Minggu, 11 Juli 2010

Mengapa Saya Ingin Belanda Juara ?

Dalam laga final piala dunia 2010 tadi pagi (pukul 02.00 WIB dinihari) saya sejak awal selalu menjagokan Belanda yang muncul sebagai pemenang. Saya tahu bahwa pilihan ini mengandung resiko. Resiko pertama saya kelihatan begonya, karena mungkin saja pasukan Belanda memiliki tingkat keahlian di bawah tim Spanyol. Saya tidak perduli dengan itu. Resiko kedua saya dianggap tidak memiliki sensitifitas kebangsaan dan nasionalisme. Bekas penjajah kok didukung ! Saya tidak ambil pusing dengan anggapan itu. Yang pasti keinginan saya sejak awal mendukung Belanda andaikata dia bertanding dalam laga final melawan Spanyol, lebih didasari oleh keinginan untuk mengutarakan dua hal mendasar.

Pertama, saya ingin sekali melihat Belanda menang agar segala wujud ramalan dan separuh kebodohan manusia di dunia ini agak terpatahkan. Mengapa ? saya terlalu benci dan sangat tidak mengerti bagaimana bisa seekor Gurita bisa dijadikan referensi atas nasib sebuah negara dalam ajang sekaliber piala dunia ? Ini tentang sosok Paul. Si Gurita peramal. Makhluk ini dipercaya memiliki kemampuan semacam indera keenam untuk meramalkan negara mana saja yang akan muncul menjadi pemenang saat akan bertanding. Caranya di dalam aquarium yang menampung si Paul diletakkan dua kotak yang pada masing-masing kotaknya disematkan bendera negara bersangkutan. Nanti pelan-pelan si Paul ini akan turun dan akan cenderung memilih untuk memeluk (atau apalah istilahnya) salah satu kotak dengan bendera tertentu itu. Nah kotak dengan bendera yang dipilih si Paul lah yang dipercaya akan memenangkan pertandingan. Ini terjadi ketika Uruguay lawan Ghana, Jerman melawan Argentina, Jerman melawan Spanyol, dan beberapa pertandingan lain. Kebanyakan memang pelukan (atau apalah kita menyebutnya) si Paul tepat dengan kenyataan. Ini berarti pilihan kotak si Paul dianggap sebagai komunikasi eksplisit Paul meramal negara yang akan menang. Ini dianggap kemampuan supranatural yang langka. Banyak orang begitu yakin dan percaya. Si Paul menempati urutan selebritis yang selalu diberitakan. Bahkan menjelang ajang tanding Spanyol dan Belanda kemarin, Menteri Luar Negeri Spanyol bermaksud untuk memberikan perlindungan ‘khusus’ kepada Paul. Saya benar-benar tertawa. Tak habis mengerti. Terlepas dari tingkat probabilitas yang sangat sederhana (Paul khan hanya memilih salah satu : kalau tidak kotak A ya otomatis kotak B), sejak awal saya sudah menertawakan kepercayaan orang-orang.

Di zaman yang sudah sangat modern dan rasional ini, ternyata bukan cuma Indonesia yang terlalu gandrung dengan hal-hal yang gaib. Kalau di Indonesia saya tidak lagi bisa tertawa saat melihat begitu banyak orang yang sangat percaya lalu berbondong-bondong mendatangi rumah si Polari (Jawa Timur) untuk mendapat berkah dari batu mujizatnya. Saya tidak lagi bisa tertawa saat menyaksikan orang menyembah-nyembah ‘Jenglot’ untuk mendapatkan kesaktian ataupun kekayaan. Namanya saja Indonesia. Negeri dengan seribu takhayul dan seribu sinetron berisi wujud ular dan naga raksasa kelayaban di tengah kota. Tentu saya tak bisa lagi tertawa. Namun kalau itu juga terjadi pada level internasional dan melanda negara-negara tempat lahirnya Rene Descartes, Enstein, Galileo, Columbus, Marcopolo, dan beribu orang lagi yang berjuang mati-matian mematahkan mitos dan takhayul atas ramalan tak jelas atas dunia, saya jelas tertawa terbahak-bahak. Seperti halnya ramalan suku Maya yang lalu dibumbui di sana-sini. Antara mitos, takhayul, dan kekuatan ilmiah ilmu pengetahuan memang saling berlomba mendapatkan posisi dan popularitas di mata manusia.

Harapan kemenangan Belanda sebenarnya lebih dilandasi oleh keinginan melihat tumbangnya ramalan si Paul itu tadi. Mengingat dalam beberapa hari sebelum laga final Spanyol vs Belanda digelar, si Paul sudah yakin (katanya) memeluk kotak berbendera Spanyol. Paul meramal Spanyol akan menggilas Belanda. Publik pun lalu percaya. Apalagi kelakuan si Paul selalu jadi sorotan media massa. Pasar taruhan pun tiba-tiba jadi jomplang (miring). Begitu banyak yang menjagokan Spanyol. Belanda menjadi underdog. Tim dengan pendukung moral sangat sedikit. Terlepas dari akurasi perhitungan teknis dan keajaiban di tengah lapangan, ramalan si Paul turut mempengaruhi keyakinan seseorang. Bagi mereka yang enggan untuk menyuarakan jagonya, bekerjalah prinsip spiral of silent. Kalau diam berarti memberikan dukungan. Hampir semua pasar taruhan di facebook menjagokan Spanyol. Efek menarik tentu saja bertambahnya rasa percaya diri pada kelompok David Villa ini. Si Paul artinya memberi andil. Ditambah dengan kemenangan 1-0 Spanyol atas Belanda, maka ramalan si Paul semakin dianggap keramat dan tepat. Dunia kembali jatuh dalam keyakinan semu dan takhayul. Percaya pada seekor binatang. Lihatlah kalender, lalu catat bahwa hal ini terjadi hari ini, di abad 21. Abad di mana internet dan penerbangan ke luar angkasa menjadi seperti tamasya biasa. Lalu di mana akal sehat kita ?

Itulah mengapa begitu besar harapan saya agar Belanda keluar sebagai juara piala dunia 2010. Andai yang terjadi demikian, maka segala ramalan dan keyakinan atas perilaku si Paul akan terpatahkan. Semua akan kandas. Mungkin saja dengan salahnya ramalan itu, publik akan melihat dan menyadari bahwa setepat-tepatnya ramalan Paul, toh ternyata dia hanyalah SEEKOR GURITA ! binatang yang tak berotak, apalagi mengerti sepakbola. Jadi ingat perilaku kemampuan menjumlah dan menghitung lumba-lumba di Ancol tempo dulu. Waktu kecil saya terkagum-kagum sambil geleng-geleng kepala,”masak sih binatang bisa matematika ?”. Setelah besar baru saya tahu ternyata si lumba-lumba hanya menjalankan instruksi (non verbal) dari sang pelatih yang memberikan insyarat berapa kali sang lumba-lumba harus menghempaskan ekornya sebagai hasil penjumlahan dan pengurangan angka yang dituliskan di papan kala itu. Setelah tahu itu, saya tetap kagum sambil geleng-geleng kepala, “pintar sekali si pelatih membohongi kita, “ he he he he

Kedua, saya ingin sekali melihat Belanda menang dalam pertandingan final 2010 karena tidak terlalu percaya bahwa suara orang banyak adalah suara Tuhan (Vox populi, vox dei). Saat itu saya begitu tidak mengerti kenapa begitu banyak orang yang menjagokan Spanyol. Padahal dari statistik pertandingan demi pertandingan di laga World Cup ini, Sponyol tidak menunjukkan performa sebagai tim yang hebat. Jarang ada hasil pertandingan mereka yang spektakuler. Jumlah gol juga tidak seberapa. Mereka memang juara piala Eropa. Tapi itu bagi saya tidak berarti apa-apa. Justru penampilan Jerman, Argentina, Uruguay, Brazil, dan Portugal lebih menjanjikan. Tapi mungkin saja doa banyak orang begitu mujarabnya. Ketika banyak pihak yang menjagokan Spanyol masuk ke putaran final lalu kemudian banyak orang juga kemudian berdoa sambil beropini Spanyol menjadi juara, terwujudlah harapan itu. Opini publik memang energi. Saya tidak tahu apakah pelatih dan para pemain Spanyol menonton TV dan membaca koran, atau membuka situs di internet sepanjang perhelatan ini berjalan. Andai begitu, tentu mereka bisa melihat betapa kuatnya keinginan dan harapan publik untuk melihat mereka lolos menjadi juara. Lebih celaka lagi andai wasit dan official permainan itu terbawa sikapnya setelah membaca surat kabar, dan menonton TV ! Itulah energi seperti yang dikatakan Walter Lipmann tentang bagaimana opini bisa merubah keyakinan orang dan juga keadaaan. Tapi satu hal yang selalu saya yakini bahwa opini yang dianut oleh banyak orang tidak otomatis menegaskan bahwa opini itu adalah kebenaran. Ini dua hal yang berbeda : terbanyak dan benar. Benar tidak selalu adalah yang diamini banyak orang. Sementara pendapat yang diamini banyak orang tidak identik bahwa pendapat itu benar. Sayangnya pelajaran opini publik justru melakukan manipulasi dan mengambil keuntungan dari frasa-frasa kuantitatif tersebut.

Begitulah, menjelang perhelatan final kemarin begitu banyak suara yang menjagokan Spanyol. Tiba-tiba seperti muncul kesepakatan umum bahwa Spanyol akan keluar sebagai pemenang. Sebagai orang yang tidak terlalu suka dengan mainstream alias kemapanan pendapat, saya selalu berdiri di sisi yang lain. Selaku the other yang memberikan second opinion bagi saya sangat mengasyikkan. Ide awalnya mungkin simpel, saat dua orang bertaruh untuk menjagokan salah satu negara dalam piala dunia ini, tentu tidak lucu kalau dua-duanya memegang negara yang sama. Lalu bagaimana taruhan bisa berjalan ? andai dua orang yang akan bertaruh sama-sama menjagokan Spanyol, lalu yang menjagokan Belanda siapa ? andai semua selalu mau masuk Surga, lalu ntar siapa yang akan masuk neraka ? andai nanti tidak ada yang masuk Neraka, untuk apa neraka diciptakan oleh Tuhan ? wallah ini sudah ngelantur kemana-mana he he he ...

Kembali pada kekuatan opini publik sebagai energi kemenangan Spanyol tadi, saya merasa bahwa di abad modern ini kekuatan opini publik tidak memiliki signifikansi lagi. Apabila dahulu Walter Lippmann berharap bahwa dengan kekuatan opini publik akan menciptakan kebenaran dan kedamaian, maka di abad ini opini publik begitu berbahaya. Mengingat dia selalu disalahartikan demi kemenangan. Lihat saja itu Lembaga Survey Indonesia, lalu Lintas Survey Indonesia, lalu AC Neillsen Indonesia, semua bermain dengan kemampuan mengorganisir opini mayoritas atas segala sesuatu demi tujuan tertentu. Dalam setiap pemilu di Indonesia, kekuatan opini publik selalu dimainkan untuk menciptakan efek spiral of silent agar memiliki daya pengaruh menggerakkan perilaku yang menguntungkan pihak yang merekayasa opini. Hanya dibutuhkan sedikit riset dengan hasil popularitas calon pemimpin tertentu lalu mempublikasikan hasil itu, dan pendapat orang banyak akan tergiring untuk menguatkan hasil riset tersebut. Semua modus dan formula kerja lembaga riset yang berkaitan dengan kepentingan politik selalu seperti itu. Apa yang diingatkan dan di-“wanti-wanti” oleh Lippmann terbukti hari ini. Mengingat semua pelajaran itu, membuat saya selalu curiga dengan kekuatan opini publik yang tengah bekerja. Siapa yang menggelontorkan opini pertama ? lalu bagaimana dia bekerja, dan untuk kepentingan siapa ? alhasil jadilah saya si pencuriga atas segala opini publik yang bekerja. Itu terjadi juga setelah melihat kok semua orang seolah mendukung Spanyol untuk jadi juara dunia sepakbola 2010 ? ada apa dengan isi kepala mereka ? Keinginan untuk berada di sisi the other membuat saya mengambil keputusan untuk mendukung Belanda saja.

Itulah mengapa begitu besar harapan saya agar Belanda berhasil keluar sebagai juara Piala Dunia 2010. Andai itu terjadi maka saya akan menjadi second opinion yang merobohkan vox populi itu. Menjadi semacam kekuatan antikemapanan yang memenangkan perseteruan pendapat dan keyakinan. Apabila itu terjadi, maka saya akan bisa menunjukkan pada banyak orang bahwa tidak selamanya pendapat dan opini mayoritas itu akan berbuah pada hasil yang sesuai dengan keinginan mayoritas itu. Banyak orang berharap dan berdoa untuk Spanyol, tapi kalau yang jadi juara adalah Belanda, maka akan ada definisi revolusioner untuk apa yang disebut juara. Belanda akan jadi lagenda. Memiliki kemampuan dan talenta menumbangkan stereotip tentang sang juara. Belanda akan jadi juara di dalam dan di luar lapangan. Itu dahsyat bagi saya. Mengingat mereka telah harus bertempur dengan ‘mental diri’ masing-masing sebelum mereka harus masuk ke lapangan. Kemenangan Spanyol bukanlah luar biasa, karena memang kesanalah energi publik bermuara. Namun kemenangan Belanda akan menjadi catatan sejarah penuh fenomena kuantum. Tak terduga dan berwujud chaos di mana-mana. Apa yang saya lihat ketika menit-menit perpanjangan waktu menunjukkan itu. Wajar Belanda kalah (mereka tinggal 10 pemain !), wajar mereka nyerah (takkala lebih banyak memperturutkan emosi mereka), wajar mata mereka basah (ini kesekian kali mereka hanya sebagai runner-up). Nampaknya sejak awal mereka tahu bahwa mereka bukanlah tim negara yang diunggulkan saat menghadapi Spanyol. Mereka sadar itu. Sehingga jawabannya adalah berjuang habis-habisan. Dan itu telah nampak dalam pola serangan dan ngototnya mereka bertahan sejak menit awal pertandingan. Kalah mungkin sudah diramal banyak orang, namun kalau bisa menang tentu akan membuat terperanjat setiap orang. Itu pembuktian bahwa tidak selamanya suara banyak orang akan berujung fakta yang lahir di lapangan. Andai kemenangan ada di tangan Belanda, tentu publik akan semakin percaya bahwa tidak ada kekuatan apapun yang mampu bermain di lapangan sepakbola, kecuali tekat kuat, strategi, dan keterampilan tim. Tidak ada trial by the press (apa pula ini ?), tidak ada pengaruh dari mulut politis pengamat bola (Indonesia memang gudangnya !), bertanding ya bertanding ... itu saja..

Itulah dua alasan yang menjadi motif sikap saya. Ternyata fakta sosiologis berkata beda. Spanyol juara. Dari fakta ini kita hanya tinggal menunggu : empat tahun lagi si Paul akan menjadi selebritis kembali. Jangan-jangan ramalan dia akan dipakai untuk memprediksi kemenangan calon presiden (kalau gak percaya, pinjamkan saja gurita itu kepada Indonesia menjelang pemilu nanti !), calon bupati, atau calon kepala desa. Dari fakta ini pula kita hanya tinggal menunggu : permainan opini menciptakan perang urat syaraf dan teror mental yang selalu mengiringi perhelatan entah itu permainan ataupun pertandingan (kalo di Indonesia sih, ini fakta di luar sidang pengadilan !). Akhirnya, seberapapun keinginan saya untuk tidak percaya takhayul dan kekuatan opini publik, toh tetap saja Belanda kalah ... saya memang kalah jauh dibanding si Paul, terutama dalam urusan ramal-meramal he he he he ...


Tepi Kali, Juli 10

Tidak ada komentar: