Sabtu, 02 Mei 2009

Nonton Film, Siapa Takut ?

Implikasi Film Sebagai Media Massa
“Hollywood movies .... rather than
serving your socialization need,
They are probably serving some of your social need”
-Samuel L. Becker-
Dunia perfilman Indonesia saat ini dinilai banyak pihak telah mengalami fase kebangkitan dan kegairahan yang sangat menarik. Betapa tidak, jika pada tahun 2007 lalu, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan 77 izin produksi film dengan 55 film yang baru disensor, menjelang tutup tahun 2008, mereka sudah mengeluarkan izin produksi sebanyak hampir 200 judul film. Sebuah angka produksi yang fantastis untuk ukuran negara yang lagi krisis dihantam berbagai masalah pelik politik, ekonomi, sosial budaya, dan menjelang pemilihan presiden (yang ini agak diragukan relasinya). Di satu sisi kita mungkin layak berbangga dengan prestasi kuantitas itu. Sementara dari sudut kualitas, eforia Ayat-Ayat Cinta dan hiruk pikuknya Laskar Pelangi membuktikan sisi kualitas yang tak bisa dianggap remeh. Namun seberapa jauh sebenarnya film memberikan kontribusi atas kehidupan sosial, politik, ekonomi ? apakah dia sedemikian penting sehingga dianggap memiliki relasi kuat dengan terbentuknya budaya atau bahkan karakter moral sebuah bangsa ? bagaimanakah sebenarnya pengaruh film sebagai sebuah media komunikasi massa ? Lembar-lembar berikut ini mencoba menelusuri seberapa besar pengaruh film bagi struktur kognitif, afektif, bahkan perilaku audiens. Saya akan urai dari fenomena relasi film bernuansa religius di Amerika dan Indonesia, selepas itu akan coba dipaparkan bagaimana film sebagai sebuah media dalam komunikasi massa dengan segala implikasinya lewat analisis efek media.

Film dan Religiusitas : Keyakinan yang Diperdagangkan ?

Ada sebuah kejadian menarik yang diceritakan oleh C. Marvin Pate & Sheryl L. Pate (2007) saat mereka berniat menonton film The Passion of the Christ karya Mel Gibson pada paruh kedua bulan Maret 2004. Pate menceritakan bahwa ketika mereka tiba di bioskop lebih awal satu setengah jam sebelum giliran pemutaran film berikutnya, mereka terkejut melihat tempat parkir yang luas telah penuh dengan mobil-mobil yang diparkir di sepanjang jalan menuju jalan utama. Tak lama kemudian, orang-orang mulai mengalir ke luar dari gedung bioskop. Tak ada yang berbicara. Para pelanggan bioskop itu berjalan santai dari gedung bioskop seperti kebanyakan penonton film setelah menonton film. Mereka berjalan lesu dan kelihatannya asyik dengan pikiran mereka sendiri. Beberapa di antaranya menyeka mata mereka dengan kertas tisu ketika mereka berjalan melewati mobil Pate. Sementara itu, beberapa penonton lainnya berjalan dengan wajah serius, kelihatan merenung atau bahkan terguncang. Perbedaan menyolok dengan emosi yang biasa ditunjukkan oleh penonton film-film lainnya berlanjut sampai ke jalan keluar dari tempat parkir. Tidak ada konfrontasi sedikitpun walau kira-kira tiga ribu orang semuanya berusaha untuk mengeluarkan mobilnya ke luar secara bersamaan. Para pengendara mobil tidak membunyikan klakson dengan kasar. Tidak ada tanda-tanda ketidaksabaran di wajah mereka. Sebaliknya mereka saling mengalah, kesabaran dan sopan santun merebak dalam cara yang tidak pernah Pate & Pate saksikan sebelumnya. “Kami melihat satu reaksi kepada Yesus pada hari itu !” simpul mereka berdua. Itu di Amerika.

Di belahan dunia lain, pertengahan Maret 2008, empat tahun kemudian. Tepatnya di Cilegon, Banten. Serombongan ibu majelis Ta’lim bersepakat menyewa angkutan kota. Bukan pergi ke masjid tempat biasa mereka menghadiri pengajian bersama-sama. Mereka dengan kerudung masing-masing beramai-ramai mendatangi studio 21 di kotanya. Merelakan jam pengajian di surau dan mushola mereka digantikan dengan acara nonton bersama film Ayat-Ayat Cinta. Film besutan Hanung Bramantyo yang menghadirkan fenomena relasi cinta tidak biasa. Percintaan yang dirajut dengan nuansa kental keagamaan. Fenomena sama juga terjadi saat orang rapi berjejer antri untuk mendapatkan karcis. Terkadang harus merelakan menonton tidak sesuai dengan jadwal yang sudah dirancang dari rumah. Maksud hati nonton jam 11.00 ternyata dapat tiket pertunjukan jam 15.30 WIB. Hasil dari menontonnya pun ternyata menghadirkan fenomena kurang lebih sama. Rata-rata sekeluar dari bioskop, mereka masih menyeka mata. Di angkutan kota, ibu-ibu tadi masih saja asyik menceritakan adegan demi adegan yang membuat hati mereka tersentuh. Di Ibu kota negara ini, para pejabat sibuk mengalokasikan waktunya untuk sekadar duduk menyaksikan Ayat-Ayat Cinta. Presiden, mantan presiden, para menteri, juga segenap jajarannya ikut larut dalam hipnotis cinta yang dibalut nuansa Islam di film ini. Hasilnya film itu menghasilkan satu fenomena serupa bagi penontonnya : menitikkan air mata ! “Film ini memperlihatkan wajah Islam yang ramah dan toleran,” kata mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Itu di Indonesia.

Dua setting cerita di atas paling tidak menunjukkan bahwa ada sebuah kekuatan besar yang hadir ketika orang datang dan bersedia duduk diam dikegelapan bioskop. Menatap layar putih dengan ribuan gambar berjalan teratur. Tidak hanya di Amerika, di seluruh belahan dunia film sebagai sebuah wujud nyata komunikasi massa telah menciptakan sihir yang mampu menghipnotis audiens-nya masuk ke dalam jaring rangkaian ceritanya. Kondisinya tentu tidak sama dengan apa yang terjadi dua abad silam. Saat mana film masih hanya merupakan gambar hitam putih tanpa suara (Jowett & Linton, 1980; Monaco, 1981; Becker, 1987; Price, 1995).

Terkait dengan kemampuannya untuk mengemas setting religius dalam bentuk cerita yang runtut, film biasanya menjadi ajang kontroversi tersendiri yang menarik untuk diikuti. Relasi film dengan agama menghadirkan dua titik ekstrem seiring dengan penolakan dan penerimaan manusia. Penolakan atas agama dan penerimaan penuh atas ajaran agama. Beberapa diantaranya selalu terkait dengan novel yang meledak untuk kemudian difilmkan. Da Vinci Code salah satunya. Film yang berasal dari novel laris Dan Brown ini laris karena kontroversi yang ditimbulkannya. Bagi umat Katolik karya ini merupakan sebuah fiksi dan film yang paling menggemaskan. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, dia akan menggoncangkan keimanan dan keyakinan mereka yang lemah. Novel Brown ini menarasikan gagasan yang menggerus arus utama teologi kekristenan. Banyak hal yang mapan dalam realitas keagamaan yang dipertanyakan kembali dan dikonstruksi ulang oleh novel tersebut. Sebagai buah dari kontroversinya, novel tersebut sukses luar biasa. Terjual lebih dari 40 juta kopi di seluruh dunia. Inilah yang menggoda sosok setiap produser untuk mengangkat cerita novel itu ke layar lebar. Hasilnya tak kurang tak lebih . Da vinci Code mampu membekukan pendapatan lebih dari US$ 750 juta dari hasil penjualan tiket di seluruh dunia. Agama memang selalu kontroversi apabila disajikan sebagai sebuah budaya populer. Hal ini telah dipraktekkan sejak lama di Amerika. Kemampuan sineas Hollywood untuk mengangkat sosok Yesus dalam berbagai film membuat implikasi keuntungan finansial yang cukup menggiurkan.

Yesus dan Narasi Religius dalam Film

Semangat epik dan rohani dalam film Hollywood sebagian besar diwarnai oleh ruh biblikal Kristiani. Hal tersebut mengingat 83 persen masyarakat Amerika adalah pemeluk iman Kristiani, dimana sosok Yesus adalah figur sentralnya. Tentunya kenyataan demografi ini sungguh menguntungkan bagi pasaran produk film epik rohani yang memasang Yesus Kristus atau Jesus Christ sebagai ikon utama. Film-film dengan tema Yesus sendiri dibuat pertama kali pada tahun 1898, empat tahun setelah karya film pertama dibuat oleh Thomas Alva Edison dengan judul Fred Ott’s Sneeze (1894, judul copyrightnya Record of a Sneeze). Adele Reinhartz (Cunningham, Phillip A., et. al, 2004) menyebut judul The Passion Play at Oberammergau sebagai judul film bertema Yesus yang pertama kali dibuat. Sumber lain menyebutkan Jésus devant Pilate (1898) karya Alice Guy adalah yang pertama.

Karena tema ini menjadi dianggap sentral maka cukup signifikan jika Adele Reinhartz (Cunningham, Phillip A., et. al, 2004) menjadikan film-film sejenis dikategorisasikan dalam sebuah genre yang ia sebut sebagai Jesus Film Genre atau genre film Yesus. Film bergenre Yesus ini sebagian besar bercerita tentang babakan kehidupan Yesus; Lahir, Masa Kecil, Masa Berkarya (khotbah di atas bukit dan pengajaran), memasuki Yerusalem, Perjamuan Kudus (Last Supper), Pengkhianatan Yudas, Penangkapan dan Pengadilan Yesus, Kematian Yesus, Kebangkitan Yesus dan Naiknya Yesus ke Surga. Kisah Yesus, terutama pada bagian kesengsaraan (The Passion), memiliki syarat untuk menjadi sebuah genre karena memiliki kekuatan pada karakter, dan plot yang berisi dengan suspense dan ketegangan jika mengacu pada pemikiran Aristoteles tentang tragedi. Dalam sejarah panjang perfilman Amerika, nampaknya film religius selalu latah untuk mengemas sosok Yesus dalam berbagai rangkai episode hidupnya. Hasilnya, sebuah kekuatan keimanan seperti yang digambarkan Pate & Pate di awal tulisan tadi.


Narasi Religius di Layar Lebar Indonesia

Bila di Amerika sosok Yesus menjadi ikon menarik untuk selalu diangkat ke layar lebar, di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tidak otomatis mengangkat Nabi Muhammad SAW sebagai ikon pula dalam film-film religius (itu tidak mungkin ! Nabi SAW tidak boleh digambarkan wujud fisiknya). Narasi Islam di sinema Indonesia dimunculkan dalam sosok-sosok lagenda Islam dari berbagai penjuru nusantara. Dengan penceritaan unik, pada tahun 1984 film Sunan Kalijaga dianggap sebagai film terlaris kedua dengan jumlah penonton 575.631 orang. Film yang menceritakan kehidupan ala “Robin Hood” zaman Majapahit itu memiliki narasi babakan kehidupan Raden Mas Said sebagai putera Temenggung Wilarikta. Sejak dia ramaja, memutuskan menjadi perampok, berguru pada Sunan Bonang, dan menjalani kehidupan sebagai seorang sunan. Rangkaian adegan oposisi biner “hitam putih” menghiasi film tersebut. Banyak kemudian penonton Indonesia yang tahun-tahun itu tergerak hatinya untuk membantu kaum fakir dan mendermakan sebagian hartanya untuk orang miskin. Kekuatan film itu diceritakan tidak hanya sebatas jumlah penontonnya yang banyak (untuk ukuran waktu itu), namun telah menggerakkan orang untuk saling membantu satu sama lain.

Bila tahun 1900-an film religius benar-benar menghilang dari pasaran karena kuatnya genre film seks dan action, maka tahun 2000-an dianggap banyak kalangan sebagai kebangkitan kedua film religius Indonesia. Ditandai dengan suksesnya Ayat-Ayat Cinta, berturut-turut kemudian hadir Kun Fayakun, Ketika Cinta Bertasbih, Doa yang Mengancam, 3 Doa 3 Cinta, dan terakhir Perempuan Berkalung Surban. Film-film inilah yang kemudian membawa genre religius semakin kuat sebagai setting cerita. Terlepas dari kontroversi tentang kualitas filmnya, sebuah harapan baru muncul seperti halnya yang dikatakan produser Kun Fayakun, Yusuf Mansyur bahwa film religius akan memberikan kekuatan keimanan pada setiap orang yang menontonnya. Benarkah demikian ? tentu tidak gampang untuk menjawabnya. Saat kita melihat film dalam wujud sebagai media massa, maka kita akan menerapkan hukum efek media untuk mendiskusikan tentang seberapa besar efek film tersebut memasuki ruang hidup bermasyarakat, berbudaya, dan beragama audiens Indonesia.

Pengaruh Film, Siapa Takut !
Henry Ford, sang konglomerat pemilik pabrik dan perusahaan mobil Ford telah memperingatkan akan betapa kuatnya propaganda Yahudi dengan menggunakan film sebagai medianya (Shafa Taj, 2007). Jauh sebelum itu, sosok Lenin sangat memperhatikan akan pengaruh maksimal dari media layar lebar tersebut sebagai alat politis propaganda (Tjasmadi, 2008). Kita bisa menyebut lagi beberapa tokoh besar dunia yang sangat was-was dan paham betul dengan kekuatan film : Soekarno, Hitler, Mussolini, dan Eisenhower. Bagi Monaco (1981) film sebagai sebuah media tidak hanya semata-mata dilihat sebagai perangkat seni dan karya impresif dari seorang sutradara dan produser. Film dalam sejarah hidupnya telah dipakai sebagai sebuah instrumen dahsyat mengarahkan pikiran, sikap, dan perilaku audiens. Sebuah penelitian tentang sikap dan semangat pertempuran tentara Amerika saat perang dunia II menjadikan film sebagai elemen kunci menstimulus reaksi mereka. Film Mr. Biggot yang diputar dengan pola satu sisi (one side) telah membakar semangat tentara Amerika untuk berperang membela kepentingan sekutu, dan memenangkan perang itu (Rogers,1990).

Saat Indonesia diserang Belanda secara mendadak paska proklamasi kemerdekaan Agustus 1945 (agresi militer 1 dan 2), para pemimpin negara saat itu ditawan dan diasingkan. Dengan sangat pintar Usmar Ismail melukiskan semua itu melalui “Enam Djam di Jogja”. Sebuah film yang menurut pengakuannya sendiri merupakan upaya menjelaskan pada masyarakat Indonesia saat itu bahwa pemerintahan Indonesia masih berdiri. Sebuah upaya dokumentasi sejarah yang begitu menyentuh, dengan unsur melodramatik menarik. Film memang menjadi sebuah media untuk menyampaikan maksud tertentu. Dia bagaikan jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan. Entah itu pesan politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Film memang tidak pernah lepas dari setting dan konteks di mana film itu dibuat, siapa yang membuatnya, perusahaan mana yang memberi dana, hingga bioskop mana yang akan memutarnya. Sebagai sebuah media, dia telah menjadi pesan itu sendiri (medium is message). Untuk itulah dalam semua film yang dibintanginya dan diproduksinya sendiri, Bruce Lee tidak pernah mau lawannya di film itu (tokoh antagonis) berasal dari China. Tak ada lawannya yang berasal dari etnik atau bangsa yang sama dengan etnik dia berasal. Siap bilang film tidak berselimut ideologi ?

Mengapa film dianggap sebagai sebuah media budaya dan politis yang tepat untuk mengkonstruksi pemikiran audiens ? hal ini terkait dengan daya efektif penyampaian pesan yang disandang oleh media audio visual ini. Membicarakan tentang hal itu berarti kita membicarakan tentang efek media. Saya akan mempergunakan enam jenis efek yang diintrodusir oleh Graeme Burton (2008) terkait dengan relasi media dengan audiens. Burton yakin bahwa media dipandang istimewa karena kita sangat menyadari bahwa dalam beberapa cara, di sana terdapat proses komunikasi diantara produser dan audiens yang mencoba saling mempengaruhi lewat komunikasi massa mereka. Namun yang perlu diketahui adalah tidak pernah ada penelitian yang secara tegas menyebutkan efek parsial media massa (termasuk film) dalam membentuk perilaku, sikap, maupun pikiran audiens tanpa memperhitungkan kondisi dan situasi tertentu yang tempati sosok audiens itu sendiri. Hal inilah yang membuat kita membicarakan efek dari beragam jenis untuk meletakkan secara arif bagaimana media memberikan pengaruh integratif atas diri dan pikiran audiens. Burton menyebutkan enam jenis.

Pertama, efek jangka pendek. Hifotesisnya seseorang yang nonton film pada tataran berikutnya akan segera berpikiran, berperilaku persis seperti apa yang ditontonnya di film tersebut. Pendekatan ini kadang disebut teori efek hipodermis, seolah-olah orang diinjeksi dengan suatu materi media dan memberikan tanggapan menurut materi yang diinjeksikan tersebut. Teori ini suka menjadikan peristiwa kepanikan audiens di Amerika tahun 1939 saat radio Orson Welles menyiarkan tentang drama penyerbuan makhluk asing dari planet Mars ke bumi. Dalam dunia film, biasanya anak kecil di seluruh belahan dunia sekitar tahun 90-an selalu mengidolakan dan mengidentifikasi perilakunya pada sosok Rambo, Superman, dan Batman. Kedua, efek jangka panjang. Asumsi jenis efek ini adalah percaya bahwa apapun jenis pengaruh yang muncul dari sebuah media pastilah terjadi tidak spontan dan tiba-tiba. Pengaruh itu terjadai dalam periode waktu yang lama, dan lebih berkenaan dengan pelbagai perubahan dalam sikap dan kepercayaan daripada perubahan perilaku yang terjadi dalam waktu yang cepat. Efek jangka panjang yang diciptakan oleh film-film heroik Amerika adalah munculnya kesan bahwa AS sebagai negara adi daya. Itu yang bahkan terkadang muncul tanpa disadari di otak saya dari kecil , dan bahkan berlanjut hingga hari ini saat mencari preferensi tentang sistem mengajar yang baik, kurikulum yang hebat, cara berbicara yang mempesona, dan lain sebagainya. Pokoknya AS nomor satu. Habis perkara.

Jenis efek ketiga disebut dengan teori Inokulasi. Teori ini mengatakan bahwa pemaparan yang terus-menerus terhadap pesan-pesan media membuat kita menjadi “beku” terhadap pesan-pesan, menjadi kurang sensitif. Terlalu sering menonton tayangan Tom & Jerry membuat anak-anak tidak terlalu merasa bersalah lagi ketika memukul kepala temannya dengan palu ala Tom & Jerry. Mereka merasa biasa menggencet temannya dengan daun pintu (mengharap tubuh temannya jadi gepeng seperti tubuh Tom). Pesan yang bersifat sama terus menerus menimpuk kita, akan cenderung membuat kita tidak peka lagi dengan esensi pesan itu. Terlalu sering melihat kekerasan, membuat kita menjadi tidak peka lagi dengan kekerasan. Keempat, teori Aliran Dua Langkah. Teori ini menyebutkan bahwa media mampengaruhi audiensnya dengan cara tidak langsung melalui proses pentahapan. Tahap pertama berupa relasi dengan media massa, tahap kedua relasi antara para pemimpin opini dengan audiens masif. Para pemimpin opini inilah yang “lebih didengarkan tentang apa yang mereka katakan daripada mendengarkan dan menyaksikan isi media itu sendiri”. Bila para pejabat bilang Laskar Pelangi sangat bagus untuk menunjukkan kekuatan pendidikan, kita akan serentak bilang: ”amiiin”.

Jenis efek kelima dinamakan teori Penggunaan dan Pemuasan. Asumsi dasar teori ini menyebutkan bahwa terdapat pelbagai efek tidak benar-benar menaruh perhatian kepada pengukuran efek-efek ini. Jadi efek media menurut teori ini hanyalah menghamba pada kepentingan orang-orang yang disupport oleh pesan media tersebut. Orang mau menonton Ayat-Ayat Cinta karena tercipta kebutuhan untuk menonton setelah para tetangganya asyik membicarakan film itu di manapun tempat dia berada. Entah di beranda, warung, halaman rumah, bahkan tempat play group anaknya. Jenis efek keenam disebut dengan efek-efek kultural. Unit analisis dalam jenis efek ini adalah audiens kolektif. Jadi bukan melihat reaksi-reaksi individu. Pendekatan ini melihat peran media dalam hal mendefinisikan dan membatasi budaya, dan dalam usaha melestarikan dan memperkukuh elemen-elemen kulturalnya. Inilah yang dianggap banyak pihak menjustifikasi efek media pada pembentukan stereotip berdasarkan ras, perspektif kelas, dan sebagainya.

Pada simpulnya, Burton mengatakan bahwa keenam jenis efek itu lahir dari serangkaian riset yang terselenggara dalam rentang waktu yang panjang dan lama. Itu berarti setting sosial politik ketika riset itu dilakukan juga turut memberikan pengaruh pada hasil riset. Akhirnya menurut Burton, semua itu hanyalah daftar kategori yang disusun untuk menunjukkan media memiliki ragam pengaruh. Artinya untuk melihat seberapa besar media berpengaruh, mari kita lihat dia dengan perspektif integratif. Bukan pendekatan parsial melihat media sebagai sebuah determinan tunggal.

Film yang Inheren : Simpul Awal
Ketika pengaruh film sebagai sebuah media komunikasi massa kita letakkan dalam koridor efek media, maka kita akan temukan konfigurasi dari beragam efek tersebut. Hukum media massa yang sangat berbasis pada komunikator terlembaga, membuat film tidak lepas dari beragam kepentingan. Sejak dia diproduksi, di distribusikan, dan dikonsumsi film telah melalui banyak sekali campur tangan berbagai kalangan. Menjadikan film sebagai salah satu mesin pembentuk budaya dan penguat moralitas audiens membutuhkan ketekunan untuk merunut kepentingan tiga tahapan tadi. Di sisi lain, melihat pengaruh film dalam jangka panjang dan dalam koridor efek kultural, akan membuat media ini lebih terlihat sebagai sesuatu yang inheren melekat dalam kehidupan masyarakat. Jadi bukan semata-mata ikut trend gegap gempita dan eforia. Karena yang dua terakhir ini justru memerangkap kita menjadikan film semata-mata komoditas dengan insting primitif ekonomi. Bagaimana pendapat Anda ?

Referensi

Becker, Samuel L. (1987). Discovering Mass Communication, Second edition, London : Scott, Foresman and Company.

Haryadi, Rohmat. (2008). Saat Bioskop Jadi Majelis Taklim : Sihir Film Ayat-Ayat Cinta, Jakarta : Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika).

Jowett, Garth, & James M. Linton. (1980). Movies as Mass Communication. London : Sage Publications Inc.

Monaco, James. (1981). How to Read a Film : The Art Technology Language and Theory of Film and Media, Revised Edition, New York : Oxford University Press.

Pate, C. Marvin, & Sheryl L. Pate. (2007). Disalibkan oleh Media, Penerjemah Yeri Ekomunajat, Yogyakarta : Penerbit ANDI.Price, Stuart. (1995). Media Studies, London : Longman Group Limited.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sebuah analisis yang tajam dan memikat.