Kamis, 26 Februari 2009

Tangan Kuasa Media Massa : Heterogenitas yang Homogen


‘Media adalah entitas paling ampuh di jagat ini.
Media memiliki kekuatan menjadikan orang yang bersalah
sebagai yang tak berdosa, dan sebaliknya.
Disitulah letak kekuatannya,
karena media mengendalikan pikiran massa.’
(Malcolm X)


Malcolm X tidak pernah main-main dengan kalimat ‘pemujaan’ pada efek media massa. Media sudah dianggap sebuah entitas. Entitas atau entiti sebagai sebuah kata dasar bermakna benda atau apa saja yang mempunyai eksistensi atau being yang riil ; wujud atau keadaan suatu benda. Andaikan saja media massa dianalogikan sebagai benda, kita tak perlu terlalu repot dengan pengaruhnya. Paling-paling dia hanya menjadi pajangan semata (entah itu televisi, radio, komputer, surat kabar, dan sebagainya). Disinilah masalahnya ! Sejak Marshal McLuhan menyebutkan bahwa medium is message, terpatrilah pemahaman bahwa segala ideologi yang mendasari kehidupan kita hari ini ternyata dihembuskan melalui kekuatan propaganda budaya melalui media massa. Andai Gramsci masih hidup, jadilah dia sosok yang paling cocok mendapatkan jabatan paranormal. Mengapa ? karena ramalan hegemoni yang dicetuskannya satu abad sebelum sekarang, terbukti ampuh menerjang setiap sendi kehidupan. Uniknya, kita semua tertawa gembira tanpa pernah merasa dirugikan. Entitas yang dikatakan Malcolm X melekat pada fungsi dan kehidupan sebuah media, memaksa kita untuk segera menyadari bahwa ada invisible hand yang mengendalikan dan memproduksi budaya kita. Media massa adalah entitas hidup. Mewakili sebuah kata kerja berkonotasi negatif. Mulailah hidup dengan kehati-hatian saat ‘berjumpa’ dengan media massa. Ada satu kekuatan hegemoni yang bekerja di ruang ketidaksadaran namun memiliki efek luar bisa : mengendalikan pikiran massa. Terpujilah Hitler dengan segala kecerdikannya memutarbalikkan fakta dan kebenaran ! Jadi sangat wajar kalau Rogers menuliskan sosok ini sebagai peletak dasar kajian komunikasi (sekalipun buru-buru Rogers menyebutkan tak perlu berterima kasih kepadanya !). Mengapa media begitu perkasa ? kita akan mengungkap sosok peneliti yang mencoba mengingatkan kita kembali akan kekuatan media massa : Elizabeth Neolle-Newman. Sosok ini mempersembahkan model menarik tentang sebuah proses keterpengaruhan audiens atas media : spiral of silent (spiral kebisuan).

Tiga Fakta Kunci Spiral Kebisuan

Melalui tulisan singkatnya, Heath Brothers memberikan tiga poin kunci untuk menjelaskan teori spiral of silent. Pertama, ketakutan akan isolasi. Tidak ada orang yang suka ’diasingkan’. Manusia adalah makhluk sosial. Setiap saat tidak nyaman kala merasa sendirian. Kita butuh teman. Juga dalam hal kesamaan opini dan pandangan. Ketika pendapat atau keyakinan kita bertolak belakang dengan keyakinan sebagian besar orang, kita akan cenderung diam. Tak cukup punya keberanian untuk mengekspresikan. Inilah kekuatan utama tekanan dalam diri tiap orang : takut akan kesendirian. Kedua, tahu kapan waktu bicara dan kapan saat untuk diam. Dalam opini publik, kita memiliki keyakinan untuk berbicara saat kita sadar bahwa pendapat kita akan didukung oleh mayoritas orang-orang. Sosok yang populer cenderung mampu menciptakan opini tertentu sesuai dengan perspektif dan point of view –nya. Sementara apabila menyadari popularitasnya semakin menurun, maka kecendrungan diam (silent) semakin kuat. Ini bermakna kemampuan untuk menyadari konteks dan situasi tertentu akan menjadi dasar kita akan ’membuka mulut’ atau ’menutup mulut’.

Terakhir, peran maksimal media massa. Neolle-Newman percaya bahwa media massa akan mengakselerasi ’keterdiaman’ pendapat minoritas dalam spiral of silent. Media massa terbukti mampu memainkan peran dalam koridor agenda setting. Apa yang penting dan layak diletakkan di head line oleh media massa, itulah pula yang layak menjadi obrolan dan layak untuk kita pikirkan. Kita tidak punya kekuatan menciptkan agenda tandingan. Jadi kalau kita sudah melihat bahwa tema tertentu menjadi sorotan media massa, maka berikutnya kita akan lebih banyak ’diam’ dan mengikuti agenda publik tersebut. Diam dan untuk apa ’melawan’ ?

Tiga fakta kunci spiral of silent yang dibentangkan Brothers menunjukkan bahwa tema utama yang diusung teori ini adalah upaya meredam pendapat dan arus opini yang ’tidak sepaham’ dengan kita. Artinya upaya menciptakan kesatuan pendapat, gagasan, kepopuleran, dan lain sebagainya bisa dilakukan melalui sebuah proses rekayasa. Meng-otomatisasi-kan bekerjanya spiral of silent. Tools yang sangat dahsyat untuk mengusung arah penyatuan pendapat itu adalah media massa. Media massa memainkan peranan sentral membuat sesuatu nampak begitu penting, sementara melupakan sesuatu yang lain. Bahkan pada tataran yang sangat esensial, media massa memberitahu kita mana yang baik dan mana yang buruk. Mengapa bisa demikian ? media telah menjadi agama. Pola bekerjanya mengingatkan kita pada konsep hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci.

Media dan Hegemoni

Teori hegemoni Gramsci dibangun atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Bagi Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, namun lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Hegemoni sinomim dengan menguasai dengan ’kepemimpinan moral dan intelektual’ secara konsensual (Sugiono, 1999:31). Seseorang atau sekelompok orang yang kepada mereka telah menjalar kekuatan hegemoni tidak akan pernah merasa dirugikan dan dikuasai, melainkan dengan sangat nikmat menjalani hidup selaku pihak yang ’dikontrol’. Perjalanan panjang sejarah kerajaan-kerajaan nusantara selalu memposisikan rakyat yang manut saja dengan raja mereka. Mempersilahkan anak-anaknya untuk ’dipilih’ raja. Memberi upeti dengan sadar dan ketertundukan kepada raja. Meyakini sepenuh hati bahwa raja adalah utusan tuhan yang ’tak pernah salah’. Silahkan menonton film bagus Anna & The King untuk sekadar membuktikan hal ini. Tak ada perasaan teraniaya muncul dalam diri rakyatnya. Semua menerima. Bahkan dengan lega. Inilah kekuatan hegemoni seperti yang dikatakan Gramsci. Meskipun konsep hegemoni telah ada dan digunakan oleh kalangan Marxis, namun perbedaan utama konsep sebelumnya dengan Gramsci adalah pertama, ia menerakan konsep ini lebih luas lagi bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas yang lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemakaianan istilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramsci mengkarakterisasikan istilah ini dalam konteks ’ pengaruh kultural’, yang tidak hanya ’kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi’ seperti yang dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia dalam Sugiono,1999:32). Tekanan tujuan dari sebuah hegemoni adalah bagaimana agar kelompok berkuasa harus mampu membuat kelompok atau massa lain menerima prinsip-prinsip, ide-ide, dan norma atau nilainya sebagai milik mereka juga. Sekali ’pandangan dunia’ kelompok yang berkuasa sudah diterima dan diinternalisasi oleh massa atau kelompok lain, maka kelompok berkuasa itu berhasil memantapkan hegemoni, dan dengan sendirinya legitimasinya untuk memerintah terjamin sudah. Menang dengan cara soft. Tak ada pihak yang merasa dikalahkan.

Kembali pada kekuatan media massa, siapakah sekarang yang merasa mampu melawan kekuatan dan ideologi konsumerisme yang telah mendarah mendaging dalam masyarakat kita ? tidak ada hari tanpa televisi. Sejak kita bangun pagi, siang hari, dan menjelang tidur nanti, hidup kita dikepung oleh iklan dan pesan sponsor warna-warni di televisi. Semua memiliki kekuatan hegemoni luar biasa dan mekanisme pembujukan halus sehingga kita tetap tidak merasa ’ada yang salah’ dengan itu. Dalam Mythologies (1993), Roland Barthes membongkar habis segala sesuatu yang nampak biasa dimata dan kehidupan kita sehari-hari. Padahal menurut dia, semua itu mengandung mitologi-mitologi sebagai hasil konstruksi budaya yang sangat cermat. Tidak ada yang terjadi kebetulan. Semua memiliki arah dan tujuan. Barthes kemudian berjasa melahirkan disiplin ilmu ’penelanjangan’ bernama semiotika.


Sanggrahan, Februari 09


REFERENSI

Barthes, Roland, 1993. Mythologies, Vintage, London.

Sugino, Muhadi, 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Puzzolini, A., 2006. Pijar-pijar Pemikiran Gramsci, Penerjemah Eko PD, Resist Book, Yogyakarta.

Kilminster, Richard, 1979. Praxis and Method : A Sociological dialogue With Lucacs, Gramsci and the Early Frankrut School, Routledge & Kegan Paul, London.

Tidak ada komentar: