Kamis, 18 Juni 2009

Adakah Surga di Bumi ?

Apakah yang akan terjadi andai saja, surga yang didengungkan akan didapatkan orang beriman setelah mati itu dipindahkan dan hadir di bumi ini ? wow, tentu sebuah pertanyaan yang menarik, sekaligus juga memiliki implikasi keimanan serius. Aku bahkan sempat berpikir bahwa seluruh sisi baik manusia, seluruh amalan manusia di dunia, seluruh upaya berbuat kebajikan manusia di sini, semuanya dalam rangka membangun sebuah fondasi keterimaan mereka di surga. Hanya gara-gara ada surgalah kemudian manusia menjadi terpacu untuk berbuat kebajikan dan menahan diri untuk tidak berbuat kerusakan. Formulasi kunci untuk memahami dan menjadi landasan aksiologis atas itu adalah agama. Agama adalah pencerita terbaik tentang keberadaan surga dan neraka. Agama sekaligus juga pendongeng yang cakap atas segala ketakwaan nabi-nabi dan rasul-rasul. Agama memang luar biasa. Agama juga yang menjelaskan tentang konsep surga yang baru kita dapatkan setelah kita menjalani kematian. Dia berbeda dimensi dengan kehidupan di dunia ini.

Logika surga yang ditawarkan selepas kita menemui kematian itu terkadang menyerupai tempat, terkadang menyerupai perasaan, terkadang menyerupai hasrat. Dan begitu banyak lagi tentang konsep surga ditawarkan dalam berbagai kitab suci. Semua selalu berbanding terbalik dengan neraka. Keduanya adalah binary opposition satu dengan yang lainnya. Semua digambarkan akan kita dapatkan selepas kita melepas nyawa dan roh kita. Lalu adakah yang percaya bahwa surga akan hadir di dunia ? Pastilah ada. Sosok anak kecil yang digambarkan Vittorio Hosle memiliki kemampuan nalar yang mencengangkan para filosof. Seorang bocah perempuan 11 tahun dengan kemampuan filosofis tingkat tinggi. Dan digambarkan telah membuat para filosof itu sangat merindukan surat-suratnya. Namanya Nora K. Semua korespondensi mereka berdua dibukukan dengan judul “Das Cafe Der Toten Philosophen”. Buku ini dicetak edisi Inggris tahun 2004, namun di-Indonesiakan baru tahun 2007.
Kembali pada ide surga di bumi. Nora K. sangat percaya bahwa nanti akan tercipta surga di bumi. Artinya kita tidak perlu harus menunggu-nunggu kematian untuk hanya merasakan surga. Tidak mencari-cari mati seperti para santri kanjeng Syekh Siti Jennar. Surga bisa muncul dibumi. Minimal karena dua alasan yang dikemukakan Nora K. Pertama, surga pastilah untuk manusia, dan karenanya ia mesti dapat dipahami oleh kita sebagai manusia. Kedua, apa makna penciptaan bumi apabila taman surga bukan datang dari sini ?

Apa yang terpikir oleh Nora saat menyebutkan bahwa surga pasti diciptakan Tuhan untuk manusia ? karena menurutnya untuk memahami surga pastilah seseorang (atau sesuatu) harus memiliki akal pikiran terlebih dahulu. Justru karena dia punya akal pikiranlah maka dia memahami prinsip oposisi biner antara kebaikan dan keburukan, antara kebajikan dan kejahatan. Dan itu pasti hanya terdapat pada diri manusia. Coba aja tanya pada srigala, macan, harimau, atau (yang paling dekat dengan spesies kita) simpanse, apakah mereka itu mengenal surga ? jangankan menjawab, mengerti pertanyaan anda saja binatang-binatang ini tidak mampu. Karena mereka binatang ! tak punya akal pikiran ! untuk itulah ketika gambaran binatang yang serba tak berakal ini dibalik penjelasannya oleh Garth Stein dalam novel inspiratifnya “The Art of Racing in The Rain” (2008) banyak sekali orang yang meneteskan air mata saat membacanya. Seekor anjing yang bernama Enzo telah mengambil alih peran seorang filsuf untuk menjelaskan dan memaknai kehidupan dirinya. Sebuah sindiran telak untuk manusia yang sudah terlalu lupa untuk mencandra diri dan kehidupannya sendiri. Karena sudah terlalu lupa dengan diri sebagai manusia, maka mereka bahkan sudah bersikap dan berperilaku tak lebih daripada seekor anjing !

Binatang, kata Nora, tak pernah terlalu sibuk berpikir dan merenung tentang neraka dan surga. Mereka pasrah menjalani takdirnya. Tak ada dinamika dalam kehidupan mereka. Jadi untuk apa mereka terlalu resah dengan surga dan neraka ? hanya manusia yang memiliki kehendak bebas (free will) dan layak ditagih oleh Tuhan sebagai implikasi kebebasan berkehendaknya itu. Jadi karena hanya manusia yang sibuk dengan telaah dan repot dengan surga dan neraka itu, pastilah surga itu juga diciptakan untuk manusia.

Pertanyaan menarik untuk Adam sebagai manusia pertama adalah : mengapa Tuhan memilih bumi sebagai “kurungan” dan penjara setelah dia melanggar perintah Tuhan ? Bumi dipilih agar manusia seperti Adam dipastikan kuat menjalani masa hukuman tersebut. Ingat, Tuhan tidak akan memberi cobaan yang melebihi daya tahan makhluknya ! saya bayangkan andai waktu itu Adam dan Hawa dilempar ke Jupiter, pastilah siang dan malam kita akan lebih panjang (betapa lamanya menahan lapar saat puasa he he he). Atau mereka berdua dilemparkan ke Markurius saja, tak bisa dibayangkan betapa uniknya tubuh kita, karena penuh pijaran listrik dari cipratan energi matahari yang membara saking dekatnya (betapa uniknya baju dan celana kita, he he he ).

Bumi dipilih tentu dengan sebuah pertimbangan maha cerdas. Bumi dipilih tentu dengan sebuah alasan masuk akal. Di planet bumi inilah manusia diberi pilihan untuk menciptakan surga dan nerakanya sendiri. Untuk itulah bagi seorang James Canton (2009) yang menulis buku “The Extreme Future”, menjadi kebebasan penuh bagi manusia untuk membangun surga atau neraka di muka bumi ini. Kita hancurkan bumi dengan rasa penasaran atas ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa mau lebih menahan diri untuk menjaganya, maka neraka akan segera tercipta. Kehancuran ekosistem, kehancuran habitat, penggundulan hutan, penggunaan senyawa kimia, pemanasan global, hingga ribuan contoh-contoh lain yang membuat Canton yakin kita hanya mengulang-ulang cerita “ingin tahu”nya Adam saja. Ujung dari rasa ingin tahu berlebihan itu akan melemparkan kita pada jurang hukuman persis seperti saat Adam dihukum Tuhan hijrah dari surga ke bumi. Jadi bagi seorang Nora, surga bisa kita ciptakan di bumi. Artinya seluruh sifat surga yang indah, nyaman, dan nikmat bisa kita ciptakan di sini, di bumi ini. Apa syaratnya ? asal kita sama-sama mau saja.

Masalah keinginan untuk menciptakan bumi yang seperti surga inilah dalam sejarah peradabannya mendistorsi peran manusia dalam kelindan ilmu pengetahuan dan keimanan. Persis yang digambarkan oleh Angels & Demons bahwa pertikaian antara agama dan ilmu pada dasarnya dengan tujuan yang sama : kemaslahatan seluruh umat manusia. Selama ini ilmu dipandang membawa petaka karena sifat rakus dan keras kepalanya (bahkan melawan dalil atas tuhan). Selama itu pula agama dipandang menggariskan sejarah ketololannya sendiri dalam menerjemahkan petanda alam, sehingga muncul kepasrahan dan kedunguan yang menghentikan eksistensi manusia sebagai homo sapiens.

Surga bukanlah konsep tempat. Surga adalah suasana. Surga adalah rasa. Kenyamanan, ketentraman, penghargaan, dan kasih sayang berlimpah. Kalau cuma itu yang selalu digambarkan tentang surga, maka mungkin kita bisa mengonstruksi surga itu di sini, di bumi ini. Hidup terus damai dengan orang lain, tanpa mengobarkan kebencian. Hidup terus belajar untuk mencapai kepintaran memudahkan proses hidup yang pendek ini. Hidup dengan terus menghargai karya orang lain. Memberikan diri untuk terbuka pada orang lain dengan mengikis habis prasangka buruk dalam hati. Begitu banyak energi yang bisa dibangkitkan untuk “menciptakan” surga itu. Masalah utamanya hanya satu : kita memang tidak pernah mau belajar dari sejarah yang sudah-sudah ! kita hanya mengulang cerita yang sama berkali-kali tanpa kita menyadari. Jadi sekarang aku tahu mengapa lewat surat-suratnya Nora K. mampu menghipnotis dan membuat kagum para filsuf. Anak kecil itu telah mengajarkan sesuatu yang bahkan tidak sempat terpikirkan oleh para filsuf besar tadi, karena mereka terlalu asyik dengan egonya sendiri-sendiri. Nora telah mentransformasi pemikiran para filsuf. Ide esensialnya adalah kalau memang kita mampu mengapa tidak berupaya menciptakan surga di bumi saja ? tak berlebihan memang. Terima kasih Nora ....

Baturetno, Juni 09