya tidak lagi bisa tertawa saat menyaksikan orang menyembah-nyembah ‘Jenglot’ untuk mendapatkan kesaktian ataupun kekayaan. Namanya saja Indonesia. Negeri dengan seribu takhayul dan seribu sinetron berisi wujud ular dan naga raksasa kelayaban di tengah kota. Tentu saya tak bisa lagi tertawa. Namun kalau itu juga terjadi pada level internasional dan melanda negara-negara tempat lahirnya Rene Descartes, Enstein, Galileo, Columbus, Marcopolo, dan beribu orang lagi yang berjuang mati-matian mematahkan mitos dan takhayul atas ramalan tak jelas atas dunia, saya jelas tertawa terbahak-bahak. Seperti halnya ramalan suku Maya yang lalu dibumbui di sana-sini. Antara mitos, takhayul, dan kekuatan ilmiah ilmu pengetahuan memang saling berlomba mendapatkan posisi dan popularitas di mata manusia.

Harapan kemenangan Belanda sebenarnya lebih dilandasi oleh keinginan melihat tumbangnya ramalan si Paul itu tadi. Mengingat dalam beberapa hari sebelum laga final Spanyol vs Belanda digelar, si Paul sudah yakin (katanya) memeluk kotak berbendera Spanyol. Paul meramal Spanyol akan menggilas Belanda. Publik pun lalu percaya. Apalagi kelakuan si Paul selalu jadi sorotan media massa. Pasar taruhan pun tiba-tiba jadi jomplang (miring). Begitu banyak yang menjagokan Spanyol. Belanda menjadi underdog. Tim dengan pendukung moral sangat sedikit. Terlepas dari akurasi perhitungan teknis dan keajaiban di tengah lapangan, ramalan si Paul turut mempengaruhi keyakinan seseorang. Bagi mereka yang enggan untuk menyuarakan jagonya, bekerjalah prinsip spiral of silent. Kalau diam berarti memberikan dukungan. Hampir semua pasar taruhan di facebook menjagokan Spanyol. Efek menarik tentu saja bertambahnya rasa percaya diri pada kelompok David Villa ini. Si Paul artinya memberi andil. Ditambah dengan kemenangan 1-0 Spanyol atas Belanda, maka ramalan si Paul semakin dianggap keramat dan tepat. Dunia kembali jatuh dalam keyakinan semu dan takhayul. Percaya pada seekor binatang. Lihatlah kalender, lalu catat bahwa hal ini terjadi hari ini, di abad 21. Abad di mana internet dan penerbangan ke luar angkasa menjadi seperti tamasya biasa. Lalu di mana akal sehat kita ?

Itulah mengapa begitu besar harapan saya agar Belanda keluar sebagai juara piala dunia 2010. Andai yang terjadi demikian, maka segala ramalan dan keyakinan atas perilaku si Paul akan terpatahkan. Semua akan kandas. Mungkin saja dengan salahnya ramalan itu, publik akan melihat dan menyadari bahwa setepat-tepatnya ramalan Paul, toh ternyata dia hanyalah SEEKOR GURITA ! binatang yang tak berotak, apalagi mengerti sepakbola. Jadi ingat perilaku kemampuan menjumlah dan menghitung lumba-lumba di Ancol tempo dulu. Waktu kecil saya terkagum-kagum sambil geleng-geleng kepala,”masak sih binatang bisa matematika ?”. Setelah besar baru saya tahu ternyata si lumba-lumba hanya menjalankan instruksi (non verbal) dari sang pelatih yang memberikan insyarat berapa kali sang lumba-lumba harus menghempaskan ekornya sebagai hasil penjumlahan dan pengurangan angka yang dituliskan di papan kala itu. Setelah tahu itu, saya tetap kagum sambil geleng-geleng kepala, “pintar sekali si pelatih membohongi kita, “ he he he he

Kedua, saya ingin sekali melihat Belanda menang dalam pertandingan final 2010 karena tidak terlalu percaya bahwa suara orang banyak adalah suara Tuhan (Vox populi, vox dei). Saat itu saya begitu tidak mengerti kenapa begitu banyak orang yang menjagokan Spanyol. Padahal dari statistik pertandingan demi pertandingan di laga World Cup ini, Sponyol tidak menunjukkan performa sebagai tim yang hebat. Jarang ada hasil pertandingan mereka yang spektakuler. Jumlah gol juga tidak seberapa. Mereka memang juara piala Eropa. Tapi itu bagi saya tidak berarti apa-apa. Justru penampilan Jerman, Argentina, Uruguay, Brazil, dan Portugal lebih menjanjikan. Tapi mungkin saja doa banyak orang begitu mujarabnya. Ketika banyak pihak yang menjagokan Spanyol masuk ke putaran final lalu kemudian banyak orang juga kemudian berdoa sambil beropini Spanyol menjadi juara, terwujudlah harapan itu. Opini publik memang energi. Saya tidak tahu apakah pelatih dan para pemain Spanyol menonton TV dan membaca koran, atau membuka situs di internet sepanjang perhelatan ini berjalan. Andai begitu, tentu mereka bisa melihat betapa kuatnya keinginan dan harapan publik untuk melihat mereka lolos menjadi juara. Lebih celaka lagi andai wasit dan official permainan itu terbawa sikapnya setelah membaca surat kabar, dan menonton TV ! Itulah energi seperti yang dikatakan Walter Lipmann tentang bagaimana opini bisa merubah keyakinan orang dan juga keadaaan. Tapi satu hal yang selalu saya yakini bahwa opini yang dianut oleh banyak orang tidak otomatis menegaskan bahwa opini itu adalah kebenaran. Ini dua hal yang berbeda : terbanyak dan benar. Benar tidak selalu adalah yang diamini banyak orang. Sementara pendapat yang diamini banyak orang tidak identik bahwa pendapat itu benar. Sayangnya pelajaran opini publik justru melakukan manipulasi dan mengambil keuntungan dari frasa-frasa kuantitatif tersebut.

Begitulah, menjelang perhelatan final kemarin begitu banyak suara yang menjagokan Spanyol. Tiba-tiba seperti muncul kesepakatan umum bahwa Spanyol akan keluar sebagai pemenang. Sebagai orang yang tidak terlalu suka dengan mainstream alias kemapanan pendapat, saya selalu berdiri di sisi yang lain. Selaku the other yang memberikan second opinion bagi saya sangat mengasyikkan. Ide awalnya mungkin simpel, saat dua orang bertaruh untuk menjagokan salah satu negara dalam piala dunia ini, tentu tidak lucu kalau dua-duanya memegang negara yang sama. Lalu bagaimana taruhan bisa berjalan ? andai dua orang yang akan bertaruh sama-sama menjagokan Spanyol, lalu yang menjagokan Belanda siapa ? andai semua selalu mau masuk Surga, lalu ntar siapa yang akan masuk neraka ? andai nanti tidak ada yang masuk Neraka, untuk apa neraka diciptakan oleh Tuhan ? wallah ini sudah ngelantur kemana-mana he he he ...

Kembali pada kekuatan opini publik sebagai energi kemenangan Spanyol tadi, saya merasa bahwa di abad modern ini kekuatan opini publik tidak memiliki signifikansi lagi. Apabila dahulu Walter Lippmann berharap bahwa dengan kekuatan opini publik akan menciptakan kebenaran dan kedamaian, maka di abad ini opini publik begitu berbahaya. Mengingat dia selalu disalahartikan demi kemenangan. Lihat saja itu Lembaga Survey Indonesia, lalu Lintas Survey Indonesia, lalu AC Neillsen Indonesia, semua bermain dengan kemampuan mengorganisir opini mayoritas atas segala sesuatu demi tujuan tertentu. Dalam setiap pemilu di Indonesia, kekuatan opini publik selalu dimainkan untuk menciptakan efek spiral of silent agar memiliki daya pengaruh menggerakkan perilaku yang menguntungkan pihak yang merekayasa opini. Hanya dibutuhkan sedikit riset dengan hasil popularitas calon pemimpin tertentu lalu mempublikasikan hasil itu, dan pendapat orang banyak akan tergiring untuk menguatkan hasil riset tersebut. Semua modus dan formula kerja lembaga riset yang berkaitan dengan kepentingan politik selalu seperti itu. Apa yang diingatkan dan di-“wanti-wanti” oleh Lippmann terbukti hari ini. Mengingat semua pelajaran itu, membuat saya selalu curiga dengan kekuatan opini publik yang tengah bekerja. Siapa yang menggelontorkan opini pertama ? lalu bagaimana dia bekerja, dan untuk kepentingan siapa ? alhasil jadilah saya si pencuriga atas segala opini publik yang bekerja. Itu terjadi juga setelah melihat kok semua orang seolah mendukung Spanyol untuk jadi juara dunia sepakbola 2010 ? ada apa dengan isi kepala mereka ? Keinginan untuk berada di sisi the other membuat saya mengambil keputusan untuk mendukung Belanda saja.

Itulah mengapa begitu besar harapan saya agar Belanda berhasil keluar sebagai juara Piala Dunia 2010. Andai itu terjadi maka saya akan menjadi second opinion yang merobohkan vox populi itu. Menjadi semacam kekuatan antikemapanan yang memenangkan perseteruan pendapat dan keyakinan. Apabila itu terjadi, maka saya akan bisa menunjukkan pada banyak orang bahwa tidak selamanya pendapat dan opini mayoritas itu akan berbuah pada hasil yang sesuai dengan keinginan mayoritas itu. Banyak orang berharap dan berdoa untuk Spanyol, tapi kalau yang jadi juara adalah Belanda, maka akan ada definisi revolusioner untuk apa yang disebut juara. Belanda akan jadi lagenda. Memiliki kemampuan dan talenta menumbangkan stereotip tentang sang juara. Belanda akan jadi juara di dalam dan di luar lapangan. Itu dahsyat bagi saya. Mengingat mereka telah harus bertempur dengan ‘mental diri’ masing-masing sebelum mereka harus masuk ke lapangan. Kemenangan Spanyol bukanlah luar biasa, karena memang kesanalah energi publik bermuara. Namun kemenangan Belanda akan menjadi catatan sejarah penuh fenomena kuantum. Tak terduga dan berwujud chaos di mana-mana. Apa yang saya lihat ketika menit-menit perpanjangan waktu menunjukkan itu. Wajar Belanda kalah (mereka tinggal 10 pemain !), wajar mereka nyerah (takkala lebih banyak memperturutkan emosi mereka), wajar mata mereka basah (ini kesekian kali mereka hanya sebagai runner-up). Nampaknya sejak awal mereka tahu bahwa mereka bukanlah tim negara yang diunggulkan saat menghadapi Spanyol. Mereka sadar itu. Sehingga jawabannya adalah berjuang habis-habisan. Dan itu telah nampak dalam pola serangan dan ngototnya mereka bertahan sejak menit awal pertandingan. Kalah mungkin sudah diramal banyak orang, namun kalau bisa menang tentu akan membuat terperanjat setiap orang. Itu pembuktian bahwa tidak selamanya suara banyak orang akan berujung fakta yang lahir di lapangan. Andai kemenangan ada di tangan Belanda, tentu publik akan semakin percaya bahwa tidak ada kekuatan apapun yang mampu bermain di lapangan sepakbola, kecuali tekat kuat, strategi, dan keterampilan tim. Tidak ada trial by the press (apa pula ini ?), tidak ada pengaruh dari mulut politis pengamat bola (Indonesia memang gudangnya !), bertanding ya bertanding ... itu saja..

Itulah dua alasan yang menjadi motif sikap saya. Ternyata fakta sosiologis berkata beda. Spanyol juara. Dari fakta ini kita hanya tinggal menunggu : empat tahun lagi si Paul akan menjadi selebritis kembali. Jangan-jangan ramalan dia akan dipakai untuk memprediksi kemenangan calon presiden (kalau gak percaya, pinjamkan saja gurita itu kepada Indonesia menjelang pemilu nanti !), calon bupati, atau calon kepala desa. Dari fakta ini pula kita hanya tinggal menunggu : permainan opini menciptakan perang urat syaraf dan teror mental yang selalu mengiringi perhelatan entah itu permainan ataupun pertandingan (kalo di Indonesia sih, ini fakta di luar sidang pengadilan !). Akhirnya, seberapapun keinginan saya untuk tidak percaya takhayul dan kekuatan opini publik, toh tetap saja Belanda kalah ... saya memang kalah jauh dibanding si Paul, terutama dalam urusan ramal-meramal he he he he ...


Tepi Kali, Juli 10

Kamis, 01 Juli 2010

Harga Sebuah 'Januari'

Sore itu, 10 Januari ...

“Mas udah nonton Virgin ?” … tanya itu muncul ketika untuk kesekian kalinya kita berdua duduk di ranjang empuk sebuah hotel di taman puncak, awal Januari, di tahun baru. Dua hari sebelum itu kita sebenarnya sudah menjadwalkan waktu kita untuk bertemu di tempat ini.
“Belon … emang kenapa say ?” dahiku terangkat, kupandang wajahnya …
“Engga aja seeh …. Itu film tentang keperawanan.”
Aku masih menduga-duga arah pembicaraannya. Bagiku pertemuan ini merupakan penuh kenangan, karena kurang lebih tiga bulan kita telah berpisah. Menahan rintih rindu dalam dada, mengais asa hari demi hari, tiba-tiba kita bertemu, dan tanpa kuduga Ella menanyakan tentang sebuah film dengan tema yang cukup menyentuh : keperawanan.
“teruuss …..?”
“yaa cuma nanya doang sih …” dia membalik tubuh mulusnya yang tertutup selimut, menghadap kearahku : “apa batasan keperawanan menurut Mas ?”
Wuaaahh pertanyaan menarik….. sejak dulu Aku paling sering mendiskusikan ini dengannya. Dan menurutku dia sudah bisa menangkap apa yang kupikirkan, tapi mengapa dia tanyakan lagi ?
“Bagiku keperawanan tidak hanya masalah selaput dara..” Aku tatap matanya : “itu menyangkut esensi kedirian seorang wanita, apakah kepribadiannya matang atau tidak, apakah dia bisa menjaga dirinya dari pandangan pelecehan laki-laki ataukah tidak, dan selaput dara itu cuma konstruksi laki-laki atas diri wanita saja..”

Dia terdiam, matanya menerawang. Kamar itu kembali sunyi. Sesunyi lima puluh menit yang lalu saat kita berdua masuk dan memulai pagutan nafas penuh sesak. Kamar hotel yang selalu menjadi saksi bisu segala tumpahan kerinduan kita ini seolah mengerti dengan keheningan yang ingin kita ciptakan. Aku menggeliat. Telungkup menghadapkan mukaku ke wajahmu : wajah cinderella yang manis tak terkira. Pikiranku menerawang, mengapa pembicaraan kita lalu bergeser pada masalah keperawanan ? ada hubungan erat antara pertanyaan itu dengan perkembangan jalan kami berdua. Tak pernah Aku bermaksud menciptakan onak duri dalam hidupnya, tak pernah Aku berpikir akan “memetik” kebahagiaan dengannya hanya sebatas nafsu lahiriah semata, tak pernah Aku berniat hanya memanfaatkan dirinya semata, tak pernah … tak pernah….. sedikitpun juga tak pernah atau terlintas niat busuk atas segala apapun yang telah kulakukan padamu. Semuanya mengalir begitu saja : dengan cinta dan canda ria. Kita jalani hari-demi hari bersama, kita pergi ke gunung dan menatap awat tersaput kabut, kita pergi ke pantai menikmati angin laut, kita tapaki hubungan ini layaknya orang dewasa yang mengerti dengan segala konsekuensinya. Dan tanpa kita pernah merencanakannya, sampailah kita pada suatu sore, di sebuah hotel di tengah kota. Saat mana semua terasa begitu mengambang nikmat tak terkira.

“Cayaang …. Sakitkah ? “ tanyaku berbisik penuh cemas, saat Aku melihat ada percik darah diantara bagian tubuhmu yang begitu dipuja banyak lelaki manapun di dunia. Bagian yang seharusnya dia jaga penuh asasi dan rahasia. Tapi lima menit yang lalu, ditengah desahan dan lenguhan nafas yang terus kita hela bersama, bagian itu telah kau persembahkan padaku. Kau berikan dengan nafas tertahan dan senyum kebahagiaan. Tentu saja Aku merasa sangat bersalah apabila ingat bahwa Akulah yang telah menyebabkan rasa sakit itu, seiring dengan menetesnya warna merah darah dari bagian tubuhmu.
“Engga sayaang … ahh “ masih terbuka bibir itu …. Segera kulumat sebagai tanda Aku sangat melindungi dan menyayangimu …..
“Suerr Say …. ? Aku mendesah ..
“Iya sayang .. ga pa pa …” sambil dia merengkuh tubuhku lebih dalam, seakan tak mau dilepaskan. Tubuhmu bergoyang mengikuti irama tubuhku yang terus memacu naik turun, meresapi nikmat yang muncul dari gerakan naik dan turun itu. Dunia terasa berwarna-warni di mataku … tak kuasa untuk menghentikannya, tak kuasa untuk tidak meneruskannya. Aku nikmati semua senti bagian tubuhmu, seperti juga dia menikmati setiap inci bagian tubuhku, kita terus berpacu, meliuk liar menderu nafasmu dan nafasku. Hingga tiga puluh menit berlalu, Aku memekik tertahan diiringi dengan liukan dan getaran kuat dari tubuhmu. Kita sama-sama lepaskan unsur alami kehidupan. Aku berpeluh, dia berkeringat, mata kita setengah mengatup, nikmat.

Itulah saat mana Aku baru mengetahui bahwa keparawanan tidak harus dilepaskan dan dipetik dengan ketakutan, keperawanan tidak harus diberikan dengan rasa sedih dan gelisah tak terperikan, keperawanan bukanlah hanya masalah sakit dan tidak sakit. Dia memiliki dimensi yang maha luas yang tak tergambarkan. Jadi bukan cuma masalah selaput dara yang ada di selangkangan ! sore itu semuanya kita lakukan, dengan sadar dan dengan kegembiraan. Tak ada kesedihan yang kutangkap di matamu, sebaliknya wajah pucat dan ketakutanlah mungkin yang terbit diraut mukaku. Aku takut sayang …. Aku takut menyakitimu, Aku takut dianggap hanya “sang kumbang pengisap madu”, Aku risau dengan ketidakmampuanku mengendalikan diri, … Aku marah dengan ke-bajingan-ku !

“Kok jadi melamun seehh …?” bisikan lirih itu menyentak lamunanku …
Aku tergagap, ternyata Aku masih menatap wajahnya namun dengan pikiran menerawang entah kemana. Wajah manis cinderella itu tersenyum menggoda.
“he he he …. Iya lahh.. abis tadi tanyanya gitu sih.”
“Tentang keperawanan itu ?” dia menukas
“iya… dan Aku sangat menghargai wanita lebih dari segala kepemilikan fisik yang melekat pada dirinya.” Aku memegang tangannya, kudekap di dada : “Karena itu ……”
Aku tak melanjutkan kata-kataku melainkan menghela dirimu, mendekatkan tubuhmu ke tubuhku. Aku peluk erat, seolah ingin menumpahkan seluruh apa yang ada dalam pikiranku, tanpa harus mengucapkannya sepatahpun …. Karena memang Aku tak akan mampu.

Dia membalas pelukanku dengan lebih erat. Dan selalu begitu. Kubelai rambut hitamnya, kucium pelan kening itu, kelekatkan hidung mancungnya ke hidungku, …..
“Aku sangat mencintai, dan menghormati mu ..” Aku berbisik lirih : hanya itu yang bisa kuucapkan ….
“Aku juga sayang… sangat mencintaimu … sangaat …”

Tak terlalu jauh memang jarak antara nafsu dan cinta yang terealisirkan. Hingga hari itu barulah aku mengerti mengapa mereka-mereka yang berdiam di bumi Barat sana kadang salah mengartikan cinta identik dengan sleeping together. Bagi mereka cinta bahkan sangat identik dengan hanya sekadar hubungan badan. Realitas membuktikan bahwa bentuk konkret dari betapa dua jiwa sudah menyatu adalah menyatunya jasmani. Bagaikan falsafah lingga dan yoni dalam peradaban hindu, begitulah terjemahan cinta masa lalu yang sebenarnya jauh lebih tua dari pada peradaban negara Barat itu. Aku jadi ingat bagaimana Inggris ketika berada di bawah pemerintahan ratu Victoria. Khabarnya pada masa itulah seks sangat dihargai sebagai sebuah perilaku wajib dalam hubungan pria dan wanita. Seks adalah puncak hubungan. Pada titik lebih dalam seks bahkan identik dengan rasa cinta. Hingga seberapa dalam rasa cinta pada dirimu akan dibuktikan dengan bagaimana dirimu mampu memuaskan hasrat birahi pasanganmu. Karena begitu dahsyatnya pengaruh seks itu, maka pada zaman itu bentuk tubuh, tampilan fisik, termasuk segala bentuk perhiasan dan aksesoris tubuh menjadi prioritas utama dari seseorang. Entah wanita, entah pria. Bisa ditebak kemudian bahwa pada masa ratu Victoria lah kemudian bentuk perhiasan dan segala macam aksesoris mencapai puncaknya. Semua cuma ditujukan untuk meraih perhatian lawan jenis saja. Lalu mereka tidur bersama. Sesudah itu terserah pada pendirian masing-masing : mau meneruskan hubungan, atau sudah cukup sampai disitu saja. Putus ditengah jalan. Saking hebatnya perjalanan sejarah masa itu, hingga orang kini menimbulkan pameo : saat itu orang menghindari cinta untuk seks, sementara pada saat kemudian orang menghindari seks untuk cinta.


Kaliurang, Januari

Senin, 28 Juni 2010

Tentang ‘Di luar Rata-rata’ Malcolm Gladwell

Satu nasehat sederhana dari Malcolm Gladwell saat menutup bab pengantar buku ‘Outliers’ (2009) dapat kita jadikan renungan hari ini. Kita harus disadarkan bahwa tak akan mampu memahami mengapa seseorang selalu dalam kondisi sehat jika yang mereka pikirkan hanyalah tentang berbagai pilihan dan tindakan pribadi seseorang yang tidak dihubungkan dengan masyarakat sekitarnya, itu kata dia. Ceritanya tentang rahasia kesehatan penduduk imigran Italia di Bangor, Pensylvannia. Cerita kesehatan penduduk di sana menunjukkan bahwa memikirkan masalah kesehatan dari perspektif komunitas nyaris merupakan sesuatu yang terlupakan semua orang di sepanjang sejarah. Penduduk Italia yang berasal dari kota Roseto Valfortore, yang pada tahun 1882 menginjakkan kakinya di Bangor merasakan bahwa kesehatan diri mereka sangat tergantung dari sikap mereka dalam memandang relasi sosial.

Adalah Stewart Wolf, seorang dokter yang telah bertugas lebih dari 17 tahun di New Roseto menemukan bahwa sangat jarang penduduk di Roseto baru yang mengidap penyakit jantung saat mereka berusia di bawah enam puluh lima tahun. Saat itu tahun 1950-an. Penyakit jantung adalah pembunuh utama tanpa obat di Amerika. Ini menarik, bagi Wolf. Dia tertantang untuk mengetahui mengapa fakta itu bisa muncul. Padahal semua orang di AS tak perlu menunggu 65 tahun, usia remaja juga mereka telah terserang penyakit jantung. Mengingat pola konsumsi yang sangat salah dan memprihatinkan di AS. Mulailah penelitian dilakukan. Mereka, para dokter itu berupaya menemukan berbagai alasan mengapa fenomena ‘kuatnya jantung’ para penduduk New Roseto itu bisa muncul dan kuat di wilayah itu saja. Berbagai dimensi penelitian telah dilakukan : sisi fisiologis dengan membandingkan apa yang dikonsumsi masyarakat New Roseto dengan penduduk kota lain di sekitarnya, mengecek kebiasaan istirahat dan gaya hidup masyarakat itu. Secara ekstrim mereka melihat bahwa penduduk kota baru tiruan Italia itu sama sekali tidak menerapkan pola konsumsi dan gaya hidup yang terlalu beda dengan kota-kota lain. Mereka relatif hedon, rata-rata gemuk bahkan obesitas serius, memakan apa saja yang juga bisa dinikmati penduduk kota lain. Lalu apa ? merasa bahwa dimensi kesehatan kurang mampu untuk mengelaborasi dan memahami fenomena tersebut, akhirnya Wolf mengundang pakar-pakar Sosiologi untuk mencoba mengerti penyebab keunikan jantung dan langkanya peristiwa kematian karena penyakit jantung di New Roseto. Dan mereka menemukan jawabannya di jalanan. Bukan di laboratorium.

Saat mereka tengah berjalan-jalan di sore hari menelusuri kota kecil tersebut, mereka baru menemukan sebuah unsur dan tata kehidupan yang membedakan New Roseto dengan kota lainnya. Penduduk saling bertegur sapa dengan wajah yang ringan tanpa beban. Mereka menggunakan bahasa Itali namun dengan dialek Roseto. Tak mau menggunakan bahasa lain (saya baru nyadar bahwa kemampuan untuk melestarikan bahasa asli –indigeneous- merupakan sebuah tameng budaya melawan neoliberalisme saat ini), terlebih bahasa Inggris yang menjadi bahasa resmi di AS. Mereka bisa dan menguasai bahasa Inggris, namun hanya menggunakannya untuk berbisnis. Bukan untuk membina relasi antarkomunitas. Dengan bahasa ibu itulah mereka saling sapa di jalan, di pekarangan, di gereja, dan berbagai fasilitas ruang publik lainnya. Yang muncul bukanlah sebuah narsisisme sosial, melainkan sebuah upaya penghargaan dan apresiasi tingkat tinggi terhadap budaya asal mereka. Ini sejajar dengan penghargaan tanah leluhur mereka yang telah mereka tinggalkan. Kita tidak gampang menemukan hal ini dalam diri orang-orang dari negara berkembang yang karena kepintarannya berhasil meraih beasiswa sekolah ke luar negeri. Lalu kemudian lebih sibuk untuk memperlihatkan kapasitasnya dengan penuh kecongkakan. Berbahasa Inggris di mana-mana. Menggunakan istilah asing dan aneh semata-mata agar lawan bicaranya semakin tak mengerti. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, malu untuk menggunakan bahasa ibu sendiri. Aneh memang. Namun andai saja mereka sudah membaca buku Gladwell tentang kota Roseto, pasti mereka akan memikir ulang tentang kepongahan yang mereka bangun. Baru menyadari jebakan budaya yang dahsyat melalui bahasa. Efek lebih lanjut dari penggunakan bahasa ibu ini sangat menarik. Melalui penggunaan bahasa Ibu mereka tetap merasa sebagai satu keluarga utuh. Tetap menjadi orang Italia. Sesama orang Italia sudah seharusnya membantu secara tulus tetangga dan kerabatnya. Semangat inilah yang membuat mereka bisa saja memasak di pekarangan tetangga, untuk kemudian berbagi dan makan bersama. Tak ada kesusahan yang tidak ditanggung bersama. Semua menjadi satu. Komunalitas yang mampu mendatangkan kebahagiaan. Keceriaan. Dan akhirnya antibodi yang luar biasa untuk resisten terhadap penyakit.

Kembali pada semangat penduduk Roseto. Cerita Gladwell menunjukkan bahwa kesehatan terkadang sama sekali tidak terkait dengan permasalahan fisiologis dan biologis tubuh saja. Ada hal lain yang ternyata menyumbangkan manfaat positif. Keutuhan dan penghargaan atas relasi dan interaksi sesama. Mengejutkan memang bahwa seseorang akan lebih sehat dengan lebih banyak bergaul ! mungkinkah itu ? jangan kaget. Ambil contoh sederhana. Bahwa dengan lebih banyak bergaul, seseorang akan lebih banyak tertawa, lebih banyak mengungkapkan duka hati, lebih banyak menyaring hal-hal yang jelek untuk kemudian melepaskan semua energi jelek. Tentu lebih banyak hal negatif yang bisa dilepaskan (bahasa kerennya sih curhat). Bayangkan saja seseorang yang selalu lebih banyak berdiam diri di rumah. Lebih banyak menekuri kesalahan lalu menyesali apa yang sudah dilakukan. Terlalu sering sibuk dengan pikirannya sendiri. Niscaya energi negatif akan terkungkung dalam dirinya. Tidak pernah ada saran dan pendapat dari orang di luar diri. Ini menjadi sangat merugikan bagi sosok bersangkutan. Intinya relasi sosial yang sehat telah membuat kebanyakan penduduk Roseto terhindar dari resiko menderita penyakit jantung. Tepat di saat penyakit itu menjadi momok bukan saja warga Pensylvannia, melainkan masyarakat Amerika pada umumnya.

Fakta yang diintrodusir Gladwell di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa mungkin sekali segala sakit, segala tidak enaknya diri, segala keluhan atas penderitaan sebenarnya merupakan sebuah problem psikologis. Tidak melulu terkait dengan kondisi badan secara parsial. Selalu ada ‘sesuatu’ di luar pakem. Dan inilah yang harus selalu digali. Diteliti. Dan dikembangkan. Celakanya studi-studi di dunia kesehatan, terutama kedokteran, terlalu asyik dengan prinsip-prinsip SOP (standart operational procedure) penanganan tubuh si pasien, bukan kondisi psikologis mereka. Terlalu asyik dengan berapa kadar obat yang harus ditelan. Lupa untuk menghibur dan memberikan harapan sembuh lebih besar saat minum obat tersebut. Akhirnya melihat tubuh sebagai semata-mata tubuh. Tanpa jiwa dan rasa. Fakta bahwa kebanyakan orang sakit bisa diobati dengan terapi dan konsultasi, tanpa harus memberi mereka obat dalam arti fisik, tentu menjadi sebuah energi yang layak diperhatikan dunia kesehatan. Tetap seperti apa yang dikatakan Gladwell, selalu ada yang lain di luar pakem ... selalu ada ‘yang lain’ di luar kebiasaan... tergantung sekarang ... kita mau percaya atau tidak. Menurut Anda ?


Gorontalo, Juni 2010

Rabu, 16 Juni 2010

Grass Rock dan ‘Hidup’ di Masa Lalu

Mencoba untuk ‘mengingat’ kembali kenangan masa lalu terkadang menciptakan alur energi yang menyejukkan hati. Nama keren-nya sih bernostalgia. Bagi kebanyakan orang, kata bernostalgia mungkin berkonotasi negatif. Kata mereka, itu sama saja dengan tidak mau melihat ke depan. Kata mereka, itu sama saja dengan hidup di masa lalu, takut untuk melihat hari esok. Tak siap dengan kemajuan. Dan seabrek konotasi negatif lainnya. Namun bagi saya pribadi, persetanlah semua kata orang itu. Tetap saja menghirup sejenak kenangan masa lalu menghasilkan energi mistis. Kadang membuat ketawa setengah meringis. Ingat segala kekonyolan dan cinta monyet. Terkadang memancing tangis. Ingat segala kealpaan dan kesalahan tragis.

Malam ini kenangan itu mengalir seiring dengan alunan lagu ‘Gadis Tersesat’ milik group band fenomenal 90-an : Grass Rock. Terlepas dari segala kehebatan pentolan personil awal group yang terbentuk Mei 1984 ini, ada dua personil yang tidak pernah saya lupakan sampai saat ini. Dua orang itu adalah Edi Kemput (gitar) dan Dayan- Alm- (vokalis). Dua sosok ini sempat membuat saya bermimpi menjadi seorang rocker. Maklumlah, saat itu saya masih berada di kelas dua SMU di Kalimantan sana. Edi Kemput, dengan gaya santainya mampu menghipnotis dengan raungan dan kecepatan jari di setiap kord gitarnya (kalo tidak salah ketika itu doi memiliki gitar berwarna hijau... hmm nampak jantan). Sementara Dayan, menurut saya memiliki karakter vokal yang sangat sulit ditiru oleh para vokalis rocker saat ini. Doi punya suara tinggi dengan tingkat ketebalan (alias serak) yang menggoda. Sangat khas. Ingat saat itu, bersama band rock di SMU, kami harus latihan rata-rata 6 jam sehari hanya untuk mengusung dua lagu mereka : Bulan Sabit, dan Gadis Tersesat. Meskipun rada kedodoran di sana-sini (tentu saja, lha wong perangkat gitar berikut aksesoris yang saya miliki saat itu sangat sederhana, karena tak mampu beli yang berkelas), kami cukup puas karena mampu membawakan dua lagu itu dengan gaya yang dimirip-miripkan Grass Rock. Ini hanya sebagian kecil dari kenangan akan group ini. Saya akan menceritakan satu kenangan tak terlupakan lainnya terkait dengan syair lagu mereka. Lagu yang sangat membekas. Judulnya ya ... Gadis Tersesat tadi. Di bawah ini beberapa bait liriknya yang saya tetap ingat :

Gadis manis terlena
Impian kotor juga, datang kawan baginya,
Badai topan seakan melanda,
Kawan datang membawa bencana

Ramai di sekitarmu
Bingung dan juga pusing
Ada apa disitu, gadis manis terlena
Dalam genggaman arjuna bertaring Drakula

Terang sangat terang
Matamu memandang
Kenyataan itu .. ternyata
Menusuk pinggang ...

Lirik yang sangat dalam menurut saya. Kenangan akan lirik tersebut bermula dari ritual teman-teman satu kelas A3 (dulu khan gak ada istilah IPA dan IPS). Saat itu saya masih kelas 2 SMU di Sukamara, sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah. Tepatnya tahun 1992. Setiap kenaikan kelas biasanya teman-teman cowok selalu melakukan semacam ritual melakukan hal-hal yang unik dan menantang. Dan pada tahun itu, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang dengan berjalan kaki ke sebuah pantai. Namanya Lunci. Jarak tempuh berjalan kira-kira 12 Jam dari pusat kota. Waktu itu ada sekitar 20 anak yang menyatakan bersedia untuk berpetualang. Saya menjadi inisiator, dan kemudian rumah saya menjadi tempat penampungan teman-teman menginap satu malam sebelum kita berangkat esok paginya. Lalu apa hubungan lagu Gadis Tersesat itu dengan petualangan itu tadi ? sabar sobat ... saya baru akan menceritakannya.

Setelah semua persiapan dipastikan oke, sekitar jam 5 subuh, 20 orang anak SMU itu tadi memulai langkah pertama mereka untuk berjalan sejauh 12 jam. Diperhitungkan apabila kami memulai jalan jam 5 subuh, maka paling tidak jam 5 sore kami akan sampai di Lunci. Saat itu musim hujan. Kami sama sekali tidak mengetahui akan segala bahaya yang bakal kami temui di jalan nanti. Padahal sebelum mencapai bibir pantai, kami harus mengarungi padang pasir seluas 20 KM tanpa perlindungan pohon atau sejenisnya. Apabila hujan tiba, maka padang itu akan berubah menjadi danau. Ular dan makhluk melata akan berpesta pora. Mungkin kaki-kaki kami akan menjadi sasaran empuk taring mereka. Belum lagi sambaran petir karena kami berada di tanah lapang. Ngeri juga kalau diingat-ingat. Namun semua itu luput dari perhatian kami. Entah karena kami bermental baja (hallaaah !), atau semata-mata karena tidak tahu saja (ini alasan sesunguhnya he he he ). Jadilah kami berjalan saja tanpa memikir banyak resiko di perjalanan. Yang pasti saya ingat perjalanan itu sangat diridhoi Tuhan he he he .. tentu saja, hujan tidak turun, cuaca mendung, sehingga kami tidak kepanasan. Tak ada ular. Tak ada petir. Seingat saya, ada dua kali kami harus berhenti dan beristirahat. Sepanjang perjalanan itu, ada satu hal yang tidak pernah saya lupakan hingga hari ini. Ada semangat yang tidak pernah mati untuk terus berjalan dan menikmati setiap meter pamandangan tanah lapang. Energi terus menyala, karena diiringi oleh sebuah lagu yang terus menerus diulang dan diputar melalui tape recorder bermerek Tens yang dibawa oleh Heru, teman akrab saya. Lagu yang terus diputar itu adalah lagu dari group band Grass Rock. Judulnya yaa ... Gadis Tersesat itu tadi ... usut punya usut ... ternyata hanya itu satu-satunya kaset yang dibawa oleh Heru. Albumnya Bulan Sabit. Usut punya usut, Heru ternyata tidak membawa baterai cadangan sebagai energi tape recorder merek Tens nya. Jadi selama 10 jam tape recorder itu terus berbunyi. Sesampai di pantai bisa Anda bayangkan, tape itu tidak mampu lagi mengeluarkan bunyi apa-apa. Baterainya terkuras habis he he he . Namun album Bulan Sabit itu sangat membekas. Di dalamnya ada lagu-lagu hits group band asal Surabaya ini. Gadis Tersesat adalah lagu favorit saya sejak hari itu hingga hari ini. Setiap kali mendengar lirik lagu itu, terbayang wajah almarhum Dayan. Menurut cerita, Dayan sangat puitis setiap kali menulis lirik. Ada kekuatan dalam setiap liriknya. Ambil contoh pesan moral yang tegas disampaikan Gadis Tersesat. Saya mau bercerita sedikit.

Lagu ini bercerita tentang betapa tragisnya dunia yang dialami seorang gadis polos. Segala khayalan keindahan dan ketentraman di kepala sang gadis berbanding terbalik dengan realitas yang ditemuinya. Ada lingkungan pertemanan yang tidak pernah beres (kawan datang membawa bencana). Ada hubungan asmara yang tidak pernah jujur (Arjuna bertaring Drakula). Serta sakitnya kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan (kenyataan menusuk pinggang). Dari ketajaman lirik itu, nampak Dayan berusaha memotret fenomena sosial kehancuran moral di kalangan kaum hawa. Bolehlah dibaca bahwa Dayan tengah mencoba bersimpati dengan para gadis yang selalu menjadi korban atas kotornya dunia. Saya sama sekali tidak ragu akan kemampuan eksplorasi Dayan dalam mencipta lirik. Wajar kalau selepas meninggalnya sang vokalis ini, Grass Rock bagai perahu patah kemudi. Group ini vakum. Hingga hari ini. Bukan Cuma lengkingan suaranya yang sangat berkarakter semata, Dayan menjadi roh group itu dalam menelurkan lirik-lirik bernas. Grass Rock betul-betul kehilangan.

Malam ini kenangan akan kedahsyatan group ini memaksa saya untuk browsing mengarungi dunia maya dengan seabreg kata kunci seperti “dayan”, “grass rock”, “Yudhy bassis Grass Rock”, pokoknya membaca kembali puluhan artikel tentang group ini mampu memanggil kembali memori saya atas kehebatan mereka. Sebuah kehebatan yang mempu memantik energi untuk berjalan selama 12 jam. Bagi saya, group ini boleh saja bubar, tapi beberapa lagunya membuat saya kembali menemukan bahwa tidak selamanya impian dan harapan kita akan disambut positif oleh kenyataan. Itulah logika sederhana dunia. Jadi seperti nada optimis diujung lagu Gadis Tersesat ...

Coba engkau dengarkan
Para ahli berkicau
Beri nasehat jitu,
Agar jalanmu tetap terang .....

Kembali ada nada optimis untuk terus bersenggama dengan dunia. Sekalipun dunia berkali-kali mengkhianati kita ... ahh ... Grass Rock memang telah membongkar kembali memori saya. Malam ini saya telah bernostalgia. Sekalipun orang-orang mengatakan bahwa bernostalgia merupakan sebuah pertanda ketidakmampuan kita melihat masa depan.. atau ketakutan akan masa depan... saya tidak lagi terlalu peduli .... entahlah Anda ......


Juni 2010

Kamis, 20 Mei 2010

Publik, Modal Sosial & Pemberdayaan Masyarakat


“Orang-orang ... kodratnya bebas, sama sederajat, dan mandiri.
Tidak ada orang yang dapat dilepaskan dari keadaan ini
dan ditundukkan kepada kekuasaan politis orang lain
tanpa kesepakatannya sendiri”
-John Locke-1924


Proses memberdayakan masyarakat secara nyata memang tidak segampang paparan teoretiknya. Begitu banyak pendekatan yang secara fungsional menyajikan sebuah langkah strategis memberdayakan masyarakat, pada gilirannya hanya menjadi sebuah konsep mati di atas kertas yang dibuang setelah dilipat-lipat. Dia sama sekali tidak bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Mewujudkan prosesnya pun sulit bukan kepalang, apalagi mengaplikasikannya di lapangan. Lalu bagaimana kita bisa melihat hasil untuk sebuah konsep yang tidak bisa diterapkan ? Kenyataannya hingga hari ini, konsep pemberdayaan masyarakat bagaikan jauh panggang dari api. Judul makalah ini sesungguhnya berupaya memberikan kerangka berpikir untuk menelaah masalah tadi. Kaitannya dengan masalah pemberdayaan masyarakat menurut saya adalah terlupakannya masyarakat sebagai unsur yang diberdayakan itu sendiri. Program-program yang dijalankan tanpa mengetahui siapa yang diberdayakan nyaris menjadi sebuah pengingkaran menyedihkan. Untuk itulah makalah ini akan mengupayakan sebuah strategi memberdayakan masyarakat melalui pengenalan maksimal terhadap satu konsep utama yang paling sering terlupakan saat membahasnya.

Untuk mencoba melihat lalu kemudian menawarkan bagaimana seharusnya masyarakat diberdayakan, maka konsep utama yang ditawarkan dalam makalah ini adalah publik. Selama ini pemerintah sebagai wujud nyata dari tiga pilar politik utama negeri ini selalu melihat masyarakat sebagai kumpulan orang-orang dengan satu kepentingan bersama. Diasumsikan bahwa itu akan mengikat mereka selamanya. Padahal dalam kondisi tertentu, melihat masyarakat sebagai rakyat yang berhadapan dengan negara dan memiliki kepentingan untuk selalu diperhatikan dan diurus oleh negara akan membawa kita pada bias pemikiran. Untuk mengurai hal tersebut, makalah ini akan berangkat untuk memahami konsep publik, lalu kemudian secara sirkuler akan menempatkan publik ini sebagai energi membahas konsep model sosial (social capital). Dinamika kedua konsep itulah yang akan mengerangka sasaran penyajian makalah ini, pemberdayaan masyarakat.


Publik : Orang Sama, Kepentingan Berbeda !


Membicarakan publik berarti membicarakan pilihan ketertarikan dan kepentingan masyarakat secara spesifik. Artinya ada unsur yang mempersatukan setiap orang hingga membentuk sebuah kelompok dengan kepentingan khusus. Pada titik ini sangat tidak mungkin melihat konsep publik dalam makna tunggal. Di dalamnya terdapat beragam unsur yang heterogen. Seperti yang dikatakan Cutlip (2000:265) bahwa ragam indikator yang membentuk mozaik publik seperti etnik, ras, agama, geografi, politik, pekerjaan, sosial, dan kelompok kepentingan khusus yang semuanya berbeda-beda justru akan tercakup untuk memperkecil pamahaman konsep publik secara umum. Pembicaraan tentang publik tidak bisa dilakukan apabila gagasan yang muncul adalah ‘publik umum’.

Publik merupakan satu satuan sosial aktif yang terdiri dari pihak-pihak yang terpengaruh, yang mengenali masalah bersama dan karena itu mereka berupaya mencari solusi bersama. Pada titik itulah publik terbentuk karena pengenalan akan konsekuensi buruk yang ditimbulkan oleh suatu kepentingan umum. Apa yang mampu membentuk dan menciptakan publik ? tidak lain dan tak bukan adalah adanya komunikasi satu sama lain. Komunikasi merupakan esensi untuk membentuk publik lalu memeliharanya untuk tetap terikat erat. Tanpa kemunikasi maka publik akan tetap seperti bayang-bayang dan tak berbentuk, semrawut mencari dirinya sendiri, dan tetap terperangkap dalam bayangan itu daripada menyadari hakekat keterbentukannya. Menyadari bahwa setiap orang pasti memiliki kepentingan, maka tidak bisa terelakkan keterbentukan publik. Esensi utama keberadaan publik adalah bersatunya individu-individu karena kepentingan yang sama. Hal ini terkadang mampu melampaui batasan geografis. Sebagai contoh, usaha untuk melawan Satpol PP muncul dalam wujud kritik dari kelompok yang sama-sama antipati setelah kejadian dan konflik di Tanjung Priok pada bulan April 2010. Pada awalnya orang-orang ini terpisah-pisah menurut geografis, terpisah menurut kondisi ekonomi mereka, terpisah menurut kondisi sosial politik mereka. Namun setelah kejadian konflik di Priok itu, mereka tersatukan oleh satu semangat bersama : ketidaksukaan dan antipati terhadap satpol PP. Ketidaksukaan ini kemudian bisa jadi berbuah menjadi demonstrasi atau gerakan protes sosial lainnya. Inilah perubahan dari sebuah publik laten menjadi publik aktif.

Menurut Grunig (dalam Cutlip et,al : 2000: 268) terdapat tiga faktor yang menggerakan publik untuk berubah dari status latent menjadi berstatus aktif. Ketiga faktor itu adalah :
1.Pengenalan masalah menggambarkan taraf ketika orang sadar bahwa ada sesuatu yang hilang atau keliru dalam sebuah situasi, dan dengan demikian tahu bahwa mereka membutuhkan informasi.
2.Pengenalan akan hambatan menggambarkan taraf ketika orang melihat diri mereka dibatasi oleh faktor eksternal versus melihat bahwa mereka dapat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan situasi itu. Jika orang berpendapat bahwa mereka dapat melakukan perubahan atau memberi efek pada situasi masalah itu, mereka akan mencari informasi untuk membuat rencana bertindak.
3.Tingkat keterlibatan menggambarkan taraf ketika orang melihat diri mereka terlibat dan dipengaruhi oleh sebuah situasi. Dengan kata lain, semakin mereka melihat diri mereka terhubungkan dengan suatu situasi, semakin mungkin mereka mengomunikasikannya.

Apa yang dikatakan Grunig di atas menunjukkan bahwa publik tidak akan bisa dipisahkan dari dinamika opini atau pendapat. Dalam berbagai buku teks dan referensi kedua istilah ini (publik dan opini) selalu disebutkan secara bersamaan (inheren) satu sama lain, opini publik. Terjemahan umumnya adalah pendapat umum. Proses dinamisasi pendapat umum ini melekat erat dengan keberadaan ruang publik dalam beropini. Ini menjadi sebuah gejala bagi tumbuh kembangnya demokratisasi dalam sebuah negara. Bergulirnya opini pribadi menjadi sebuah opini publik nampaknya sangat sederhana. Sesederhana ide Jurgen Habermas sebagai sosok yang serius mengulas hal ini.

Habermas menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik hasil proses debat di dalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional. Ia juga menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan didalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipan haruslah dilampaui, yakni warga negara, yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik didalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual (Habermas, 2007). Virtualitas kehadiran partisipan tersebut bukanlah tanpa kritik. Habermas sendiri melihat kemunduran akibat rekayasa media atas subyek partisipan, dan kemudian menjatuhkan semua tanggungjawab pada para wartawan, yang kerap kali memanipulasi data untuk mendapatkan berita yang lebih sensional, dan lebih menjual. Apa yang ditulis secara gamblang oleh David S. Broder (1994) menunjukkan betapa stimulan public sphere yang diberikan wartawan hadir dalam kondisi yang jauh dari otentisitas realita.

Kondisi semacam itu tidak akan pernah dapat menciptakan suatu bentuk opini publik yang otentik, yang sungguh-sungguh mengena ke inti permasalahan, dan kemudian mencari solusi dari inti permasalah tersebut. Opini publik yang otentik hanya dapat terbentuk, jika partisipan rasional ikut serta didalam debat politik rasional, yang menyangkut kepentingan bersama diantara pihak-pihak yang berbeda secara rasional. Pada titik inilah sesungguhnya kita harus meyakini bahwa spirit demokratis merupakan sebab atas keterciptaan ruang publik, dan bukan menjadi akibat dari sebuah ruang publik. Menceritakan sebuah ruang publik tanpa energi dan spirit demokrasi merupakan sebuah langkah yang utopis. Seperti yang diintrodusir oleh Wilhelm (2003) bahwa semangat kesetaraan (baik dalam tataran kesempatan dan akses atas teknologi informasi) membuat seseorang bisa larut atau termarjinalkan dalam sebuah dinamika ruang publik. Secara lugas bahkan Hebermas menekankan, “proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya, adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya, proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai di dalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang di dalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik.” (Habermas, 2007)

Pada awal abad ke-19, opini publik yang terbentuk dari debat rasional kritis menjadi proses resmi di dalam parlemen-parlemen di Jerman dan Inggris. Berbagai pidato politik dibacakan didepan parlemen, seperti yang juga dilakukan sekarang, dengan pertimbangan rasional atas kepentingan publik sebagai keseluruhan, sehingga pengaruhnya semakin besar didalam kehidupan masyarakat untuk mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan sosial (Habermas, 2007). Didalam upayanya untuk membentuk opini publik yang otentik, media tampak belum maksimal menjalankan fungsinya, terutama karena media tidak memberikan ruang yang cukup untuk proses debat rasional, dan proses diskursif didalam pembentukan opini, dan yang lebih penting lagi didalam proses pembentukan kehendak politik. Proses komunikasi di dalam ruang publik berarti proses pembentukan opini publik yang otentik, yang dimatangkan di dalam proses debat kritis itu sendiri.

Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik. Pertama, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi. Kedua, opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali. Yang pertama mensyaratkan energi demokratisasi di dalamnya, sementara yang kedua lebih melihat opini publik sebagai sebuah upaya rekayasa dan kemampuan mengorganisir pesan sedemikian rupa, lepas dari esensi moral dan manfaat bersama.

Dari apa yang dipaparkan Habermas peling tidak kita mencoba menyadari bahwa ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar di dalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti, membenarkan ketidakadilan tertentu. Lalu bagaimana memaksimalkan ruang publik, kepentingan bersama sebagai energi keterbentukan publik itu menjadi energi pemberdayaan masyarakat ? jawaban yang coba disodorkan adalah pemaksimalan modal sosial (social capital).


Modal Sosial : sebuah Kearifan Lokal ?

Sebuah pameo terang-terangan mengatakan begini, “yang penting bukanlah apa yang kamu ketahui, namun siapa yang kamu kenal !”. Kalimat ini mengindikasikan betapa pentingnya relasi dan hubungan sebagai prinsip hidup. Hubungan itulah yang menjadi konsep utama dalam membicarakan modal sosial (social capital). Beragam definisi dan pengertian modal sosial terkadang justru membingungkan daripada memberi penjelasan. Lebih mudah menceritakan contohnya daripada menghapalkan definisinya. Pernah melihat bagaimana mekanisme arisan dijalankan ? prinsipnya sederhana, setiap orang diminta untuk mengumpulkan dana mereka dengan besaran tertentu. Lalu dimulai ritual pencabutan nama dengan periode tertentu. Hasil dana yang terkumpul akan diberikan pada nama yang bisa terpilih dan dianggap menang dalam satu periode itu. Dia mendapatkan seluruh dana yang dikumpulkan. Begitulah terus diulang-ulang hingga seluruh anggota mendapatkan bagiannya masing-masing. Prosesnya lama. Semua orang sabar menunggu. Yang menarik adalah saat kita mempertanyakan motif seseorang yang dengan ikhlas ikut di dalam kelompok arisan itu. Bisa saja orang mengikuti arisan karena ia memiliki tujuan tertentu, didasarkan pada kepentingan pribadi, dan tidak dipaksa oleh siapa pun (independen). Pertanyaannya, bagaimana bisa ia memercayakan uangnya (dalam bentuk iuran per periode) pada suatu kelompok tanpa jaminan apa pun ? Bagaimana bila sebelum ia mendapatkan kembali uangnya, semua anggota yang telah lebih dulu mendapatkan tidak mau melanjutkan iurannya atau bahkan melarikan diri? Mengapa ia tidak menabungkan saja iurannya tersebut di bank yang lebih aman dan bahkan mendapatkan bunga? Faktor apa yang membuat para peserta arisan mengabaikan semua pertanyaan tersebut ? Keyakinan bahwa tidak ada satu orangpun yang akan menipu dan berbohong dengan tidak lagi menyetorkan dananya itulah yang disebut dengan modal sosial. Ada energi luar biasa untuk mempercayai orang lain. Mau mengerti orang lain. Semua memiliki kesamaan minat dan kepentingan yang bisa menawar segala prasangka buruk karena kemungkinan tertipu. Motifnya tentu tidak lagi hanya semata-mata ekonomi, mendapatkan dana dan uang arisan. Ada kekuatan lain yang menggerakkan mereka menjadi anggota arisan.

Kekuatan itulah yang disebut dengan modal sosial. Banyak dimensi yang digunakan kalangan ahli untuk menjelaskan modal sosial ini. Ambil contoh seperti Christian Grootaert & Bastelaer (2002) yang mendefinisikan modal sosial sebagai “ Institutions, relationship, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”. Sementara itu, sosok terkenal karena konsep modal sosialnya, Robert Putnam meyakini bahwa modal sosial memiliki tiga bentuk utama, yakni kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (networks). Konsep dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial berarti kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat (benefits) melalui nilai-nilai luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam konteks inilah Grootaert menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal.

Bagi Grootaert (2001), berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran dalam tiga cara. Pertama, berbagi informasi diantara para anggota perkumpulan; kedua, mengurangi berbagai perilaku oportunistik, dan ketiga, memfasilitasi pengambilan keputusan kolektif. Dalam upayanya menceritakan tentang keberhasilan konglomerat-konglomerat di Asia, Joe Studwell (2007) secara implisit mengurai tentang betapa potensialnya kekuatan modal sosial tersebut. Pada titik lain, Francis Fukuyama (2002) telah menceritakan kuatnya modal sosial burujud kepercayaan (trust) menjadi sebuah fenomena budaya yang bermakna dilematis dalam berbagai budaya.
Sekalipun modal sosial memungkinkan orang atau sekelompok orang (masyarakat) memperoleh sesuatu yang bermanfaat dan produktif, modal sosial sekaligus juga memiliki potensi menyebabkan eksternalitas negatif. Aldridge (2002), misalnya, sebagaimana dimuat dalam ‘Social Capital’ mengemukakan bahwa modal sosial mendorong perilaku yang memperburuk dan bukannya memperbaiki kinerja ekonomi; berlaku sebagai hambatan bagi inklusi sosial dan mobilitas sosial; membuat masyarakat terbagi-bagi dan bukannya menyatu; bisa memfasilitasi tindakan kriminal, dan bukan menguranginya sama sekali.

Modal Sosial & Pemberdayaan Masyarakat : Tawaran Simpulan

Membayangkan bahwa masyarakat akan memiliki sumber daya sendiri untuk melakukan gerakan pembangunan, tidak akan bisa dijalankan tanpa memiliki pemahaman kuat akan apa saja energi yang berada di masyarakat itu sendiri. Masyarakat sebagai publik akan bisa diinterpretasi sesuai dengan basis kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Pemetaan atas kepentingan ini membawa pemerintah untuk melihat masyarakat sebagai publik tertentu dengan kepentingan tertentu pula. Pada titik inilah melihat masyarakat sebagai sejumlah opini (entah latent maupun aktif) dan bukan melihatnya sebagai sebuah kumpulan fisik individu akan memberikan alat analisis lebih menarik. Pada titik awal, mencermati berbagai opini yang berkambang dalam publik-publik yang telah terbentuk akan membuat kita bisa mengolah dan melihat itu sebagai kekuatan sosial yang harus dicermati. Pada titik selanjutnya, kekuatan sosial itu harus diarahkan agar mampu membentuknya menjadi kekuatan modal sosial (social capital) sebagai implementasi bekerjanya masyarakat secara mandiri. Pada titik inilah kemudian modal sosial menjadi pemantik agar pemerintah tidak lagi menganggap dirinya sebagai pihak yang melulu aktif.

Sudah saatnya kekuatan itu dipindahkan ke pihak masyarakat. Energi positif yang ada pada masyarakat sebenarnya melebihi segala bentuk insentif dan sokongan pendanaan dari pemerintah dalam wujud proyek. Pemerintah selanjutnya akan memosisikan diri sebagai fasilitator, dengan meminimalisir keterlibatan dan campur tangan. Posisi sebagai pendamping ini akan membuat pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di masyarakat. Apabila prinsip ini dipadukan dengan pengenalan mendalam atas opini publik dan kekuatan modal sosial, maka pemerintah akan menjadi pihak yang paling diuntungkan atas nama kestabilan untuk kemajuan masyarakatnya sendiri.
Mungkin dengan diskusi kita akan lebih mampu mengembangkan gagasan ini ....



REFERENSI

Calhoun, Craig (Ed). 1993. Habermas and the Public Sphere, New York : Massachusetts Institute of Technology.

Cutlip, Scott M. Allen H. Center, Glen M. Broom, Effective Public Relations, Eighth Edition, Prentice Hall International, Inc., 2000.


Grootaert, C. (2001, Juni). Does Social Capital Help The Poor? Working Papers (The World Bank) .

Habermas, Jurgen, 1970. Toward a Rational Society : Student Protest, Science, and Politics, New York : Beacon Press.

_______________, 2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Penerjemah Yudi Santoso, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

_______________, 2007. Teori Tindakan Komunikatif II : Kritik atas Rasio Fungsionalis, Penerjemah Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Juliawan, B. Hari., 2004. Ruang Publik Habermas : Solidaritas tanpa Intimitas, tulisan dalam Majalah Basis No. 11 – 12, Tahun Ke- 53, November – Desember 2004.

Noer, Deliar, 2000. Pemikiran Politik di Negeri Barat (Edisi Revisi), Bandung : Penerbit Mizan.

Rousseau, Jean Jacques, 2007. Du Contract Social ( Perjanjian Sosial), Penerjemah Vincent Bero, Jakarta : Transmedia Pustaka.

Ruben, Brent D., & Lea P. Stewart, 1998. Communication and Human Behavior, Fourth Edition, London : Allyn & Bacon,.

Sabato, Larry J, 1981. The Rise of Political Consultant : New Ways of Winning Elections, New York : Basic Books, Inc., Publisher.

Senin, 19 April 2010

The End of Science : Kecemasan Sosok Horgan !

Membaca ulang buku John Horgan : “The end of Science : Senjakala Ilmu Pengetahuan” (2005), membuat saya terus berpikir ulang pula tentang apa sesungguhnya yang dicari manusia dengan terus belajar dan menemukan sesuatu ? Bukankah apabila segala sesuatu telah ditemukan, maka tidak ada lagi misteri yang harus dipecahkan ? dan apabila tidak ada lagi misteri yang harus dipecahkan, maka hidup menjadi tidak menarik lagi ! Beberapa isu utama inilah yang mengilhami sang wartawan (saat itu) American Scientific ini untuk menulis dengan nada provokatif tentang “keberakhiran” ilmu pengetahuan.

Dalam pengantar buku (edisi Indonesia) tersebut, Yasraf A. Piliang menguraikan perspektif keakhiran (the end) yang menjadi ide sentral Horgan. Yasraf menyebutnya dengan konsep kematian. Problema semantik dari konsep kematian menjadi awal elaborasi Yasraf atas karya Horgan. Yasraf menyimpulkan bahwa Horgan minimal telah menggunakan tiga makna “kematian ilmu Pengaetahuan”, yaitu kematian sebagai sesuatu yang melampaui batas untuk menuju titik ekstrem, peleburan dan pencampuradukan (trans), dan kondisi tidak ada lagi objek (ilmu pengetahuan) itu sendiri (hal. xvi). Beberapa nama besar dikutip oleh Yasraf untuk mendukung kategorisasi dan klasifikasi kematian tersebut : Francis Fukuyama, Baudrillard, John Leslie, Victor Burgin, Heidegger, dan Foucault. Masing-masing nama sebenarnya sangat kental dengan ide kematian dalam area mereka masing-masing. Dengan menggunakan nama-nama tersebut, Yasraf ingin menegaskan bahwa ide besar tentang kematian bukanlah murni diprovokasi oleh Horgan, melainkan sudah jauh muncul sejak kegelisahan Baudrillard, Foucault, dan Fukuyama diungkapkan dengan lantang melalui buku-buku cerdas mereka. Bahkan sosok seperti Baudrillard dengan konsep hiperrealitasnya menyatakan bahwa dunia nyata kita telah benar-benar “musnah” dari kerangka berpikir kita.

Manusia telah dimanjakan secara massif oleh dunia-dunia “bayangan” yang lebih dipercaya dengan kenyataan riil hidup sehari-hari mereka. Foucault menjadi pendendang matinya peradaban dengan membongkar habis unsur kepentingan dari pihak-pihak pemegang otoritas untuk memaksakan kehendaknya melalui penindasan. Penindasan yang dibenarkan melalui hegemoni ilmu pengetahuan. Sementara itu sosok Fukuyama menyentak dunia dengan hal ihlal tentang kemenangan demokrasi liberal kapitalisme atas sosialisme. Ketiga orang ini pada dasarnya bermaksud memberitahukan berakhirnya sebuah kekuasaan, berakhirnya sebuah otoritas mutlak atas segala sesuatu. Pandangan umum telah mereka balikkan, mainstream telah mereka porak porandakan. Cerita pembongkaran mainstream dengan kekuatan ilmu pengetahuan ini menjadi cerita memilukan dalam sejarah peradaban. Persis ketika kematian ilmu pengetahuan dibekukan oleh dogma kepercayaan. Dan Brown melalui novel spektakulernya “Demon & Angel” (2005) telah menceritakan itu dengan nada keprihatinan mendalam. Dialog antara Langdon, sosok peneliti dan ahli bahasa dengan Kohler, kurator kaya yang pintar pada bagian tengah konflik buku itu telah menunjukkan keberanian Brown untuk membongkar fakta sejarah.

Tesis Dan Brown sangat lugas. Agama tak pernah sepakat dengan sains. Keduanya akan terus berhadap-hadapan. Tokoh-tokoh nyata semacam Socrates, Galileo, Copernicus, Stephen Hawkin, hingga tokoh-tokoh fiksi semacam Kohler dan Langdon terus menandai ‘pembangkangan’ ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Mereka selalu melihat Agama menjadi institusi pengurung ‘kebebasan’ ekspresi ilmu pengetahuan yang terkadang butuh semacam keliaran tersendiri. Mungkin ini alasan mengapa kemudian sosok-sosok yang menghasilkan pemikiran besar pada zamannya, nyaris semua adalah sosok atheis. Mereka menafikan keberadaan Tuhan. Imbas dari spirit ini adalah mereka tidak lagi terlalu peduli dengan lembaga agama yang menyokong keberadaan Tuhan.

Meskipun banyak karya-karya yang mencoba mensintesakan keberadaan Tuhan dan kemampuan akal manusia untuk ‘merenungkan’ dan ‘mempelajari’ seluruh ciptaan-Nya (Yahya, 2001 ; Zaleski,1999 ; Jammer, 2004), namun tetap saja ketidaksepakatan dan sinisme hadir terus mewarnai relasi antara keduanya. Seperti perumpamaan Donni Gahral Adian bahwa ‘kenakalan’ sains hadir terus menerus untuk membuat risau agama yang ‘keras kepala’. Perdebatan yang tak pernah berakhir antara pembela nalar yang tak kenal lelah, dengan pembela iman yang keras kepala (Adian dalam Piliang, 2004). Apakah keimanan dalam teologi dan keagamaan selalu berhadap-hadapan dengan nalar dan ilmu pengetahuan untuk kemudian membunuh salah satunya ? jawabannya mungkin tidak mensyaratkan posisi berhadap-hadapan antara keduanya. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing bidang ternyata menemukan ‘kematian’ melalui perenungan dan ketidakpuasan dirinya sendiri. Sosok Horgan maju dengan tesis kematian tersebut.

Menyinggung tentang bagaimana relasi antara agama dan sains, Louis Leahy (2006) menegaskan bahwa hubungan keduanya sering dikembangkan mulai dari beberapa masalah etik. Dalam fisika, misalnya, hubungan ini dikembangkan dari pengembangan energi nuklir, sedangkan dalam biologi dari tindakan manipulasi genetika. Melalui pemahaman ini, Leahy membentangkan bagaimana relasi keduanya dalam mencari makna. Makna kehidupan ini. Menurutnya, pada titik inilah hubungan keduanya diarahkan dan berakhir pada pertanyaan tentang Allah (the problem of God). Apakah dengan demikian bermakna agama lebih tinggi posisinya dari sains ? tak ada jawaban eksplisit dari Leahy. Malah pada bab akhir bukunya. Dia berupaya menyandingkan keduanya untuk saling mensyukuri satu sama lain.

Senjakala : Keberakhiran Yang Diimpikan

Konklusi yang dihadirkan Horgan cukup menyentak. Menurutnya ilmu pengetahuan bukan dikalahkan oleh narasi besar keimanan dan keagamaan. Ternyata ilmu pengetahuan telah tewas oleh kerakusan dan kehebatan dirinya sendiri. Ibarat lagenda dewa Narsiscus yang mati hanya karena terpesona dan pengaguman berlebihan atas diri sendiri, ilmu pengetahuan telah jumawa dan lelah dengan dirinya. Kematian nalar dan ilmu telah semakin dekat. Tak ada lagi tantangan ilmu pengetahuan. Horgan menggunakan term senjakala untuk menyebut telah berakhirnya ilmu pengetahuan. Ada delapan wilayah pengetahuan yang diceritakan Horgan telah mengalami senjakala, berbekal investigasi dia dengan sosok pendekar ilmu pengetahuan yang masih hidup. Wawancaranya yang sangat kritis dengan Karl Popper, Sheldon Glashow, Stephen Hawking, Edward Wilson, Noam Chomsky, Christoper Langton, Clifford Geertz, dan banyak lagi ilmuwan lain (rata-rata pemenang nobel Fisika) membuat buku tersebut sampai pada sebuah kesimpulan : tidak ada lagi revolusi dalam ilmu pengetahuan. Tak ada gunanya lagi berlarut-larut dalam tumpukan gelas eksperimen laboratorium, tak ada makna lagi yang bisa direnung-renungkan oleh para filusuf. Semua telah selesai ! Saya tidak mungkin memaparkan satu demi satu dari betapa menariknya kupasan Horgan tentang senjakala. Disiplin ilmu sosial yang saya pelajari membuat saya hanya tertarik untuk mengupas bagaimana ‘kematian’ ilmu sosial versi Horgan.

Ada tiga sosok yang dikupas Horgan terkait dengan senjakala ilmu sosial. Ketiga orang itu adalah Edward Wilson, Noam Chomsky, dan Clifford Geertz. Saya akan mengupasnya secara terbalik. Pertama sosok Geertz. Kesimpulan Horgan tentang Geertz sebagai sosok yang skeptis tersiratkan dari kalimatnya : “Geertz sangat bertekat meluruskan apa yang ia rasakan sebagai kesan umum yang salah, bahwa ia adalah seorang skeptis universal yang tidak percaya ilmu pengetahuan bisa mencapai kebenaran yang bertahan lama” (hal. 208). Menyanggah Edward Wilson, Geertz melihat tidak ada kemungkinan bahwa ilmu sosial akan menciptakan sebuah landasan universal seperti halnya Fisika dan Biologi. Yang akan terjadi di masa depan adalah berkurangnya keteguhan keyakinan akan sebuah pedoman keilmuan, keraguan yang berlipat ganda. Ilmu sosial akan menjadi multiinterpretatif. Apakah ini sejajar nanti dengan paham anything goes-nya Fayerabend ? entahlah ….. namun yang jelas formula Fayerabend itu disatu sisi membuka peluang beragamnya teropong untuk melihat sebuah fenomena sosial (bermakna kekayaan), di sisi lain akan memunculkan kemustahilan bagi lahirnya sebuah formula universal yang justru telah menjadi semacam paten dalam ilmu pengetahuan (bermakna kematian). Akhirnya, seperti pengakuan Horgan, ilmu sosial ironis mungkin tidak membawa kita ke mana pun, tapi paling tidak bisa memberi kita sesuatu yang bisa dilakukan, untuk selamanya, jika kita menghendakinya. Nah atas dasar kehendak inilah ilmu sosial mencatat sejarah dengan lahirnya sosok pemberontak sekaliber Noam Chomsky sebagai sosok kedua.

Noam Chomsky adalah seorang ahli linguistik terkemuka. Semua orang pernah mendengar tentang buku-bukunya yang lebih banyak bernuansa kritis atas hegemoni tanda dan makna. Dua puluh tahun terakhir hidupnya nampak lebih banyak dihabiskan untuk berkutat dengan segala sesuatu yang jauh sekali dari tetek bengek bahasa, yakni dunia politik. Bukunya tentang model propaganda Amerika Serikat melalui media massanya, telah menarik sosok ini kedalam kancah disiplin ilmu komunikasi. Meskipun mungkin Chomsky tidak pernah berpikir untuk menjadi ilmuwan komunikasi, namun “Manufacturing Consent” yang ditulisnya bersama Edward S. Herman (1999) telah melambungkan namanya dalam ranah kajian komunikasi, terutama studi media. Oleh Horgan sosok ini dinilai sebagai sosok pembangkang dalam demokrasi Amerika. Dialah yang selalu berdiri berhadap-hadapan dengan setiap kekuasan yang menindas dan mengabaikan nilai egaliter dan keadilan. Wawancara yang dilakukan Horgan pun lebih banyak menjustifikasi penilaian tersebut. Banyak yang ditanyakan Horgan, sejak beralihnya minat Chosmsky dari bahasa ke dunia politik, posisi ke-Yahudiannya yang justru menentang habis-habisan Zonisme, hingga kehidupan personal dirinya. Kesimpulan Horgan tak berubah : Chosmsky memang pembangkang !

Lain Chomsky lain pula Edward O. Wilson. Sosok peneliti spesies semut di Universitas Harvard ini merasa yakin bahwa kelak akan ditemukan sebuah teori sosial yang mampu menggambarkan seluruh fenomena kehidupan manusia. Disiplin tersebut adalah sosiobiologi. Dasar pijakannya adalah evolusi sosial Darwin. Wilson yang begitu percaya diri akan kelahiran sebuah teori utama ilmu sosial mengatakan bahwa sosiologi akan menjadi disiplin ilmiah yang benar, jika diserahkan pada paradigma Darwinian. Prinsipnya ada determinan sistem gen yang menentukan seluruh perilaku sosial dan budaya manusia. Seperti halnya semut yang selalu bergerak dengan gen dan instink dalam membina sistem kemasyarakatan mereka, manusia juga telah ditakdirkan untuk selalu dipengaruhi metabolisme dalam tubuhnya (hal.191-199). Nampak jelas prinsip reduksionisme dalam teori sosiobiologi. Seperti halnya Donald B. Calne (2005) yang menyimpulkan bahwa nalar hanyalah permasalahan mekanisme kerja otak semata, dan Richard Brodie (2005) yang mengatakan bahwa spesies manusia bertahan dengan kekuatan dan instink gen saja, jelas bahwa Wilson telah menganggap manusia sejajar dengan hewan meskipun upaya memahaminya sedikit mensyaratkan keseriusan. Bagi Wilson ilmu sosial sepenuhnya tergantung pada penjelasan fisiologis sisi manusia perindividu (hal yang kemudian sangat dibantah Geertz). Pada saat menganggap hanya ada satu jawaban atas berbagai permasalahan kehidupan sosial seperti tesis yang dikatakan Wilson inilah, maka ilmu sosial telah diambang ajal.

Wilson, Chomsky, dan Geertz adalah sosok-sosok yang menurut Horgan berupaya dengan segala kecongkakan dan ketidak percayadirian telah membawa ilmu pengetahuan sosial pada senjakala, tanpa mereka sadari. Pesan moral dari Horgan adalah bahwa pada akhirnya kita harus menyadari bahwa kebanggaan berlebihan dan ketidakpercayaan diri yang melekat pada sosok ilmuwan merupakan virus utama yang menyebabkan ilmu tak lagi memiliki kemampuan menghadapi situasi anomali seperti yang dikatakan Thomas Kuhn (1969). Pilihannya : bersyukur akan keberilmuan dan berupaya menjawab setiap tantangan zaman, atau mematikan ilmu pengetahuan melalui kecongkakan dan kejumawaan. Mari kita renungkan ……


REFERENSI

Brodie, Richard, 2005. Awas ! Virus Akal Budi Ganas, Penerjemah T. Hermaya & Christina M Udiani, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Brown, Dan, 2005, Malaikat & Iblis (Engels & Demons), Penerjemah Isma B. Koesalamwardi, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.

Calne, Donald B., 2005. Batas Nalar : Rasionalitas & Perilaku Manusia, Penerjemah Parakitri T. Simbolon, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Horgan, John, 2005. The End of Science : Senjakala Ilmu Pengetahuan, Penerjemah Djejen Zainuddien, Teraju, PT Mizan Publika, Jakarta.

Jammer, Max, 2004. Agama Einstein : Teologi dan Fisika, Penerjemah Arya Budhi, Yayasan Relief Indonesia, Yogyakarta.

Leahy, Louis, 2006. Jika Sains Mencari Makna, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Yahya, Harun, 2001. Mengenal Allah Lewat Akal : Membongkar Kesalahan Faham Materialisme, Penerjemah Muhammad Shadiq, Robbani Press, Jakarta.

Zaleski, Jeff, 1999. Spiritualitas Cyberspace : Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Keberagamaan Kita, Penerjemah Zulfahmi Andri, Mizan, Bandung.