Selasa, 17 Agustus 2010

Sang Juara Kelima ?

Perayaan Tujuhbelasan kali ini tak jauh berbeda ...
Tetap ada berbagai perlombaan. Dari sekadar meniup balon yang murah meriah, hingga lomba futsal yang menghabiskan jutaan rupiah. Pesertanya pun beragam. Dari anak-anak kecil yang baru mengerti apa itu bendera merah putih, hingga para peserta pasca dewasa yang tak sadar kalau sepertiga rambut di kepalanya sudah memutih. Semua menikmati perlombaan. Semua menikmati pertandingan. Seakan Tujuhbelasan cukup berhenti pada pertanyaan siapa pemenang menyanyi mars perjuangan ? Siapa pemenang bola Pingpong ala kampung ? Tujuhbelasan adalah tentang kesan menjadi pemenang. Bangsa Indonesia merayakan kemenangan mereka merebut kemerdekaan. Semangat menjadi pemenang inilah yang perlahan-lahan menciptakan ‘gelembung sabun’ tak berkesudahan. Kita merdeka. Bangga. lalu apa ?

Tadi malam, saat pengumuman para pemenang lomba tingkat anak-anak disampaikan, ibu-ibu berdiri berjejer berdesakan. Aku terjepit diantara banyak ragam parfum dan wewangian. Sambil menghirup segala macam bau itu, aku rasakan kebanggaan mereka melihat dan menyaksikan anak-anak menerima trophy dan piala. Seorang ibu berkata, “itu anakku yang pake baju biru,” Lalu melanjutkan dengan nada jumawa, “Dia juara satu mengikat sepatu,”. Disusul mulut ibu yang lain, “Anakku juara lomba sepeda,”. Mulut yang lain tak kalah seru menimpali, “Si Nita juara menari lho, “. Ditengah-tengah gumam dan pengakuan itu, seorang ibu, bersuara padaku, “Itu anak saya pemenang lomba menggambar bunga,” Sudut mataku langsung melirik. Putih, cantik, untuk ukuran seusianya. Anak itu mendapat juara. Tapi urutan kelima ! lho kok ada urutan juara sampai lima ? Otak ku tidak terima dengan urutan juara kelima. Biasanya juara yang tampil hanya sampai urutan tiga. Juara satu, juara dua, dan juara tiga. Cukup. Kenapa harus ada juara lima ? Mengapa bisa begitu ?

Dasar indera etnografi, tak puas sampai disitu, aku bergeser menjauh dari mereka. Aku dekati seorang ibu panitia lomba kenalan baikku. Iseng berbisik aku bertanya padanya, “Mengapa harus ada juara lima segala ?” . Sambil tersenyum si ibu yang jadi panitia lomba itu menjawab,”Itu juara titipan dari ibunya kok mas!”. Juara Titipan ? istilah apa pula itu ?

Ternyata yang terjadi adalah setiap kali pengumuman lomba tingkat anak-anak seperti itu, ada saja ibu-ibu yang sengaja membeli trophy dan piala dari uangnya sendiri lalu dititipkan pada panitia. Pesannya : nanti nama anaknya disebut dan diumumkan sebagai salah satu juara ! Anaknya maju ke depan. Menerima trophy atau piala. Ibunya bangga lalu bertukar cerita. Alasan mereka sederhana, mau menyenangkan dan membuat gembira anaknya. Kalau itu sih aku percaya.

Tapi yang nampak lebih berbinar-binar adalah sang ibu saat melihat anaknya diberi piala. Piala dari dirinya. Yang nampak lebih keluar sombong dan jumawanya adalah sang ibu pula. Yang justru berkoar-koar bercerita sana-sini adalah mulut sang ibu juga. Ini yang aku tidak percaya. Kok tega-teganya bergembira dan berbangga di atas keluguan dan ketidakmengertian anaknya yang erat-erat mencengkram piala ? Piala yang tentu dia tidak tahu berasal dari ibunya sendiri ? Lalu makna juara kelima berikut piala itu sesungguhnya untuk siapa ? Kebanggaan ibunya, atau menyenangkan anaknya ?

Bangsa ini memang sakit.
Kebanggaan sang ibu berikut segala binar mata saat mengklaim anaknya juara nampak seperti potret ironi perjalanan bangsa Indonesia. Kebiasaan membelikan piala untuk diterima anaknya sebagai sebuah kebanggaan, mempersetankan kenyataan anaknya berprestasi atau tidak. Kalau saya bisa membelikan dia trophy, kenapa harus susah-susah memaksa dia mengukir prestasi. Andai semua bisa dibeli karena kelimpahan uang dan kekayaan, apa susahnya hanya sekadar menetapkan diri sebagai pemenang. Aku jadi ingat Abraham Maslow dengan paradigma motivasi dan aktualisasi diri. Kata dia, kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi, di atas pangan, sandang, papan, dan tentu saja kemewahan. Tapi aktualisasi diri tanpa prestasi sama saja dengan penyakit akut pembohongan diri sendiri. Lupakan proses, pengakuan lebih penting. Setelah kaya raya, gunakan kekayaan itu untuk mendapat pengakuan dan simpati kekaguman. Kalau sudah kaya raya, buat apa susah payah sekolah. Beli aja sekolahnya, lalu ciptakan sistem peringkat yang membuat diri sendiri berada di puncak. Toh yang penting adalah hasil akhirnya. Toh yang penting adalah kebanggaan saat pengakuan. Sistem pendidikan di negeri ini adalah sistem pendidikan dengan orientasi dramaturgi. Yang diutamakan bukanlah proses memperoleh dan mendapatkan pengajaran, melainkan hasil nilai tertinggi membanggakan dan diakui banyak orang. Tak perlu paham dan terlalu mengerti seluruh mata pelajaran yang ada. Cukup berjibaku mempelajari mata pelajaran yang menjadi subjek Ujian Nasional saja. Keberhasilan bukan ditentukan oleh tiga tahun proses belajar sebagai siswa SMP maupun SMU, melainkan beberapa hari saat tes mata pelajaran ujian nasional dilalui. Cukup belajar itu saja, dan kalau nilainya tinggi, akan meraih penghargaan luar biasa. Proses belajar sebagai sesuatu yang mengasyikkan, telah tergantikan dengan nilai akhir sebagai sebuah tujuan.

Bangsa ini memang sakit.
Keinginan untuk terlihat hebat membuat setiap orang berusaha menciptakan manajemen impresi (manajeman kesan). Prinsip menabung untuk perlahan memiliki barang tidak lagi dikenang. Kenapa harus menunggu punya barang, kalau kita bisa berutang ? Kenapa harus menunggu punya mobil dan rumah baru, kalau kita bisa kredit dulu ? Seperti sudah kodratnya sebuah menajemen kesan. Yang utama adalah penampilan dan diri di mata orang. Sang ibu merasa anaknya akan bahagia karena berdiri di atas panggung dan menerima piala. Ada kebanggaan di sana. Namun sesungguhnya tanpa disadari dia telah menanamkan virus berbahaya pada pikiran anaknya. Paling tidak ada dua. Pertama, dia mengajari anaknya untuk tidak perlu bersusah payah mengejar posisi tertinggi. Kalau semua bisa dimanipulasi untuk hasil akhir nanti, mengapa proses harus dijalani ? Toh ujung-ujungnya adalah kebanggaan diri. Kedua, kebiasaan itu menempatkan anaknya untuk selalu terbiasa menjadi pemenang dan juara utama. Anaknya kelak tidak akan pernah mengenal posisi nomor dua. Dia selalu melihat dirinya nomor satu. Padahal perjalanan hidup dia nanti akan sangat mungkin menempatkan dia di nomor dua bahkan tiga. Karena hidup memang tidak selalu sempurna. Itu sangat berbahaya.

Perjalanan bangsa ini memang ironis.
Kita sebagai bangsa terlalu sibuk merayakan kehebatan partai politik dan lomba berkampanye sebagai yang terbaik. Tentu tak lupa liputan wartawan infotainment sebagai media menampilkan rupa kita di televisi. Berkoar-koar kita. Melupakan ledakan tabung gas di mana-mana. Bersandiwara kita, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Saling berdusta antara kita, untuk menutupi perilaku keji di sana-sini. Tak mengapalah segala keburukan itu disembunyikan. Toh kita bisa tutup dengan memperdengarkan lagu keberhasilan dan harapan. Toh kita bisa tetap santai menikmati angka pertumbuhan produksi minyak dan gas bumi untuk diekspor ke luar negeri, tanpa peduli fakta sulitnya rakyat kecil mencari minyak tanah walau harus berkelahi. Semua kebaikan lebih baik disiarkan dan berakhir di layar televisi. Bagaimana fakta dan kondisi sesungguhnya, itu perkara nanti ! Memang tak ada ironi yang lebih menyedihkan, selain ironi perjalanan bangsa ini.

Lalu tibalah saatnya pengumuman pemenang lomba tari balet, seorang ibu lagi-lagi bersuara, nyaris berteriak, “itu si Nikita, dia juara favorit menari balet,” lagi-lagi mataku menghunjam panggung. Anaknya cantik, lumayan tinggi untuk ukuran anak 5 tahun, memakai kostum Balerina, mempesona. Dia sedang disalami oleh ketua RW yang didaulat memberikan piala. Piala erat dicengkramnya. Besar juga. Mungkin 30 senti hingga sedikit menutupi wajahnya. Asal tahu saja, juara favorit adalah posisi juara di atas juara satu, dua, dan tiga. Sangat istimewa. Tapi di mataku, tetap saja yang muncul wajah lugu. Perlahan sang ibu panitia disampingku berbisik, “Itu si Nikita juga titipan dari ibunya,” sambil tersenyum dia lanjutkan, “Padahal dia sendiri tidak ikut saat acara lomba !” hah ?.... gubbraak ...


Baciro, Agustus 2010

Sabtu, 14 Agustus 2010

Keong Racun & Media Baru

Mulut kumat kemot
Matanya melotot
Lihat body semok
Pikiranmu jorok


Sambil memelototi ulah nakal Shinta & Jojo di Youtube, saya sedikit menikmati lirik lagu “Keong Racun” yang mereka bawakan secara lipsync. Entah sengaja atau tidak, upaya merekam diri seperti yang dilakukan Shinta & Jojo menurut saya jauh lebih baik daripada apa yang dilakukan Ariel Peterporn. Keduanya sama sekali tidak bermaksud untuk menyimpan karya iseng itu sebagai manifestasi keakuan dalam konteks narsis. Mereka memilih untuk meng-upload gerak-gerik nakal di ruang tamu sebuah rumah di gang sempit kota Bandung di situs Youtube. Sengaja untuk menyebarkan, tanpa esensi mencari keuntungan dan popularitas. Diakui mereka bahwa tindakan itu iseng ala remaja-remaja semata, yang butuh ekspresi dan menemukan salurannya melalui media baru (new media). Media baru yang membuat Ariel menghuni penjara. Media baru yang membuat Shinta & Jojo terkenal tanpa mereka sangka.

Dan memang dari situlah segala sesuatunya bermula…
Yang mereka tidak sangka-sangka, wajah menarik, perilaku unik dengan gaya lepas dan bermain (ludens) yang mereka pertontonkan di Youtube itu membuat penggila dunia maya tertarik. Bahkan kata kunci Keong Racun sebagai judul lagu itu menempati posisi teratas dalam mikroblogging twitter beberapa waktu lalu. Padahal lagu itu sudah diciptakan 3 tahun lalu. Sudah dibuat video klip nya pula dengan penyanyi asli bernama Lissa. Namun fenomena yang muncul kemudian sangat unik. Si Charly ST 12 khabarnya sampai menggedor-gedor pintu rumah Buy Akur, sang pencipta lagu Keong Racun, di tengah malam. Charly bernafsu sekali membuat kesepakatan agar bisa menggubah ulang lagu itu (aji mumpung, tentunya). Group musik RAN memperbolehkan Shinta & Jojo untuk menyanyikan lagu-lagu mereka (mengikuti jejak populer, maksudnya). Sementara si Lisa, sang penyanyi asli lagu itu menyesalkan, mengapa Charly ST 12 tidak mau menjadikan dirinya sebagai penyanyi latar dalam aransemen ulang lagu tadi (ini sih harapan, namanya). Pada akhirnya, bang Buy Akur sendiri berniat untuk ’mengunjungi’ Shinta & Jojo, untuk mengucapkan ’terima kasih’ (rejeki nomplok, tentunya).

Dan dari situlah memang segala sesuatunya menjadi perkara...
Bagi seorang Ariel, keberadaan media baru segera menggeser ranah privat yang menjadi urusan ’bawah perut’ dia menjadi ranah publik urusan ’polisi dan penjaga moral bangsa’. Niat menyimpan segala kenangan sebagai wujud keterkenalan dan keakuan dalam bentuk video ternyata burujung kehancuran karier dan popularitas positif diri. Imbasnya sangat negatif. Bagi duo Shinta & Jojo, keberadaan media baru juga merubah ranah privat urusan ’iseng-iseng’ di ruang tamu, menjadi ranah publik urusan ’politik dagang’ hak cipta dan rejeki industri musik. Niat untuk sekadar lipsync dengan berekspresi bebas seadanya berujung pada ketertarikan media, industri, dan artis-artis ternama pada sosok mereka. Imbasnya sangat positif, minimal bagi mereka berdua. Dua imbas media baru ternyata memiliki implikasi yang jauh berbeda. Sangat disesali bagi Ariel, sangat disyukuri bagi Shinta & Jojo.

Dan memang begitulah media baru adanya...
Sifat media baru yang menjadikan personal individual selayaknya sebuah institusi komunikator melembaga, membuat produsen pesan sangat mudah terjerembab pada posisi ironis. Maksud hati mungkin sekadar main-main, namun imbas tersebarnya informasi justru mematikan eksistensi. Maksud hati mungkin ingin sekadar nampang, namun akibatnya membuat masuk dalam masalah tak berkesudahan. Posisi ironis ini bermula dari kurang dipahaminya sifat media baru. Begitu cepat menyebar, begitu cepat pula buyar. Mengapa demikian ? sifat informasi yang disampaikan media baru adalah sekilas. Maksudnya segala sesuatu yang disampaikan begitu cepat terlewat dalam memori banyak orang. Begitu cepat terlewat karena dia begitu banyak. Tak terhitung dan tak terhingga. Saking banyak dan tak terhingganya, orang tidak bisa lagi memilih mana yang harus disimpan dalam waktu yang lama, dan mana yang sekadar singgah dan dilewatkan begitu saja. Artinya hanya dibutuhkan sebuah ’kebakaran yang lebih besar’ untuk mengalihkan perhatian dari sebuah ’kebakaran yang lebih kecil’. Hanya masalah siapa yang ’mencuri kambing’ untuk menyembunyikan ’pencuri ayam’. Namun efek rotasi media baru ini sangat berimbas pada sosok produsen pesan alias komunikator tadi. Metamorfosis media konvensional menuju media baru terbukti mempercepat penciptaan dan konstruksi ’kebakaran besar’ dan ’pencurian kambing’ itu tadi. Dalam laporannya tentang fenomena twitter, Kompas telah menyebut akselerasi media ini sebagai sebuah revolusi.

Dan itulah memang yang telah dirasakan oleh Shinta & Jojo...
Saat saya mengetikkan kata kunci Keong Racun pada mesin pencari Google pagi ini, sebanyak 854.000 daftar web terhampar di depan saya. Dari situlah bisa dikatakan bahwa fenomena penggunaan media baru paling tidak menjadi jalan unik bagi Shinta & Jojo untuk menjadi terkenal. Sebuah media yang mungkin tidak disadari namun hadir sebagai realitas sosial keseharian kita saat ini. Mungkin tak perlulah menggunakan media baru dengan gaya seperti Ariel Peterporn, cukup dengan menghadirkan diri sewajarnya dan memancing kontroversi seperti mereka berdua. Apabila memang disadari media baru lebih cepat menciptakan dan mengonstruksi dengan efek dua sisi mata uang (baik dan buruk) maka apa yang dilakukan Shinta & Jojo minimal memberi contoh positif dari pemanfaatan media baru itu. Hal yang sama dulu pernah terjadi dan mampu mendongkrak serial Marimar. Jadi apabila masih ada sisi positif dari media baru, mengapa tidak dimaksimalkan dan menjadi ranah kajian menarik ? Minimal bisa dilakukan saat mata saya memelototi cantik dan nakalnya gaya Shinta & Jojo, sambil otak saya terus mencerna lirik lagu Keong Racun (yang sungguh menyinggung saya secara pribadi)....wuak kk kk ..

Mentang-mentang kokai
Aku dianggap jablay
Dasar koboy kucai
Ngajak check-in dan santai

Sorry sorry sorry jack
Jangan remehkan aku
Sorry sorry sorry bang
Ku bukan cewek murahan


Bidakara, Agt 2010

Wanita dan Betina : Mengundang Asa !

Betina memang selalu begitu ...
Dia dekap aku dengan maksud memberikan keharuman dan kewangian badan. Keharuman tersaput lulur satu jam barusan. Meski dia tahu bahwa rangkaian slide power point di depanku masih menuntut penuntasan. Dia jadikan diri stimulan. Aku tersenyum. Menoleh. Menemukan wajah penuh gairah. Pelan, kutelusuri bibir itu dengan nakalnya lidah. Praktis ada hal lain yang juga menuntut untuk dituntaskan. Dia memelukku dari belakang. Pengalamanku memberi sinyal tentang sesuatu yang membuncah. Menunggu untuk dijamah. Biasanya aku tidak akan memberi jeda. Aku tidak akan membuat waktu terbuang percuma. Apalagi dengan keharuman lulur mandi. Sesegera mungkin kutuntaskan dan kuakhiri. Yang ada di otakku begitu mudah dinalar dan dilakukan, di 206 semua itu dimungkinkan !

Wanita tidak sesederhana itu ...
Sambil menyeruput bir dingin dalam cawan, ekor mataku memperhatikan wajahmu. Tak tercium keharuman yang mengundang. Meski aku tahu dia baru saja bertabur sabun dalam bath tub jam dua malam. Wajahnya bersinar menandakan kecerdasan. Sedikit nampak jiwa yang kelelahan. Namun tetap saja tak tercandra sempurna. Persepsi memang tak pernah mampu mengakhiri diri. Aku mulai lontarkan kata membuka wacana. Tak ada sentuhan. Apalagi ciuman. Aku lebih suka mendengar lontaran kata cerdas dari bibirnya, ketimbang harus mengganyang bibir itu dengan ciuman penuh nafsu. Disamping itu, belum tentu dia mau ? Kenapa aku harus melakukan itu kalau aku yakin akan berakhir dengan malu ? Tak ada pesan atas hasrat yang tersampaikan. Sebagaimana pangalaman memberi pelajaran, aku akan terus ikuti wacana dan konsensus yang telah terpetakan. Yang ada di otakku begitu sulit untuk dinalar, terlebih untuk dipraktekkan. Meski mungkin segala konteks tempat dan waktu memungkinkan, di 152 tak perlulah semua itu dilakukan !

Amarah Betina memang begitu gampang terlampiaskan ...
Bercerita dia tentang kondisi terpuruknya sehabis dibohongi sang mantan. Katanya, lelaki itu bajingan ! Setelah puas meniduri dan menghabisi rasa kasihnya sebagai sebuah investasi, ternyata lelaki itu memiliki anak dan istri. Menangkap asa dia ikuti lelaki itu ke Jakarta. Menahan geram setelah tahu hanya menjadi simpanan, tempat semua sperma dimuncratkan. Pantaslah kemudian dia menumpahkan segala kekesalan dan dendamnya di atas tubuhku. Dia nikmati aku. Dia lampiaskan amarah dengan menunda dan menunda ejakulasi. Dia ingin mempermainkanku. Sesedikit mungkin dia tahu aku begitu menikmati. Aku tak perduli. Dan tak perlulah dalih itu, aku selalu menikmati setiap permainan. Menikmati setiap sesi peralihan gaya dan gerakan. Mengikuti setiap ritme yang disodorkan. Menikmati wajah tersaput marah. Mata yang menatap sinis penuh jengah. Aku biarkan dia memuaskan diri. Aku sediakan diri menjadi objek kegamangan dan kelabilan. Toh aku berpikir bahwa ini hanya sebatas perpaduan Lingga dan Yoni. Seperti halnya aku menghayati Psikoanalisis Freud tentang cinta yang tak lebih dari sebuah kontak bodi mencari esensi. Tanpa pretensi main hati. Toh di 206 semua insting dan naluri bisa dilakoni.


Misteri wanita tak mudah terpecahkan ....
Bercerita dia tentang posisi esensialisnya. Sebuah posisi yang lahir dari patahan-patahan perjalanan hidup. Sebuah perjalanan hidup yang menurutku masih menunggu sebuah illuminati. Terperangkap pada kesemuan dan garis batas kekakuan. Dimana posisi objek dianggap subjek. Penuh keyakinan, namun memancing rasa kasihan. Tanpa kegeraman dia juga bercerita tentang sosok lelaki bajingan. Yang menutupi belang dengan kembang setaman. Aku bayangkan wajah lelaki itu sama seperti rupa Harut & Ma’rut, sepasang malaikat yang diuji menjadi manusia. Munafik di setiap sudutnya. Kala itu, dia masih terlalu muda untuk mengerti dunia. Kala itu, dia masih terlalu rapuh untuk tidak tersimpuh. Kala itu, dia selalu mencoba berdamai dengan fenomena. Menahan asa dia tanggung derita. Menahan geram dia bereskperimen dengan tubuhnya. Mencoba mengurai definisi dari sebuah kata otonomi. Dari semua itu, bagiku langkah-langkahnya akan terbalut misteri. Mencari sesuatu yang samar. Sekaligus mudah tergelincir pada titik sumir berbuah getir. Otakku berupaya keras mencerna setiap kata. Meladeni benturan dua dunia. Mencoba menciptakan kotak diantara tesa dan antitesa. Tapi otakku buntu. Teringat Sartre yang cuma menawarkan dua area : being atau nothing ? Setiap kali kita menoleransi menciptakan sintesa antara keduanya, kita akan masuk dalam labirin misteri. Bagaimana mungkin mendamaikan esensi dan eksistensi ? Saat dia terus berusaha mendamaikan dua titik itu, dia akan membulatkan diri menjadi misteri tanpa henti. Ruang tiba-tiba menjadi penuh dengan segala panasaran dan pertanyaan tanpa jawaban. Satu hal yang bisa kusimpulkan, ini permainan keliaran pikiran. Begitu mengasyikkan. Aku tidak boleh memuaskan dan terpuaskan. Jangan dihentikan ! Ruang 152 memberi pelataran, bahwa semua masih mungkin dilanjutkan. Karena misteri memang tidak menuntut ejakulasi.

Wanita dan Betina memang berbeda ...
Keduanya menuntut ketepatan kadar dan ketepatan rasa yang tidak sama. Menikmati permainan adalah sejumput energi agar semua bisa berjalan. Berganti stimulus dan respon tanpa ada paksaan. Tiba-tiba aku teringat wajah arif Johan Huizinga. Sejarawan Belanda ini memberi empat ciri tentang permainan. Pertama, permainan itu suatu voluntary activity (aktivitas yang dilakukan sukarela), di dalamnya terkandung makna kebebasan tanpa tekanan. Kedua, bermain selalu dipandang bukanlah sungguhan (play is not “ordinary” or “real” life). Dalam konteks permainan, pihak tertentu merasa bahwa apa yang sedang dimainkan bukanlah sebuah realitas kehidupan sesungguhnya ; Ketiga, permainan itu secludedness, dia adalah keterbatasan (limitedness). Sebuah permainan hanya dimainkan dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ia berlangsung dan bermakna dalam dirinya sendiri. Keempat, permainan menciptakan ketertiban (order). Bahkan ia adalah ketertiban itu sendiri. Dalam sebuah permainan, seluruh pihak yang bermain harus taat pada sebuah aturan khusus yang harus dipatuhi. Ketidakrelaan mengikuti aturan membuat permainan tidak bisa lagi dijalankan.

Bagiku, Betina adalah tentang not ‘ordinary’ or ‘real’ life , Wanita adalah tentang order dan kesepakatan. Berinteraksi dengan keduanya harus dijalani dengan prinsip voluntary activity. Namun paling tidak aku semakin menyadari bahwa entah itu wanita, entah itu betina harus disentuh dengan dawai limitedness (keterbatasan). Sebab di situlah terletak kenikmatan permainan sebagai sebuah misteri tak berkesudahan. Semakin dibatasi, dia akan menuntut keliaran. Semakin dikekang, dia akan menerjang. Pada titik ini, entah satu lima dua ataupun dua kosong enam hanya menyisakan keterbatasan. Keterbatasan atas waktu dan ruang. Yang masih menunggu untuk dilanjutkan. Berisi setumpuk asa yang digemakan. Sebuah asa akan permainan memabukkan.

Anda berbeda saran, atau hanya sebuah gumam ?


Agustus, 2010