Kamis, 20 Mei 2010

Publik, Modal Sosial & Pemberdayaan Masyarakat


“Orang-orang ... kodratnya bebas, sama sederajat, dan mandiri.
Tidak ada orang yang dapat dilepaskan dari keadaan ini
dan ditundukkan kepada kekuasaan politis orang lain
tanpa kesepakatannya sendiri”
-John Locke-1924


Proses memberdayakan masyarakat secara nyata memang tidak segampang paparan teoretiknya. Begitu banyak pendekatan yang secara fungsional menyajikan sebuah langkah strategis memberdayakan masyarakat, pada gilirannya hanya menjadi sebuah konsep mati di atas kertas yang dibuang setelah dilipat-lipat. Dia sama sekali tidak bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Mewujudkan prosesnya pun sulit bukan kepalang, apalagi mengaplikasikannya di lapangan. Lalu bagaimana kita bisa melihat hasil untuk sebuah konsep yang tidak bisa diterapkan ? Kenyataannya hingga hari ini, konsep pemberdayaan masyarakat bagaikan jauh panggang dari api. Judul makalah ini sesungguhnya berupaya memberikan kerangka berpikir untuk menelaah masalah tadi. Kaitannya dengan masalah pemberdayaan masyarakat menurut saya adalah terlupakannya masyarakat sebagai unsur yang diberdayakan itu sendiri. Program-program yang dijalankan tanpa mengetahui siapa yang diberdayakan nyaris menjadi sebuah pengingkaran menyedihkan. Untuk itulah makalah ini akan mengupayakan sebuah strategi memberdayakan masyarakat melalui pengenalan maksimal terhadap satu konsep utama yang paling sering terlupakan saat membahasnya.

Untuk mencoba melihat lalu kemudian menawarkan bagaimana seharusnya masyarakat diberdayakan, maka konsep utama yang ditawarkan dalam makalah ini adalah publik. Selama ini pemerintah sebagai wujud nyata dari tiga pilar politik utama negeri ini selalu melihat masyarakat sebagai kumpulan orang-orang dengan satu kepentingan bersama. Diasumsikan bahwa itu akan mengikat mereka selamanya. Padahal dalam kondisi tertentu, melihat masyarakat sebagai rakyat yang berhadapan dengan negara dan memiliki kepentingan untuk selalu diperhatikan dan diurus oleh negara akan membawa kita pada bias pemikiran. Untuk mengurai hal tersebut, makalah ini akan berangkat untuk memahami konsep publik, lalu kemudian secara sirkuler akan menempatkan publik ini sebagai energi membahas konsep model sosial (social capital). Dinamika kedua konsep itulah yang akan mengerangka sasaran penyajian makalah ini, pemberdayaan masyarakat.


Publik : Orang Sama, Kepentingan Berbeda !


Membicarakan publik berarti membicarakan pilihan ketertarikan dan kepentingan masyarakat secara spesifik. Artinya ada unsur yang mempersatukan setiap orang hingga membentuk sebuah kelompok dengan kepentingan khusus. Pada titik ini sangat tidak mungkin melihat konsep publik dalam makna tunggal. Di dalamnya terdapat beragam unsur yang heterogen. Seperti yang dikatakan Cutlip (2000:265) bahwa ragam indikator yang membentuk mozaik publik seperti etnik, ras, agama, geografi, politik, pekerjaan, sosial, dan kelompok kepentingan khusus yang semuanya berbeda-beda justru akan tercakup untuk memperkecil pamahaman konsep publik secara umum. Pembicaraan tentang publik tidak bisa dilakukan apabila gagasan yang muncul adalah ‘publik umum’.

Publik merupakan satu satuan sosial aktif yang terdiri dari pihak-pihak yang terpengaruh, yang mengenali masalah bersama dan karena itu mereka berupaya mencari solusi bersama. Pada titik itulah publik terbentuk karena pengenalan akan konsekuensi buruk yang ditimbulkan oleh suatu kepentingan umum. Apa yang mampu membentuk dan menciptakan publik ? tidak lain dan tak bukan adalah adanya komunikasi satu sama lain. Komunikasi merupakan esensi untuk membentuk publik lalu memeliharanya untuk tetap terikat erat. Tanpa kemunikasi maka publik akan tetap seperti bayang-bayang dan tak berbentuk, semrawut mencari dirinya sendiri, dan tetap terperangkap dalam bayangan itu daripada menyadari hakekat keterbentukannya. Menyadari bahwa setiap orang pasti memiliki kepentingan, maka tidak bisa terelakkan keterbentukan publik. Esensi utama keberadaan publik adalah bersatunya individu-individu karena kepentingan yang sama. Hal ini terkadang mampu melampaui batasan geografis. Sebagai contoh, usaha untuk melawan Satpol PP muncul dalam wujud kritik dari kelompok yang sama-sama antipati setelah kejadian dan konflik di Tanjung Priok pada bulan April 2010. Pada awalnya orang-orang ini terpisah-pisah menurut geografis, terpisah menurut kondisi ekonomi mereka, terpisah menurut kondisi sosial politik mereka. Namun setelah kejadian konflik di Priok itu, mereka tersatukan oleh satu semangat bersama : ketidaksukaan dan antipati terhadap satpol PP. Ketidaksukaan ini kemudian bisa jadi berbuah menjadi demonstrasi atau gerakan protes sosial lainnya. Inilah perubahan dari sebuah publik laten menjadi publik aktif.

Menurut Grunig (dalam Cutlip et,al : 2000: 268) terdapat tiga faktor yang menggerakan publik untuk berubah dari status latent menjadi berstatus aktif. Ketiga faktor itu adalah :
1.Pengenalan masalah menggambarkan taraf ketika orang sadar bahwa ada sesuatu yang hilang atau keliru dalam sebuah situasi, dan dengan demikian tahu bahwa mereka membutuhkan informasi.
2.Pengenalan akan hambatan menggambarkan taraf ketika orang melihat diri mereka dibatasi oleh faktor eksternal versus melihat bahwa mereka dapat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan situasi itu. Jika orang berpendapat bahwa mereka dapat melakukan perubahan atau memberi efek pada situasi masalah itu, mereka akan mencari informasi untuk membuat rencana bertindak.
3.Tingkat keterlibatan menggambarkan taraf ketika orang melihat diri mereka terlibat dan dipengaruhi oleh sebuah situasi. Dengan kata lain, semakin mereka melihat diri mereka terhubungkan dengan suatu situasi, semakin mungkin mereka mengomunikasikannya.

Apa yang dikatakan Grunig di atas menunjukkan bahwa publik tidak akan bisa dipisahkan dari dinamika opini atau pendapat. Dalam berbagai buku teks dan referensi kedua istilah ini (publik dan opini) selalu disebutkan secara bersamaan (inheren) satu sama lain, opini publik. Terjemahan umumnya adalah pendapat umum. Proses dinamisasi pendapat umum ini melekat erat dengan keberadaan ruang publik dalam beropini. Ini menjadi sebuah gejala bagi tumbuh kembangnya demokratisasi dalam sebuah negara. Bergulirnya opini pribadi menjadi sebuah opini publik nampaknya sangat sederhana. Sesederhana ide Jurgen Habermas sebagai sosok yang serius mengulas hal ini.

Habermas menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik hasil proses debat di dalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional. Ia juga menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan didalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipan haruslah dilampaui, yakni warga negara, yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik didalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual (Habermas, 2007). Virtualitas kehadiran partisipan tersebut bukanlah tanpa kritik. Habermas sendiri melihat kemunduran akibat rekayasa media atas subyek partisipan, dan kemudian menjatuhkan semua tanggungjawab pada para wartawan, yang kerap kali memanipulasi data untuk mendapatkan berita yang lebih sensional, dan lebih menjual. Apa yang ditulis secara gamblang oleh David S. Broder (1994) menunjukkan betapa stimulan public sphere yang diberikan wartawan hadir dalam kondisi yang jauh dari otentisitas realita.

Kondisi semacam itu tidak akan pernah dapat menciptakan suatu bentuk opini publik yang otentik, yang sungguh-sungguh mengena ke inti permasalahan, dan kemudian mencari solusi dari inti permasalah tersebut. Opini publik yang otentik hanya dapat terbentuk, jika partisipan rasional ikut serta didalam debat politik rasional, yang menyangkut kepentingan bersama diantara pihak-pihak yang berbeda secara rasional. Pada titik inilah sesungguhnya kita harus meyakini bahwa spirit demokratis merupakan sebab atas keterciptaan ruang publik, dan bukan menjadi akibat dari sebuah ruang publik. Menceritakan sebuah ruang publik tanpa energi dan spirit demokrasi merupakan sebuah langkah yang utopis. Seperti yang diintrodusir oleh Wilhelm (2003) bahwa semangat kesetaraan (baik dalam tataran kesempatan dan akses atas teknologi informasi) membuat seseorang bisa larut atau termarjinalkan dalam sebuah dinamika ruang publik. Secara lugas bahkan Hebermas menekankan, “proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya, adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya, proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai di dalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang di dalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik.” (Habermas, 2007)

Pada awal abad ke-19, opini publik yang terbentuk dari debat rasional kritis menjadi proses resmi di dalam parlemen-parlemen di Jerman dan Inggris. Berbagai pidato politik dibacakan didepan parlemen, seperti yang juga dilakukan sekarang, dengan pertimbangan rasional atas kepentingan publik sebagai keseluruhan, sehingga pengaruhnya semakin besar didalam kehidupan masyarakat untuk mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan sosial (Habermas, 2007). Didalam upayanya untuk membentuk opini publik yang otentik, media tampak belum maksimal menjalankan fungsinya, terutama karena media tidak memberikan ruang yang cukup untuk proses debat rasional, dan proses diskursif didalam pembentukan opini, dan yang lebih penting lagi didalam proses pembentukan kehendak politik. Proses komunikasi di dalam ruang publik berarti proses pembentukan opini publik yang otentik, yang dimatangkan di dalam proses debat kritis itu sendiri.

Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik. Pertama, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi. Kedua, opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali. Yang pertama mensyaratkan energi demokratisasi di dalamnya, sementara yang kedua lebih melihat opini publik sebagai sebuah upaya rekayasa dan kemampuan mengorganisir pesan sedemikian rupa, lepas dari esensi moral dan manfaat bersama.

Dari apa yang dipaparkan Habermas peling tidak kita mencoba menyadari bahwa ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar di dalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti, membenarkan ketidakadilan tertentu. Lalu bagaimana memaksimalkan ruang publik, kepentingan bersama sebagai energi keterbentukan publik itu menjadi energi pemberdayaan masyarakat ? jawaban yang coba disodorkan adalah pemaksimalan modal sosial (social capital).


Modal Sosial : sebuah Kearifan Lokal ?

Sebuah pameo terang-terangan mengatakan begini, “yang penting bukanlah apa yang kamu ketahui, namun siapa yang kamu kenal !”. Kalimat ini mengindikasikan betapa pentingnya relasi dan hubungan sebagai prinsip hidup. Hubungan itulah yang menjadi konsep utama dalam membicarakan modal sosial (social capital). Beragam definisi dan pengertian modal sosial terkadang justru membingungkan daripada memberi penjelasan. Lebih mudah menceritakan contohnya daripada menghapalkan definisinya. Pernah melihat bagaimana mekanisme arisan dijalankan ? prinsipnya sederhana, setiap orang diminta untuk mengumpulkan dana mereka dengan besaran tertentu. Lalu dimulai ritual pencabutan nama dengan periode tertentu. Hasil dana yang terkumpul akan diberikan pada nama yang bisa terpilih dan dianggap menang dalam satu periode itu. Dia mendapatkan seluruh dana yang dikumpulkan. Begitulah terus diulang-ulang hingga seluruh anggota mendapatkan bagiannya masing-masing. Prosesnya lama. Semua orang sabar menunggu. Yang menarik adalah saat kita mempertanyakan motif seseorang yang dengan ikhlas ikut di dalam kelompok arisan itu. Bisa saja orang mengikuti arisan karena ia memiliki tujuan tertentu, didasarkan pada kepentingan pribadi, dan tidak dipaksa oleh siapa pun (independen). Pertanyaannya, bagaimana bisa ia memercayakan uangnya (dalam bentuk iuran per periode) pada suatu kelompok tanpa jaminan apa pun ? Bagaimana bila sebelum ia mendapatkan kembali uangnya, semua anggota yang telah lebih dulu mendapatkan tidak mau melanjutkan iurannya atau bahkan melarikan diri? Mengapa ia tidak menabungkan saja iurannya tersebut di bank yang lebih aman dan bahkan mendapatkan bunga? Faktor apa yang membuat para peserta arisan mengabaikan semua pertanyaan tersebut ? Keyakinan bahwa tidak ada satu orangpun yang akan menipu dan berbohong dengan tidak lagi menyetorkan dananya itulah yang disebut dengan modal sosial. Ada energi luar biasa untuk mempercayai orang lain. Mau mengerti orang lain. Semua memiliki kesamaan minat dan kepentingan yang bisa menawar segala prasangka buruk karena kemungkinan tertipu. Motifnya tentu tidak lagi hanya semata-mata ekonomi, mendapatkan dana dan uang arisan. Ada kekuatan lain yang menggerakkan mereka menjadi anggota arisan.

Kekuatan itulah yang disebut dengan modal sosial. Banyak dimensi yang digunakan kalangan ahli untuk menjelaskan modal sosial ini. Ambil contoh seperti Christian Grootaert & Bastelaer (2002) yang mendefinisikan modal sosial sebagai “ Institutions, relationship, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”. Sementara itu, sosok terkenal karena konsep modal sosialnya, Robert Putnam meyakini bahwa modal sosial memiliki tiga bentuk utama, yakni kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (networks). Konsep dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial berarti kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat (benefits) melalui nilai-nilai luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam konteks inilah Grootaert menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal.

Bagi Grootaert (2001), berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran dalam tiga cara. Pertama, berbagi informasi diantara para anggota perkumpulan; kedua, mengurangi berbagai perilaku oportunistik, dan ketiga, memfasilitasi pengambilan keputusan kolektif. Dalam upayanya menceritakan tentang keberhasilan konglomerat-konglomerat di Asia, Joe Studwell (2007) secara implisit mengurai tentang betapa potensialnya kekuatan modal sosial tersebut. Pada titik lain, Francis Fukuyama (2002) telah menceritakan kuatnya modal sosial burujud kepercayaan (trust) menjadi sebuah fenomena budaya yang bermakna dilematis dalam berbagai budaya.
Sekalipun modal sosial memungkinkan orang atau sekelompok orang (masyarakat) memperoleh sesuatu yang bermanfaat dan produktif, modal sosial sekaligus juga memiliki potensi menyebabkan eksternalitas negatif. Aldridge (2002), misalnya, sebagaimana dimuat dalam ‘Social Capital’ mengemukakan bahwa modal sosial mendorong perilaku yang memperburuk dan bukannya memperbaiki kinerja ekonomi; berlaku sebagai hambatan bagi inklusi sosial dan mobilitas sosial; membuat masyarakat terbagi-bagi dan bukannya menyatu; bisa memfasilitasi tindakan kriminal, dan bukan menguranginya sama sekali.

Modal Sosial & Pemberdayaan Masyarakat : Tawaran Simpulan

Membayangkan bahwa masyarakat akan memiliki sumber daya sendiri untuk melakukan gerakan pembangunan, tidak akan bisa dijalankan tanpa memiliki pemahaman kuat akan apa saja energi yang berada di masyarakat itu sendiri. Masyarakat sebagai publik akan bisa diinterpretasi sesuai dengan basis kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Pemetaan atas kepentingan ini membawa pemerintah untuk melihat masyarakat sebagai publik tertentu dengan kepentingan tertentu pula. Pada titik inilah melihat masyarakat sebagai sejumlah opini (entah latent maupun aktif) dan bukan melihatnya sebagai sebuah kumpulan fisik individu akan memberikan alat analisis lebih menarik. Pada titik awal, mencermati berbagai opini yang berkambang dalam publik-publik yang telah terbentuk akan membuat kita bisa mengolah dan melihat itu sebagai kekuatan sosial yang harus dicermati. Pada titik selanjutnya, kekuatan sosial itu harus diarahkan agar mampu membentuknya menjadi kekuatan modal sosial (social capital) sebagai implementasi bekerjanya masyarakat secara mandiri. Pada titik inilah kemudian modal sosial menjadi pemantik agar pemerintah tidak lagi menganggap dirinya sebagai pihak yang melulu aktif.

Sudah saatnya kekuatan itu dipindahkan ke pihak masyarakat. Energi positif yang ada pada masyarakat sebenarnya melebihi segala bentuk insentif dan sokongan pendanaan dari pemerintah dalam wujud proyek. Pemerintah selanjutnya akan memosisikan diri sebagai fasilitator, dengan meminimalisir keterlibatan dan campur tangan. Posisi sebagai pendamping ini akan membuat pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di masyarakat. Apabila prinsip ini dipadukan dengan pengenalan mendalam atas opini publik dan kekuatan modal sosial, maka pemerintah akan menjadi pihak yang paling diuntungkan atas nama kestabilan untuk kemajuan masyarakatnya sendiri.
Mungkin dengan diskusi kita akan lebih mampu mengembangkan gagasan ini ....



REFERENSI

Calhoun, Craig (Ed). 1993. Habermas and the Public Sphere, New York : Massachusetts Institute of Technology.

Cutlip, Scott M. Allen H. Center, Glen M. Broom, Effective Public Relations, Eighth Edition, Prentice Hall International, Inc., 2000.


Grootaert, C. (2001, Juni). Does Social Capital Help The Poor? Working Papers (The World Bank) .

Habermas, Jurgen, 1970. Toward a Rational Society : Student Protest, Science, and Politics, New York : Beacon Press.

_______________, 2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Penerjemah Yudi Santoso, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

_______________, 2007. Teori Tindakan Komunikatif II : Kritik atas Rasio Fungsionalis, Penerjemah Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Juliawan, B. Hari., 2004. Ruang Publik Habermas : Solidaritas tanpa Intimitas, tulisan dalam Majalah Basis No. 11 – 12, Tahun Ke- 53, November – Desember 2004.

Noer, Deliar, 2000. Pemikiran Politik di Negeri Barat (Edisi Revisi), Bandung : Penerbit Mizan.

Rousseau, Jean Jacques, 2007. Du Contract Social ( Perjanjian Sosial), Penerjemah Vincent Bero, Jakarta : Transmedia Pustaka.

Ruben, Brent D., & Lea P. Stewart, 1998. Communication and Human Behavior, Fourth Edition, London : Allyn & Bacon,.

Sabato, Larry J, 1981. The Rise of Political Consultant : New Ways of Winning Elections, New York : Basic Books, Inc., Publisher.