Selasa, 20 Juli 2010

Inception : Bermimpi Menonton Film Tentang Mimpi

“it (dream) is a perfectly valid psychic phenomenon,
actually a wish-fulfilment”

(Sigmund Freud, 1950)


Mimpi hampir selalu merupakan pemenuhan harapan. Dia memberikan daya katarsis atas beragam ketidakpuasan yang terjadi dalam dunia nyata. Namun bagaimana andai kita tidak bisa lagi membedakan dengan tegas mana dunia nyata dan mana dunia mimpi ? bukankah kemudian daya katarsis itu sendiri akan kebingungan untuk memilih objek mana yang akan diambil ? Christopher Nolan menghadirkan ketipisan dua realitas itu dengan cerdas melalui film menariknya, ‘Inception’. Bercerita tentang mimpi, film ini layak membuat kita mengaduk-aduk segala akar teoretis psikoanalisis yang didirikan Sigmund Freud (1856-1939). Dalam upaya menjelaskan sisi tergelap kehidupan manusia, Freud sampai pada kesimpulan betapa banyaknya perilaku manusia yang dituntun oleh motif-motif tidak sadar. Insting yang tidak terlalu berbeda dengan kondisi hewan. Tesis besar Freud adalah tentang ketidaksadaran (uncenciousness) yang menjadi dasar perilaku manusia, namun selalu diingkari oleh manusia itu sendiri. Ini tidak terlepas dari fase kemajuan pola pikir manusia untuk terus merenungi dirinya.

Kekuatan paradigma rasionalistik yang dikumandangkan Rene Descartes (1596-1650) melalui diktum ‘berpikir’nya, membuat hampir setiap orang di abad ke-19 selalu berpikir bahwa manusia adalah sosok yang selalu memiliki akal sehat. Dengan akal sehatnya itulah manusia menjalani hidup hari demi hari. Hasil dari bekerjanya akal sehat adalah seluruh perilaku yang terkontrol, tertata, dan bisa terkendali sedemikian rupa. Freud hadir dengan sebuah antitesis. Manusia menurutnya adalah makhluk yang selalu dipenuhi dengan insting-insting tidak sadar. Banyak motif yang tidak bisa dijelaskan atas sebuah perilaku tertentu. Kemarahan, kebinalan, kesedihan, atau perilaku-perilaku tidak sesuai norma dan tata susila kemasyarakatan terus saja terjadi. Padahal katanya manusia adalah makhluk yang memiliki kekuatan menata diri dan masyarakatnya. Apa yang bisa menjelaskan beragam kasus pembunuhan, pemerkosaan, perzinahan, perampokan, dan beragam kasus yang dinilai negatif lain ? Freud sampai pada kesimpulan adanya energi terdalam dari manusia untuk melepaskan naluri-naluri kebinatangannya. Naluri yang selama ini terus menerus ditekan dan diawasi oleh gengsi kebernalaran manusia itu. Naluri yang dikendalikan terus oleh seperangkat norma dan aturan kemasyarakatan. Sisi yang pertama tercipta karena keberadaan akal manusia (ini sangat didukung oleh isi seluruh kitab-kitab agama Samawi). Sisi yang kedua tercipta karena bentukan budaya sebagai penanda manusia memiliki sensitifitas kemajuan melebihi binatang. Namun menurut Freud, keberadaan dua hal terakhir ini sama sekali tidak otomatis menghilangkan kekuatan instingtif manusia tadi.

Pada diri manusia selalu ada keinginan untuk bebas melakukan apa saja. Bebas berbuat apa saja. Pokoknya apapun yang diinginkan selalu harus tertuntaskan. Termasuk bila perilaku itu sangat tidak sesuai dengan tata nilai dan aturan yang berlaku. Motif yang kuat inilah sepanjang sejarah manusia harus terus ditekan. Pada saat-saat tertentu dia boleh dilakukan melalui keabsahan dan apologi ala manusia. Membunuh diperbolehkan sejauh dalam tema peperangan, merampas diperbolehkan dalam konteks telah berkuasa atas tanah jajahan, memuaskan nafsu syahwat difasilitasi dalam konteks poligami, serta beragam apologi hasil olahan intelektual manusia. Namun, bila dicermati energi dasarnya tetap sama, gelap, hitam, dan penuh aroma kebinatangan. Sejauh dia terus ditekan, demikian Freud, energi ini akan terus berada di alam bawah sadar. Bagaimana katarsis agar tidak terjadi ketegangan pada diri manusia, sekaligus agar energi itu tetap tertumpahkan, sementara masyarakat dan gengsi manusia tetap terhargainya ?

Mimpi menjadi jawaban Freud atas pertanyaan esensial tersebut. Pada mimpilah kita menemukan ‘jalan keluar’ sebagai katarsis atas kuatnya desakan energi utama tadi. Sebagai sebuah energi, dia akan mencari jalan keluarnya sendiri. Pada titik inilah tesis Freud semakin menarik. Manusia bukan hanya tidak memiliki kekuatan untuk menginventarisasi energi utama itu tadi, melainkan manusia juga tidak memiliki kontrol untuk mengatur kapan katarsis itu bisa dihadirkan. Artinya, disamping kita tidak bisa menjelaskan insting dan hasrat apa saja yang ada dalam benak kita yang meminta dipuaskan, kita juga tidak memiliki kekuatan untuk bermimpi agar desakan untuk melampiaskan insting tadi di alam nyata terwakili di alam mimpi. Tidak ada kekuatan untuk mengatur dan mengontrol mimpi. Tesis besar inilah yang dijungkirbalikkan Nolan. Tokoh utama dalam ‘Inception’, Cobb (Leonardo DiCaprio) bukan cuma bisa mengatur mimpi. Dia bisa mencuri mimpi orang lain !

Mimpi yang menurut Freud menjadi sebuah aktivitas alam bawah sadar itu sendiri, diangkat kepermukaan alam sadar oleh Cobb. Menggunakan alat berteknologi canggih, tim Cobb memasukkan obat ke dalam tubuh seseorang. Secara kimiawi, obat inilah yang memancing saraf untuk menciptakan mimpi sesuai dengan harapan setiap orang yang diinjeksi. Mimpi yang konsensusnya dianggap berada di luar kekuasaan manusia, telah mampu diciptakan oleh Cobb. Yang jauh lebih menarik lagi, dengan obat sedatif itu seseorang bisa meminta bermimpi lagi saat mereka tengah bermimpi. Jadi ada dua lapis mimpi ! ide ini sama sekali tidak terpikirkan, bahkan mungkin tidak pernah hadir dalam mimpi Freud !

Dalam tesis Freud, apabila kita bermimpi maka kita hanya memiliki dua realitas. Mimpi terjadi saat kita sedang tertidur sebagai realitas kedua. Apabila kita terbangun, maka kita menjadi sadar bahwa kita tengah bermimpi. Keterbangunan kita mengembalikan kita kepada realitas pertama. Realitas utama yakni kehidupan nyata. Mudah sekali untuk membedakannya. Namun dengan menggandakan tingkat mimpi, Nolan telah menghadirkan sebuah realitas maya lain dalam sebuah realitas maya. Pertanyaannya, lalu yang mana dari realitas itu yang muncul sebagai sebuah harapan ? apakah mimpi utama (tingkat satu) atau mimpi tingkat dua ? Meskipun terkesan mengada-ada, Nolan telah menghadirkan betapa rumitnya harapan manusia di abad 21 ini. Apabila mimpi pertama menjadi upaya pemenuhan harapan, maka mimpi kedua adalah sebuah pemenuhan harapan dari tidak terpenuhinya harapan di mimpi pertama. Artinya, mimpi pertama tidak cukup menuntaskan kebutuhan terpenuhinya harapan, dia harus ditindaklanjuti oleh katarsis tingkat lanjut di mimpi kedua. Berlapisnya harapan ini menandakan betapa kompleksnya hidup manusia dalam dunia, sehingga jangan-jangan saat kita merasa sudah terbangun (kembali ke dunia nyata) ternyata kita baru tersadar dari mimpi kedua menuju mimpi pertama. Jadi sesungguhnya kita masih bermimpi. Lalu, andai mimpi itu sendiri sudah menembus lapisan ketiga, maka saya membutuhkan tiga kali bangun untuk sampai pada realitas nyata. Lalu siapa yang bisa meyakinkan bahwa saya telah sampai pada realitas nyata yang utama ? Kesadaran Ariadne saat berbincang dengan Cobb di sebuah kafe di pinggir jalan kota Paris sebagai sebuah mimpi, ditindaklanjuti untuk masuk kembali dalam mimpi lapisan kedua. Meskipun ini ditentang oleh Cobb, namun tetap ada kemungkinan mimpi di lapisan kedua. Sebuah lapisan ketidaksadaran baru yang lahir dari kesadaran atas mimpi pertama. Demikian seterusnya, tercipta lapisan simetris atas kesadaran mimpi dan ketidaksadaran mimpi.

Mimpi yang bisa dikontrol yang hadir karena kesadaran tentang mimpi pertama menunjukkan adanya upaya pemenuhan harapan lebih lanjut dari sebuah ketidak-utuhan pemenuhan harapan di level pertama. Hadirnya kemungkinan pemenuhan kebutuhan sistem berlapis itu tadi mengindikasikan kompleksnya kebutuhan insting manusia modern yang dikatarsisi oleh mimpi. Semakin tinggi harapan yang muncul karena kompleksitas kebutuhan itu, semakin seringlah manusia bermimpi. Pada titik yang semakin mengkhawatirkan, manusia tidak mau lagi terbangun dari mimpinya. Atau saat dia merasa telah bangun, dia sebenarnya tengah berada dalam lapisan mimpi tertentu yang sebenarnya belum menghadirkan dia ke realitas nyata. Akhirnya manusia benar-benar hidup di alam mimpinya. Tragedi yang dialami oleh Cobb karena istrinya, Mal (Marion Cotillard) tidak mampu lagi membedakan mana realitas mimpi dan realitas nyata menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk mengontrol satu hal utama : harapan. Mal begitu memiliki harapan untuk hidup terus bersama Cobb sampai mereka tua. Dia merasa tengah bermimpi dalam sebuah dunia yang sebenarnya nyata. Untuk membangunkannya, dia harus bunuh diri. Dari sinilah segala petaka hidup Cobb berawal. Bermula dari sebuah ide sederhana dengan konsekuensi dan implikasi luar biasa. Membuat binasa. Ide itu adalah bahwa apa yang kamu rasakan, kamu alami, kamu nikmati adalah sesuatu yang tidak nyata. Imbasnya adalah kita hanya hidup di alam mimpi, yang celakanya tidak pernah nyata.

Sampai disini, saat kaki saya melangkah keluar dari gedung bioskop sehabis terpesona oleh visual efek ‘Inception’, hati saya bertanya gundah : “Apakah saat ini saya telah betul-betul bangun dari sebuah mimpi yang bernama kehidupan ?”, Kapankah saya benar-benar terbangun dari mimpi buruk tentang kenaikan harga-harga, meledaknya tabung gas di mana-mana, dan koruptor yang menghabisi uang negara ?, “Jangan-jangan saya hanya tengah bermimpi hidup di Indonesia, sebuah negeri yang tidak pernah lagi memberi rasa bangga ?” “Jangan-jangan saya hanya bermimpi telah menonton “Inception” ? ”,
Entahlah ...


Tepi Kali, Juli 19

Tidak ada komentar: