Senin, 28 Juni 2010

Tentang ‘Di luar Rata-rata’ Malcolm Gladwell

Satu nasehat sederhana dari Malcolm Gladwell saat menutup bab pengantar buku ‘Outliers’ (2009) dapat kita jadikan renungan hari ini. Kita harus disadarkan bahwa tak akan mampu memahami mengapa seseorang selalu dalam kondisi sehat jika yang mereka pikirkan hanyalah tentang berbagai pilihan dan tindakan pribadi seseorang yang tidak dihubungkan dengan masyarakat sekitarnya, itu kata dia. Ceritanya tentang rahasia kesehatan penduduk imigran Italia di Bangor, Pensylvannia. Cerita kesehatan penduduk di sana menunjukkan bahwa memikirkan masalah kesehatan dari perspektif komunitas nyaris merupakan sesuatu yang terlupakan semua orang di sepanjang sejarah. Penduduk Italia yang berasal dari kota Roseto Valfortore, yang pada tahun 1882 menginjakkan kakinya di Bangor merasakan bahwa kesehatan diri mereka sangat tergantung dari sikap mereka dalam memandang relasi sosial.

Adalah Stewart Wolf, seorang dokter yang telah bertugas lebih dari 17 tahun di New Roseto menemukan bahwa sangat jarang penduduk di Roseto baru yang mengidap penyakit jantung saat mereka berusia di bawah enam puluh lima tahun. Saat itu tahun 1950-an. Penyakit jantung adalah pembunuh utama tanpa obat di Amerika. Ini menarik, bagi Wolf. Dia tertantang untuk mengetahui mengapa fakta itu bisa muncul. Padahal semua orang di AS tak perlu menunggu 65 tahun, usia remaja juga mereka telah terserang penyakit jantung. Mengingat pola konsumsi yang sangat salah dan memprihatinkan di AS. Mulailah penelitian dilakukan. Mereka, para dokter itu berupaya menemukan berbagai alasan mengapa fenomena ‘kuatnya jantung’ para penduduk New Roseto itu bisa muncul dan kuat di wilayah itu saja. Berbagai dimensi penelitian telah dilakukan : sisi fisiologis dengan membandingkan apa yang dikonsumsi masyarakat New Roseto dengan penduduk kota lain di sekitarnya, mengecek kebiasaan istirahat dan gaya hidup masyarakat itu. Secara ekstrim mereka melihat bahwa penduduk kota baru tiruan Italia itu sama sekali tidak menerapkan pola konsumsi dan gaya hidup yang terlalu beda dengan kota-kota lain. Mereka relatif hedon, rata-rata gemuk bahkan obesitas serius, memakan apa saja yang juga bisa dinikmati penduduk kota lain. Lalu apa ? merasa bahwa dimensi kesehatan kurang mampu untuk mengelaborasi dan memahami fenomena tersebut, akhirnya Wolf mengundang pakar-pakar Sosiologi untuk mencoba mengerti penyebab keunikan jantung dan langkanya peristiwa kematian karena penyakit jantung di New Roseto. Dan mereka menemukan jawabannya di jalanan. Bukan di laboratorium.

Saat mereka tengah berjalan-jalan di sore hari menelusuri kota kecil tersebut, mereka baru menemukan sebuah unsur dan tata kehidupan yang membedakan New Roseto dengan kota lainnya. Penduduk saling bertegur sapa dengan wajah yang ringan tanpa beban. Mereka menggunakan bahasa Itali namun dengan dialek Roseto. Tak mau menggunakan bahasa lain (saya baru nyadar bahwa kemampuan untuk melestarikan bahasa asli –indigeneous- merupakan sebuah tameng budaya melawan neoliberalisme saat ini), terlebih bahasa Inggris yang menjadi bahasa resmi di AS. Mereka bisa dan menguasai bahasa Inggris, namun hanya menggunakannya untuk berbisnis. Bukan untuk membina relasi antarkomunitas. Dengan bahasa ibu itulah mereka saling sapa di jalan, di pekarangan, di gereja, dan berbagai fasilitas ruang publik lainnya. Yang muncul bukanlah sebuah narsisisme sosial, melainkan sebuah upaya penghargaan dan apresiasi tingkat tinggi terhadap budaya asal mereka. Ini sejajar dengan penghargaan tanah leluhur mereka yang telah mereka tinggalkan. Kita tidak gampang menemukan hal ini dalam diri orang-orang dari negara berkembang yang karena kepintarannya berhasil meraih beasiswa sekolah ke luar negeri. Lalu kemudian lebih sibuk untuk memperlihatkan kapasitasnya dengan penuh kecongkakan. Berbahasa Inggris di mana-mana. Menggunakan istilah asing dan aneh semata-mata agar lawan bicaranya semakin tak mengerti. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, malu untuk menggunakan bahasa ibu sendiri. Aneh memang. Namun andai saja mereka sudah membaca buku Gladwell tentang kota Roseto, pasti mereka akan memikir ulang tentang kepongahan yang mereka bangun. Baru menyadari jebakan budaya yang dahsyat melalui bahasa. Efek lebih lanjut dari penggunakan bahasa ibu ini sangat menarik. Melalui penggunaan bahasa Ibu mereka tetap merasa sebagai satu keluarga utuh. Tetap menjadi orang Italia. Sesama orang Italia sudah seharusnya membantu secara tulus tetangga dan kerabatnya. Semangat inilah yang membuat mereka bisa saja memasak di pekarangan tetangga, untuk kemudian berbagi dan makan bersama. Tak ada kesusahan yang tidak ditanggung bersama. Semua menjadi satu. Komunalitas yang mampu mendatangkan kebahagiaan. Keceriaan. Dan akhirnya antibodi yang luar biasa untuk resisten terhadap penyakit.

Kembali pada semangat penduduk Roseto. Cerita Gladwell menunjukkan bahwa kesehatan terkadang sama sekali tidak terkait dengan permasalahan fisiologis dan biologis tubuh saja. Ada hal lain yang ternyata menyumbangkan manfaat positif. Keutuhan dan penghargaan atas relasi dan interaksi sesama. Mengejutkan memang bahwa seseorang akan lebih sehat dengan lebih banyak bergaul ! mungkinkah itu ? jangan kaget. Ambil contoh sederhana. Bahwa dengan lebih banyak bergaul, seseorang akan lebih banyak tertawa, lebih banyak mengungkapkan duka hati, lebih banyak menyaring hal-hal yang jelek untuk kemudian melepaskan semua energi jelek. Tentu lebih banyak hal negatif yang bisa dilepaskan (bahasa kerennya sih curhat). Bayangkan saja seseorang yang selalu lebih banyak berdiam diri di rumah. Lebih banyak menekuri kesalahan lalu menyesali apa yang sudah dilakukan. Terlalu sering sibuk dengan pikirannya sendiri. Niscaya energi negatif akan terkungkung dalam dirinya. Tidak pernah ada saran dan pendapat dari orang di luar diri. Ini menjadi sangat merugikan bagi sosok bersangkutan. Intinya relasi sosial yang sehat telah membuat kebanyakan penduduk Roseto terhindar dari resiko menderita penyakit jantung. Tepat di saat penyakit itu menjadi momok bukan saja warga Pensylvannia, melainkan masyarakat Amerika pada umumnya.

Fakta yang diintrodusir Gladwell di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa mungkin sekali segala sakit, segala tidak enaknya diri, segala keluhan atas penderitaan sebenarnya merupakan sebuah problem psikologis. Tidak melulu terkait dengan kondisi badan secara parsial. Selalu ada ‘sesuatu’ di luar pakem. Dan inilah yang harus selalu digali. Diteliti. Dan dikembangkan. Celakanya studi-studi di dunia kesehatan, terutama kedokteran, terlalu asyik dengan prinsip-prinsip SOP (standart operational procedure) penanganan tubuh si pasien, bukan kondisi psikologis mereka. Terlalu asyik dengan berapa kadar obat yang harus ditelan. Lupa untuk menghibur dan memberikan harapan sembuh lebih besar saat minum obat tersebut. Akhirnya melihat tubuh sebagai semata-mata tubuh. Tanpa jiwa dan rasa. Fakta bahwa kebanyakan orang sakit bisa diobati dengan terapi dan konsultasi, tanpa harus memberi mereka obat dalam arti fisik, tentu menjadi sebuah energi yang layak diperhatikan dunia kesehatan. Tetap seperti apa yang dikatakan Gladwell, selalu ada yang lain di luar pakem ... selalu ada ‘yang lain’ di luar kebiasaan... tergantung sekarang ... kita mau percaya atau tidak. Menurut Anda ?


Gorontalo, Juni 2010

Rabu, 16 Juni 2010

Grass Rock dan ‘Hidup’ di Masa Lalu

Mencoba untuk ‘mengingat’ kembali kenangan masa lalu terkadang menciptakan alur energi yang menyejukkan hati. Nama keren-nya sih bernostalgia. Bagi kebanyakan orang, kata bernostalgia mungkin berkonotasi negatif. Kata mereka, itu sama saja dengan tidak mau melihat ke depan. Kata mereka, itu sama saja dengan hidup di masa lalu, takut untuk melihat hari esok. Tak siap dengan kemajuan. Dan seabrek konotasi negatif lainnya. Namun bagi saya pribadi, persetanlah semua kata orang itu. Tetap saja menghirup sejenak kenangan masa lalu menghasilkan energi mistis. Kadang membuat ketawa setengah meringis. Ingat segala kekonyolan dan cinta monyet. Terkadang memancing tangis. Ingat segala kealpaan dan kesalahan tragis.

Malam ini kenangan itu mengalir seiring dengan alunan lagu ‘Gadis Tersesat’ milik group band fenomenal 90-an : Grass Rock. Terlepas dari segala kehebatan pentolan personil awal group yang terbentuk Mei 1984 ini, ada dua personil yang tidak pernah saya lupakan sampai saat ini. Dua orang itu adalah Edi Kemput (gitar) dan Dayan- Alm- (vokalis). Dua sosok ini sempat membuat saya bermimpi menjadi seorang rocker. Maklumlah, saat itu saya masih berada di kelas dua SMU di Kalimantan sana. Edi Kemput, dengan gaya santainya mampu menghipnotis dengan raungan dan kecepatan jari di setiap kord gitarnya (kalo tidak salah ketika itu doi memiliki gitar berwarna hijau... hmm nampak jantan). Sementara Dayan, menurut saya memiliki karakter vokal yang sangat sulit ditiru oleh para vokalis rocker saat ini. Doi punya suara tinggi dengan tingkat ketebalan (alias serak) yang menggoda. Sangat khas. Ingat saat itu, bersama band rock di SMU, kami harus latihan rata-rata 6 jam sehari hanya untuk mengusung dua lagu mereka : Bulan Sabit, dan Gadis Tersesat. Meskipun rada kedodoran di sana-sini (tentu saja, lha wong perangkat gitar berikut aksesoris yang saya miliki saat itu sangat sederhana, karena tak mampu beli yang berkelas), kami cukup puas karena mampu membawakan dua lagu itu dengan gaya yang dimirip-miripkan Grass Rock. Ini hanya sebagian kecil dari kenangan akan group ini. Saya akan menceritakan satu kenangan tak terlupakan lainnya terkait dengan syair lagu mereka. Lagu yang sangat membekas. Judulnya ya ... Gadis Tersesat tadi. Di bawah ini beberapa bait liriknya yang saya tetap ingat :

Gadis manis terlena
Impian kotor juga, datang kawan baginya,
Badai topan seakan melanda,
Kawan datang membawa bencana

Ramai di sekitarmu
Bingung dan juga pusing
Ada apa disitu, gadis manis terlena
Dalam genggaman arjuna bertaring Drakula

Terang sangat terang
Matamu memandang
Kenyataan itu .. ternyata
Menusuk pinggang ...

Lirik yang sangat dalam menurut saya. Kenangan akan lirik tersebut bermula dari ritual teman-teman satu kelas A3 (dulu khan gak ada istilah IPA dan IPS). Saat itu saya masih kelas 2 SMU di Sukamara, sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah. Tepatnya tahun 1992. Setiap kenaikan kelas biasanya teman-teman cowok selalu melakukan semacam ritual melakukan hal-hal yang unik dan menantang. Dan pada tahun itu, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang dengan berjalan kaki ke sebuah pantai. Namanya Lunci. Jarak tempuh berjalan kira-kira 12 Jam dari pusat kota. Waktu itu ada sekitar 20 anak yang menyatakan bersedia untuk berpetualang. Saya menjadi inisiator, dan kemudian rumah saya menjadi tempat penampungan teman-teman menginap satu malam sebelum kita berangkat esok paginya. Lalu apa hubungan lagu Gadis Tersesat itu dengan petualangan itu tadi ? sabar sobat ... saya baru akan menceritakannya.

Setelah semua persiapan dipastikan oke, sekitar jam 5 subuh, 20 orang anak SMU itu tadi memulai langkah pertama mereka untuk berjalan sejauh 12 jam. Diperhitungkan apabila kami memulai jalan jam 5 subuh, maka paling tidak jam 5 sore kami akan sampai di Lunci. Saat itu musim hujan. Kami sama sekali tidak mengetahui akan segala bahaya yang bakal kami temui di jalan nanti. Padahal sebelum mencapai bibir pantai, kami harus mengarungi padang pasir seluas 20 KM tanpa perlindungan pohon atau sejenisnya. Apabila hujan tiba, maka padang itu akan berubah menjadi danau. Ular dan makhluk melata akan berpesta pora. Mungkin kaki-kaki kami akan menjadi sasaran empuk taring mereka. Belum lagi sambaran petir karena kami berada di tanah lapang. Ngeri juga kalau diingat-ingat. Namun semua itu luput dari perhatian kami. Entah karena kami bermental baja (hallaaah !), atau semata-mata karena tidak tahu saja (ini alasan sesunguhnya he he he ). Jadilah kami berjalan saja tanpa memikir banyak resiko di perjalanan. Yang pasti saya ingat perjalanan itu sangat diridhoi Tuhan he he he .. tentu saja, hujan tidak turun, cuaca mendung, sehingga kami tidak kepanasan. Tak ada ular. Tak ada petir. Seingat saya, ada dua kali kami harus berhenti dan beristirahat. Sepanjang perjalanan itu, ada satu hal yang tidak pernah saya lupakan hingga hari ini. Ada semangat yang tidak pernah mati untuk terus berjalan dan menikmati setiap meter pamandangan tanah lapang. Energi terus menyala, karena diiringi oleh sebuah lagu yang terus menerus diulang dan diputar melalui tape recorder bermerek Tens yang dibawa oleh Heru, teman akrab saya. Lagu yang terus diputar itu adalah lagu dari group band Grass Rock. Judulnya yaa ... Gadis Tersesat itu tadi ... usut punya usut ... ternyata hanya itu satu-satunya kaset yang dibawa oleh Heru. Albumnya Bulan Sabit. Usut punya usut, Heru ternyata tidak membawa baterai cadangan sebagai energi tape recorder merek Tens nya. Jadi selama 10 jam tape recorder itu terus berbunyi. Sesampai di pantai bisa Anda bayangkan, tape itu tidak mampu lagi mengeluarkan bunyi apa-apa. Baterainya terkuras habis he he he . Namun album Bulan Sabit itu sangat membekas. Di dalamnya ada lagu-lagu hits group band asal Surabaya ini. Gadis Tersesat adalah lagu favorit saya sejak hari itu hingga hari ini. Setiap kali mendengar lirik lagu itu, terbayang wajah almarhum Dayan. Menurut cerita, Dayan sangat puitis setiap kali menulis lirik. Ada kekuatan dalam setiap liriknya. Ambil contoh pesan moral yang tegas disampaikan Gadis Tersesat. Saya mau bercerita sedikit.

Lagu ini bercerita tentang betapa tragisnya dunia yang dialami seorang gadis polos. Segala khayalan keindahan dan ketentraman di kepala sang gadis berbanding terbalik dengan realitas yang ditemuinya. Ada lingkungan pertemanan yang tidak pernah beres (kawan datang membawa bencana). Ada hubungan asmara yang tidak pernah jujur (Arjuna bertaring Drakula). Serta sakitnya kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan (kenyataan menusuk pinggang). Dari ketajaman lirik itu, nampak Dayan berusaha memotret fenomena sosial kehancuran moral di kalangan kaum hawa. Bolehlah dibaca bahwa Dayan tengah mencoba bersimpati dengan para gadis yang selalu menjadi korban atas kotornya dunia. Saya sama sekali tidak ragu akan kemampuan eksplorasi Dayan dalam mencipta lirik. Wajar kalau selepas meninggalnya sang vokalis ini, Grass Rock bagai perahu patah kemudi. Group ini vakum. Hingga hari ini. Bukan Cuma lengkingan suaranya yang sangat berkarakter semata, Dayan menjadi roh group itu dalam menelurkan lirik-lirik bernas. Grass Rock betul-betul kehilangan.

Malam ini kenangan akan kedahsyatan group ini memaksa saya untuk browsing mengarungi dunia maya dengan seabreg kata kunci seperti “dayan”, “grass rock”, “Yudhy bassis Grass Rock”, pokoknya membaca kembali puluhan artikel tentang group ini mampu memanggil kembali memori saya atas kehebatan mereka. Sebuah kehebatan yang mempu memantik energi untuk berjalan selama 12 jam. Bagi saya, group ini boleh saja bubar, tapi beberapa lagunya membuat saya kembali menemukan bahwa tidak selamanya impian dan harapan kita akan disambut positif oleh kenyataan. Itulah logika sederhana dunia. Jadi seperti nada optimis diujung lagu Gadis Tersesat ...

Coba engkau dengarkan
Para ahli berkicau
Beri nasehat jitu,
Agar jalanmu tetap terang .....

Kembali ada nada optimis untuk terus bersenggama dengan dunia. Sekalipun dunia berkali-kali mengkhianati kita ... ahh ... Grass Rock memang telah membongkar kembali memori saya. Malam ini saya telah bernostalgia. Sekalipun orang-orang mengatakan bahwa bernostalgia merupakan sebuah pertanda ketidakmampuan kita melihat masa depan.. atau ketakutan akan masa depan... saya tidak lagi terlalu peduli .... entahlah Anda ......


Juni 2010