Minggu, 07 Februari 2010

Naratif & Media Televisi

Hari ini hujan mengguyur Yogya sejak siang. Cuaca berubah drastis. Dari panas menyengat, menjadi dingin yang kian merambat. Menghidupkan televisi nampaknya pilihan tepat. Mungkin lebih nikmat bila berteman teh panas, sebungkus kacang, atau sejumput coklat. Sayangnya acara televisi tidak menarik. Saya sudah begitu muak melihat sinetron dan acara ketawa-ketiwi yang hanya berisi Luna Maya, Olga, maupun Ruben Onsu. Sama muaknya seperti melihat akting para anggota DPR panitia Pansus yang cuma omong melulu. TV saya matikan. Melirik ‘The Lost Symbol’ yang baru saya baca separuhnya. Rasanya malas juga untuk mengikuti khayalan Dan Brown. Mata saya berpindah pada buku Helen Fulton. Judulnya ‘Narrative and Media’ (2005). Buku yang mungkin bisa menjadi jawaban atas rasa muak saya dengan acara-acara televisi yang hanya ketawa-ketiwi. Buku ini bercerita tentang media yang semakin menaratifkan diri dalam penyajiannya. Itu artinya, entah apapun format acara televisi : dari sinetron hingga jingkrak-jingkrak di panggung gaya In-Box dan Derings, semuanya harus disajikan dengan narasi tertentu. Ada pembukaan, konflik, lalu solusi. Alurnya harus demikian. Tak cuma dalam acara santai, untuk berita yang serius pun juga harus menggunakan cara yang sama. Alasannya simpel : menyenangkan penonton. Narasi adalah alur cerita. Kita suka mendengarkan cerita yang jelas alurnya, tertata sajiannya, jelas tokohnya, dan menyimpan harapan tentang happy ending-nya. Itulah narasi. Dia ibarat dongeng yang selalu menyertai kehidupan manusia.

Kita sebagai manusia memang suka didongengi. Sejak kecil saya selalu tidur dengan ditemani dongeng lembut almarhum ibu. Masa kanak-kanak saya begitu menyenangi dongeng guru ngaji tentang kehebatan Islam. Saat remaja saya didongengi oleh film-film cengeng tentang menangnya kebajikan atas kebatilan. Saat kuliah saya dijejali dengan dongeng sejarah alternatif tentang orde baru yang membuat saya terperangah. Hingga hari ini saya masih tetap didongengi. Dan saya tetap menyenangi itu. Tanpa sadar sayapun selalu mendongeng dalam setiap kuliah yang saya berikan. Dongeng ternyata menjadi inheren dalam hidup saya.

Dongeng adalah narasi yang teratur. Jelas plotnya. Jelas alurnya. Menjanjikan penyelesaian di ujungnya. Dan Helen Fulton melihat bahwa semua itu termanifestasi dalam penyajian isi media massa. Namanya narasi. Untuk menelitinya, mereka menyebut dengan pendekatan naratif. Terkait dengan televisi, salah seorang kontributor dalam buku itu menguraikan tentang berita televisi sebagai sebuah naratif. Namanya Anne Dunn, seorang pengajar senior di Departemen Media dan Komunikasi University of Sydney. Berikut ini saya akan menguraikan beberapa pokok pikirannya.

Anne Dunn dalam buku tersebut mencoba untuk meyakinkan betapa bergunanya narasi dalam sebuah berita televisi (news). Seperti diketahui bahwa televisi adalah media audio visual yang memanjakan khalayaknya. News dalam hal ini adalah sesuatu yang nampak serius dan terkadang membutuhkan perhatian lebih dari audiens untuk tekanan-tekanan tertentu. Dia memberi contoh ketika perang, pemberitaan yang dibuat oleh reporter dan tenaga jurnalistik lainnya tidak lagi berupa kenyataan perang sesungguhnya. Itu sudah sebuah konstruksi atas peristiwa perang. Menurutnya, berita tidak merupakan sebuah kenyataan atau realitas sesungguhnya. Berita menjadi suatu konstruksi atas realitas melalui sebuah proses seleksi editorial dengan melibatkan elemen-elemen audio visual. Semua pilihan dan pertimbangan itu bukan semata-mata sesuatu yang bersifat ideologis, melainkan juga terkait dengan teknis penceritaan. Tentu saja agar berita itu menjadi menarik untuk disajikan, terlepas dari beragam kepentingan ideologis yang melatarbelakanginya. Ambil contoh saat peristiwa serangan 11 September 2001, meskipun antara televisi Al Jazeera (Arab) dan stasiun televisi di dunia Barat (AS) berbeda setting dan kepentingan ideologis, namun masing-masing stasiun menyajikan berita layaknya sebuah kisah. Ada plot dan alur di dalamnya. Di sinilah pentingnya narasi dalam mengupas berita di televisi.

Membicarakan news sebagai sebuah naratif akan dimulai dengan sebuah konsep penting dalam dunia jurnalistik. Konsep tersebut adalah nilai berita (news values). Menurutnya news values ini merupakan hal yang paling penting untuk didapatkan seorang profesional di bidang jurnalistik melalui proses pencarian, penyeleksian, penulisan, dan penyajian berita. Ada dua kriteria utama dalam memandang news values ini : timeliness (it is ‘new’) atau currency (it is already in the news). Keduanya harus dipercaya memiliki pengaruh signifikan terhadap orang-orang berikut kehidupan mereka, memiliki sisi proksimitas dengan audiens, untuk itu mampu merangkai kejadian-kejadian agar layak diberitakan.

Prinsip utama dalam menciptakan news values adalah tentang ‘bad news is good news’, biasanya berita tentang sesuatu yang buruk-buruk akan serta merta menarik perhatian orang. Anne Dunn mengatakan ada dua hal yang perlu diketahui untuk menelusuri bagaimana seseorang bisa menciptakan nilai berita. Pertama, tentang ‘known’ yakni seseorang yang dengan namanya saja sudah menjadi sebuah berita. Ini artinya, apabila memberitakan presiden, para menteri, maupun selebritis, bisa dianggap memiliki kemampuan menciptakan nilai berita. Kedua, ‘unknown’ yakni orang yang namanya sama sekali tidak dikenal, dan untuk itu perlu untuk mengulas tentang apa yang dilakukan orang tersebut. Seorang anak yang menolong anjing kecil yang terperangkap karena banjir besar, petugas pemadam kebakaran yang bertaruh nyawa menyelamatkan seorang anak yang terperangkap di tingkat 15 sebuah gedung yang terbakar. Semuanya memiliki nilai berita terkait apa yang dilakukan, bukan siapa yang melakukan. Artinya kita tak perlu kenal siapa anak dan siapa petugas pemadam kebakaran yang heroik tadi. Kita hanya terkesan dengan perbuatannya. Intinya Known menciptakan nilai berita dengan hanya mengatakan ‘who they are and doing what they do’, semantara Unknown menciptakan nilai berita melalui ‘doing or having done to them something extraordinary’.

Menerapkan analisis naratif terhadap berita televisi sepenuhnya akan dipengaruhi oleh kerangka kerja jurnalisme televisi. Ini terkait erat dengan prinsip pemberitaan dan penyusunan berita. Dalam dunia jurnalistik terkenal dua jenis berita : hard news dan soft news. Hard news sejajar dengan hot news biasanya selalu berkaitan dengan berita-berita yang harus segera ditayangkan, disiarkan karena menyangkut sesuatu yang maha penting bagi hajat hidup orang banyak. Sementara soft news biasanya berkaitan dengan hal-hal human interest yang tidak terlalu urgen untuk diberitakan dengan segera. Meskipun keduanya harus menerapkan unsur-unsur 5 W + 1 H dalam proses penyusunan berita, namun memiliki esensi yang berbeda dalam susunan pemberitaannya. Hard news selalu menuntut penyusunan berita yang menganut prinsip piramida terbalik (inverted pyramid) : hal-hal yang penting harus diletakkan dan disajikan di awal penyajian. Yang kurang penting diletakkan dibagian belakang saja. Sementara soft news melakukan prinsip sebaliknya : dari hal yang kurang penting menuju pada esensi-esensi utama. Pertanyaannya : mana yang lebih menarik dari sisi kajian naratif ?

Mengacu pada pemikiran Espen Ytreberg (2001) seorang teoretis pemberitaan yang mencoba membandingkan antara prinsip piramida terbalik dengan penggunaan struktur naratif dalam berita televisi, Dunn percaya bahwa prinsip naratif akan memberikan nuansa tersendiri saat diterapkan dalam sebuah pemberitaan televisi. Naratif akan lebih menarik dengan piramida tegak ! Penelitian Ytreberg menunjukkan perbedaan yang terlihat dalam teknologi dan format pemberitaan NRK TV News (Norwegia) pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Para reporter masa-masa sekarang (setelah 1990-an), menurutnya lebih banyak menggunakan bahasa gambar dibanding menggunakan kata-kata dalam melaporkan kejadian pada setiap voice over mereka. Untuk menganalisis hal tersebut, Ytreberg membagi prinsip kerja reporter tadi dalam dua terminologi besar yakni ‘information tradition’ dan ‘communication tradition’ (2001:362-3).

Perspektif information tradition melihat bahwa wartawan cuma sekadar memberitakan kejadian berdasakan prinsip-prinsip inverted pyramid tadi. Melaporkan peristiwa, menyebutkan jumlah korban atau pahlawan, mewawancarai orang-orang, dan hal-hal lain untuk sekadar menjawab 5 W + 1 H. Dalam perspektif communication tradition seorang jurnalis memiliki kepekaan atas prinsip kemenarikan (engage) dan kemudahan (easy) dalam menyusun laporan. Apabila yang pertama berstruktur kaku dan tegas dalam merangkai peristiwa, maka yang kedua berstruktur lentur dengan sudut pandang beragam dan gaya penyampaian yang mudah dicerna. Unsur kedua sangat memanjakan audiens. Untuk menegaskan model terakhir ini, Dunn menyitir pemuka eksekutif NBC, Reuven Frank, “every news story should, without any sacrifice of probity or responsibility, display the attributes of fiction, of drama. It should have structure and conflict, problem and denouement, rising action and falling action, a beginning, a middle and an end. These are not only the esentials of drama; they are essentials of narrative”.

Untuk mengganti istilah soft news yang terkesan sangat beroposisi biner dengan hard news, Dunn mengusulkan terminologi other news. Kesimpulannya, hard news sebagai upaya menghadirkan berita yang memiliki news value memiliki struktur yang penyajiannya tidak terlalu sensitif pada kepentingan dan kenyamanan audiens, sementara other news (soft news) memiliki kelenturan untuk menomorsatukan perasaan audiens saat menonton dan menyimak berita televisi.

Apabila menyimak pembacaan Anne Dunn tentang esensi naratif pada berita televisi tadi, nampaknya kreator acara di Indonesia cukup cepat menangkap fenomena. Sebagai audiens, kita dimanjakan oleh berita-berita yang sudah diolah sedemikian rupa dengan struktur naratif dan pembingkaian menarik. Sisi human interest yang selalu dimunculkan tim kreatif dan tim produksi membuat kita melihat bencana gempa, tsunami, banjir, dengan sisi naratif dan terkadang cukup menarik. Saking menariknya, kita sudah dijejali oleh cerita kesedihan dengan angle beragam. Termasuk kesedihan si Luna Maya karena ulah tak sengaja para wartawan. Juga kesedihan si Olga yang telah kehilangan ibunya dengan setting cerita rumah baru (gak nyambung banget !).

Semuanya menghadirkan narasi tertentu sesuai dengan kepentingan masing-masing. Bisa jadi dia sponsor utama program (minum-minum suplemen mereka tertentu dalam Take Him Out), bisa jadi kepentingan promosi sosok penyanyi (penderitaan duda ditinggal istri gaya Anang Krisdayanti), atau pencitraan menjadi sosok malaikat baik hati sok berempati (air mata kesedihan dengan slow motion dalam ‘Andai Aku Menjadi’). Apapun bentuk dan format acaranya, dia harus disampaikan dalam bentuk naratif. Penonton senang karena diberi alur dengan gampang, sekaligus tak perlu berpikir rumit sambil menikmati pop corn atau sepiring kacang. Terlepas dia melenakan atau mendidik, gaya naratif memang menarik. Tapi ... ehh .. ngomong-ngomong, mana kacang dan coklat tadi ? ahh ternyata sudah habis, jangan-jangan sambil bercerita tentang naratif, saya juga tengah menaratifkan diri ? entahlah ...


Tepi Kali, Februari 10