Kamis, 26 Februari 2009

Tangan Kuasa Media Massa : Heterogenitas yang Homogen


‘Media adalah entitas paling ampuh di jagat ini.
Media memiliki kekuatan menjadikan orang yang bersalah
sebagai yang tak berdosa, dan sebaliknya.
Disitulah letak kekuatannya,
karena media mengendalikan pikiran massa.’
(Malcolm X)


Malcolm X tidak pernah main-main dengan kalimat ‘pemujaan’ pada efek media massa. Media sudah dianggap sebuah entitas. Entitas atau entiti sebagai sebuah kata dasar bermakna benda atau apa saja yang mempunyai eksistensi atau being yang riil ; wujud atau keadaan suatu benda. Andaikan saja media massa dianalogikan sebagai benda, kita tak perlu terlalu repot dengan pengaruhnya. Paling-paling dia hanya menjadi pajangan semata (entah itu televisi, radio, komputer, surat kabar, dan sebagainya). Disinilah masalahnya ! Sejak Marshal McLuhan menyebutkan bahwa medium is message, terpatrilah pemahaman bahwa segala ideologi yang mendasari kehidupan kita hari ini ternyata dihembuskan melalui kekuatan propaganda budaya melalui media massa. Andai Gramsci masih hidup, jadilah dia sosok yang paling cocok mendapatkan jabatan paranormal. Mengapa ? karena ramalan hegemoni yang dicetuskannya satu abad sebelum sekarang, terbukti ampuh menerjang setiap sendi kehidupan. Uniknya, kita semua tertawa gembira tanpa pernah merasa dirugikan. Entitas yang dikatakan Malcolm X melekat pada fungsi dan kehidupan sebuah media, memaksa kita untuk segera menyadari bahwa ada invisible hand yang mengendalikan dan memproduksi budaya kita. Media massa adalah entitas hidup. Mewakili sebuah kata kerja berkonotasi negatif. Mulailah hidup dengan kehati-hatian saat ‘berjumpa’ dengan media massa. Ada satu kekuatan hegemoni yang bekerja di ruang ketidaksadaran namun memiliki efek luar bisa : mengendalikan pikiran massa. Terpujilah Hitler dengan segala kecerdikannya memutarbalikkan fakta dan kebenaran ! Jadi sangat wajar kalau Rogers menuliskan sosok ini sebagai peletak dasar kajian komunikasi (sekalipun buru-buru Rogers menyebutkan tak perlu berterima kasih kepadanya !). Mengapa media begitu perkasa ? kita akan mengungkap sosok peneliti yang mencoba mengingatkan kita kembali akan kekuatan media massa : Elizabeth Neolle-Newman. Sosok ini mempersembahkan model menarik tentang sebuah proses keterpengaruhan audiens atas media : spiral of silent (spiral kebisuan).

Tiga Fakta Kunci Spiral Kebisuan

Melalui tulisan singkatnya, Heath Brothers memberikan tiga poin kunci untuk menjelaskan teori spiral of silent. Pertama, ketakutan akan isolasi. Tidak ada orang yang suka ’diasingkan’. Manusia adalah makhluk sosial. Setiap saat tidak nyaman kala merasa sendirian. Kita butuh teman. Juga dalam hal kesamaan opini dan pandangan. Ketika pendapat atau keyakinan kita bertolak belakang dengan keyakinan sebagian besar orang, kita akan cenderung diam. Tak cukup punya keberanian untuk mengekspresikan. Inilah kekuatan utama tekanan dalam diri tiap orang : takut akan kesendirian. Kedua, tahu kapan waktu bicara dan kapan saat untuk diam. Dalam opini publik, kita memiliki keyakinan untuk berbicara saat kita sadar bahwa pendapat kita akan didukung oleh mayoritas orang-orang. Sosok yang populer cenderung mampu menciptakan opini tertentu sesuai dengan perspektif dan point of view –nya. Sementara apabila menyadari popularitasnya semakin menurun, maka kecendrungan diam (silent) semakin kuat. Ini bermakna kemampuan untuk menyadari konteks dan situasi tertentu akan menjadi dasar kita akan ’membuka mulut’ atau ’menutup mulut’.

Terakhir, peran maksimal media massa. Neolle-Newman percaya bahwa media massa akan mengakselerasi ’keterdiaman’ pendapat minoritas dalam spiral of silent. Media massa terbukti mampu memainkan peran dalam koridor agenda setting. Apa yang penting dan layak diletakkan di head line oleh media massa, itulah pula yang layak menjadi obrolan dan layak untuk kita pikirkan. Kita tidak punya kekuatan menciptkan agenda tandingan. Jadi kalau kita sudah melihat bahwa tema tertentu menjadi sorotan media massa, maka berikutnya kita akan lebih banyak ’diam’ dan mengikuti agenda publik tersebut. Diam dan untuk apa ’melawan’ ?

Tiga fakta kunci spiral of silent yang dibentangkan Brothers menunjukkan bahwa tema utama yang diusung teori ini adalah upaya meredam pendapat dan arus opini yang ’tidak sepaham’ dengan kita. Artinya upaya menciptakan kesatuan pendapat, gagasan, kepopuleran, dan lain sebagainya bisa dilakukan melalui sebuah proses rekayasa. Meng-otomatisasi-kan bekerjanya spiral of silent. Tools yang sangat dahsyat untuk mengusung arah penyatuan pendapat itu adalah media massa. Media massa memainkan peranan sentral membuat sesuatu nampak begitu penting, sementara melupakan sesuatu yang lain. Bahkan pada tataran yang sangat esensial, media massa memberitahu kita mana yang baik dan mana yang buruk. Mengapa bisa demikian ? media telah menjadi agama. Pola bekerjanya mengingatkan kita pada konsep hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci.

Media dan Hegemoni

Teori hegemoni Gramsci dibangun atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Bagi Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, namun lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Hegemoni sinomim dengan menguasai dengan ’kepemimpinan moral dan intelektual’ secara konsensual (Sugiono, 1999:31). Seseorang atau sekelompok orang yang kepada mereka telah menjalar kekuatan hegemoni tidak akan pernah merasa dirugikan dan dikuasai, melainkan dengan sangat nikmat menjalani hidup selaku pihak yang ’dikontrol’. Perjalanan panjang sejarah kerajaan-kerajaan nusantara selalu memposisikan rakyat yang manut saja dengan raja mereka. Mempersilahkan anak-anaknya untuk ’dipilih’ raja. Memberi upeti dengan sadar dan ketertundukan kepada raja. Meyakini sepenuh hati bahwa raja adalah utusan tuhan yang ’tak pernah salah’. Silahkan menonton film bagus Anna & The King untuk sekadar membuktikan hal ini. Tak ada perasaan teraniaya muncul dalam diri rakyatnya. Semua menerima. Bahkan dengan lega. Inilah kekuatan hegemoni seperti yang dikatakan Gramsci. Meskipun konsep hegemoni telah ada dan digunakan oleh kalangan Marxis, namun perbedaan utama konsep sebelumnya dengan Gramsci adalah pertama, ia menerakan konsep ini lebih luas lagi bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas yang lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemakaianan istilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramsci mengkarakterisasikan istilah ini dalam konteks ’ pengaruh kultural’, yang tidak hanya ’kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi’ seperti yang dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia dalam Sugiono,1999:32). Tekanan tujuan dari sebuah hegemoni adalah bagaimana agar kelompok berkuasa harus mampu membuat kelompok atau massa lain menerima prinsip-prinsip, ide-ide, dan norma atau nilainya sebagai milik mereka juga. Sekali ’pandangan dunia’ kelompok yang berkuasa sudah diterima dan diinternalisasi oleh massa atau kelompok lain, maka kelompok berkuasa itu berhasil memantapkan hegemoni, dan dengan sendirinya legitimasinya untuk memerintah terjamin sudah. Menang dengan cara soft. Tak ada pihak yang merasa dikalahkan.

Kembali pada kekuatan media massa, siapakah sekarang yang merasa mampu melawan kekuatan dan ideologi konsumerisme yang telah mendarah mendaging dalam masyarakat kita ? tidak ada hari tanpa televisi. Sejak kita bangun pagi, siang hari, dan menjelang tidur nanti, hidup kita dikepung oleh iklan dan pesan sponsor warna-warni di televisi. Semua memiliki kekuatan hegemoni luar biasa dan mekanisme pembujukan halus sehingga kita tetap tidak merasa ’ada yang salah’ dengan itu. Dalam Mythologies (1993), Roland Barthes membongkar habis segala sesuatu yang nampak biasa dimata dan kehidupan kita sehari-hari. Padahal menurut dia, semua itu mengandung mitologi-mitologi sebagai hasil konstruksi budaya yang sangat cermat. Tidak ada yang terjadi kebetulan. Semua memiliki arah dan tujuan. Barthes kemudian berjasa melahirkan disiplin ilmu ’penelanjangan’ bernama semiotika.


Sanggrahan, Februari 09


REFERENSI

Barthes, Roland, 1993. Mythologies, Vintage, London.

Sugino, Muhadi, 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Puzzolini, A., 2006. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci, Penerjemah Eko PD, Resist Book, Yogyakarta.

Kilminster, Richard, 1979. Praxis and Method : A Sociological dialogue With Lucacs, Gramsci and the Early Frankrut School, Routledge & Kegan Paul, London.

Rabu, 18 Februari 2009

Berbeda ... Untuk Selamanya ...

"Give me a dozen healthy infants, well-formed, and my own special world to bring them up in, and I'll guarantee to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select-doctor, lawyer, artist, merchant-chief, and yes, beggerman and thief."
(Watson, 1913)


Dalam kajian psikologi terdapat satu paham yang disebut Behaviorisme. Sebuah aliran yang melihat diri manusia sebagai makhluk yang terdikte oleh lingkungannya. Hipotesis utama paham ini adalah manusia tergantung habitat dan lokus dimana dia dibesarkan, hidup, dan berkembang. Bila dibesarkan di lingkungan pasantren, maka dia akan menjadi sosok dai’ dan tahu mendalam tentang agama. Bila dibesarkan di lingkungan preman dan gali, maka dia akan menjadi sosok yang memiliki kompetensi menjadi preman dan gali bersertifikasi (he ha he). Ada pepatah yang biasa dipakai untuk menggambarkan itu : masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang singa mengaum, masuk jadi anggota Dewan Legislatif (pasti) sok pintar (ups !). Kita mungkin dilahirkan dari ibu yang sama, namun tempat dan lingkungan dimana kita dibesarkan, akan membingkai kita menjadi sosok yang berbeda. Tak ada manusia yang persis sama. Entah rupa, entah wicara, entah gaya. Lingkungan pula yang membuat seseorang jadi tambah cerdas, atau bodoh memelas.

Berbicara tentang bagaimana pengaruh lingkungan, aku selalu teringat dengan teman. Teman SMU. Seorang teman yang menghadirkan cerita begitu membekas. Mungkin karena dia orang yang dahulu dekat denganku. Dahulu. Namanya Ina. Kami berbeda jurusan ketika itu. Dia masuk jurusan A2 yang dahulu disebut jurusan IPA. Jurusan ini mempelajari beragam ilmu yang identik dengan peringkasan dan efisiensi (setidaknya menurutku). Sementara aku sendiri memilih untuk masuk di jurusan IPS atau A3. Sebuah jurusan yang lebih banyak berkutat dengan ilmu-ilmu “tidak pasti” seperti sosiologi, antropologi, psikologi, atau ekonomi. Kebiasaan berargumen secara panjang lebar nampaknya memang menjadi tradisi pada jurusan ini. Kami terbiasa diminta mengarang panjang lebar. Mengutip sebanyak mungkin, dan itu berarti membaca sebanyak mungkin. Ina dan aku memang berbeda jurusan. Perbedaan jurusan itu ternyata berimplikasi begitu jauh dengan cara otak kami bekerja. Dia terbiasa dengan efisiensi pemikiran dan kehadiran hasil konkret di depan mata. Praktis. Tak berpanjang lebar. Sementara aku selalu berupaya mengabstrakan segala sesuatu. Suka berpanjang-panjang. Menarik hal yang konkret menjadi semacam pemikiran yang njelimet dan mengawang-awang (setidaknya menurut dia). Konsekuensinya aku terlihat bagaikan seorang politikus ulung dan licik bagi dia. Sementara dia bagiku seperti orang naif yang terlalu suka menyederhanakan persoalan dan tak pernah mau berpikir kompleks. Mungkin dia berpikir aku adalah orang yang terlalu pintar untuk ditipu dengan argumen dan jebakan-jebakan retoris dan sintaksis permainan kata-kata. Karena memang disitulah letak dan seninya berdebat. Bagaikan kaum sophis di zaman Yunani. Begitu juga aku dan kegemaran membaca hal-hal yang elaboratif dan menantang keberpanjangan nalar. Ina selalu tak menyukai pola itu. Sehingga keberbedaan itu kemudian menjadi berbuah tidak terlalu menyenangkan saat kami memutuskan untuk jalan bersama dalam korpus hubungan lebih daripada sekadar teman. Ya, kami memutuskan berpacaran. Tepatnya tahun 1992. Saat aku dan dia mulai menapaki kelas tiga SMA.

Begitu teman-teman mengetahui hubungan itu, mereka cuma berkomentar bahwa hubungan kami tidak akan tahan lama. Mengingat betapa kontrasnya kami. Tapi saat itu dalam hatiku cuma menggumam, “bukankah cinta itu bermaksud mencari beragam kesamaan, bukan justru mencari-cari perbedaan ?”, dengan prinsip itu aku jalani hari-hari SMU dengan dia. Sekalipun teman-teman SMU menyatakan begitu, toh ternyata hubungan kami terus berjalan hingga 5 tahun kemudian hingga kami menjadi mahasiswa. Meskipun dihiasi pertengkaran dan kecemburuan sepanjang kami sekolah di SMU, akhirnya Kami lulus dengan tetap berstatus sebagai pasangan pacar. Aku jadi juara umum sekabupaten. Dia jadi juara satu di jurusan IPA sekolahku. Hubungan tetap kami jalani. Kami bersama-sama berangkat ke Yogyakarta (tempat aku bagaikan terpaku bumi untuk hidup dan mati di kota itu). Lagi-lagi kami berbeda dalam perjalanan takdir. Aku langsung masuk ke universitas pilihanku dan benar-benar mengambil disiplin keilmuan yang menurutku sesuai dengan talenta dan kegemaranku. Berbicara. Ya ... aku benar-benar mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UGM. Sebuah jurusan tempat orang digodok menjadi politikus ulung sekaliber Amien Rais, Riswanda Imawan, Affan Gaffar, Ichalasul Amal, dan Yahya Muhaimin. Sementara Ina gagal menembus fakultas kedokteran UGM impiannya. Dia harus menunggu satu tahun kemudian untuk bisa masuk ke disiplin keilmuan itu. Bukan UGM, tapi ke Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di Semarang.

Keberpisahan tempat kuliah inilah akar utama kami menjadi renggang. Disamping memang aku bukanlah tipikal laki-laki setia bila orang yang kusayangi tak ada di depan mata (ah terlalu puitis nampaknya). Di bulan-bulan awal aku membiasakan relasi ini dengan mengunjunginya rata-rata tiga bulan satu kali ke Semarang. Namun lama-lama berganti menjadi enam bulan sekali. Lalu bahkan satu tahun sekali. Akhirnya kami betul-betul merasa betapa artifisialnya hubungan kami. Hingga akhirnya aku kehilangan dia. Seiring dengan hilangnya ibuku, dan dua kali ketertolakan judul skripsiku. Dia benar-benar meninggalkanku. Tuduhannya adalah tuduhan klise seorang wanita. Aku dianggap berselingkuh. Jujur aku melakukan itu. Bahkan setiap hari dalam otak dan pikiranku, melalui mataku. Pada saat ini barulah aku menyadari betapa hebatnya temuan empirisme David Hume saat mengintrodusir kesaktian panca indera saat kita mencandra dunia. Bila melihat wanita cantik, aku berselingkuh dalam pikiranku. Melihat film porno, maka aku berselingkuh dalam kegarangan nafsu di kepalaku. Apakah benar-benar ada lelaki yang tidak memiliki selintas pikiran ganjil saat menyaksikan wanita seksi di depan mata, melihat tabloid kuning dijejer di jalan raya ? tapi aku jujur mengakui bahwa itulah aku. Baginya percumalah alasan itu. Dia tetap meninggalkanku. Baginya segala sesuatu dibuat praktis aja. Selingkuh adalah selingkuh. Apapun wujud dan manifestasinya. Titik, tanpa tanda koma. Lagi-lagi aku menyadari pada saat ini, bahwa orientasi dan cara bekerjanya otak kami memang berbeda. Kami memang terlalu jauh untuk disatukan. Terlalu berbeda untuk disama-samakan. Setelah putusnya hubungan, aku benar-benar “mati” di matanya. Aku tidak ada. Akupun pada akhirnya memutuskan untuk mengambil prinsip Rene Descartes, “dia kuanggap tak ada saat aku tak mau memikirkan dirinya”. Dengan itulah aku bertahan hidup dan berjuang sendirian hingga empat belas tahun kemudian.

Hampir tak pernah terpikir dan terbayang olehku bahwa lima belas tahun pasca putus tuntasnya hubungan kami ternyata aku kembali berinteraksi dengan dia melalui telepon dan ketemu sekali dua. Dia sudah jadi dokter (itu memang impiannya), aku sudah jadi guru (inilah impianku, berbagi ilmu). Aku mengajar di almamaterku UGM. Menekuni sosiologi media dan filsafat ilmu, dia membaktikan dirinya di rumah sakit kabupatenku, Sukamara. Kami berinteraksi hingga hari ini dalam relasi yang lebih banyak bersifat artifisial antara dua orang anak manusia dewasa dengan pikiran dan otak yang nampaknya tak terlalu berubah dari lima belas tahun yang lalu. Dia tetap praktis dan materialis, sementara aku semakin konseptualis dan abstraktif. Setiap kali kami berbicara tentang masalah apapun, yang selalu muncul adalah perdebatan dan adu urat saraf. Dia bilang aku semakin menjadi filosof. Sementara aku nilai dia menjadi semakin mekanis, teknokrat. Sampai waktu kemarin, dia ingin sharing tentang filsafat kehidupan. Alasan dia sangat praktis (lagi-lagi !). dia harus lulus mata kuliah filsafat karena tengah menyelesaikan program spesialis kesehatan anak di Undip. Bagiku itulah kenaifan yang tetap melekat dalam dirinya. Naifnya dia melihat dunia, naifnya dia memilih suaminya, naifnya dia ketika harus belajar sesuatu yang esensial dengan niat yang artifisial. Aku dan dia memang berbeda. Bahkan mungkin untuk selamanya ! Ternyata jalan kami sangat Behavioris ....


Lembayung Damai, Februari 09

Kamis, 12 Februari 2009

Apakah Kita Perlu Machiavelli Saat ini ?

Without pain, no reform...
Without reform, no progress.”
(Junichiro Koizumi, Mantan Perdana Menteri Jepang)

Niccolo Machiavelli (1469-1527) tidak memiliki sensitifitas hukum dalam menulis karya besar II Principle-nya. Baginya sebuah praktek hukum haruslah dilandasi oleh kesadaran seluruh warga negara. Hukum tak bisa diterapkan karena keterpaksaan tiap objek hukum. Itu berarti ketakutan di bawah hukum. Sebaliknya yang harus muncul dari sebuah negara hukum adalah kesadaran setiap warga negara dalam menerapkan hukum tersebut. Inilah prinsip spontan dalam hukum. Spontanitas dalam hukum ini tak mungkin tercipta ditengah-tengah kuatnya korupsi. Ditengah banyaknya pejabat publik yang lebih banyak mempermainkan aturan negara untuk memperkaya diri dan mengutamakan kepentingan personal mereka. Negara bisa ambruk. Sementara pejabat-pejabat publik terus diuntungkan dengan posisi mereka. Disinilah segala nasehat dalam “The Prince” menemukan relevansi untuk diterapkan. Sebuah nasehat yang memperbolehkan sang penguasa entah itu presiden, raja, gubernur, atau siapa saja yang berposisi sebagai pemimpin untuk mengambil jalan pintas mengamankan negara berikut meraih kewibawaannya. Bagaimana nasehat itu harus “dibahasakan” dalam kondisi Indonesia saat ini ?

Hukum Terbeli, Perlu Tangan Besi
Pada dasarnya Machiavelli percaya bahwa tertib hukum bisa diciptakan dengan dua jalan. Pertama, penggunaan hukum secara ketat. Outputnya adalah kuatnya hukum sehingga menumbuhkan kesadaran dalam hati warga masyarakat untuk terus taat dan patuh pada hukum. Namun dalam sistem politis praktis yang selalu meniscayakan benturan kepentingan, terdapat instink kuat penunggangan hukum demi kepentingan pribadi dan golongan. Dalam lokus itulah terjadi penyelewengan hukum ditangan orang yang seharusnya”menjaga” hukum. Dalam kondisi demikian, muncul banyak pejabat yang menggunakan kuasa mempermainkan hukum. Menggunakan hukum baik secara halus dan kasar untuk mendukung dan berpihak pada kepentingannya. Saat itulah tertib hukum harus ditegakkan dengan jalan kedua, kekuasaan dan tangan besi.

Pada taraf tidak adanya kesadaran pada diri masyarakat dan para pejabat itu, mutlak dibutuhkan seorang pemimpin bertangan besi mengendalikan negara. Ini pilihan buruk diantara yang terburuk. Dalam masa renaisans saat Machiavelli menulis, banyaknya orang kaya yang hidup bermalas-malas dari hasil miliknya yang berlimpah-limpah sehingga tidak ia perlukan sedikitpun usaha untuk mendapat nafkahnya, menurut Machiavelli akan merusak negara tempat mereka berdiam. Akan lebih rusak lagi negara, apabila orang-orang sedemikian itu mempunyai kekuasaan atas golongan-golongan lain yang bergantung pada mereka. Negara yang penuh dengan orang-orang seperti itu, kata Machiavelli, hanya dapat ditolong dari kehancurannya oleh tangan yang kuat. Membiarkan hukum berjalan berdasar spontanitas tadi, dalam keadaan demikian hanya akan membuat negara menuju kehancurannya.

Apa yang kita jumpai saat ini di Indonesia ? ada buku yang ditulis A. Yogaswara (2008) tentang 100 pejabat publik yang terkaya di Indonesia. Pada masa Orde Baru biasanya pengusaha selalu berada di belakang panggung politik. Mereka biasa dijadikan mesin uang bagi para penguasa dengan beragam cara. Terdapat dua tubuh dengan dua kepentingan yang berbeda. Akhirnya memunculkan simbiosis mutualisme. Penguasa diuntungkan secara ekonomis, sementara pengusaha diuntungkan secara politis. Klop sudah. Namun dalam masa reformasi, dua posisi ini menyatu dalam satu sosok saja. Artinya 100 orang yang didaftar oleh Yogaswara tadi merupakan sosok yang memiliki kekuasaan pembentukan aturan publik, sekaligus juga dikenai oleh aturan publik itu dalam ranah ekonomis. Apabila dua posisi itu dilakoni oleh dua orang yang berbeda, tentu akan tercipta sistem dialektika. Ada kontrol dan ricek. Namun apa yang terjadi kemudian apabila dua posisi itu dijabat oleh satu orang, dijabat oleh satu manusia. Dia begitu kaya raya, sekaligus juga berkuasa. Mungkin inilah yang dikhawatirkan oleh Machiavelli enam abad silam.

Apakah SBY “Harus Bisa” ?
Dalam bukunya tentang gaya kepemimpinan SBY (Harus Bisa, 2008), Dino Patti Djalal menegaskan bahwa prinsip yang dia tangkap dari kepemimpinan SBY adalah bahwa politik itu identik dengan kebaikan, bukan kekuasaan. Penguasa yang mengagungkan kekuasaan tanpa moralitas dan etika akan mencelakakan diri sendiri dan rakyat. Tentu saja SBY sebagai presiden bukanlah Machiavelian. Prinsip yang diterapkannya dalam memimpin selama ini begitu jauh dari aura Machiavelli. Namun dalam beberapa tahun terakhir SBY mengalami cobaan berat terkait dengan begitu dekatnya penyatuan dua sosok para pembantunya (menteri) dalam kategori pejabat negara sekaligus penguasa.

Kita bisa menyebut beberapa contoh seperti yang dituliskan Yogaswara. Dititik tertinggi adalah Ir. H. Aburizal Bakrie sang Mengko Kesra. Dia ditaksir memiliki kekayaan 5,4 miliar dollar AS (versi Forbes) dan 1,05 miliar dollar AS (Versi Globe Asia). Menteri ini persis seperti yang dikatakan Machievelli, dia kaya karena memang keturunan kaya. Sejarah panjang kakek buyutnya sebagai pengusaha melahirkan mental bisnis luar biasa. Gen pengusaha ini tertular dengan sendirinya. Memang cocok dipasang sebagai menko kesra dalam arti kata simbolik dan image bahwa menteri kita adalah sosok yang memang betul-betul sejahtera. Namun sangat tidak cocok dalam arti kata empati dan tepa selera terhadap rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah miskin sedetikpun dalam hidupnya bisa “merasakan” sengsaranya menjadi rakyat miskin ? Andaikan SBY memahami betapa beratnya rakyat menanggung beban kemiskinan, tentu sulit untuk menoleransi seorang menteri yang hidup penuh kecukupan dan kememawahan. Apabila gaya toleransi yang diutamakan dalam kepemimpinan, maka sosok-sosok seperti itu akan terus tampil dalam parlemen dan kementrian. Celakanya, sulit untuk mencari orang yang kaya sekaligus memiliki sensitifitas kemiskinan tingkat tinggi sejajar Budha Sidharta Gautama, atau mungkin turun sedikit ke Anand Khrisna ? ahh saya terlalu asyik dengan khayal dan menduga-duga. Termasuk menduga SBY akan menerapkan aturan tanpa aturan ala Machiavelli .... ahh ...


Referensi :
Machiavelli, Niccolo, (2008). The Prince : Sang Penguasa, Penerjemah Natalia Trijaji, Surabaya : Selasar Surabaya Publishing.

Noer, Deliar, (2000). Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung : Penerbit Mizan.

Kamis, 05 Februari 2009

Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam Komunikasi : Catatan Pengingat

Mungkin banyak mahasiswa komunikasi di Indonesia yang tidak kenal dengan sosok George Harbert Mead, Robert E. Park, apalagi Charles Horton Coley. Nama Wilbur Schramm dan Harold D. Lasswell pasti lebih banyak dihapal di luar kepala, berikut pemikiran mereka ketimbang tiga orang itu. Schramm bagai ‘nabi’ di kajian komunikasi, sementara Lasswell bagai ‘rasul’ dengan rumus yang dipakai hampir seluruh ilmu tentang pesan di dunia ini. Terkenalnya dua sosok terakhir dalam kajian komunikasi tidak lepas dari pandangan kita bahwa komunikasi lebih banyak berbicara pada efek pesan. Paham behavioris yang terterap sempurna dalam industri iklan dan propaganda telah memacu akselerasi kajian komunikasi melebihi apa yang diimpikan Schramm. Seiring dengan kuatnya paham tentang ‘efek’ ini kita semakin melupakan esensi proses komunikasi lainnya yang justru sangat fundamental yakni kesamaan makna pesan. Ini sejajar dengan pemikiran John Fiske (2004) sudah mengingatkan ada sisi lain yang harus dipelajari saat melihat proses komunikasi antarmanusia : mazhab semiotika. Kita akan mulai dengan sebuah aliran terkenal di Amerika sekitar tahun 1930-an. Aliran ini kita kenal dengan Mazhab Chicago. Tokoh-tokoh dan silsilah aliran ini bisa dicermati pada gambar berikut. Dari gambar inilah saya akan memaparkan kontribusi tiga tokoh utamanya atas studi komunikasi. Kita mulai dengan George Harbert Mead.


George Harbert Mead (GHM) lahir di Hadley, sebuah kota kecil di Massachusetts. Ayahnya seorang menteri. Belakangan ayahnya menjadi profesor di Oberlin College, di Ohio tempat Mead belajar untuk memperoleh gelar sarjana. Mead belajar satu tahun di Harvard dengan William James tentang pragmatisme, lalu belajar dengan Wilhelm Wundt tentang teori Gesture. Menurut Mead, tindakan merupakan unit dasar dari ilmu sosial karena signifikansi simboliknya. Tindakan bersifat sosial karena diinterpretasikan oleh individu lain. Selain di Harvard, Mead juga belajar di Universitas Berlin, berbarengan dengan Georg Simmel, namun tidak menyelesaikannya hingga gelar doktor.

Setelah mengajar di Ann Arbor selama tujuh tahun, Mead pindah ke Universitas Michigan selama 37 tahun hingga meninggal tahun 1931. Asal tahu saja bahwa hubungan Mead dan John Dewey, sang pakar pragmatisme Amerika itu, sangat akrab. Dari Dewey lah dia banyak menyerap prinsip-prinsip bergunanya pesan kita dimaknai sama oleh orang yang kita ajak berinteraksi dan berbicara. Kenapa demikian ? karena secara teknis dunia pendidikan yang menjadi fokus Dewey menuntut kemampuan untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada murid—muridnya melalui proses komunikasi yang sama makna. Kalau itu tidak terjadi, maka sia-sialah seluruh aktivitas pendidikan. Prinsip ini ternyata teraplikasi tidak hanya di dunia pendidikan, melainkan kesegala sisi kehidupan.

GHM memiliki pemikiran yang asli dan menjadi penyumbang penting bagi ilmu sosial melalui perspektif teori yang kemudian dikenal sebagai interaksi simbolik. Pandangan psikologi sosialnya dipengaruhi Charles Sanders Peirce, William James, Josiah Royce, James Mark Baldwin, John Dewey, Charles Horton Cooley, Wilhelm Wundt, dan Chauncey Wright. Formulasi dan kumpulan pengaruh orang-orang ini pada tahap selanjutnya membawa arti penting bagi GHM untuk melihat makna komunikasi. Baginya arti penting kajian komunikasi kontemporer adalah melalui interaksi simbolik yang menempatkan komunikasi pada jantung penjelasan sosiologi. Interaksi simbolik lebih merupakan sebuah perspektif yang luas daripada sebuah teori yang spesifik. Dalam interaksi simbolik dinyatakan bahwa komunikasi manusia berlangsung melalui pertukaran simbol dan pemaknaan atas mereka.

Konsep Mead dan Dewey tentang reflex diturunkan secara langsung dari pemikiran Wilhelm Wundt tentang gesture. Sebagaimana sarjana Chicago lainnya, seperti Cooley, Mead juga menempatkan arti penting komunikasi dalam konsep tentang perilaku manusia. Bertumpu pada pemikiran Simmel, bersama Cooley dan Dewey, Mead mengembangkan interaksi simbolik dengan keyakinan bahwa persoalan pokok dalam sosiologi adalah masalah sosialisasi. Mereka semua berlatar belakang perang Sipil di Amerika. Hidup antara 1859 – 1864. Setting Protestan dan prinsip moralis membuat mereka sangat optimis bahwa perkembangan sosial menjadi determinan dalam rangka membangun demokrasi Amerika dengan membangun masyarakat perkotaan. Mereka semua merupakan koneksi Universitas Michigan dan Universitas Chicago. John Dewey mengajar Cooley dan Park di Michigan. Cooley mempengaruhi Mead tentang konsep diri (self). Dewey membawa Mead dari Michigan ke Chicago dan di sana mereka bersahabat sambil bersama-sama mengajar. Meskipun ke-empat tokoh ini disatukan oleh jaringan pribadi dan pengaruh intelektual, tetapi masing-masing memberi sumbangan intelektual yang berbeda.

Cooley dan Mead merupakan penemu psikologi sosial interaksionis yang belakangan dikenal sebagai Symbolic Interaction. Mereka menentang pandangan bahwa insting sebagai dasar kepribadian manusia dan melihat komunikasi antarpersonal sebagai inti pembentukan kepribadian. Subjektivitas sebagai konsep yang sangat mereka tekankan dalam melihat komunikasi manusia. Di dalamnya terdapat proses penerimaan pesan yang membuat manusia aktif untuk menginterpretasikan pesan itu sesuai dengan pengalamannya. Dalam perkembangannya, model komunikasi seperti ini mendapat tantangan dari model matematis dari “empu” Shannon, yang model komunikasi matematisnya dikenal hampir seluruh mahasiswa komunikasi di bumi ini.

Sebuah karya penting dari Mead yang tetap “menggigit” hingga hari ini adalah buku Mind, Self, and Society yang sesungguhnya adalah kumpulan materi kuliah hari demi hari Mead selama mengajar Psikologi Sosial di Departemen Filsafat. Adalah Charles W. Morris yang secara kreatif melakukan kerja besar itu berdasarkan catatan perkuliahan selama tahun 1927. Pemikiran utama Mead adalah bahwa kepribadian individu dibentuk melalui komunikasi dengan orang lain dan citra diri dibangun melalui sarana interaksi dengan orang lain. GHM, Dewey dan beberapa sarjana lain di Chicago mempertanyakan teori Stimulus-Respons yang dinilai terlalu menyederhanakan realitas. Harold D. Lasswell ketika mengaji simbol yang digunakan dalam propaganda PD I mengaku mendapatkan pengaruh dari Mead, sekalipun tidak secara langsung kuliah dari beliau. Ini termasuk hal menarik. Bukankah prinsip propaganda yang dipelajari dan dikaji Lasswell sesungguhnya bekerja dengan basis model matematis stimulus respon si “embah” Shannon ? namun mengapa doi mengaku mendapat pengaruh dari Mead ? nanti kita cari jawabannya saat membicarakan ahli politik berkepala botak itu !

Terkait dengan dinamika surat kabar saat itu yang mereka membahasakannya sebagai praktek jurnalistik, GHM membatasi dua model jurnalisme, yaitu model informasi dan model cerita. Doi juga menyatakan bahwa reporter umumnya dikirimkan untuk memperoleh cerita dan bukan fakta. Meskipun sumbangannya besar terhadap komunikasi, GHM lebih sering dikategorikan sebagai sosiolog – seperti Cooley – karena melalui karya besarnya tadi dia telah mencoba menjelaskan proses sosialisasi dengan pendekatan antropologi. Ini jadi faktor mendasar para dosen ilmu komunikasi di Indonesia (yang terlalu memuja komunikasi sebagai disiplin kuat itu !) tidak terlalu sering menyebut nama mbah Mead setiap memberi kuliah. Kalau ini yang terjadi, maka hifotesis kita di awal tulisan, bahwa sangat jarang mahasiswa komunikasi mendengar (apalagi mempelajari pemikiran) nama GHM telah terbukti dengan sendirinya. Nah sekarang tiba saatnya kita mengetahui seorang sarjana yang banyak disebut sebagai teoritikus komunikasi pertama di dunia : Robert E. Park.

Esensi Jurnalistik Ala Robert E. Park

Kelompok Chicago seperti yang kita ketahui sangat terpengaruh oleh filsafat pragmatisme dari William James dan John Dewey. Sebagai sebuah aliran praktis, mereka selalu mencari apa yang bisa diterapkan langsung kepada masyarakat. Bila GHM mencari makna atas berbagai simbol yang terjadi saat manusia berinteraksi, dan menemukan bahwa itulah esensi hidup manusia, maka Robert E Park melihat bahwa dalam konteks itu surat kabar memainkan peranan penting membentuk “gambaran” manusia atas dunianya.

Lahir menjelang berakhirnya perang Sipil di Amerika, Park memilih memulai karirnya dalam bidang sosiologi selama PD I. Alasan mengapa dia baru memilih karir di bidang sosiologi tahun 1913 di Universtias Chicago dalam usia 50 tahun karena Park baru mendapat gelar doktor dalam usia 39 tahun. Dia mulai mengajar diusia 50 tahun, dan mendapat prestasi pada usia 59 tahun. Setelah mengajar satu dekade barulah Park terpilih menjadi Presiden Sosiologi di kalangan Masyarakat Sosiologi Amerika. Berasal dari daerah pedesaan dan beragama Protestan, dan terlahir di daerah pertanian di Pennsylvania, membuat Park terkenal sebagai anak yang aktif dan tidak bisa disebut sebagai kutu buku. Meskipun memang masuk dunia akademis begitu terlambat, namun bukan berarti sumbangan akademis dia tak memberi pengaruh. Harus disadari bahwa orang Amerika pertama yang memberikan perhatian atas pengaruh surat kabar dalam membentuk opini publik adalah Park ini. Dia dilukiskan sebagai figur tunggal yang paling berpengaruh di kalangan masyarakat sosiologi Amerika. Empat topik kajian yang paling penting dari dirinya adalah komunikasi massa, hubungan antar-ras, ekologi manusia, dan perilaku kolektif.

Ketertarikan Park terhadap studi komunikasi, khususnya terhadap pemberitaan media untuk membentuk opini menjadi penanda betapa seriusnya dia menelaah korelasi opini masyarakat sebagai khalayak pembaca dengan media massa. Perlu diketahui bahwa ketika Park bermaksud mencari sekolah tempat dimana ia bisa belajar tentang media, saat itu di Amerika belum ada fakultas yang menawarkan jurusan itu. Akhirnya ia masuk ke filsafat yang mengajarkan tentang psikologi sosial. Dalam konteks hubungan sosial antara media dan opini masyarakat inilah kemudian Park mendapatkan inspirasi untuk menyusun disertasi doktoralnya. Ceritanya begini. Setelah asyik bekerja di dunia jurnalis penerbitan Thought News, ia memutuskan untuk kembali ke dunia akademis. Ini terjadi di tahun 1898. Park kuliah tujuh tahun di Ann Arbor, Harvard, dan Jerman. Perjalanan perkuliahan itu tetap tidak mengubah niatnya untuk terus fokus pada permasalahan surat kabar. Namun dari semua tempat kuliah yang telah dia masuki, tidak ada satupun yang memfokuskan diri pada studi media massa (surat kabar). Berhubung kuatnya spirit Park untuk belajar tentang sebuah obyek studi yang puluhan tahun telah dipraktekkannya itu, maka dia mencari fakultas yang kira-kira memberikan pelajaran yang bersinggungan dengan obyek studinya. Yang tersedia Cuma filsafat yang mempelajari interaksi antar manusia dibawah kajian Psikologi Sosial. “Tak apalah,” mungkin begitu pikir Park “tak ada rotan, akar-pun jadi,”. Akhirnya dia masuk ke jurusan Filsafat, belajar tentang interaksi manusia, lalu mengembangkannya dalam dunia persurat kabaran. Itu semua terjadi pada usia 34 tahun hingga dia meraih master filsafat, lalu ke Harvard setahun berikutnya. Pada saat kuliah di Harvard inilah Park menimba ilmu pada William James, Josiah Royce, dan George Santayana. Pengaruh behavioris dalam melihat studi perubahan opini karena berita berasal dari Hugo Munsterberg, yang merupakan murid cerdas dari Wilhelm Wund, bapak behaviorisme.

Dengan empat topik kajian penting tekait dengan relasi manusia itu Park menyebutkan bahwa komunikasi sebagai sebuah proses psikologi sosial yang di dalamnya seseorang dimungkinkan untuk mengasumsikan sejumlah pemikiran, sikap, dan pandangan pihak lain. Komunikasi juga merupakan sebuah proses yang di dalamnya hal-hal yang rasional dan moral di antara manusia dipertukarkan secara psikologis dan instingtif (Antoni, 2005). Minat utamanya yang mengarah pada perilaku kolektif, hubungan antar-ras, dan kehidupan perkotaan sebagai bentuk ekologi manusia, lahir dalam sebuah karya bersama Ernest Burgess dengan judul Introduction to the Science of Sociology. Buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang disarikan dari tulisan-tulisan hampir setiap pemikiran sosiologis yang ada pada waktu itu. Kalau anda sudah membaca karya besar George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2005), maka kurang lebih seperti itulah apa yang telah dilakukan Park & Burgess.

Dunia akademis begitu menarik dan tak pernah “kering” bagi Park, sehingga dia terus menerus merasa gagal sekalipun sudah berupaya masuk dan mendalami dunia ini. Penyebabnya adalah dia merasa terlalu tua untuk menjadi seorang dosen dan peneliti. Bahasa gaul saat ini adalah “kemarin kemane coy ?” hal ini sangat wajar karena dia baru mengajar dalam usia 35 tahun. Sebagian besar hidupnya dihabiskan sebagai pekerja jurnalis yang nuansa praksisnya sangat menonjol. Inilah yang menjadikan Park punya kalimat sakti setiap kali membimbing mahasiswanya “go get the seat of your pants dirty in real research !” dia lebih suka mahasiswanya terjun ke lapangan dan melakukan penelitian, ketimbang hanya duduk dan asyik termanggut-manggut memikirkan dan menghapal teori-teori. Dalam melakukan penelitian, data begitu penting bagi Park. Karena itu dia selalu mendorong mahasiswanya untuk turun ke lapangan dan mengumpulkan data. Itulah uniknya Park. Sosok yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan akademis, lalu mempersembahkan hasilnya untuk kepentingan praksis. Sekarang giliran sosok yang menjadi sahabat dekat George Harbert Mead di Chicago dan berhasil membangun aliran interaksionisme simbolik menjadi besar dan disegani. Sosok Charles Horton Cooley.

Cermin Imajinasi dari Charles Horton Cooley

Pendekatan Cooley bersifat organis, tetapi pusat perhatiannya adalah saling ketergantungan individu yang bersifat organis melalui proses komunikasi sebagai dasar keteraturan sosial. Gambaran Cooley tentang kenyataan sosial sangat bersifat idealis, mungkin penyebabnya adalah warisan New England yang menjadi dasar pemikirannya. Dia mendapat banyak inspirasi dari idealisme Ralp Waldo Emerson yang bersifat transendental.

Melalui karyanya yang terkenal Human Nature and the Social Order, Cooley mempersembahkan hasil pemikiran briliannya pada dunia. Buku itu berisikan pendekatan teoritisnya yang mendasar. Cooley mengemukakan bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis, tidak dapat dimengerti tanpa yang lain. Suatu gaya hidup atau pola-pola perilaku seseorang tidak merupakan hasil dari insting-insting atau karakteristik biologis yang ditransmisikan lewat keturunan, sebaliknya susunan biologis manusia mudah dibentuk (plastic) dan tidak terbatas, dapat dikembangkan dengan pelbagai cara. Warisan biologis manusia mungkin mencakup sifat-sifat fisik tertentu (ras, bentuk, dan lain-lain) dan sejumlah respon dasar tertentu yang tidak dipelajari (bernafas, menetek, dan lain-lain), tetapi perkembangan individu sebagai seorang manusia dengan suatu kepribadian tersendiri berbentuk perilaku tertentu, merupakan hasil dari pengaruh warisan sosial yang ditransmisikan melalui komunikasi manusia. Intinya seperti yang dituliskan Johnson (1990) Cooley menghadapi dilema antara warisan biologis versus lingkungan sosial dengan berpegang pada saling ketergantungan dinamis antara kedua tingkatan itu, namun tujuan utamanya adalah untuk memperlihatkan bagaimana manusia dibentuk dalam konteks keteraturan sosial yang terus berjalan. Tekanannya pada saling ketergantungan antara individu dan masyarakat dapat dibandingkan dengan perspektif GHM yang telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini.

Saling ketergantungan organis antara individu dan masyarakat diungkapkan dalam analisa Cooley mengenai perkembangan konsep-diri (‘I’ seseorang). Meskipun Cooley merasakan bahwa manusia lahir dengan perasaan diri (self-feeling) yang tidak jelas dan belum terbentuk, ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perasaan diri ini merupakan hasil dari proses komunikasi interpersonal dalam suatu lingkungan sosial. Perkembangannya seperti proses komunikasi itu sendiri, tergantung pada pemahaman simpatetis (sympathetic understanding) antara individu yang satu terhadap yang lainnya. Dengan imajinasinya mereka dapat masuk ke dalam dan ikut mengambil bagian dalam perasaan dan ide orang lain. Yang penting khususnya adalah bagaimana orang menangkap apa yang dipikirkan orang tentang dia. Hal ini berhubungan sangat erat dengan perasaan diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa dengan penampilan dan perilakunya, sebagian besar merupakan hasil dari apakah orang lain dilihat menyetujui atau menolak penampilan dan perilakunya itu.

Cooley menunjuk aspek konsep-diri ini dengan istilah looking-glass self. Setiap hubungan sosial dimana seseorang itu terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Karena banyak orang terlibat dalam keserbaragaman hubungan sosial, yang masing-masingnya memberikan suatu cerminan tertentu, orang dapat dibayangkan hidup dalam suatu dunia cermin, yang masing-masing memberikan perspektif atau seginya sendiri yang khusus. Beberapa cermin akan memberikan pantulan yang suram dan bias, seperti kalau orang merasa bahwa beberapa orang lain tidak benar-benar mengertinya. Sementara beberapa cermin lain memantulkan sebaliknya, penuh pengertian dan pemahaman. Asyik sekali menjadi tempat “curhat”. Intinya setiap individu tidak dapat luput dari definisi-definisi tentang identitas mereka ini yang mereka lihat tercermin dalam orang lain. Bagaimana Cooley menggambarkan Looking-glass self ? Doi bilang begini :

Each to each a looking-glass
Reflects the other that doth pass”
“Ketika kita melihat wajah, bentuk, dan pakaian kita di depan cermin, dan merasa tertarik karena semuanya itu milik kita ... begitu pula dalam imajinasi, kita menerima dalam pikiran orang lain suatu pikiran tentang penampilan, cara, tujuan, perbuatan, karakter, dan seterusnya, dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya. Suatu ide diri semacam ini nampaknya memiliki tiga elemen yang penting : imajinasi tentang penampilan kita kepada orang lain; imajinasi tentang penilaian mengenai penampilan itu, dan suatu jenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu.”
(Johnson, 1990 : 28).

Satu catatan dan konklusi menarik dari pemikiran Cooley adalah bahwa kiasan cermin itu tentu tidak mencukupi. Apa pasal ? asal kita sadari saja bahwa cermin tidak bisa disamakan dengan persepsi orang terhadap diri kita. Cermin tak bisa menolak atau memberikan persetujuan, kalaupun dia bisa ngomong, toh kita bisa mengabaikannya. Dia benda mati. Tak mungkin bisa mencibir dan menjauhi kita. Sebaliknya sosok lain dalam lingkungan sosial ? mereka menjadi cermin dalam kerangka imajinasi kita. Teman saya bisa menjauh dan tak mau berteman lagi dengan saya karena mempersepsi saya sebagai “biang kerok”. Mereka bisa mengambil sikap untuk menolak dan menerima kita setelah menilai diri kita. Inilah problem fundamental dalam kehidupan sosial, dimana kita bisa diterima atau ditolak oleh orang lain karena persepsi mereka atas diri kita. Ini ide besar yang juga dipaparkan Jacques Lacan yang disarikan oleh Jacques – Alain Miller (1988).

Makna Semiotika dari Interaksionisme Simbolik

Kembali ke Fiske, ketika memberikan pendapat tentang perspektif semiotika sebagai salah satu cara mendefinisikan komunikasi, maka ketiga tokoh interaksionisme simbolik di atas telah menjadi bukti berartinya meaning dalam proses penyampaian dan penerimaan pesan. Mereka adalah orang-orang yang pada tahun-tahun 1930-an memiliki pengaruh signifikan atas berkembangnya disiplin dan kajian komunikasi. Tentu saja semua itu jauh sebelum Schramm menulis Mass Communication (1950). Jadi sesungguhnya formula tentang betapa berartinya komunikasi sebagai determinan dalam proses interaksi sosial telah meliputi pemikiran ilmuwan sosiologi dan filsafat pada dua puluh tahun sebelum usul Schramm atas kajian ini mengemuka. Salah satu kelebihan Schramm dibanding para pendukung mazhab Interaksionisme Simbolik adalah prinsip keter-ukuran, dan sisi menarik bekerja nyatanya media massa (ini sejajar dengan prinsip positivisme yang sangat behavioris di Amerika). Sejalan dengan itu, kebanyakan studi komunikasi di Indonesia lebih setuju dengan spesifikasi media massa sebagai subyek kajian disiplin yang spesifik. Paham ini muncul dengan kuat dalam tulisan McQuail dan Windahl (1993) yang lebih banyak memilih model-model komunikasi sebagai upaya eksplanasi atas bekerjanya media massa. Kalau tak percaya silahkan hitung berapa banyak perspektif interaksionisme simbolik muncul dalam 17 definisi komunikasi yang ditabulasikan Miller (2002) dan bandingkan dengan yang berperspektif proses. Anda akan tahu sendiri jawabannya. Jadi kalau demikian faktanya, wajar khan kalau mahasiswa komunikasi di negeri ini nyaris tidak mau terlalu ambil pusing dengan perspektif Interaksionisme Simbolik ?
Saudara punya pendapat lain ?


Referensi

Alain, Miller Jacques, (Ed). (1997). The Seminar of Jacques Lacan : Book I Freund’s Papers on Technique 1953-1954, Cambridge University Press, New York.

Fiske, John, (2004). Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Penerjemah Yosal Iriantara & Idi Subandy Ibrahim, Jalasutra, Yogyakarta.

Johnson, Doyle Paul., (1990). Teori Sosiologi : Klasik dan Modern, Jilid II, diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

McQuail, Denis., dan Sven Windahl, (1993). Communication Models : For the Study of Mass Communication, Second Edition, Longman, London.

Miller, Katherine, (2002). Communication Theories : Perspectives, Processes, and Contexts, McGrawHill, Inc., New York.

Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman, (2005). Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, Penerjemah Alimandan, Prenada Media, Jakarta.