Selasa, 17 Agustus 2010

Sang Juara Kelima ?

Perayaan Tujuhbelasan kali ini tak jauh berbeda ...
Tetap ada berbagai perlombaan. Dari sekadar meniup balon yang murah meriah, hingga lomba futsal yang menghabiskan jutaan rupiah. Pesertanya pun beragam. Dari anak-anak kecil yang baru mengerti apa itu bendera merah putih, hingga para peserta pasca dewasa yang tak sadar kalau sepertiga rambut di kepalanya sudah memutih. Semua menikmati perlombaan. Semua menikmati pertandingan. Seakan Tujuhbelasan cukup berhenti pada pertanyaan siapa pemenang menyanyi mars perjuangan ? Siapa pemenang bola Pingpong ala kampung ? Tujuhbelasan adalah tentang kesan menjadi pemenang. Bangsa Indonesia merayakan kemenangan mereka merebut kemerdekaan. Semangat menjadi pemenang inilah yang perlahan-lahan menciptakan ‘gelembung sabun’ tak berkesudahan. Kita merdeka. Bangga. lalu apa ?

Tadi malam, saat pengumuman para pemenang lomba tingkat anak-anak disampaikan, ibu-ibu berdiri berjejer berdesakan. Aku terjepit diantara banyak ragam parfum dan wewangian. Sambil menghirup segala macam bau itu, aku rasakan kebanggaan mereka melihat dan menyaksikan anak-anak menerima trophy dan piala. Seorang ibu berkata, “itu anakku yang pake baju biru,” Lalu melanjutkan dengan nada jumawa, “Dia juara satu mengikat sepatu,”. Disusul mulut ibu yang lain, “Anakku juara lomba sepeda,”. Mulut yang lain tak kalah seru menimpali, “Si Nita juara menari lho, “. Ditengah-tengah gumam dan pengakuan itu, seorang ibu, bersuara padaku, “Itu anak saya pemenang lomba menggambar bunga,” Sudut mataku langsung melirik. Putih, cantik, untuk ukuran seusianya. Anak itu mendapat juara. Tapi urutan kelima ! lho kok ada urutan juara sampai lima ? Otak ku tidak terima dengan urutan juara kelima. Biasanya juara yang tampil hanya sampai urutan tiga. Juara satu, juara dua, dan juara tiga. Cukup. Kenapa harus ada juara lima ? Mengapa bisa begitu ?

Dasar indera etnografi, tak puas sampai disitu, aku bergeser menjauh dari mereka. Aku dekati seorang ibu panitia lomba kenalan baikku. Iseng berbisik aku bertanya padanya, “Mengapa harus ada juara lima segala ?” . Sambil tersenyum si ibu yang jadi panitia lomba itu menjawab,”Itu juara titipan dari ibunya kok mas!”. Juara Titipan ? istilah apa pula itu ?

Ternyata yang terjadi adalah setiap kali pengumuman lomba tingkat anak-anak seperti itu, ada saja ibu-ibu yang sengaja membeli trophy dan piala dari uangnya sendiri lalu dititipkan pada panitia. Pesannya : nanti nama anaknya disebut dan diumumkan sebagai salah satu juara ! Anaknya maju ke depan. Menerima trophy atau piala. Ibunya bangga lalu bertukar cerita. Alasan mereka sederhana, mau menyenangkan dan membuat gembira anaknya. Kalau itu sih aku percaya.

Tapi yang nampak lebih berbinar-binar adalah sang ibu saat melihat anaknya diberi piala. Piala dari dirinya. Yang nampak lebih keluar sombong dan jumawanya adalah sang ibu pula. Yang justru berkoar-koar bercerita sana-sini adalah mulut sang ibu juga. Ini yang aku tidak percaya. Kok tega-teganya bergembira dan berbangga di atas keluguan dan ketidakmengertian anaknya yang erat-erat mencengkram piala ? Piala yang tentu dia tidak tahu berasal dari ibunya sendiri ? Lalu makna juara kelima berikut piala itu sesungguhnya untuk siapa ? Kebanggaan ibunya, atau menyenangkan anaknya ?

Bangsa ini memang sakit.
Kebanggaan sang ibu berikut segala binar mata saat mengklaim anaknya juara nampak seperti potret ironi perjalanan bangsa Indonesia. Kebiasaan membelikan piala untuk diterima anaknya sebagai sebuah kebanggaan, mempersetankan kenyataan anaknya berprestasi atau tidak. Kalau saya bisa membelikan dia trophy, kenapa harus susah-susah memaksa dia mengukir prestasi. Andai semua bisa dibeli karena kelimpahan uang dan kekayaan, apa susahnya hanya sekadar menetapkan diri sebagai pemenang. Aku jadi ingat Abraham Maslow dengan paradigma motivasi dan aktualisasi diri. Kata dia, kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi, di atas pangan, sandang, papan, dan tentu saja kemewahan. Tapi aktualisasi diri tanpa prestasi sama saja dengan penyakit akut pembohongan diri sendiri. Lupakan proses, pengakuan lebih penting. Setelah kaya raya, gunakan kekayaan itu untuk mendapat pengakuan dan simpati kekaguman. Kalau sudah kaya raya, buat apa susah payah sekolah. Beli aja sekolahnya, lalu ciptakan sistem peringkat yang membuat diri sendiri berada di puncak. Toh yang penting adalah hasil akhirnya. Toh yang penting adalah kebanggaan saat pengakuan. Sistem pendidikan di negeri ini adalah sistem pendidikan dengan orientasi dramaturgi. Yang diutamakan bukanlah proses memperoleh dan mendapatkan pengajaran, melainkan hasil nilai tertinggi membanggakan dan diakui banyak orang. Tak perlu paham dan terlalu mengerti seluruh mata pelajaran yang ada. Cukup berjibaku mempelajari mata pelajaran yang menjadi subjek Ujian Nasional saja. Keberhasilan bukan ditentukan oleh tiga tahun proses belajar sebagai siswa SMP maupun SMU, melainkan beberapa hari saat tes mata pelajaran ujian nasional dilalui. Cukup belajar itu saja, dan kalau nilainya tinggi, akan meraih penghargaan luar biasa. Proses belajar sebagai sesuatu yang mengasyikkan, telah tergantikan dengan nilai akhir sebagai sebuah tujuan.

Bangsa ini memang sakit.
Keinginan untuk terlihat hebat membuat setiap orang berusaha menciptakan manajemen impresi (manajeman kesan). Prinsip menabung untuk perlahan memiliki barang tidak lagi dikenang. Kenapa harus menunggu punya barang, kalau kita bisa berutang ? Kenapa harus menunggu punya mobil dan rumah baru, kalau kita bisa kredit dulu ? Seperti sudah kodratnya sebuah menajemen kesan. Yang utama adalah penampilan dan diri di mata orang. Sang ibu merasa anaknya akan bahagia karena berdiri di atas panggung dan menerima piala. Ada kebanggaan di sana. Namun sesungguhnya tanpa disadari dia telah menanamkan virus berbahaya pada pikiran anaknya. Paling tidak ada dua. Pertama, dia mengajari anaknya untuk tidak perlu bersusah payah mengejar posisi tertinggi. Kalau semua bisa dimanipulasi untuk hasil akhir nanti, mengapa proses harus dijalani ? Toh ujung-ujungnya adalah kebanggaan diri. Kedua, kebiasaan itu menempatkan anaknya untuk selalu terbiasa menjadi pemenang dan juara utama. Anaknya kelak tidak akan pernah mengenal posisi nomor dua. Dia selalu melihat dirinya nomor satu. Padahal perjalanan hidup dia nanti akan sangat mungkin menempatkan dia di nomor dua bahkan tiga. Karena hidup memang tidak selalu sempurna. Itu sangat berbahaya.

Perjalanan bangsa ini memang ironis.
Kita sebagai bangsa terlalu sibuk merayakan kehebatan partai politik dan lomba berkampanye sebagai yang terbaik. Tentu tak lupa liputan wartawan infotainment sebagai media menampilkan rupa kita di televisi. Berkoar-koar kita. Melupakan ledakan tabung gas di mana-mana. Bersandiwara kita, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Saling berdusta antara kita, untuk menutupi perilaku keji di sana-sini. Tak mengapalah segala keburukan itu disembunyikan. Toh kita bisa tutup dengan memperdengarkan lagu keberhasilan dan harapan. Toh kita bisa tetap santai menikmati angka pertumbuhan produksi minyak dan gas bumi untuk diekspor ke luar negeri, tanpa peduli fakta sulitnya rakyat kecil mencari minyak tanah walau harus berkelahi. Semua kebaikan lebih baik disiarkan dan berakhir di layar televisi. Bagaimana fakta dan kondisi sesungguhnya, itu perkara nanti ! Memang tak ada ironi yang lebih menyedihkan, selain ironi perjalanan bangsa ini.

Lalu tibalah saatnya pengumuman pemenang lomba tari balet, seorang ibu lagi-lagi bersuara, nyaris berteriak, “itu si Nikita, dia juara favorit menari balet,” lagi-lagi mataku menghunjam panggung. Anaknya cantik, lumayan tinggi untuk ukuran anak 5 tahun, memakai kostum Balerina, mempesona. Dia sedang disalami oleh ketua RW yang didaulat memberikan piala. Piala erat dicengkramnya. Besar juga. Mungkin 30 senti hingga sedikit menutupi wajahnya. Asal tahu saja, juara favorit adalah posisi juara di atas juara satu, dua, dan tiga. Sangat istimewa. Tapi di mataku, tetap saja yang muncul wajah lugu. Perlahan sang ibu panitia disampingku berbisik, “Itu si Nikita juga titipan dari ibunya,” sambil tersenyum dia lanjutkan, “Padahal dia sendiri tidak ikut saat acara lomba !” hah ?.... gubbraak ...


Baciro, Agustus 2010

Tidak ada komentar: