Kamis, 12 Februari 2009

Apakah Kita Perlu Machiavelli Saat ini ?

Without pain, no reform...
Without reform, no progress.”
(Junichiro Koizumi, Mantan Perdana Menteri Jepang)

Niccolo Machiavelli (1469-1527) tidak memiliki sensitifitas hukum dalam menulis karya besar II Principle-nya. Baginya sebuah praktek hukum haruslah dilandasi oleh kesadaran seluruh warga negara. Hukum tak bisa diterapkan karena keterpaksaan tiap objek hukum. Itu berarti ketakutan di bawah hukum. Sebaliknya yang harus muncul dari sebuah negara hukum adalah kesadaran setiap warga negara dalam menerapkan hukum tersebut. Inilah prinsip spontan dalam hukum. Spontanitas dalam hukum ini tak mungkin tercipta ditengah-tengah kuatnya korupsi. Ditengah banyaknya pejabat publik yang lebih banyak mempermainkan aturan negara untuk memperkaya diri dan mengutamakan kepentingan personal mereka. Negara bisa ambruk. Sementara pejabat-pejabat publik terus diuntungkan dengan posisi mereka. Disinilah segala nasehat dalam “The Prince” menemukan relevansi untuk diterapkan. Sebuah nasehat yang memperbolehkan sang penguasa entah itu presiden, raja, gubernur, atau siapa saja yang berposisi sebagai pemimpin untuk mengambil jalan pintas mengamankan negara berikut meraih kewibawaannya. Bagaimana nasehat itu harus “dibahasakan” dalam kondisi Indonesia saat ini ?

Hukum Terbeli, Perlu Tangan Besi
Pada dasarnya Machiavelli percaya bahwa tertib hukum bisa diciptakan dengan dua jalan. Pertama, penggunaan hukum secara ketat. Outputnya adalah kuatnya hukum sehingga menumbuhkan kesadaran dalam hati warga masyarakat untuk terus taat dan patuh pada hukum. Namun dalam sistem politis praktis yang selalu meniscayakan benturan kepentingan, terdapat instink kuat penunggangan hukum demi kepentingan pribadi dan golongan. Dalam lokus itulah terjadi penyelewengan hukum ditangan orang yang seharusnya”menjaga” hukum. Dalam kondisi demikian, muncul banyak pejabat yang menggunakan kuasa mempermainkan hukum. Menggunakan hukum baik secara halus dan kasar untuk mendukung dan berpihak pada kepentingannya. Saat itulah tertib hukum harus ditegakkan dengan jalan kedua, kekuasaan dan tangan besi.

Pada taraf tidak adanya kesadaran pada diri masyarakat dan para pejabat itu, mutlak dibutuhkan seorang pemimpin bertangan besi mengendalikan negara. Ini pilihan buruk diantara yang terburuk. Dalam masa renaisans saat Machiavelli menulis, banyaknya orang kaya yang hidup bermalas-malas dari hasil miliknya yang berlimpah-limpah sehingga tidak ia perlukan sedikitpun usaha untuk mendapat nafkahnya, menurut Machiavelli akan merusak negara tempat mereka berdiam. Akan lebih rusak lagi negara, apabila orang-orang sedemikian itu mempunyai kekuasaan atas golongan-golongan lain yang bergantung pada mereka. Negara yang penuh dengan orang-orang seperti itu, kata Machiavelli, hanya dapat ditolong dari kehancurannya oleh tangan yang kuat. Membiarkan hukum berjalan berdasar spontanitas tadi, dalam keadaan demikian hanya akan membuat negara menuju kehancurannya.

Apa yang kita jumpai saat ini di Indonesia ? ada buku yang ditulis A. Yogaswara (2008) tentang 100 pejabat publik yang terkaya di Indonesia. Pada masa Orde Baru biasanya pengusaha selalu berada di belakang panggung politik. Mereka biasa dijadikan mesin uang bagi para penguasa dengan beragam cara. Terdapat dua tubuh dengan dua kepentingan yang berbeda. Akhirnya memunculkan simbiosis mutualisme. Penguasa diuntungkan secara ekonomis, sementara pengusaha diuntungkan secara politis. Klop sudah. Namun dalam masa reformasi, dua posisi ini menyatu dalam satu sosok saja. Artinya 100 orang yang didaftar oleh Yogaswara tadi merupakan sosok yang memiliki kekuasaan pembentukan aturan publik, sekaligus juga dikenai oleh aturan publik itu dalam ranah ekonomis. Apabila dua posisi itu dilakoni oleh dua orang yang berbeda, tentu akan tercipta sistem dialektika. Ada kontrol dan ricek. Namun apa yang terjadi kemudian apabila dua posisi itu dijabat oleh satu orang, dijabat oleh satu manusia. Dia begitu kaya raya, sekaligus juga berkuasa. Mungkin inilah yang dikhawatirkan oleh Machiavelli enam abad silam.

Apakah SBY “Harus Bisa” ?
Dalam bukunya tentang gaya kepemimpinan SBY (Harus Bisa, 2008), Dino Patti Djalal menegaskan bahwa prinsip yang dia tangkap dari kepemimpinan SBY adalah bahwa politik itu identik dengan kebaikan, bukan kekuasaan. Penguasa yang mengagungkan kekuasaan tanpa moralitas dan etika akan mencelakakan diri sendiri dan rakyat. Tentu saja SBY sebagai presiden bukanlah Machiavelian. Prinsip yang diterapkannya dalam memimpin selama ini begitu jauh dari aura Machiavelli. Namun dalam beberapa tahun terakhir SBY mengalami cobaan berat terkait dengan begitu dekatnya penyatuan dua sosok para pembantunya (menteri) dalam kategori pejabat negara sekaligus penguasa.

Kita bisa menyebut beberapa contoh seperti yang dituliskan Yogaswara. Dititik tertinggi adalah Ir. H. Aburizal Bakrie sang Mengko Kesra. Dia ditaksir memiliki kekayaan 5,4 miliar dollar AS (versi Forbes) dan 1,05 miliar dollar AS (Versi Globe Asia). Menteri ini persis seperti yang dikatakan Machievelli, dia kaya karena memang keturunan kaya. Sejarah panjang kakek buyutnya sebagai pengusaha melahirkan mental bisnis luar biasa. Gen pengusaha ini tertular dengan sendirinya. Memang cocok dipasang sebagai menko kesra dalam arti kata simbolik dan image bahwa menteri kita adalah sosok yang memang betul-betul sejahtera. Namun sangat tidak cocok dalam arti kata empati dan tepa selera terhadap rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah miskin sedetikpun dalam hidupnya bisa “merasakan” sengsaranya menjadi rakyat miskin ? Andaikan SBY memahami betapa beratnya rakyat menanggung beban kemiskinan, tentu sulit untuk menoleransi seorang menteri yang hidup penuh kecukupan dan kememawahan. Apabila gaya toleransi yang diutamakan dalam kepemimpinan, maka sosok-sosok seperti itu akan terus tampil dalam parlemen dan kementrian. Celakanya, sulit untuk mencari orang yang kaya sekaligus memiliki sensitifitas kemiskinan tingkat tinggi sejajar Budha Sidharta Gautama, atau mungkin turun sedikit ke Anand Khrisna ? ahh saya terlalu asyik dengan khayal dan menduga-duga. Termasuk menduga SBY akan menerapkan aturan tanpa aturan ala Machiavelli .... ahh ...


Referensi :
Machiavelli, Niccolo, (2008). The Prince : Sang Penguasa, Penerjemah Natalia Trijaji, Surabaya : Selasar Surabaya Publishing.

Noer, Deliar, (2000). Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung : Penerbit Mizan.

Tidak ada komentar: