Sabtu, 16 Mei 2009

APA KATA BERNARD PODUSKA TENTANG KEPRIBADIAN ?

Membaca tentang teori-teori kepribadian memang menarik. Paling tidak ini membuat kita bisa intropeksi diri, lewat upaya komfarasi teori-teori kepribadian dan mulai menempatkan diri kita cenderung berada di titik mana. Salah satu buku tentang kepribadian yang aku dapatkan baru-baru ini adalah buku “Empat Teori Kepribadian” karya Bernard Poduska & R. Turman Sirait. Buku yang sudah dicetak empat kali (1990, 1997, 2000, 2002) diterbitkan oleh Restu Agung, Jakarta. Paling tidak beberapa waktu terakhir ini aku berusaha menyeimbangkan sumber buku (terutama penerbit) yang aku beli. Beberapa kali ada penerbit yang nampaknya kurang bertanggung jawab ketika berani menerbitkan buku yang terjemahannya sendiri masih “amburadul” (nah kalo ini ingat ama lagu jadul Ruth Sahanaya yang kadang nemenin saat bikin resume buku zaman dahulu kuliah S-1 !) akhirnya malah bikin pusing ketika membacanya. Jadi ada kalanya membeli buku terbitan Jakarta, dan ada kalanya juga membeli buku terbitan Yogyakarta, Bandung, dan Solo. Setiap kota membawa implikasi harga buku yang berbeda, karena discount yang berbeda … terus karena discount yang berbeda .. heyyy .. kok malah ngomongin tentang harga ya ……. kapan bicara isi bukunya ?
“ he . he. He.. sabar … man..”
“Jangan terburu-buru….!” Ini baru sebangsa preface atas sebuah buku yang menurutku layak untuk dibeli dan dibaca karena gaya populernya. Gaya populer ?? nah ini dia kehebatan Poduska dan Sirait. Mereka menawarkan empat teori (sebenarnya perspektif atau konsepsi) tentang diri manusia. Keempat perspektif itu adalah : Eksistensialis, Behavioris, Psikoanalitik, dan Aktualisasi Diri. Pembicaraan secara teoritis atas empat konsepsi itu sebenarnya sangat njelimet, kompleks, dan butuh bacaan banyak[1]. Tapi disinilah hebatnya Poduska dan Sirait ini. Mereka nampaknya tidak mau terjebak pada penuturan teori-teori dasar yang kompleks. Mereka justru memberikan beragam contoh dan fenomena hidup riil sehari-hari yang mengacu dan menggambarkan implementasi dari teori-teori tersebut. Sebagai contoh : untuk menjelaskan konsep berat seperti superego, mereka mengambil gambaran kehidupan seperti berikut :

“Super ego ………. Berlaku dalam kemutlakan, hitam atau putih, benar atau salah. Selama tingkat-tingkat internalisasi dini, hati nurani anda terutama berjalan dalam suatu prinsip “semua atau tidak sama sekali”. Anda berbuat salah satu, mencurinya atau tidak mencurinya. Anda menipu atau tidak melakukannya. Anda berdusta atau tidak, sebagaimana waktu Ibu berkata kepada seorang penjaja (sales) di depan pintu bahwa dia tidak mungkin diganggu karena mau pergi ke dokter gigi. Reaksi anak mungkin, “Hm, ibu berdusta.” .. “Ya, tidak sesungghunya. Saya akan mengadakan janji dengan dokter gigi. Memang tidak sekarang tetapi nanti”…. “tapi itu suatu dusta, Bu. “ anak itu keluar pintu dan berseru “ Ibu bohong.. ibu bohong….” (hal. 81). Itulah superego yang ditanamkan. Dia hanya tahu hitam atau putih, benar atau salah, dan tidak pernah ada area abu-abu (seperti warna CD Rachel Maryam di VCD “pengintip” yang saat ini lagi marak …. He.. he… lho kok malah nyasar kesono ? sekali lagi aku mau katakan bahwa aku emang payah dan suka ngawur ... he… he….he …). Gaya bercerita seperti itu menarik karena kemampuan aplikasinya dalam kehidupan riil sehari-hari. Sepanjang buku tersebut cara bercerita yang dibangun selalu sama seperti di atas. Juga ketika mereka menjelaskan tentang kepribadian menurut perspektif Eksistensialis, Behavioris, maupun Humanistik. Namun tujuanku sebenarnya ketika mencoba menulis isi buku ini adalah guna memaparkan bagaimana kepribadian bisa tercermin dari beragam perspektif yang berbeda. Marilah kita lihat dua perspektif dulu dari empat perspektif yang ditawarkan itu. Oke .… tarik coyyyy ….

Kepribadian menurut Eksistensialisme

Aliran yang dipopulerkan Jean Paul Sartre ini memiliki daya terobos yang luar biasa atas kemapanan sistem dan fungsionalis. Bagi Sartre dirilah yang berkuasa.

Satu kalimat pusaka dari aliran eksistensialis tentang kepribadian adalah “ Anda adalah anda karena anda menghendaki demikian”. Untuk membongkar makna kalimat itu kita harus sadar suatu prinsip bahwa lingkungan kita sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap diri. Kita adalah seorang penafsir atau penerjemah lingkungan itu, dan sesuai dengan tafsiran kita, kita sudah memilih menjadi orang atau pribadi seperti apa keadaan kita sekarang. Dengan sudah memilih menjadi orang seperti kita sekarang, tidaklah berarti bahwa kita menghendaki menjadi yang kita pilih. Pilihan disini hanya berarti bahwa kita bertanggung jawab akan pilihan kita itu, yaitu pribadi kita sekarang.

Pertamakali kita mengenal aliran ini, kita mungkin melihat bahwa konsep pertanggungjawaban ini menimbulkan rasa kurang enak atau kita cenderung menolaknya, karena dengan demikian tak ada lagi kambing hitam. Tidaklah kesalahan siapapun yang membuat kita menjadi kita. Beberapa orang cenderung untuk memaafkan kegagalan mereka dalam kehidupan ini dengan mengatakan bahwa kekurangan atau kegagalan itu karena kesalahan orang tua atau orang lain. Namun terlepas dari itu semua, yang menjadi dasar untuk mengkaji eksistensialis adalah persepsi kita terhadap lingkungan itu sendiri.

Lingkungan tidak membuat kita harus menanggapinya dalam satu cara tertentu, lingkungan itu hanya menghidangkan alternatif-alternatif yang dapat kita perhatikan atau abaikan. Kita harus bebas untuk menanggapi dunia ini sebagai dunia busuk ataupun menakjudkan, atau menanggapi dunia atau Tuhan kita sebagai murah hati, penolong, pendendam & tidak kenal ampun, atau hidup kita sebagai yang berharga atau tidak berharga dan penuh dosa. Kita bebas untuk memilih. Dalam kondisi tertentu sebenarnnya kita tidak memiliki kuasa memaksa dan membuat orang lain bahagia kalau dirinya memilih untuk tidak bahagia. Cerita seorang istri yang merasa tidak tahan dengan kebaikan suaminya (cerita tentang perfectionis sang suami) kemudian menceraikannya, membuat bingung sang suami. Suami bermaksud membahagiakannya dengan kesempurnaan dan kemudian tidak meninggalkannya, namun ternyata sang istri memilih untuk menanggapi sebaliknya. Akhirnya kita tidak dapat membuat seseorang menjadi sesuatu.

Realisasi bahwa hanya kita yang dapat membuat membuat diri kita bahagia, sedih, marah, tertekan, atau sesuatu emosi lainnya, untuk pertama kali memang sukar. Kita dapat memilih untuk memepertahankan, bahwa walaupun seseorang tak dapat membuat kita merasakan sesuatu, dia (obyek) masih dapat mempengaruhi kita. Dia tidak dapat, kecuali kita memilih untuk dipengaruhinya. Seseorang mungkin memilih untuk melakukan banyak perbuatan yang hati-hati dan dipikirkan untuk mempengaruhi reaksi emosi kita terhadapnya. Kita mungkin memilih untuk menjawabnya dengan ucapan terimakasih, atau kita bisa memilih untuk merasa salah karena kita tidak pernah berpikir melakukan perbuatan-perbuatan terencana yang timbal-balik. Ingat cerita Victor Frank ketika disiksa dan dianiaya tentara Nazi ? dia dengan tegas mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak atas rasa sakit atau rasa nikmat yang mendera tubuhnya. Sekalipun dicambuk dan dipukuli, Frank tidak pernah mengeluh kesakitan. Tentara Jerman bengong !

Kepribadian dari Behaviorisme

Pengikut aliran behavioris lebih tertarik pada perilaku yang terjadi, dalam merubah perilaku tertentu, dan dalam meramalkan perilaku dimasa mendatang. Mereka sangat percaya bahwa “manusia adalah hasil dari sejumlah kondisi-kondisi yang mempengaruhinya !”. Kalaupun kemudian ada kesimpulan bahwa seorang bayi kelaparan, bukanlah kelaparan bayi itu yang menjadi penanda laparnya dia, namun lebih karena stimulus tangisan dari bayi tersebut. Dengan perilaku menangis itulah maka si bayi menunjukkan dirinya lapar. Jadi lingkungan kitalah yang memberikan stimulus atas segala perilaku yang akan kita tunjukkan. Pada kasus diri, orangtua, agama, dan segala sesuatu dalam lingkungan kita, semua itu bertanggung jawab, mempengaruhi bagaimana jadinya kita.

Menurut behavioris tidak ada dan tetap tidak akan pernah ada kebebasan memilih. Dalam realitas behavioris, kebebasan memilih dan kebebasan menentukan tidaklah ada. Hanya hukum perangsang dan jawaban terhadap perangsang itu (the laws of stimulus dan response) yang ada. Jika kita percaya bahwa kita mempunyai kebebasan memilih, itu adalah hanya karena kita sudah dipengaruhi atau dikondisikan untuk mempercayai itu.

Untuk melihat bagaimana hukum stimulus & respons maka Thorndike memberikan beberapa pertimbangan. Pertama, hubungan yang anda buat antara suatu respon dan akibat-akibat dari respon itu, dapat diperkuat ataupun diperlemah oleh akibat-akibat dari respon itu. Ada konsep belajar yang dipegang oleh prinsip ini. Belajar adalah suatu perubahan dalam perbuatan atau dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan beberapa pengalaman. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan atau cara melakukan itu yang dapat dilihat atau diamati, maka tidak ada hal belajar yang terjadi. Kedua, pengikut behavioris hanya tertarik mengenai hasilnya, yaitu perubahan dalam perilaku yang menyatakan bahwa hal belajar sudah terjadi. Ketiga, perubahan dalam sering terjadinya perbuatan itu sebagai suatu indikasi hal belajar. Setiap perubahan mengenai seringnya terjadi, diukur sejak dari respon pertama. Jika seringnya perbuatan itu bertambah atau berkurang, maka sudah ada perubahan dalam perilaku, dan hal belajar sudah terjadi.

Yang terpenting untuk dipahami adalah bahwa jika perubahan-perubahan itu tidak terjadi, maka hal belajar tidaklah terjadi. Kekuatan behaviorisme terletak dalam membuat hal belajar itu terjadi. Sebagaimana halnya dengan penerapan dari setiap kekuatan, kekuatan itu dapat disalahgunakan Namun, penerapan yang menguntungkan adalah maksud yang utama dari kebanyakan pengikut behaviorisme. Ahli-ahli behavioris sudah menerapkan teknik mereka dalam rumah sakit jiwa dengan sangat berhasil. Mereka sudah membuka atau menyingkirkan penghalang-penghalang yang sukar, dimana banyak aliran-aliran psikologi yang lain sudah menemui jalan buntu. Mereka juga sudah membuat kemajuan-kemajuan yang besar dalam perawatan anak-anak atau orang yang bermental terbelakang, dimana aliran psikologi yang lain sudah gagal. Dan mereka sudah mempengaruhi bidang-bidang teori belajar dengan dampak yang lebih besar dari yang dilakukan aliran psikologis lainnya.


Lalu bagaimana dengan dua yang lainnya ? psikoanalisis dan aktualisasi diri ? ahh kapan-kapanlah akan saya bongkar lagi. Minimal saya butuh membaca beberapa buku lain sebagai penyeimbang karena hari ini terlalu banyak membaca buku psikologi. Nampaknya bermain-main dengan si ganteng Harsa, anakku, menjadi lebih menarik untuk menghabiskan hari ini. Gitu dehh ... he he he he



Catatan :

[1] Minimal ketika menyarankan begini aku jadi ingat saat menyampaikan kuliah Psikologi Komunikasi tentang empat konsepsi itu. Aku gunakan buku Linda L. Devidoft “Psikologi Suatu Pengantar” untuk betul-betul mengantarkan mahasiswa mengenal psikologi. Hasilnya empat konsepsi itu terlalu permukaan untuk dipelajari dari buku tersebut. Mungkin harus menelaah dan mengelaborasi lebih dalam dari setiap teori dan konsepsi ini.

Tidak ada komentar: