Sabtu, 14 Agustus 2010

Keong Racun & Media Baru

Mulut kumat kemot
Matanya melotot
Lihat body semok
Pikiranmu jorok


Sambil memelototi ulah nakal Shinta & Jojo di Youtube, saya sedikit menikmati lirik lagu “Keong Racun” yang mereka bawakan secara lipsync. Entah sengaja atau tidak, upaya merekam diri seperti yang dilakukan Shinta & Jojo menurut saya jauh lebih baik daripada apa yang dilakukan Ariel Peterporn. Keduanya sama sekali tidak bermaksud untuk menyimpan karya iseng itu sebagai manifestasi keakuan dalam konteks narsis. Mereka memilih untuk meng-upload gerak-gerik nakal di ruang tamu sebuah rumah di gang sempit kota Bandung di situs Youtube. Sengaja untuk menyebarkan, tanpa esensi mencari keuntungan dan popularitas. Diakui mereka bahwa tindakan itu iseng ala remaja-remaja semata, yang butuh ekspresi dan menemukan salurannya melalui media baru (new media). Media baru yang membuat Ariel menghuni penjara. Media baru yang membuat Shinta & Jojo terkenal tanpa mereka sangka.

Dan memang dari situlah segala sesuatunya bermula…
Yang mereka tidak sangka-sangka, wajah menarik, perilaku unik dengan gaya lepas dan bermain (ludens) yang mereka pertontonkan di Youtube itu membuat penggila dunia maya tertarik. Bahkan kata kunci Keong Racun sebagai judul lagu itu menempati posisi teratas dalam mikroblogging twitter beberapa waktu lalu. Padahal lagu itu sudah diciptakan 3 tahun lalu. Sudah dibuat video klip nya pula dengan penyanyi asli bernama Lissa. Namun fenomena yang muncul kemudian sangat unik. Si Charly ST 12 khabarnya sampai menggedor-gedor pintu rumah Buy Akur, sang pencipta lagu Keong Racun, di tengah malam. Charly bernafsu sekali membuat kesepakatan agar bisa menggubah ulang lagu itu (aji mumpung, tentunya). Group musik RAN memperbolehkan Shinta & Jojo untuk menyanyikan lagu-lagu mereka (mengikuti jejak populer, maksudnya). Sementara si Lisa, sang penyanyi asli lagu itu menyesalkan, mengapa Charly ST 12 tidak mau menjadikan dirinya sebagai penyanyi latar dalam aransemen ulang lagu tadi (ini sih harapan, namanya). Pada akhirnya, bang Buy Akur sendiri berniat untuk ’mengunjungi’ Shinta & Jojo, untuk mengucapkan ’terima kasih’ (rejeki nomplok, tentunya).

Dan dari situlah memang segala sesuatunya menjadi perkara...
Bagi seorang Ariel, keberadaan media baru segera menggeser ranah privat yang menjadi urusan ’bawah perut’ dia menjadi ranah publik urusan ’polisi dan penjaga moral bangsa’. Niat menyimpan segala kenangan sebagai wujud keterkenalan dan keakuan dalam bentuk video ternyata burujung kehancuran karier dan popularitas positif diri. Imbasnya sangat negatif. Bagi duo Shinta & Jojo, keberadaan media baru juga merubah ranah privat urusan ’iseng-iseng’ di ruang tamu, menjadi ranah publik urusan ’politik dagang’ hak cipta dan rejeki industri musik. Niat untuk sekadar lipsync dengan berekspresi bebas seadanya berujung pada ketertarikan media, industri, dan artis-artis ternama pada sosok mereka. Imbasnya sangat positif, minimal bagi mereka berdua. Dua imbas media baru ternyata memiliki implikasi yang jauh berbeda. Sangat disesali bagi Ariel, sangat disyukuri bagi Shinta & Jojo.

Dan memang begitulah media baru adanya...
Sifat media baru yang menjadikan personal individual selayaknya sebuah institusi komunikator melembaga, membuat produsen pesan sangat mudah terjerembab pada posisi ironis. Maksud hati mungkin sekadar main-main, namun imbas tersebarnya informasi justru mematikan eksistensi. Maksud hati mungkin ingin sekadar nampang, namun akibatnya membuat masuk dalam masalah tak berkesudahan. Posisi ironis ini bermula dari kurang dipahaminya sifat media baru. Begitu cepat menyebar, begitu cepat pula buyar. Mengapa demikian ? sifat informasi yang disampaikan media baru adalah sekilas. Maksudnya segala sesuatu yang disampaikan begitu cepat terlewat dalam memori banyak orang. Begitu cepat terlewat karena dia begitu banyak. Tak terhitung dan tak terhingga. Saking banyak dan tak terhingganya, orang tidak bisa lagi memilih mana yang harus disimpan dalam waktu yang lama, dan mana yang sekadar singgah dan dilewatkan begitu saja. Artinya hanya dibutuhkan sebuah ’kebakaran yang lebih besar’ untuk mengalihkan perhatian dari sebuah ’kebakaran yang lebih kecil’. Hanya masalah siapa yang ’mencuri kambing’ untuk menyembunyikan ’pencuri ayam’. Namun efek rotasi media baru ini sangat berimbas pada sosok produsen pesan alias komunikator tadi. Metamorfosis media konvensional menuju media baru terbukti mempercepat penciptaan dan konstruksi ’kebakaran besar’ dan ’pencurian kambing’ itu tadi. Dalam laporannya tentang fenomena twitter, Kompas telah menyebut akselerasi media ini sebagai sebuah revolusi.

Dan itulah memang yang telah dirasakan oleh Shinta & Jojo...
Saat saya mengetikkan kata kunci Keong Racun pada mesin pencari Google pagi ini, sebanyak 854.000 daftar web terhampar di depan saya. Dari situlah bisa dikatakan bahwa fenomena penggunaan media baru paling tidak menjadi jalan unik bagi Shinta & Jojo untuk menjadi terkenal. Sebuah media yang mungkin tidak disadari namun hadir sebagai realitas sosial keseharian kita saat ini. Mungkin tak perlulah menggunakan media baru dengan gaya seperti Ariel Peterporn, cukup dengan menghadirkan diri sewajarnya dan memancing kontroversi seperti mereka berdua. Apabila memang disadari media baru lebih cepat menciptakan dan mengonstruksi dengan efek dua sisi mata uang (baik dan buruk) maka apa yang dilakukan Shinta & Jojo minimal memberi contoh positif dari pemanfaatan media baru itu. Hal yang sama dulu pernah terjadi dan mampu mendongkrak serial Marimar. Jadi apabila masih ada sisi positif dari media baru, mengapa tidak dimaksimalkan dan menjadi ranah kajian menarik ? Minimal bisa dilakukan saat mata saya memelototi cantik dan nakalnya gaya Shinta & Jojo, sambil otak saya terus mencerna lirik lagu Keong Racun (yang sungguh menyinggung saya secara pribadi)....wuak kk kk ..

Mentang-mentang kokai
Aku dianggap jablay
Dasar koboy kucai
Ngajak check-in dan santai

Sorry sorry sorry jack
Jangan remehkan aku
Sorry sorry sorry bang
Ku bukan cewek murahan


Bidakara, Agt 2010

Tidak ada komentar: