Selasa, 26 Mei 2009

Ilmuwan dan Penguasa : Relasi Pemanfaatan ?

Sebagai seorang manusia yang mencoba mengabdikan dirinya sebagai ilmuwan, aku ingin berkeluh kesah sambil menelisik sejarah. Tentang kehidupan ilmuwan yang ternyata tidak juga berubah. Ada fakta menarik ditengah-tengah sejarah barbarisme para Khalifah Abbasiyah yang memerintah Islam setelah beberapa abad kematian Nabi Muhammad. Sudah menjadi fakta sejarah bahwa para penguasa dan khalifah saat itu menggunakan pendekatan Marchavelian dalam menjalankan kekuasaan. Gunakan cara apapun untuk mempertahankan kekuasaan. Tak penting menilai cara, yang penting hasilnya ! Imbas prinsip itu juga menelan banyak korban para ilmuwan Islam. Sebagai gambaran adalah ketika khalifah al-Manshur memerintah sebagai barisan dinasti Abbasiyah.

Banyak sekali jumlah para fuqaha atau imam besar Islam di masa khalifah al-Manshur. Tersebutlah Abu Hanifah, Imam Malik, al-Auza’i, Umar bin Ubaid, Sufyan as-Tsauri, Ubbad bin Katsir, Ja’far bin Muhammad as-Shadiq, dan lain-lain. Rata-rata mendapatkan penyiksaan, andai mereka berseberangan dengan penguasa. Abu Hanifah disiksa dengan cara dikurung, dicambuk, dan akhirnya diracuni hingga mati, hanya karena Abu Hanifah menolak untuk memimpin peradilan masanya. Penyiksaan al-Manshur terhadap Imam Malik, dengan cara melecutnya dalam kondisi telanjang bulat agar ia merasa terhina, tidak lain karena Imam Malik menyebutkan hadis yang tidak disukai al-Manshur. Namun cerita itu belumlah seberapa. Yang paling tragis adalah perlakuan yang diterima oleh ulama Ibnu Muqaffa.

Sosok ahli fiqih ini mengirimkan sebuah buku tipis kepada al-Manshur. Judulnya Risalah al-tahabah (Risalah tentang para sahabat). Di situ tertulis antara lain nasihat untuk khalifah agar pandai-pandai memilih para pembantu dan memperbaiki sistem pengelolaan masyarakatnya. Meski nasihat disampaikan dengan bahasa yang sangat santun, namun tanggapan al-Manshur menunjukkan betapa isi buku itu begitu menyinggung urat-urat kekuasaan dia. Bagi al-Manshur fungsi tertinggi dari seorang sastrawan adalah menyampaikan puja-puji. Peranan terakhir seorang pemikir tak lain dan tak bukan adalah memberi legitimasi. Bila melenceng dari itu, apalagi mengeritik penguasa, maka layak diberi pelajaran ! Ibnu Muqaffa ditangkap. Tungkai dan lengannya dicincang satu per satu. Potongan dagingnya dipanggang di atas bara api, tepat dihadapannya. Karena saat dicincang tangannya itu Muqaffa masih hidup. Dia masih bernapas ! setelah potongan daging itu matang, satu persatu pula daging panggang itu dijejalkan ke mulutnya. Dia harus memakan daging tangannya sendiri ! Ibnu al – Muqaffa menjalani penderitaan tiada tara sampai ajal pun menjemputnya. Apakah anda masih dapat membayangkan peristiwa itu bisa terjadi di abad modern ini ? rasa-rasanya sekeblinger-blingernya George W. Bush, sebrengseknya Saddam Husain, atau sekejam-kejamnya Hitler, mereka tidak pernah memiliki daya kreatifitas sehebat al-Manshur dalam memberikan hukuman. Kita bangga, kita jauh lebih beradab. Memang tak salah Islam diturunkan di tanah Arab. Sebuah tanah dimana kedunguan dan kezaliman menemukan habitatnya. Celakanya, apa yang kita dengar dari buku sejarah tentang al-Manshur ? cerita penyiksaan tadi tidak pernah ditulis. Yang ada cuma al-Manshur adalah seorang negarawan besar. Pemberi jalan terang bagi kekhalifahan dinasty Abbasiyah.

Sejarah memang milik para pemenang. Pihak yang kalah tidak memiliki kuasa dalam menuliskan sejarah. Tidak ada objektivitas dalam sejarah. Hidup dan cerita kehidupan para ilmuwan pun mengalami beragam versi dan seri tertentu sesuai dengan setting penceritaan. Namun banyak sekali martir ilmu pengetahuan yang biasanya mengambil sikap berhadapan dengan penguasa, saat mereka menyadari bahwa penguasa sudah keluar dari garis kewajarannya. Padahal tidak ada kuasa politik yang wajar-wajar saja. Semua penuh manipulasi dan tipu daya. Demi kursi untuk berkuasa. Tak ada yang salah. Sekaligus juga tak ada yang benar. Para ilmuwan Eropa juga harus lari terbirit-birit saat Adolf Hitler memegang kekuasaan di Jerman. Mereka yang berkumpul di Amerika untuk masa berikutnya membuat negara ini menjadi adidaya dengan pemikiran sains dan sosialnya. Itulah hikmah. Namun perlu pula kita ingat, bahwa diantara banyaknya ilmuwan yang menjadi martir kebenaran itu, lebih banyak lagi yang memposisikan diri sebagai pelegitimasi kekuasaan.
Sejajar dengan pemahaman al-Manshur tentang posisi ilmuwan sebagai pelegitimasi, begitu pula peran mereka di abad ini. Mungkin saja dahulu ilmuwan mendukung khalifah (sekalipun buruk perilakunya) karena ketakutan akan bayangan penyiksaan dan teror mengerikan. Saat ini tak ada alasan penyiksaan gaya khalifah Abbasiyah diberlakukan. Dunia akan mengutuk itu. Namun ada alat penarik yang luar biasa berpengaruh pada posisi membela legitimasi itu. Kekuatan itu adalah uang dan kenikmatan hidup.

Ilmuwan saat ini adalah ilmuwan profesional. Begitu kata mereka. Begitu pengakuan mereka. Ilmuwan dibayar sesuai dengan kontribusi keahlian mereka. Sebutlah mereka sebagai kaum puritan elitis. Kaum yang menempatkan ilmu di atas segala-galanya. Membawahi kebenaran itu sendiri. Ilmu berada di puncak singgasananya. Hanya tinggal direngkuh dan diterapkan saja. Tak ada hubungan antara ilmu dengan pembelaan posisi dan kekuasaan seseorang, entah itu raja, gubernur, presiden, maupun ketua partai berlambang sapi jantan. Secara teoretis begitu gampang. Tapi di situlah sudut berkelit yang maha menarik. Dengan menjadikan ilmu sebagai landasan, maka posisi keberpihakan dan penjilatan kepada pengusaha menjadi terhaluskan. Bahkan unsur legitimasi tidak bisa lagi dibedakan dengan unsur hegemoni. Ilmuwan dalam posisi ini telah dimanjakan dengan proyek dan kehidupan lengkap duniawi. Mereka digaji tinggi. Dicukupi kebutuhan itu dan ini. Fungsi kritis dan hati nurani menjadi mati. Pikiran sederhana mendukung itu : “ketimbang bersusah susah berbeda dengan penguasa, menimbulkan kegetiran dan penderitaan, mengapa tidak dukung dan kuatkan kekuasaan pemerintahan ?” sambil tersenyum merasa menang, “Toh kita-kita tetap diuntungkan,”.

Ilmuwan memang telah terbeli di sepanjang zaman. Tak perlu lagi kita ragukan. Hanya tinggal memilih : mau menjadi ilmuwan yang dimanfaatkan, atau mau menjadi penguasa yang memanfaatkan tenaga dan pikiran ilmuwan. Simpel khan ?

Tidak ada komentar: