Kamis, 01 Juli 2010

Harga Sebuah 'Januari'

Sore itu, 10 Januari ...

“Mas udah nonton Virgin ?” … tanya itu muncul ketika untuk kesekian kalinya kita berdua duduk di ranjang empuk sebuah hotel di taman puncak, awal Januari, di tahun baru. Dua hari sebelum itu kita sebenarnya sudah menjadwalkan waktu kita untuk bertemu di tempat ini.
“Belon … emang kenapa say ?” dahiku terangkat, kupandang wajahnya …
“Engga aja seeh …. Itu film tentang keperawanan.”
Aku masih menduga-duga arah pembicaraannya. Bagiku pertemuan ini merupakan penuh kenangan, karena kurang lebih tiga bulan kita telah berpisah. Menahan rintih rindu dalam dada, mengais asa hari demi hari, tiba-tiba kita bertemu, dan tanpa kuduga Ella menanyakan tentang sebuah film dengan tema yang cukup menyentuh : keperawanan.
“teruuss …..?”
“yaa cuma nanya doang sih …” dia membalik tubuh mulusnya yang tertutup selimut, menghadap kearahku : “apa batasan keperawanan menurut Mas ?”
Wuaaahh pertanyaan menarik….. sejak dulu Aku paling sering mendiskusikan ini dengannya. Dan menurutku dia sudah bisa menangkap apa yang kupikirkan, tapi mengapa dia tanyakan lagi ?
“Bagiku keperawanan tidak hanya masalah selaput dara..” Aku tatap matanya : “itu menyangkut esensi kedirian seorang wanita, apakah kepribadiannya matang atau tidak, apakah dia bisa menjaga dirinya dari pandangan pelecehan laki-laki ataukah tidak, dan selaput dara itu cuma konstruksi laki-laki atas diri wanita saja..”

Dia terdiam, matanya menerawang. Kamar itu kembali sunyi. Sesunyi lima puluh menit yang lalu saat kita berdua masuk dan memulai pagutan nafas penuh sesak. Kamar hotel yang selalu menjadi saksi bisu segala tumpahan kerinduan kita ini seolah mengerti dengan keheningan yang ingin kita ciptakan. Aku menggeliat. Telungkup menghadapkan mukaku ke wajahmu : wajah cinderella yang manis tak terkira. Pikiranku menerawang, mengapa pembicaraan kita lalu bergeser pada masalah keperawanan ? ada hubungan erat antara pertanyaan itu dengan perkembangan jalan kami berdua. Tak pernah Aku bermaksud menciptakan onak duri dalam hidupnya, tak pernah Aku berpikir akan “memetik” kebahagiaan dengannya hanya sebatas nafsu lahiriah semata, tak pernah Aku berniat hanya memanfaatkan dirinya semata, tak pernah … tak pernah….. sedikitpun juga tak pernah atau terlintas niat busuk atas segala apapun yang telah kulakukan padamu. Semuanya mengalir begitu saja : dengan cinta dan canda ria. Kita jalani hari-demi hari bersama, kita pergi ke gunung dan menatap awat tersaput kabut, kita pergi ke pantai menikmati angin laut, kita tapaki hubungan ini layaknya orang dewasa yang mengerti dengan segala konsekuensinya. Dan tanpa kita pernah merencanakannya, sampailah kita pada suatu sore, di sebuah hotel di tengah kota. Saat mana semua terasa begitu mengambang nikmat tak terkira.

“Cayaang …. Sakitkah ? “ tanyaku berbisik penuh cemas, saat Aku melihat ada percik darah diantara bagian tubuhmu yang begitu dipuja banyak lelaki manapun di dunia. Bagian yang seharusnya dia jaga penuh asasi dan rahasia. Tapi lima menit yang lalu, ditengah desahan dan lenguhan nafas yang terus kita hela bersama, bagian itu telah kau persembahkan padaku. Kau berikan dengan nafas tertahan dan senyum kebahagiaan. Tentu saja Aku merasa sangat bersalah apabila ingat bahwa Akulah yang telah menyebabkan rasa sakit itu, seiring dengan menetesnya warna merah darah dari bagian tubuhmu.
“Engga sayaang … ahh “ masih terbuka bibir itu …. Segera kulumat sebagai tanda Aku sangat melindungi dan menyayangimu …..
“Suerr Say …. ? Aku mendesah ..
“Iya sayang .. ga pa pa …” sambil dia merengkuh tubuhku lebih dalam, seakan tak mau dilepaskan. Tubuhmu bergoyang mengikuti irama tubuhku yang terus memacu naik turun, meresapi nikmat yang muncul dari gerakan naik dan turun itu. Dunia terasa berwarna-warni di mataku … tak kuasa untuk menghentikannya, tak kuasa untuk tidak meneruskannya. Aku nikmati semua senti bagian tubuhmu, seperti juga dia menikmati setiap inci bagian tubuhku, kita terus berpacu, meliuk liar menderu nafasmu dan nafasku. Hingga tiga puluh menit berlalu, Aku memekik tertahan diiringi dengan liukan dan getaran kuat dari tubuhmu. Kita sama-sama lepaskan unsur alami kehidupan. Aku berpeluh, dia berkeringat, mata kita setengah mengatup, nikmat.

Itulah saat mana Aku baru mengetahui bahwa keparawanan tidak harus dilepaskan dan dipetik dengan ketakutan, keperawanan tidak harus diberikan dengan rasa sedih dan gelisah tak terperikan, keperawanan bukanlah hanya masalah sakit dan tidak sakit. Dia memiliki dimensi yang maha luas yang tak tergambarkan. Jadi bukan cuma masalah selaput dara yang ada di selangkangan ! sore itu semuanya kita lakukan, dengan sadar dan dengan kegembiraan. Tak ada kesedihan yang kutangkap di matamu, sebaliknya wajah pucat dan ketakutanlah mungkin yang terbit diraut mukaku. Aku takut sayang …. Aku takut menyakitimu, Aku takut dianggap hanya “sang kumbang pengisap madu”, Aku risau dengan ketidakmampuanku mengendalikan diri, … Aku marah dengan ke-bajingan-ku !

“Kok jadi melamun seehh …?” bisikan lirih itu menyentak lamunanku …
Aku tergagap, ternyata Aku masih menatap wajahnya namun dengan pikiran menerawang entah kemana. Wajah manis cinderella itu tersenyum menggoda.
“he he he …. Iya lahh.. abis tadi tanyanya gitu sih.”
“Tentang keperawanan itu ?” dia menukas
“iya… dan Aku sangat menghargai wanita lebih dari segala kepemilikan fisik yang melekat pada dirinya.” Aku memegang tangannya, kudekap di dada : “Karena itu ……”
Aku tak melanjutkan kata-kataku melainkan menghela dirimu, mendekatkan tubuhmu ke tubuhku. Aku peluk erat, seolah ingin menumpahkan seluruh apa yang ada dalam pikiranku, tanpa harus mengucapkannya sepatahpun …. Karena memang Aku tak akan mampu.

Dia membalas pelukanku dengan lebih erat. Dan selalu begitu. Kubelai rambut hitamnya, kucium pelan kening itu, kelekatkan hidung mancungnya ke hidungku, …..
“Aku sangat mencintai, dan menghormati mu ..” Aku berbisik lirih : hanya itu yang bisa kuucapkan ….
“Aku juga sayang… sangat mencintaimu … sangaat …”

Tak terlalu jauh memang jarak antara nafsu dan cinta yang terealisirkan. Hingga hari itu barulah aku mengerti mengapa mereka-mereka yang berdiam di bumi Barat sana kadang salah mengartikan cinta identik dengan sleeping together. Bagi mereka cinta bahkan sangat identik dengan hanya sekadar hubungan badan. Realitas membuktikan bahwa bentuk konkret dari betapa dua jiwa sudah menyatu adalah menyatunya jasmani. Bagaikan falsafah lingga dan yoni dalam peradaban hindu, begitulah terjemahan cinta masa lalu yang sebenarnya jauh lebih tua dari pada peradaban negara Barat itu. Aku jadi ingat bagaimana Inggris ketika berada di bawah pemerintahan ratu Victoria. Khabarnya pada masa itulah seks sangat dihargai sebagai sebuah perilaku wajib dalam hubungan pria dan wanita. Seks adalah puncak hubungan. Pada titik lebih dalam seks bahkan identik dengan rasa cinta. Hingga seberapa dalam rasa cinta pada dirimu akan dibuktikan dengan bagaimana dirimu mampu memuaskan hasrat birahi pasanganmu. Karena begitu dahsyatnya pengaruh seks itu, maka pada zaman itu bentuk tubuh, tampilan fisik, termasuk segala bentuk perhiasan dan aksesoris tubuh menjadi prioritas utama dari seseorang. Entah wanita, entah pria. Bisa ditebak kemudian bahwa pada masa ratu Victoria lah kemudian bentuk perhiasan dan segala macam aksesoris mencapai puncaknya. Semua cuma ditujukan untuk meraih perhatian lawan jenis saja. Lalu mereka tidur bersama. Sesudah itu terserah pada pendirian masing-masing : mau meneruskan hubungan, atau sudah cukup sampai disitu saja. Putus ditengah jalan. Saking hebatnya perjalanan sejarah masa itu, hingga orang kini menimbulkan pameo : saat itu orang menghindari cinta untuk seks, sementara pada saat kemudian orang menghindari seks untuk cinta.


Kaliurang, Januari

Tidak ada komentar: