Sabtu, 30 Mei 2009

Harsa dan Narsisisme ?

Selalu saja ada yang menarik setiap kali menghabiskan waktu bersama Harsa, anakku. Terkadang aku baru menyadari bahwa dunia anak-anak adalah dunia dimana simbol bermain dengan kebebasan sepenuhnya telah tercipta. Pada dunia anaklah segala macam “dunia” bisa diciptakannya. Ia bisa manganggap apapun menjadi sesuatu apapun juga. Tak terbatasi oleh kungkungan rasionalitas dan emosionalitas. Dua hal yang selalu mendera manusia dewasa, yang tak pernah sadar hidup hanya dikendalikan oleh egonya. Itulah Harsa. Hari ini tanggal 31 Mei 2009 mungkin dia tidak pernah tahu bahwa dia sudah berumur tiga tahun tujuh bulan. Usia yang masih sangat muda. Selalu menjanjikan permainan demi permainan. Homo luden dalam tataran sangat awal. Akupun terkadang ikut larut dalam permainan dunianya. Ikut tertawa bersamanya. Kadang menuntaskan kejengkelan dengan menghardiknya (ini seh terbawa gejala hipertensiku .. he he he). Sangat membanggakan apabila dia berperilaku nakal dan unik sebagai sebuah ciri khas. Dunia Harsa memang menarik. Sama menariknya dengan dunia anak-anak lain. Namun ada satu kebiasaan Harsa yang menurutku sangat unik. Dia sangat menikmati ketika mamandang dirinya di cermin atau foto dirinya sebagai hasil japretan istriku, Erni.
Perilaku sangat menikmati wajah dirinya dicermin, lalu kemudian senyam-senyum sendiri sering membuatku terkekeh-kekeh karena gembira. Dia telah belajar langsung teori fase cermin dari Jacques Lacan (Bracher, 1997). Dia mengenal dirinya, sekaligus menikmati dirinya dalam sebingkai cermin. Sekalipun mungkin nanti setelah dia besar aku akan menjelaskan bahwa yang muncul dicermin itu bukanlah dirinya. Itulah diri konstruksi. Tapi itu mungkin nanti saja, setelah dia dewasa dan mau mengerti tentang diri. Saat ini dia masih terlalu kecil. Harsa memang suka bercermin. Suka menikmati wajah dirinya. Mungkin dia menemukan keasyikan tersendiri ketika berinteraksi dengan “dirinya” yang lain, sosok yang muncul di cermin. Tapi secara awam orang akan mengkategorikan perilaku itu sebagai manifestasi narsis atas diri. Sebuah kata dari labirin psikoanalisis Freudian. Narsisisme diambil dari mite Narcissus dari Yunani. Kata itu bisa menunjuk pada sebuah perversi seksual dimana orang memperlakukan tubuhnya sendiri seperti obyek seks yang didambakan. Pengertian lain mengatakan bahwa narsisme merupakan investasi libido apapun di dalamnya karena itu kateksis dari aspek diri yang berlawanan dengan obyek eksternal. Narsisisme bukanlah patologi. Di dalamnya tersimpan sejuta energi percaya diri. “Mending narsis ketimbang minder”, katanya sih begitu. Kata terakhir ini menciptakan sosok-sosok yang neurosis secara sosial.

Namun dengan segala keyakinanku, aku berani mengatakan Harsa tidaklah terperangkap dalam neurosis demikian. Yang terjadi saat ini pada dirinya hanyalah sebatas senang melihat diri yang lain yang muncul di cermin. Tak kurang tak lebih. Membayangkan apabila nanti setelah dia besar aku akan bercerita gaya nakal dan genit dia di depan cermin tentu akan membuat kesan romantisme tersendiri dalam dirinya. Biasanya kita akan sangat ingin tahu seperti apa kita saat masih kecil. Saat mana tak satupun dari peristiwa-peristiwa itu sempat terekam oleh otak kita. Mengingat otak kita baru bisa merekam sempurna saat kita berumur empat hingga lima tahun. Nah tahun-tahun sebelum itu lebih banyak dinamakan fase “kegelapan” dalam diri kita. Kita tak tahu dunia. Kita tak terlalu bisa membedakan mana paman, ayah, dan bahkan kakek. Secara instingtif kita hanya merasa bahwa salah satu lebih lembut dan lebih sayang dibanding lain. Semua berdasarkan instingtif semata. Otak belum bisa banyak membantu. Dia berkembang seiring waktu. Tapi percayalah, bahwa justru saat-saat itulah saat yang paling menarik dan terindah dalam hidup. Saat mana kita tak memiliki kehendak bebas. Otomatis itu menjadi saat-saat dimana kita tidak dituntut untuk bertanggung jawab atas apapun yang kita lakukan. Merdeka seutuhnya. Egois sepenuhnya. Memang enak menjadi manusia tanpa tanggung jawab. Harsa berada dalam fase itu. Aku selalu suka memproyeksikan diriku seperti halnya dia. Membayangkan betapa aku sangat disayang, dimanja, dituruti kemauannya oleh ayah, ibu, dan kakak-kakakku. Harsa memiliki kekurangan dibanding diriku yang ditakdirkan lahir sebagai anak bungsu. Kakakku sembilan. Aku sendiri anak ke sepuluh. Harsa anak sulung. Dia tidak memiliki kakak. Persis seperti takdir istriku yang terlahir sebagai anak sulung. Biasanya mereka adalah orang-orang yang tegar. Tak mau bermanja-manja. Tahan terhadap cobaan dan tantangan. Berbeda 180 derajat dengan anak bungsu sepertiku. Anak sulung akan labih cenderung merasa dirinya berkuasa atas adik-adiknya. Dia memiliki beban lebih berat dalam menempuh hidup. Mungkin Harsa akan menjadi seperti itu. Terlepas dari mampu atau tidaknya dia, harapanku cuma agar dia tidak pernah terdikte untuk menjadi “sosok lain” dari apa yang dirasa nyaman olehnya. Baiklah ..... kita kembali pada ide awal tulisanku kali ini. Sebuah tulisan yang berupaya menjelaskan seberapa besar ide dan perilaku narsis melekat dalam diri anak sulungku itu. Harsa yang narsis. Sekaligus juga mengoreksi kesalahan terminologi dan konseptual yang terus berlangsung hingga hari ini atas kata “narsis”.
Asal Mula ...

Narsisisme diambil dari mite Narcissus dari Yunani, yang berkembang menjadi batasan akan perversi seksual, dimana orang memperlakukan tubuhnya sendiri seperti obyek seks yang didambakan. Dalam teori Freud, investasi libido atas apapun di dalamnya yang mengakibatkan terjadinya kateksis dari aspek diri yang berlawanan dengan obyek eksternal. Kebanyakan orang mengira bahwa narsis ini patologis. Namun sesungguhnya dia bukanlah sesuatu yang merugikan dan bisa dimaknai sebuah “kekurang normalan”. Dia diperlukan untuk mencari dan mengidentifikasi diri dalam konteks membina relasi dengan lingkungan sosial dan orang lain. Setiap kita membutuhkan sejumput narsis. Tentu agar memahami apa nilai lebih dan kekuatan kita. Pemahaman yang saya kutip dari Ensiklopedi Psikologi (1996) yang disusun Rom Harre & Roger Lamb tadi mensiratkan kompleksitas yang diemban oleh terminologi narsis dan narsisisme tadi. Kesalahan terbesar biasanya bermula ketika kita memberikan muatan negatif atas kata itu.

Gambaran sederhana tentang narsisisme ini diberikan oleh Jeremy Holmes (2003) dalam bukunya Narcissism. Kata itu mewujud nyata dalam bentuk cermin yang kita pandang setiap hari. Kita sering sekali dibuat kagum oleh cermin. Mengapa ? kita asyik mengagumi diri kita saat bercermin. Cermin merupakan objek yang seketika berubah menjadi subjek saat kita sudah terpaku berdiri dihadapannya. Muncul dua rasa yang berbeda, suka cita atau kengerian tiada tara. Yang pertama dirasakan oleh seseorang yang merasa yakin bahwa dirinya menarik, pantas, bangga atas elemen dan tekstrur wajah dan tubuh yang hadir dalam cermin dihadapannya. Sementara rasa kedua muncul dari ketidakrelaan menerima sosok yang ada di dalam cermin dikarenakan dia tidak sesuai dengan “diri ideal” yang dicitrakan dalam media dan konsensus masyarakat. Holmes menyebutkan inilah sisi dilematis dari narsisisme. Pemahaman narsisisme lebih mengacu pada tindak lanjut dari rasa yang pertama. Apakah seseorang yang merasa yakin akan kejelekan wajahnya mau berlama-lama bercermin dan mematut diri ? apakah seseorang yang rusak sebagian besar wajahnya mau berlama-lama di depan cermin ? Dia benci cermin. Itu manifestasi benci dengan keadaan dirinya. Mungkin setelah kecelakaan pertama yang menimpa dirinya sebelum dia mati karena narkoba, salah satu barang yang paling dibenci Alda Risma adalah cermin. Mengapa ? karena kecelakaan itu telah menghancurkan wajah ayu dan melankolisnya. Kenyataan yang membuat dia mencari pelarian dan terjerat lebih dalam pada narkoba, berujung maut yang menimpa. Sejak Havelock Ellis pada akhir abad ke-19 sebagai seorang seksologis menjadi orang pertama yang menghubungkan mitos Narcissus klasik dengan hambatan psikologis, maka sejak saat itu kajian tentang narsisisme menyeruak ke dalam ranah kesadaran manusia akan hakekat dirinya. Secara teoritis, aliran psikologi yang cukup serius mengurai narsisisme adalah psikoanalisis.

Penjelasan Psikoanalisis ...

Dalam upaya menjelaskan tentang konsep tersebut, Freud (2006: 478-479) sendiri membedakan antara konsep narsisisme yang dibandingkan dengan konsep egoisme. Menurutnya, narsisisme adalah pelengkap libidinal egoisme. Ketika kita berbicara tentang egoisme, kita sedang berpikir hanya tentang orang yang bersangkutan, narsisisme juga berhubungan dengan pemuasan kebutuhan libidinalnya. Adalah mungkin untuk menindaklanjuti keduanya secara terpisah untuk jarak yang cukup jauh sebagai motif praktis dalam kehidupan. Seseorang mungkin secara mutlak egoistis tetapi memiliki keterikatan libido yang kuat dengan objek, sejauh pemuasan libido dalam sebuah objek merupakan kebutuhan egonya. Egoismenya kemudian akan melihat bahwa keinginannya terhadap objek tidak melukai egonya. Seseorang mungkin egoistis dan pada waktu yang sama juga sangat narsisistik (yaitu tidak merasa butuh terhadap objek), dan ini terjadi lagi entah dalam bentuk yang diambil oleh kebutuhan akan pemuasan seksual langsung atau dalam bentuk perasaan yang lebih tinggi yang berasal dari kebutuhan seksual yang secara umum disebut “cinta”, dan dengan cara tersebut dikontraskan dengan “sensualitas”. Dalam semua situasi ini egoisme adalah unsur yang jelas dengan sindirinya dan konstan, dan narsisisme variabelnya.

Gagasan psikoanalisis tentang narsisisme bisa dibagi ke dalam tiga bagian yang berbeda : narsisisme libidinal (berkaitan dengan libido), narsisisme destruktif (bersifat merusak), dan narsisisme yang sehat. Tak penting untuk terlalu mengungkap mana dari tiga bagian itu yang telah secara prinsipil layak diwaspadai, seperti yang dikatakan Freud bahwa narsisisme destruktif akan membawa pada kehancuran. Namun secara psikologis masyarakat Amerika saat ini tengah kebingungan dengan sebuah epidemi narsisisme sebagai buah dari over-confidence mereka sendiri. Seperti ditulis dengan cerdas oleh Twenge & Campbell (2009) bahwa over-confidence dalam masyarakat AS akan menciptakan fenomena sama seperti halnya obesitas. Penikmatan atas konsumsi makanan menciptakan generasi yang selalu bermasalah dengan berat badan. Mereka menyadari kelebihan berat badan akan bermasalah bukan cuma secara sosial, namun juga akan berbuah kematian. Tapi anehnya mereka menemukan dan menyadari itu setelah habis-habisan mempraktekkan pola konsumsi yang tidak sehat. Seperti itulah narsisme yang muncul karena kita habis-habisan ingin memperoleh dan mendapatkan confidence atas diri kita. Hasilnya adalah over-confidence. Kegelisahan atas epidemi narsisisme ini dituangkan dalam buku mereka untuk mengingatkan akan bahaya kepercayaan diri yang terlalu berlebihan justru akan menciptakan masyarakat anarki. Tidak ada lagi sosok yang mau menjadi anak buah. Semua ingin jadi pemimpin !

Kembali pada kebiasaan bercermin si Harsa, anakku. Sungguh aku yakin bahwa dia tidak akan menjadi sosok pencipta masyarakat seperti yang dikatakan Twenge & Campbell di atas. Dia hanya menikmati cermin sebatas have fun anak kecil yang selalu asyik dengan dunia interaksionisme simboliknya. Semoga memang demikian .....

Referensi :

Bracher, Mark (1997). Lacan, Discourse, and Social Change : A Psychoanalytic Cultural Criticism, Cornel University Press, New York.

Freud, Sigmund, (2006). Pengantar Umum Psikonalisis Sigmund Freud, Penerjemah Haris Setiowati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Holmes, Jeremy (2003). Narsisisme, Penerjemah Basuki Heri Winarno, Penerbit Pohon Sukma, Jogjakarta.

Twenge, Jean M., & W. Keith Campbell, (2009). The Narcissism Epidemic : Living in the Age of Entitlement, Free Press, New York.

Selasa, 26 Mei 2009

Ilmuwan dan Penguasa : Relasi Pemanfaatan ?

Sebagai seorang manusia yang mencoba mengabdikan dirinya sebagai ilmuwan, aku ingin berkeluh kesah sambil menelisik sejarah. Tentang kehidupan ilmuwan yang ternyata tidak juga berubah. Ada fakta menarik ditengah-tengah sejarah barbarisme para Khalifah Abbasiyah yang memerintah Islam setelah beberapa abad kematian Nabi Muhammad. Sudah menjadi fakta sejarah bahwa para penguasa dan khalifah saat itu menggunakan pendekatan Marchavelian dalam menjalankan kekuasaan. Gunakan cara apapun untuk mempertahankan kekuasaan. Tak penting menilai cara, yang penting hasilnya ! Imbas prinsip itu juga menelan banyak korban para ilmuwan Islam. Sebagai gambaran adalah ketika khalifah al-Manshur memerintah sebagai barisan dinasti Abbasiyah.

Banyak sekali jumlah para fuqaha atau imam besar Islam di masa khalifah al-Manshur. Tersebutlah Abu Hanifah, Imam Malik, al-Auza’i, Umar bin Ubaid, Sufyan as-Tsauri, Ubbad bin Katsir, Ja’far bin Muhammad as-Shadiq, dan lain-lain. Rata-rata mendapatkan penyiksaan, andai mereka berseberangan dengan penguasa. Abu Hanifah disiksa dengan cara dikurung, dicambuk, dan akhirnya diracuni hingga mati, hanya karena Abu Hanifah menolak untuk memimpin peradilan masanya. Penyiksaan al-Manshur terhadap Imam Malik, dengan cara melecutnya dalam kondisi telanjang bulat agar ia merasa terhina, tidak lain karena Imam Malik menyebutkan hadis yang tidak disukai al-Manshur. Namun cerita itu belumlah seberapa. Yang paling tragis adalah perlakuan yang diterima oleh ulama Ibnu Muqaffa.

Sosok ahli fiqih ini mengirimkan sebuah buku tipis kepada al-Manshur. Judulnya Risalah al-tahabah (Risalah tentang para sahabat). Di situ tertulis antara lain nasihat untuk khalifah agar pandai-pandai memilih para pembantu dan memperbaiki sistem pengelolaan masyarakatnya. Meski nasihat disampaikan dengan bahasa yang sangat santun, namun tanggapan al-Manshur menunjukkan betapa isi buku itu begitu menyinggung urat-urat kekuasaan dia. Bagi al-Manshur fungsi tertinggi dari seorang sastrawan adalah menyampaikan puja-puji. Peranan terakhir seorang pemikir tak lain dan tak bukan adalah memberi legitimasi. Bila melenceng dari itu, apalagi mengeritik penguasa, maka layak diberi pelajaran ! Ibnu Muqaffa ditangkap. Tungkai dan lengannya dicincang satu per satu. Potongan dagingnya dipanggang di atas bara api, tepat dihadapannya. Karena saat dicincang tangannya itu Muqaffa masih hidup. Dia masih bernapas ! setelah potongan daging itu matang, satu persatu pula daging panggang itu dijejalkan ke mulutnya. Dia harus memakan daging tangannya sendiri ! Ibnu al – Muqaffa menjalani penderitaan tiada tara sampai ajal pun menjemputnya. Apakah anda masih dapat membayangkan peristiwa itu bisa terjadi di abad modern ini ? rasa-rasanya sekeblinger-blingernya George W. Bush, sebrengseknya Saddam Husain, atau sekejam-kejamnya Hitler, mereka tidak pernah memiliki daya kreatifitas sehebat al-Manshur dalam memberikan hukuman. Kita bangga, kita jauh lebih beradab. Memang tak salah Islam diturunkan di tanah Arab. Sebuah tanah dimana kedunguan dan kezaliman menemukan habitatnya. Celakanya, apa yang kita dengar dari buku sejarah tentang al-Manshur ? cerita penyiksaan tadi tidak pernah ditulis. Yang ada cuma al-Manshur adalah seorang negarawan besar. Pemberi jalan terang bagi kekhalifahan dinasty Abbasiyah.

Sejarah memang milik para pemenang. Pihak yang kalah tidak memiliki kuasa dalam menuliskan sejarah. Tidak ada objektivitas dalam sejarah. Hidup dan cerita kehidupan para ilmuwan pun mengalami beragam versi dan seri tertentu sesuai dengan setting penceritaan. Namun banyak sekali martir ilmu pengetahuan yang biasanya mengambil sikap berhadapan dengan penguasa, saat mereka menyadari bahwa penguasa sudah keluar dari garis kewajarannya. Padahal tidak ada kuasa politik yang wajar-wajar saja. Semua penuh manipulasi dan tipu daya. Demi kursi untuk berkuasa. Tak ada yang salah. Sekaligus juga tak ada yang benar. Para ilmuwan Eropa juga harus lari terbirit-birit saat Adolf Hitler memegang kekuasaan di Jerman. Mereka yang berkumpul di Amerika untuk masa berikutnya membuat negara ini menjadi adidaya dengan pemikiran sains dan sosialnya. Itulah hikmah. Namun perlu pula kita ingat, bahwa diantara banyaknya ilmuwan yang menjadi martir kebenaran itu, lebih banyak lagi yang memposisikan diri sebagai pelegitimasi kekuasaan.
Sejajar dengan pemahaman al-Manshur tentang posisi ilmuwan sebagai pelegitimasi, begitu pula peran mereka di abad ini. Mungkin saja dahulu ilmuwan mendukung khalifah (sekalipun buruk perilakunya) karena ketakutan akan bayangan penyiksaan dan teror mengerikan. Saat ini tak ada alasan penyiksaan gaya khalifah Abbasiyah diberlakukan. Dunia akan mengutuk itu. Namun ada alat penarik yang luar biasa berpengaruh pada posisi membela legitimasi itu. Kekuatan itu adalah uang dan kenikmatan hidup.

Ilmuwan saat ini adalah ilmuwan profesional. Begitu kata mereka. Begitu pengakuan mereka. Ilmuwan dibayar sesuai dengan kontribusi keahlian mereka. Sebutlah mereka sebagai kaum puritan elitis. Kaum yang menempatkan ilmu di atas segala-galanya. Membawahi kebenaran itu sendiri. Ilmu berada di puncak singgasananya. Hanya tinggal direngkuh dan diterapkan saja. Tak ada hubungan antara ilmu dengan pembelaan posisi dan kekuasaan seseorang, entah itu raja, gubernur, presiden, maupun ketua partai berlambang sapi jantan. Secara teoretis begitu gampang. Tapi di situlah sudut berkelit yang maha menarik. Dengan menjadikan ilmu sebagai landasan, maka posisi keberpihakan dan penjilatan kepada pengusaha menjadi terhaluskan. Bahkan unsur legitimasi tidak bisa lagi dibedakan dengan unsur hegemoni. Ilmuwan dalam posisi ini telah dimanjakan dengan proyek dan kehidupan lengkap duniawi. Mereka digaji tinggi. Dicukupi kebutuhan itu dan ini. Fungsi kritis dan hati nurani menjadi mati. Pikiran sederhana mendukung itu : “ketimbang bersusah susah berbeda dengan penguasa, menimbulkan kegetiran dan penderitaan, mengapa tidak dukung dan kuatkan kekuasaan pemerintahan ?” sambil tersenyum merasa menang, “Toh kita-kita tetap diuntungkan,”.

Ilmuwan memang telah terbeli di sepanjang zaman. Tak perlu lagi kita ragukan. Hanya tinggal memilih : mau menjadi ilmuwan yang dimanfaatkan, atau mau menjadi penguasa yang memanfaatkan tenaga dan pikiran ilmuwan. Simpel khan ?

Sabtu, 16 Mei 2009

APA KATA BERNARD PODUSKA TENTANG KEPRIBADIAN ?

Membaca tentang teori-teori kepribadian memang menarik. Paling tidak ini membuat kita bisa intropeksi diri, lewat upaya komfarasi teori-teori kepribadian dan mulai menempatkan diri kita cenderung berada di titik mana. Salah satu buku tentang kepribadian yang aku ulang lagi membacanya hari ini adalah buku “Empat Teori Kepribadian” karya Bernard Poduska & R. Turman Sirait. Buku yang sudah dicetak empat kali (1990, 1997, 2000, 2002) diterbitkan oleh Restu Agung, Jakarta. Paling tidak beberapa waktu terakhir ini aku berusaha menyeimbangkan sumber buku (terutama penerbit) yang aku beli. Beberapa kali ada penerbit yang nampaknya kurang bertanggung jawab ketika berani menerbitkan buku yang terjemahannya sendiri masih “amburadul” (nah kalo ini ingat ama lagu Ruth Sahanaya yang nemenin tiap malam saat bikin resume buku !) akhirnya malah bikin pusing ketika membacanya. Jadi ada kalanya membeli buku terbitan Jakarta, dan ada kalanya juga membeli buku terbitan Yogyakarta, Bandung, dan Solo. Setiap kota membawa implikasi harga buku yang berbeda, karena discount yang berbeda … terus karena discount yang berbeda .. heyyy .. kok malah ngomongin tentang harga ya ……. kapan bicara isi bukunya ?
“ he . he. He.. sabar … man..”
“Jangan terburu-buru….!” Ini baru sebangsa preface atas sebuah buku yang menurutku layak untuk dibeli dan dibaca karena gaya populernya. Gaya populer ?? nah ini dia kehebatan Poduska dan Sirait. Mereka menawarkan empat teori (sebenarnya perspektif atau konsepsi) tentang diri manusia. Keempat perspektif itu adalah : Eksistensialis, Behavioris, Psikoanalitik, dan Aktualisasi Diri. Pembicaraan secara teoritis atas empat konsepsi itu sebenarnya sangat njelimet, kompleks, dan butuh bacaan banyak[1]. Tapi disinilah hebatnya Poduska dan Sirait ini. Mereka nampaknya tidak mau terjebak pada penuturan teori-teori dasar yang kompleks. Mereka justru memberikan beragam contoh dan fenomena hidup riil sehari-hari yang mengacu dan menggambarkan implementasi dari teori-teori tersebut. Sebagai contoh : untuk menjelaskan konsep berat seperti superego, mereka mengambil gambaran kehidupan seperti berikut :

“Super ego ………. Berlaku dalam kemutlakan, hitam atau putih, benar atau salah. Selama tingkat-tingkat internalisasi dini, hati nurani anda terutama berjalan dalam suatu prinsip “semua atau tidak sama sekali”. Anda berbuat salah satu, mencurinya atau tidak mencurinya. Anda menipu atau tidak melakukannya. Anda berdusta atau tidak, sebagaimana waktu Ibu berkata kepada seorang penjaja (sales) di depan pintu bahwa dia tidak mungkin diganggu karena mau pergi ke dokter gigi. Reaksi anak mungkin, “Hm, ibu berdusta.” .. “Ya, tidak sesungghunya. Saya akan mengadakan janji dengan dokter gigi. Memang tidak sekarang tetapi nanti”…. “tapi itu suatu dusta, Bu. “ anak itu keluar pintu dan berseru “ Ibu bohong.. ibu bohong….” (hal. 81). Itulah superego yang ditanamkan. Dia hanya tahu hitam atau putih, benar atau salah, dan tidak pernah ada area abu-abu. Gaya bercerita seperti itu menarik karena kemampuan aplikasinya dalam kehidupan riil sehari-hari. Sepanjang buku tersebut cara bercerita yang dibangun selalu sama seperti di atas. Juga ketika mereka menjelaskan tentang kepribadian menurut perspektif Eksistensialis, Behavioris, maupun Humanistik. Namun tujuanku sebenarnya ketika mencoba menulis isi buku ini adalah guna memaparkan bagaimana kepribadian bisa tercermin dari beragam perspektif yang berbeda. Marilah kita lihat dua perspektif dulu dari empat perspektif yang ditawarkan itu. Oke .… tarik coyyyy ….

Kepribadian menurut Eksistensialisme

Aliran yang dipopulerkan Jean Paul Sartre ini memiliki daya terobos yang luar biasa atas kemapanan sistem dan fungsionalis. Bagi Sartre dirilah yang berkuasa.

Satu kalimat pusaka dari aliran eksistensialis tentang kepribadian adalah “ Anda adalah anda karena anda menghendaki demikian”. Untuk membongkar makna kalimat itu kita harus sadar suatu prinsip bahwa lingkungan kita sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap diri. Kita adalah seorang penafsir atau penerjemah lingkungan itu, dan sesuai dengan tafsiran kita, kita sudah memilih menjadi orang atau pribadi seperti apa keadaan kita sekarang. Dengan sudah memilih menjadi orang seperti kita sekarang, tidaklah berarti bahwa kita menghendaki menjadi yang kita pilih. Pilihan disini hanya berarti bahwa kita bertanggung jawab akan pilihan kita itu, yaitu pribadi kita sekarang.

Pertamakali kita mengenal aliran ini, kita mungkin melihat bahwa konsep pertanggungjawaban ini menimbulkan rasa kurang enak atau kita cenderung menolaknya, karena dengan demikian tak ada lagi kambing hitam. Tidaklah kesalahan siapapun yang membuat kita menjadi kita. Beberapa orang cenderung untuk memaafkan kegagalan mereka dalam kehidupan ini dengan mengatakan bahwa kekurangan atau kegagalan itu karena kesalahan orang tua atau orang lain. Namun terlepas dari itu semua, yang menjadi dasar untuk mengkaji eksistensialis adalah persepsi kita terhadap lingkungan itu sendiri.

Lingkungan tidak membuat kita harus menanggapinya dalam satu cara tertentu, lingkungan itu hanya menghidangkan alternatif-alternatif yang dapat kita perhatikan atau abaikan. Kita harus bebas untuk menanggapi dunia ini sebagai dunia busuk ataupun menakjudkan, atau menanggapi dunia atau Tuhan kita sebagai murah hati, penolong, pendendam & tidak kenal ampun, atau hidup kita sebagai yang berharga atau tidak berharga dan penuh dosa. Kita bebas untuk memilih. Dalam kondisi tertentu sebenarnnya kita tidak memiliki kuasa memaksa dan membuat orang lain bahagia kalau dirinya memilih untuk tidak bahagia. Cerita seorang istri yang merasa tidak tahan dengan kebaikan suaminya (cerita tentang perfectionis sang suami) kemudian menceraikannya, membuat bingung sang suami. Suami bermaksud membahagiakannya dengan kesempurnaan dan kemudian tidak meninggalkannya, namun ternyata sang istri memilih untuk menanggapi sebaliknya. Akhirnya kita tidak dapat membuat seseorang menjadi sesuatu.

Realisasi bahwa hanya kita yang dapat membuat membuat diri kita bahagia, sedih, marah, tertekan, atau sesuatu emosi lainnya, untuk pertama kali memang sukar. Kita dapat memilih untuk memepertahankan, bahwa walaupun seseorang tak dapat membuat kita merasakan sesuatu, dia (obyek) masih dapat mempengaruhi kita. Dia tidak dapat, kecuali kita memilih untuk dipengaruhinya. Seseorang mungkin memilih untuk melakukan banyak perbuatan yang hati-hati dan dipikirkan untuk mempengaruhi reaksi emosi kita terhadapnya. Kita mungkin memilih untuk menjawabnya dengan ucapan terimakasih, atau kita bisa memilih untuk merasa salah karena kita tidak pernah berpikir melakukan perbuatan-perbuatan terencana yang timbal-balik. Ingat cerita Victor Frank ketika disiksa dan dianiaya tentara Nazi ? dia dengan tegas mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak atas rasa sakit atau rasa nikmat yang mendera tubuhnya. Sekalipun dicambuk dan dipukuli, Frank tidak pernah mengeluh kesakitan. Tentara Jerman bengong !

Kepribadian dari Behaviorisme

Pengikut aliran behavioris lebih tertarik pada perilaku yang terjadi, dalam merubah perilaku tertentu, dan dalam meramalkan perilaku dimasa mendatang. Mereka sangat percaya bahwa “manusia adalah hasil dari sejumlah kondisi-kondisi yang mempengaruhinya !”. Kalaupun kemudian ada kesimpulan bahwa seorang bayi kelaparan, bukanlah kelaparan bayi itu yang menjadi penanda laparnya dia, namun lebih karena stimulus tangisan dari bayi tersebut. Dengan perilaku menangis itulah maka si bayi menunjukkan dirinya lapar. Jadi lingkungan kitalah yang memberikan stimulus atas segala perilaku yang akan kita tunjukkan. Pada kasus diri, orangtua, agama, dan segala sesuatu dalam lingkungan kita, semua itu bertanggung jawab, mempengaruhi bagaimana jadinya kita.

Menurut behavioris tidak ada dan tetap tidak akan pernah ada kebebasan memilih. Dalam realitas behavioris, kebebasan memilih dan kebebasan menentukan tidaklah ada. Hanya hukum perangsang dan jawaban terhadap perangsang itu (the laws of stimulus dan response) yang ada. Jika kita percaya bahwa kita mempunyai kebebasan memilih, itu adalah hanya karena kita sudah dipengaruhi atau dikondisikan untuk mempercayai itu.

Untuk melihat bagaimana hukum stimulus & respons maka Thorndike memberikan beberapa pertimbangan. Pertama, hubungan yang anda buat antara suatu respon dan akibat-akibat dari respon itu, dapat diperkuat ataupun diperlemah oleh akibat-akibat dari respon itu. Ada konsep belajar yang dipegang oleh prinsip ini. Belajar adalah suatu perubahan dalam perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan beberapa pengalaman. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan atau cara melakukan itu yang dapat dilihat atau diamati, maka tidak ada hal belajar yang terjadi. Kedua, pengikut behavioris hanya tertarik mengenai hasilnya, yaitu perubahan dalam perilaku yang menyatakan bahwa hal belajar sudah terjadi. Ketiga, perubahan dalam sering terjadinya perbuatan itu sebagai suatu indikasi hal belajar. Setiap perubahan mengenai seringnya terjadi, diukur sejak dari respon pertama. Jika seringnya perbuatan itu bertambah atau berkurang, maka sudah ada perubahan dalam perilaku, dan hal belajar sudah terjadi.

Yang terpenting untuk dipahami adalah bahwa jika perubahan-perubahan itu tidak terjadi, maka hal belajar tidaklah terjadi. Kekuatan behaviorisme terletak dalam membuat hal belajar itu terjadi. Sebagaimana halnya dengan penerapan dari setiap kekuatan, kekuatan itu dapat disalahgunakan Namun, penerapan yang menguntungkan adalah maksud yang utama dari kebanyakan pengikut behaviorisme. Ahli-ahli behavioris sudah menerapkan teknik mereka dalam rumah sakit jiwa dengan sangat berhasil. Mereka sudah membuka atau menyingkirkan penghalang-penghalang yang sukar, dimana banyak aliran-aliran psikologi yang lain sudah menemui jalan buntu. Mereka juga sudah membuat kemajuan-kemajuan yang besar dalam perawatan anak-anak atau orang yang bermental terbelakang, dimana aliran psikologi yang lain sudah gagal. Dan mereka sudah mempengaruhi bidang-bidang teori belajar dengan dampak yang lebih besar dari yang dilakukan aliran psikologis lainnya.


Lalu bagaimana dengan dua yang lainnya ? psikoanalisis dan aktualisasi diri ? ahh kapan-kapanlah akan aku bongkar lagi. Minimal saya butuh membaca beberapa buku lain sebagai penyeimbang karena hari ini terlalu banyak membaca buku psikologi. Nampaknya bermain-main dengan si ganteng Harsa, anakku, menjadi lebih menarik untuk menghabiskan hari ini. Gitu dehh ... he he he he


Catatan :
[1] Minimal ketika menyarankan begini aku jadi ingat saat menyampaikan kuliah Psikologi Komunikasi tentang empat konsepsi itu. Aku gunakan buku Linda L. Devidoft “Psikologi Suatu Pengantar” untuk betul-betul mengantarkan mahasiswa mengenal psikologi. Hasilnya empat konsepsi itu terlalu permukaan untuk dipelajari dari buku tersebut. Mungkin harus menelaah dan mengelaborasi lebih dalam dari setiap teori dan konsepsi ini.

APA KATA BERNARD PODUSKA TENTANG KEPRIBADIAN ?

Membaca tentang teori-teori kepribadian memang menarik. Paling tidak ini membuat kita bisa intropeksi diri, lewat upaya komfarasi teori-teori kepribadian dan mulai menempatkan diri kita cenderung berada di titik mana. Salah satu buku tentang kepribadian yang aku dapatkan baru-baru ini adalah buku “Empat Teori Kepribadian” karya Bernard Poduska & R. Turman Sirait. Buku yang sudah dicetak empat kali (1990, 1997, 2000, 2002) diterbitkan oleh Restu Agung, Jakarta. Paling tidak beberapa waktu terakhir ini aku berusaha menyeimbangkan sumber buku (terutama penerbit) yang aku beli. Beberapa kali ada penerbit yang nampaknya kurang bertanggung jawab ketika berani menerbitkan buku yang terjemahannya sendiri masih “amburadul” (nah kalo ini ingat ama lagu jadul Ruth Sahanaya yang kadang nemenin saat bikin resume buku zaman dahulu kuliah S-1 !) akhirnya malah bikin pusing ketika membacanya. Jadi ada kalanya membeli buku terbitan Jakarta, dan ada kalanya juga membeli buku terbitan Yogyakarta, Bandung, dan Solo. Setiap kota membawa implikasi harga buku yang berbeda, karena discount yang berbeda … terus karena discount yang berbeda .. heyyy .. kok malah ngomongin tentang harga ya ……. kapan bicara isi bukunya ?
“ he . he. He.. sabar … man..”
“Jangan terburu-buru….!” Ini baru sebangsa preface atas sebuah buku yang menurutku layak untuk dibeli dan dibaca karena gaya populernya. Gaya populer ?? nah ini dia kehebatan Poduska dan Sirait. Mereka menawarkan empat teori (sebenarnya perspektif atau konsepsi) tentang diri manusia. Keempat perspektif itu adalah : Eksistensialis, Behavioris, Psikoanalitik, dan Aktualisasi Diri. Pembicaraan secara teoritis atas empat konsepsi itu sebenarnya sangat njelimet, kompleks, dan butuh bacaan banyak[1]. Tapi disinilah hebatnya Poduska dan Sirait ini. Mereka nampaknya tidak mau terjebak pada penuturan teori-teori dasar yang kompleks. Mereka justru memberikan beragam contoh dan fenomena hidup riil sehari-hari yang mengacu dan menggambarkan implementasi dari teori-teori tersebut. Sebagai contoh : untuk menjelaskan konsep berat seperti superego, mereka mengambil gambaran kehidupan seperti berikut :

“Super ego ………. Berlaku dalam kemutlakan, hitam atau putih, benar atau salah. Selama tingkat-tingkat internalisasi dini, hati nurani anda terutama berjalan dalam suatu prinsip “semua atau tidak sama sekali”. Anda berbuat salah satu, mencurinya atau tidak mencurinya. Anda menipu atau tidak melakukannya. Anda berdusta atau tidak, sebagaimana waktu Ibu berkata kepada seorang penjaja (sales) di depan pintu bahwa dia tidak mungkin diganggu karena mau pergi ke dokter gigi. Reaksi anak mungkin, “Hm, ibu berdusta.” .. “Ya, tidak sesungghunya. Saya akan mengadakan janji dengan dokter gigi. Memang tidak sekarang tetapi nanti”…. “tapi itu suatu dusta, Bu. “ anak itu keluar pintu dan berseru “ Ibu bohong.. ibu bohong….” (hal. 81). Itulah superego yang ditanamkan. Dia hanya tahu hitam atau putih, benar atau salah, dan tidak pernah ada area abu-abu (seperti warna CD Rachel Maryam di VCD “pengintip” yang saat ini lagi marak …. He.. he… lho kok malah nyasar kesono ? sekali lagi aku mau katakan bahwa aku emang payah dan suka ngawur ... he… he….he …). Gaya bercerita seperti itu menarik karena kemampuan aplikasinya dalam kehidupan riil sehari-hari. Sepanjang buku tersebut cara bercerita yang dibangun selalu sama seperti di atas. Juga ketika mereka menjelaskan tentang kepribadian menurut perspektif Eksistensialis, Behavioris, maupun Humanistik. Namun tujuanku sebenarnya ketika mencoba menulis isi buku ini adalah guna memaparkan bagaimana kepribadian bisa tercermin dari beragam perspektif yang berbeda. Marilah kita lihat dua perspektif dulu dari empat perspektif yang ditawarkan itu. Oke .… tarik coyyyy ….

Kepribadian menurut Eksistensialisme

Aliran yang dipopulerkan Jean Paul Sartre ini memiliki daya terobos yang luar biasa atas kemapanan sistem dan fungsionalis. Bagi Sartre dirilah yang berkuasa.

Satu kalimat pusaka dari aliran eksistensialis tentang kepribadian adalah “ Anda adalah anda karena anda menghendaki demikian”. Untuk membongkar makna kalimat itu kita harus sadar suatu prinsip bahwa lingkungan kita sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap diri. Kita adalah seorang penafsir atau penerjemah lingkungan itu, dan sesuai dengan tafsiran kita, kita sudah memilih menjadi orang atau pribadi seperti apa keadaan kita sekarang. Dengan sudah memilih menjadi orang seperti kita sekarang, tidaklah berarti bahwa kita menghendaki menjadi yang kita pilih. Pilihan disini hanya berarti bahwa kita bertanggung jawab akan pilihan kita itu, yaitu pribadi kita sekarang.

Pertamakali kita mengenal aliran ini, kita mungkin melihat bahwa konsep pertanggungjawaban ini menimbulkan rasa kurang enak atau kita cenderung menolaknya, karena dengan demikian tak ada lagi kambing hitam. Tidaklah kesalahan siapapun yang membuat kita menjadi kita. Beberapa orang cenderung untuk memaafkan kegagalan mereka dalam kehidupan ini dengan mengatakan bahwa kekurangan atau kegagalan itu karena kesalahan orang tua atau orang lain. Namun terlepas dari itu semua, yang menjadi dasar untuk mengkaji eksistensialis adalah persepsi kita terhadap lingkungan itu sendiri.

Lingkungan tidak membuat kita harus menanggapinya dalam satu cara tertentu, lingkungan itu hanya menghidangkan alternatif-alternatif yang dapat kita perhatikan atau abaikan. Kita harus bebas untuk menanggapi dunia ini sebagai dunia busuk ataupun menakjudkan, atau menanggapi dunia atau Tuhan kita sebagai murah hati, penolong, pendendam & tidak kenal ampun, atau hidup kita sebagai yang berharga atau tidak berharga dan penuh dosa. Kita bebas untuk memilih. Dalam kondisi tertentu sebenarnnya kita tidak memiliki kuasa memaksa dan membuat orang lain bahagia kalau dirinya memilih untuk tidak bahagia. Cerita seorang istri yang merasa tidak tahan dengan kebaikan suaminya (cerita tentang perfectionis sang suami) kemudian menceraikannya, membuat bingung sang suami. Suami bermaksud membahagiakannya dengan kesempurnaan dan kemudian tidak meninggalkannya, namun ternyata sang istri memilih untuk menanggapi sebaliknya. Akhirnya kita tidak dapat membuat seseorang menjadi sesuatu.

Realisasi bahwa hanya kita yang dapat membuat membuat diri kita bahagia, sedih, marah, tertekan, atau sesuatu emosi lainnya, untuk pertama kali memang sukar. Kita dapat memilih untuk memepertahankan, bahwa walaupun seseorang tak dapat membuat kita merasakan sesuatu, dia (obyek) masih dapat mempengaruhi kita. Dia tidak dapat, kecuali kita memilih untuk dipengaruhinya. Seseorang mungkin memilih untuk melakukan banyak perbuatan yang hati-hati dan dipikirkan untuk mempengaruhi reaksi emosi kita terhadapnya. Kita mungkin memilih untuk menjawabnya dengan ucapan terimakasih, atau kita bisa memilih untuk merasa salah karena kita tidak pernah berpikir melakukan perbuatan-perbuatan terencana yang timbal-balik. Ingat cerita Victor Frank ketika disiksa dan dianiaya tentara Nazi ? dia dengan tegas mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak atas rasa sakit atau rasa nikmat yang mendera tubuhnya. Sekalipun dicambuk dan dipukuli, Frank tidak pernah mengeluh kesakitan. Tentara Jerman bengong !

Kepribadian dari Behaviorisme

Pengikut aliran behavioris lebih tertarik pada perilaku yang terjadi, dalam merubah perilaku tertentu, dan dalam meramalkan perilaku dimasa mendatang. Mereka sangat percaya bahwa “manusia adalah hasil dari sejumlah kondisi-kondisi yang mempengaruhinya !”. Kalaupun kemudian ada kesimpulan bahwa seorang bayi kelaparan, bukanlah kelaparan bayi itu yang menjadi penanda laparnya dia, namun lebih karena stimulus tangisan dari bayi tersebut. Dengan perilaku menangis itulah maka si bayi menunjukkan dirinya lapar. Jadi lingkungan kitalah yang memberikan stimulus atas segala perilaku yang akan kita tunjukkan. Pada kasus diri, orangtua, agama, dan segala sesuatu dalam lingkungan kita, semua itu bertanggung jawab, mempengaruhi bagaimana jadinya kita.

Menurut behavioris tidak ada dan tetap tidak akan pernah ada kebebasan memilih. Dalam realitas behavioris, kebebasan memilih dan kebebasan menentukan tidaklah ada. Hanya hukum perangsang dan jawaban terhadap perangsang itu (the laws of stimulus dan response) yang ada. Jika kita percaya bahwa kita mempunyai kebebasan memilih, itu adalah hanya karena kita sudah dipengaruhi atau dikondisikan untuk mempercayai itu.

Untuk melihat bagaimana hukum stimulus & respons maka Thorndike memberikan beberapa pertimbangan. Pertama, hubungan yang anda buat antara suatu respon dan akibat-akibat dari respon itu, dapat diperkuat ataupun diperlemah oleh akibat-akibat dari respon itu. Ada konsep belajar yang dipegang oleh prinsip ini. Belajar adalah suatu perubahan dalam perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan beberapa pengalaman. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan atau cara melakukan itu yang dapat dilihat atau diamati, maka tidak ada hal belajar yang terjadi. Kedua, pengikut behavioris hanya tertarik mengenai hasilnya, yaitu perubahan dalam perilaku yang menyatakan bahwa hal belajar sudah terjadi. Ketiga, perubahan dalam sering terjadinya perbuatan itu sebagai suatu indikasi hal belajar. Setiap perubahan mengenai seringnya terjadi, diukur sejak dari respon pertama. Jika seringnya perbuatan itu bertambah atau berkurang, maka sudah ada perubahan dalam perilaku, dan hal belajar sudah terjadi.

Yang terpenting untuk dipahami adalah bahwa jika perubahan-perubahan itu tidak terjadi, maka hal belajar tidaklah terjadi. Kekuatan behaviorisme terletak dalam membuat hal belajar itu terjadi. Sebagaimana halnya dengan penerapan dari setiap kekuatan, kekuatan itu dapat disalahgunakan Namun, penerapan yang menguntungkan adalah maksud yang utama dari kebanyakan pengikut behaviorisme. Ahli-ahli behavioris sudah menerapkan teknik mereka dalam rumah sakit jiwa dengan sangat berhasil. Mereka sudah membuka atau menyingkirkan penghalang-penghalang yang sukar, dimana banyak aliran-aliran psikologi yang lain sudah menemui jalan buntu. Mereka juga sudah membuat kemajuan-kemajuan yang besar dalam perawatan anak-anak atau orang yang bermental terbelakang, dimana aliran psikologi yang lain sudah gagal. Dan mereka sudah mempengaruhi bidang-bidang teori belajar dengan dampak yang lebih besar dari yang dilakukan aliran psikologis lainnya.


Lalu bagaimana dengan dua yang lainnya ? psikoanalisis dan aktualisasi diri ? ahh kapan-kapanlah akan saya bongkar lagi. Minimal saya butuh membaca beberapa buku lain sebagai penyeimbang karena hari ini terlalu banyak membaca buku psikologi. Nampaknya bermain-main dengan si ganteng Harsa, anakku, menjadi lebih menarik untuk menghabiskan hari ini. Gitu dehh ... he he he he



Catatan :

[1] Minimal ketika menyarankan begini aku jadi ingat saat menyampaikan kuliah Psikologi Komunikasi tentang empat konsepsi itu. Aku gunakan buku Linda L. Devidoft “Psikologi Suatu Pengantar” untuk betul-betul mengantarkan mahasiswa mengenal psikologi. Hasilnya empat konsepsi itu terlalu permukaan untuk dipelajari dari buku tersebut. Mungkin harus menelaah dan mengelaborasi lebih dalam dari setiap teori dan konsepsi ini.

Sabtu, 02 Mei 2009

Nonton Film, Siapa Takut ?

Implikasi Film Sebagai Media Massa
“Hollywood movies .... rather than
serving your socialization need,
They are probably serving some of your social need”
-Samuel L. Becker-
Dunia perfilman Indonesia saat ini dinilai banyak pihak telah mengalami fase kebangkitan dan kegairahan yang sangat menarik. Betapa tidak, jika pada tahun 2007 lalu, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan 77 izin produksi film dengan 55 film yang baru disensor, menjelang tutup tahun 2008, mereka sudah mengeluarkan izin produksi sebanyak hampir 200 judul film. Sebuah angka produksi yang fantastis untuk ukuran negara yang lagi krisis dihantam berbagai masalah pelik politik, ekonomi, sosial budaya, dan menjelang pemilihan presiden (yang ini agak diragukan relasinya). Di satu sisi kita mungkin layak berbangga dengan prestasi kuantitas itu. Sementara dari sudut kualitas, eforia Ayat-Ayat Cinta dan hiruk pikuknya Laskar Pelangi membuktikan sisi kualitas yang tak bisa dianggap remeh. Namun seberapa jauh sebenarnya film memberikan kontribusi atas kehidupan sosial, politik, ekonomi ? apakah dia sedemikian penting sehingga dianggap memiliki relasi kuat dengan terbentuknya budaya atau bahkan karakter moral sebuah bangsa ? bagaimanakah sebenarnya pengaruh film sebagai sebuah media komunikasi massa ? Lembar-lembar berikut ini mencoba menelusuri seberapa besar pengaruh film bagi struktur kognitif, afektif, bahkan perilaku audiens. Saya akan urai dari fenomena relasi film bernuansa religius di Amerika dan Indonesia, selepas itu akan coba dipaparkan bagaimana film sebagai sebuah media dalam komunikasi massa dengan segala implikasinya lewat analisis efek media.

Film dan Religiusitas : Keyakinan yang Diperdagangkan ?

Ada sebuah kejadian menarik yang diceritakan oleh C. Marvin Pate & Sheryl L. Pate (2007) saat mereka berniat menonton film The Passion of the Christ karya Mel Gibson pada paruh kedua bulan Maret 2004. Pate menceritakan bahwa ketika mereka tiba di bioskop lebih awal satu setengah jam sebelum giliran pemutaran film berikutnya, mereka terkejut melihat tempat parkir yang luas telah penuh dengan mobil-mobil yang diparkir di sepanjang jalan menuju jalan utama. Tak lama kemudian, orang-orang mulai mengalir ke luar dari gedung bioskop. Tak ada yang berbicara. Para pelanggan bioskop itu berjalan santai dari gedung bioskop seperti kebanyakan penonton film setelah menonton film. Mereka berjalan lesu dan kelihatannya asyik dengan pikiran mereka sendiri. Beberapa di antaranya menyeka mata mereka dengan kertas tisu ketika mereka berjalan melewati mobil Pate. Sementara itu, beberapa penonton lainnya berjalan dengan wajah serius, kelihatan merenung atau bahkan terguncang. Perbedaan menyolok dengan emosi yang biasa ditunjukkan oleh penonton film-film lainnya berlanjut sampai ke jalan keluar dari tempat parkir. Tidak ada konfrontasi sedikitpun walau kira-kira tiga ribu orang semuanya berusaha untuk mengeluarkan mobilnya ke luar secara bersamaan. Para pengendara mobil tidak membunyikan klakson dengan kasar. Tidak ada tanda-tanda ketidaksabaran di wajah mereka. Sebaliknya mereka saling mengalah, kesabaran dan sopan santun merebak dalam cara yang tidak pernah Pate & Pate saksikan sebelumnya. “Kami melihat satu reaksi kepada Yesus pada hari itu !” simpul mereka berdua. Itu di Amerika.

Di belahan dunia lain, pertengahan Maret 2008, empat tahun kemudian. Tepatnya di Cilegon, Banten. Serombongan ibu majelis Ta’lim bersepakat menyewa angkutan kota. Bukan pergi ke masjid tempat biasa mereka menghadiri pengajian bersama-sama. Mereka dengan kerudung masing-masing beramai-ramai mendatangi studio 21 di kotanya. Merelakan jam pengajian di surau dan mushola mereka digantikan dengan acara nonton bersama film Ayat-Ayat Cinta. Film besutan Hanung Bramantyo yang menghadirkan fenomena relasi cinta tidak biasa. Percintaan yang dirajut dengan nuansa kental keagamaan. Fenomena sama juga terjadi saat orang rapi berjejer antri untuk mendapatkan karcis. Terkadang harus merelakan menonton tidak sesuai dengan jadwal yang sudah dirancang dari rumah. Maksud hati nonton jam 11.00 ternyata dapat tiket pertunjukan jam 15.30 WIB. Hasil dari menontonnya pun ternyata menghadirkan fenomena kurang lebih sama. Rata-rata sekeluar dari bioskop, mereka masih menyeka mata. Di angkutan kota, ibu-ibu tadi masih saja asyik menceritakan adegan demi adegan yang membuat hati mereka tersentuh. Di Ibu kota negara ini, para pejabat sibuk mengalokasikan waktunya untuk sekadar duduk menyaksikan Ayat-Ayat Cinta. Presiden, mantan presiden, para menteri, juga segenap jajarannya ikut larut dalam hipnotis cinta yang dibalut nuansa Islam di film ini. Hasilnya film itu menghasilkan satu fenomena serupa bagi penontonnya : menitikkan air mata ! “Film ini memperlihatkan wajah Islam yang ramah dan toleran,” kata mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Itu di Indonesia.

Dua setting cerita di atas paling tidak menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan besar yang hadir ketika orang datang dan bersedia duduk diam dikegelapan bioskop. Menatap layar putih dengan ribuan gambar berjalan teratur. Tidak hanya di Amerika, di seluruh belahan dunia film sebagai sebuah wujud nyata komunikasi massa telah menciptakan sihir yang mampu menghipnotis audiens-nya masuk ke dalam jaring rangkaian ceritanya. Kondisinya tentu tidak sama dengan apa yang terjadi dua abad silam. Saat mana film masih hanya merupakan gambar hitam putih tanpa suara (Jowett & Linton, 1980; Monaco, 1981; Becker, 1987; Price, 1995).

Terkait dengan kemampuannya untuk mengemas setting religius dalam bentuk cerita yang runtut, film biasanya menjadi ajang kontroversi tersendiri yang menarik untuk diikuti. Relasi film dengan agama menghadirkan dua titik ekstrem seiring dengan penolakan dan penerimaan manusia. Penolakan atas agama dan penerimaan penuh atas ajaran agama. Beberapa diantaranya selalu terkait dengan novel yang meledak untuk kemudian difilmkan. Da Vinci Code salah satunya. Film yang berasal dari novel laris Dan Brown ini laris karena kontroversi yang ditimbulkannya. Bagi umat Katolik karya ini merupakan sebuah fiksi dan film yang paling menggemaskan. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, dia akan menggoncangkan keimanan dan keyakinan mereka yang lemah. Novel Brown ini menarasikan gagasan yang menggerus arus utama teologi kekristenan. Banyak hal yang mapan dalam realitas keagamaan yang dipertanyakan kembali dan dikonstruksi ulang oleh novel tersebut. Sebagai buah dari kontroversinya, novel tersebut sukses luar biasa. Terjual lebih dari 40 juta kopi di seluruh dunia. Inilah yang menggoda sosok setiap produser untuk mengangkat cerita novel itu ke layar lebar. Hasilnya tak kurang tak lebih . Da vinci Code mampu membekukan pendapatan lebih dari US$ 750 juta dari hasil penjualan tiket di seluruh dunia. Agama memang selalu kontroversi apabila disajikan sebagai sebuah budaya populer. Hal ini telah dipraktekkan sejak lama di Amerika. Kemampuan sineas Hollywood untuk mengangkat sosok Yesus dalam berbagai film membuat implikasi keuntungan finansial yang cukup menggiurkan.

Yesus dan Narasi Religius dalam Film

Semangat epik dan rohani dalam film Hollywood sebagian besar diwarnai oleh ruh biblikal Kristiani. Hal tersebut mengingat 83 persen masyarakat Amerika adalah pemeluk iman Kristiani, dimana sosok Yesus adalah figur sentralnya. Tentunya kenyataan demografi ini sungguh menguntungkan bagi pasaran produk film epik rohani yang memasang Yesus Kristus atau Jesus Christ sebagai ikon utama. Film-film dengan tema Yesus sendiri dibuat pertama kali pada tahun 1898, empat tahun setelah karya film pertama dibuat oleh Thomas Alva Edison dengan judul Fred Ott’s Sneeze (1894, judul copyrightnya Record of a Sneeze). Adele Reinhartz (Cunningham, Phillip A., et. al, 2004) menyebut judul The Passion Play at Oberammergau sebagai judul film bertema Yesus yang pertama kali dibuat. Sumber lain menyebutkan Jésus devant Pilate (1898) karya Alice Guy adalah yang pertama.

Karena tema ini menjadi dianggap sentral maka cukup signifikan jika Adele Reinhartz (Cunningham, Phillip A., et. al, 2004) menjadikan film-film sejenis dikategorisasikan dalam sebuah genre yang ia sebut sebagai Jesus Film Genre atau genre film Yesus. Film bergenre Yesus ini sebagian besar bercerita tentang babakan kehidupan Yesus; Lahir, Masa Kecil, Masa Berkarya (khotbah di atas bukit dan pengajaran), memasuki Yerusalem, Perjamuan Kudus (Last Supper), Pengkhianatan Yudas, Penangkapan dan Pengadilan Yesus, Kematian Yesus, Kebangkitan Yesus dan Naiknya Yesus ke Surga. Kisah Yesus, terutama pada bagian kesengsaraan (The Passion), memiliki syarat untuk menjadi sebuah genre karena memiliki kekuatan pada karakter, dan plot yang berisi dengan suspense dan ketegangan jika mengacu pada pemikiran Aristoteles tentang tragedi. Dalam sejarah panjang perfilman Amerika, nampaknya film religius selalu latah untuk mengemas sosok Yesus dalam berbagai rangkai episode hidupnya. Hasilnya, sebuah kekuatan keimanan seperti yang digambarkan Pate & Pate di awal tulisan tadi.


Narasi Religius di Layar Lebar Indonesia

Bila di Amerika sosok Yesus menjadi ikon menarik untuk selalu diangkat ke layar lebar, di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tidak otomatis mengangkat Nabi Muhammad SAW sebagai ikon pula dalam film-film religius (itu tidak mungkin ! Nabi SAW tidak boleh digambarkan wujud fisiknya). Narasi Islam di sinema Indonesia dimunculkan dalam sosok-sosok lagenda Islam dari berbagai penjuru nusantara. Dengan penceritaan unik, pada tahun 1984 film Sunan Kalijaga dianggap sebagai film terlaris kedua dengan jumlah penonton 575.631 orang. Film yang menceritakan kehidupan ala “Robin Hood” zaman Majapahit itu memiliki narasi babakan kehidupan Raden Mas Said sebagai putera Temenggung Wilarikta. Sejak dia ramaja, memutuskan menjadi perampok, berguru pada Sunan Bonang, dan menjalani kehidupan sebagai seorang sunan. Rangkaian adegan oposisi biner “hitam putih” menghiasi film tersebut. Banyak kemudian penonton Indonesia yang tahun-tahun itu tergerak hatinya untuk membantu kaum fakir dan mendermakan sebagian hartanya untuk orang miskin. Kekuatan film itu diceritakan tidak hanya sebatas jumlah penontonnya yang banyak (untuk ukuran waktu itu), namun telah menggerakkan orang untuk saling membantu satu sama lain.

Bila tahun 1900-an film religius benar-benar menghilang dari pasaran karena kuatnya genre film seks dan action, maka tahun 2000-an dianggap banyak kalangan sebagai kebangkitan kedua film religius Indonesia. Ditandai dengan suksesnya Ayat-Ayat Cinta, berturut-turut kemudian hadir Kun Fayakun, Ketika Cinta Bertasbih, Doa yang Mengancam, 3 Doa 3 Cinta, dan terakhir Perempuan Berkalung Surban. Film-film inilah yang kemudian membawa genre religius semakin kuat sebagai setting cerita. Terlepas dari kontroversi tentang kualitas filmnya, sebuah harapan baru muncul seperti halnya yang dikatakan produser Kun Fayakun, Yusuf Mansyur bahwa film religius akan memberikan kekuatan keimanan pada setiap orang yang menontonnya. Benarkah demikian ? tentu tidak gampang untuk menjawabnya. Saat kita melihat film dalam wujud sebagai media massa, maka kita akan menerapkan hukum efek media untuk mendiskusikan tentang seberapa besar efek film tersebut memasuki ruang hidup bermasyarakat, berbudaya, dan beragama audiens Indonesia.

Pengaruh Film, Siapa Takut !
Henry Ford, sang konglomerat pemilik pabrik dan perusahaan mobil Ford telah memperingatkan akan betapa kuatnya propaganda Yahudi dengan menggunakan film sebagai medianya (Shafa Taj, 2007). Jauh sebelum itu, sosok Lenin sangat memperhatikan akan pengaruh maksimal dari media layar lebar tersebut sebagai alat politis propaganda (Tjasmadi, 2008). Kita bisa menyebut lagi beberapa tokoh besar dunia yang sangat was-was dan paham betul dengan kekuatan film : Soekarno, Hitler, Mussolini, dan Eisenhower. Bagi Monaco (1981) film sebagai sebuah media tidak hanya semata-mata dilihat sebagai perangkat seni dan karya impresif dari seorang sutradara dan produser. Film dalam sejarah hidupnya telah dipakai sebagai sebuah instrumen dahsyat mengarahkan pikiran, sikap, dan perilaku audiens. Sebuah penelitian tentang sikap dan semangat pertempuran tentara Amerika saat perang dunia II menjadikan film sebagai elemen kunci menstimulus reaksi mereka. Film Mr. Biggot yang diputar dengan pola satu sisi (one side) telah membakar semangat tentara Amerika untuk berperang membela kepentingan sekutu, dan memenangkan perang itu (Rogers,1990).

Saat Indonesia diserang Belanda secara mendadak paska proklamasi kemerdekaan Agustus 1945 (agresi militer 1 dan 2), para pemimpin negara saat itu ditawan dan diasingkan. Dengan sangat pintar Usmar Ismail melukiskan semua itu melalui “Enam Djam di Jogja”. Sebuah film yang menurut pengakuannya sendiri merupakan upaya menjelaskan pada masyarakat Indonesia saat itu bahwa pemerintahan Indonesia masih berdiri. Sebuah upaya dokumentasi sejarah yang begitu menyentuh, dengan unsur melodramatik menarik. Film memang menjadi sebuah media untuk menyampaikan maksud tertentu. Dia bagaikan jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan. Entah itu pesan politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Film memang tidak pernah lepas dari setting dan konteks di mana film itu dibuat, siapa yang membuatnya, perusahaan mana yang memberi dana, hingga bioskop mana yang akan memutarnya. Sebagai sebuah media, dia telah menjadi pesan itu sendiri (medium is message). Untuk itulah dalam semua film yang dibintanginya dan diproduksinya sendiri, Bruce Lee tidak pernah mau lawannya di film itu (tokoh antagonis) berasal dari China. Tak ada lawannya yang berasal dari etnik atau bangsa yang sama dengan etnik dia berasal. Siap bilang film tidak berselimut ideologi ?

Mengapa film dianggap sebagai sebuah media budaya dan politis yang tepat untuk mengkonstruksi pemikiran audiens ? hal ini terkait dengan daya efektif penyampaian pesan yang disandang oleh media audio visual ini. Membicarakan tentang hal itu berarti kita membicarakan tentang efek media. Saya akan mempergunakan enam jenis efek yang diintrodusir oleh Graeme Burton (2008) terkait dengan relasi media dengan audiens. Burton yakin bahwa media dipandang istimewa karena kita sangat menyadari bahwa dalam beberapa cara, di sana terdapat proses komunikasi diantara produser dan audiens yang mencoba saling mempengaruhi lewat komunikasi massa mereka. Namun yang perlu diketahui adalah tidak pernah ada penelitian yang secara tegas menyebutkan efek parsial media massa (termasuk film) dalam membentuk perilaku, sikap, maupun pikiran audiens tanpa memperhitungkan kondisi dan situasi tertentu yang tempati sosok audiens itu sendiri. Hal inilah yang membuat kita membicarakan efek dari beragam jenis untuk meletakkan secara arif bagaimana media memberikan pengaruh integratif atas diri dan pikiran audiens. Burton menyebutkan enam jenis.

Pertama, efek jangka pendek. Hifotesisnya seseorang yang nonton film pada tataran berikutnya akan segera berpikiran, berperilaku persis seperti apa yang ditontonnya di film tersebut. Pendekatan ini kadang disebut teori efek hipodermis, seolah-olah orang diinjeksi dengan suatu materi media dan memberikan tanggapan menurut materi yang diinjeksikan tersebut. Teori ini suka menjadikan peristiwa kepanikan audiens di Amerika tahun 1939 saat radio Orson Welles menyiarkan tentang drama penyerbuan makhluk asing dari planet Mars ke bumi. Dalam dunia film, biasanya anak kecil di seluruh belahan dunia sekitar tahun 90-an selalu mengidolakan dan mengidentifikasi perilakunya pada sosok Rambo, Superman, dan Batman. Kedua, efek jangka panjang. Asumsi jenis efek ini adalah percaya bahwa apapun jenis pengaruh yang muncul dari sebuah media pastilah terjadi tidak spontan dan tiba-tiba. Pengaruh itu terjadai dalam periode waktu yang lama, dan lebih berkenaan dengan pelbagai perubahan dalam sikap dan kepercayaan daripada perubahan perilaku yang terjadi dalam waktu yang cepat. Efek jangka panjang yang diciptakan oleh film-film heroik Amerika adalah munculnya kesan bahwa AS sebagai negara adi daya. Itu yang bahkan terkadang muncul tanpa disadari di otak saya dari kecil , dan bahkan berlanjut hingga hari ini saat mencari preferensi tentang sistem mengajar yang baik, kurikulum yang hebat, cara berbicara yang mempesona, dan lain sebagainya. Pokoknya AS nomor satu. Habis perkara.

Jenis efek ketiga disebut dengan teori Inokulasi. Teori ini mengatakan bahwa pemaparan yang terus-menerus terhadap pesan-pesan media membuat kita menjadi “beku” terhadap pesan-pesan, menjadi kurang sensitif. Terlalu sering menonton tayangan Tom & Jerry membuat anak-anak tidak terlalu merasa bersalah lagi ketika memukul kepala temannya dengan palu ala Tom & Jerry. Mereka merasa biasa menggencet temannya dengan daun pintu (mengharap tubuh temannya jadi gepeng seperti tubuh Tom). Pesan yang bersifat sama terus menerus menimpuk kita, akan cenderung membuat kita tidak peka lagi dengan esensi pesan itu. Terlalu sering melihat kekerasan, membuat kita menjadi tidak peka lagi dengan kekerasan. Keempat, teori Aliran Dua Langkah. Teori ini menyebutkan bahwa media mampengaruhi audiensnya dengan cara tidak langsung melalui proses pentahapan. Tahap pertama berupa relasi dengan media massa, tahap kedua relasi antara para pemimpin opini dengan audiens masif. Para pemimpin opini inilah yang “lebih didengarkan tentang apa yang mereka katakan daripada mendengarkan dan menyaksikan isi media itu sendiri”. Bila para pejabat bilang Laskar Pelangi sangat bagus untuk menunjukkan kekuatan pendidikan, kita akan serentak bilang: ”amiiin”.

Jenis efek kelima dinamakan teori Penggunaan dan Pemuasan. Asumsi dasar teori ini menyebutkan bahwa terdapat pelbagai efek tidak benar-benar menaruh perhatian kepada pengukuran efek-efek ini. Jadi efek media menurut teori ini hanyalah menghamba pada kepentingan orang-orang yang disupport oleh pesan media tersebut. Orang mau menonton Ayat-Ayat Cinta karena tercipta kebutuhan untuk menonton setelah para tetangganya asyik membicarakan film itu di manapun tempat dia berada. Entah di beranda, warung, halaman rumah, bahkan tempat play group anaknya. Jenis efek keenam disebut dengan efek-efek kultural. Unit analisis dalam jenis efek ini adalah audiens kolektif. Jadi bukan melihat reaksi-reaksi individu. Pendekatan ini melihat peran media dalam hal mendefinisikan dan membatasi budaya, dan dalam usaha melestarikan dan memperkukuh elemen-elemen kulturalnya. Inilah yang dianggap banyak pihak menjustifikasi efek media pada pembentukan stereotip berdasarkan ras, perspektif kelas, dan sebagainya.

Pada simpulnya, Burton mengatakan bahwa keenam jenis efek itu lahir dari serangkaian riset yang terselenggara dalam rentang waktu yang panjang dan lama. Itu berarti setting sosial politik ketika riset itu dilakukan juga turut memberikan pengaruh pada hasil riset. Akhirnya menurut Burton, semua itu hanyalah daftar kategori yang disusun untuk menunjukkan media memiliki ragam pengaruh. Artinya untuk melihat seberapa besar media berpengaruh, mari kita lihat dia dengan perspektif integratif. Bukan pendekatan parsial melihat media sebagai sebuah determinan tunggal.

Film yang Inheren : Simpul Awal
Ketika pengaruh film sebagai sebuah media komunikasi massa kita letakkan dalam koridor efek media, maka kita akan temukan konfigurasi dari beragam efek tersebut. Hukum media massa yang sangat berbasis pada komunikator terlembaga, membuat film tidak lepas dari beragam kepentingan. Sejak dia diproduksi, di distribusikan, dan dikonsumsi film telah melalui banyak sekali campur tangan berbagai kalangan. Menjadikan film sebagai salah satu mesin pembentuk budaya dan penguat moralitas audiens membutuhkan ketekunan untuk merunut kepentingan tiga tahapan tadi. Di sisi lain, melihat pengaruh film dalam jangka panjang dan dalam koridor efek kultural, akan membuat media ini lebih terlihat sebagai sesuatu yang inheren melekat dalam kehidupan masyarakat. Jadi bukan semata-mata ikut trend gegap gempita dan eforia. Karena yang dua terakhir ini justru memerangkap kita menjadikan film semata-mata komoditas dengan insting primitif ekonomi. Bagaimana pendapat Anda ?

Referensi

Becker, Samuel L. (1987). Discovering Mass Communication, Second edition, London : Scott, Foresman and Company.

Haryadi, Rohmat. (2008). Saat Bioskop Jadi Majelis Taklim : Sihir Film Ayat-Ayat Cinta, Jakarta : Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika).

Jowett, Garth, & James M. Linton. (1980). Movies as Mass Communication. London : Sage Publications Inc.

Monaco, James. (1981). How to Read a Film : The Art Technology Language and Theory of Film and Media, Revised Edition, New York : Oxford University Press.

Pate, C. Marvin, & Sheryl L. Pate. (2007). Disalibkan oleh Media, Penerjemah Yeri Ekomunajat, Yogyakarta : Penerbit ANDI.Price, Stuart. (1995). Media Studies, London : Longman Group Limited.