Rabu, 18 Februari 2009

Berbeda ... Untuk Selamanya ...

"Give me a dozen healthy infants, well-formed, and my own special world to bring them up in, and I'll guarantee to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select-doctor, lawyer, artist, merchant-chief, and yes, beggerman and thief."
(Watson, 1913)


Dalam kajian psikologi terdapat satu paham yang disebut Behaviorisme. Sebuah aliran yang melihat diri manusia sebagai makhluk yang terdikte oleh lingkungannya. Hipotesis utama paham ini adalah manusia tergantung habitat dan lokus dimana dia dibesarkan, hidup, dan berkembang. Bila dibesarkan di lingkungan pasantren, maka dia akan menjadi sosok dai’ dan tahu mendalam tentang agama. Bila dibesarkan di lingkungan preman dan gali, maka dia akan menjadi sosok yang memiliki kompetensi menjadi preman dan gali bersertifikasi (he ha he). Ada pepatah yang biasa dipakai untuk menggambarkan itu : masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang singa mengaum, masuk jadi anggota Dewan Legislatif (pasti) sok pintar (ups !). Kita mungkin dilahirkan dari ibu yang sama, namun tempat dan lingkungan dimana kita dibesarkan, akan membingkai kita menjadi sosok yang berbeda. Tak ada manusia yang persis sama. Entah rupa, entah wicara, entah gaya. Lingkungan pula yang membuat seseorang jadi tambah cerdas, atau bodoh memelas.

Berbicara tentang bagaimana pengaruh lingkungan, aku selalu teringat dengan teman. Teman SMU. Seorang teman yang menghadirkan cerita begitu membekas. Mungkin karena dia orang yang dahulu dekat denganku. Dahulu. Namanya Ina. Kami berbeda jurusan ketika itu. Dia masuk jurusan A2 yang dahulu disebut jurusan IPA. Jurusan ini mempelajari beragam ilmu yang identik dengan peringkasan dan efisiensi (setidaknya menurutku). Sementara aku sendiri memilih untuk masuk di jurusan IPS atau A3. Sebuah jurusan yang lebih banyak berkutat dengan ilmu-ilmu “tidak pasti” seperti sosiologi, antropologi, psikologi, atau ekonomi. Kebiasaan berargumen secara panjang lebar nampaknya memang menjadi tradisi pada jurusan ini. Kami terbiasa diminta mengarang panjang lebar. Mengutip sebanyak mungkin, dan itu berarti membaca sebanyak mungkin. Ina dan aku memang berbeda jurusan. Perbedaan jurusan itu ternyata berimplikasi begitu jauh dengan cara otak kami bekerja. Dia terbiasa dengan efisiensi pemikiran dan kehadiran hasil konkret di depan mata. Praktis. Tak berpanjang lebar. Sementara aku selalu berupaya mengabstrakan segala sesuatu. Suka berpanjang-panjang. Menarik hal yang konkret menjadi semacam pemikiran yang njelimet dan mengawang-awang (setidaknya menurut dia). Konsekuensinya aku terlihat bagaikan seorang politikus ulung dan licik bagi dia. Sementara dia bagiku seperti orang naif yang terlalu suka menyederhanakan persoalan dan tak pernah mau berpikir kompleks. Mungkin dia berpikir aku adalah orang yang terlalu pintar untuk ditipu dengan argumen dan jebakan-jebakan retoris dan sintaksis permainan kata-kata. Karena memang disitulah letak dan seninya berdebat. Bagaikan kaum sophis di zaman Yunani. Begitu juga aku dan kegemaran membaca hal-hal yang elaboratif dan menantang keberpanjangan nalar. Ina selalu tak menyukai pola itu. Sehingga keberbedaan itu kemudian menjadi berbuah tidak terlalu menyenangkan saat kami memutuskan untuk jalan bersama dalam korpus hubungan lebih daripada sekadar teman. Ya, kami memutuskan berpacaran. Tepatnya tahun 1992. Saat aku dan dia mulai menapaki kelas tiga SMA.

Begitu teman-teman mengetahui hubungan itu, mereka cuma berkomentar bahwa hubungan kami tidak akan tahan lama. Mengingat betapa kontrasnya kami. Tapi saat itu dalam hatiku cuma menggumam, “bukankah cinta itu bermaksud mencari beragam kesamaan, bukan justru mencari-cari perbedaan ?”, dengan prinsip itu aku jalani hari-hari SMU dengan dia. Sekalipun teman-teman SMU menyatakan begitu, toh ternyata hubungan kami terus berjalan hingga 5 tahun kemudian hingga kami menjadi mahasiswa. Meskipun dihiasi pertengkaran dan kecemburuan sepanjang kami sekolah di SMU, akhirnya Kami lulus dengan tetap berstatus sebagai pasangan pacar. Aku jadi juara umum sekabupaten. Dia jadi juara satu di jurusan IPA sekolahku. Hubungan tetap kami jalani. Kami bersama-sama berangkat ke Yogyakarta (tempat aku bagaikan terpaku bumi untuk hidup dan mati di kota itu). Lagi-lagi kami berbeda dalam perjalanan takdir. Aku langsung masuk ke universitas pilihanku dan benar-benar mengambil disiplin keilmuan yang menurutku sesuai dengan talenta dan kegemaranku. Berbicara. Ya ... aku benar-benar mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UGM. Sebuah jurusan tempat orang digodok menjadi politikus ulung sekaliber Amien Rais, Riswanda Imawan, Affan Gaffar, Ichalasul Amal, dan Yahya Muhaimin. Sementara Ina gagal menembus fakultas kedokteran UGM impiannya. Dia harus menunggu satu tahun kemudian untuk bisa masuk ke disiplin keilmuan itu. Bukan UGM, tapi ke Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di Semarang.

Keberpisahan tempat kuliah inilah akar utama kami menjadi renggang. Disamping memang aku bukanlah tipikal laki-laki setia bila orang yang kusayangi tak ada di depan mata (ah terlalu puitis nampaknya). Di bulan-bulan awal aku membiasakan relasi ini dengan mengunjunginya rata-rata tiga bulan satu kali ke Semarang. Namun lama-lama berganti menjadi enam bulan sekali. Lalu bahkan satu tahun sekali. Akhirnya kami betul-betul merasa betapa artifisialnya hubungan kami. Hingga akhirnya aku kehilangan dia. Seiring dengan hilangnya ibuku, dan dua kali ketertolakan judul skripsiku. Dia benar-benar meninggalkanku. Tuduhannya adalah tuduhan klise seorang wanita. Aku dianggap berselingkuh. Jujur aku melakukan itu. Bahkan setiap hari dalam otak dan pikiranku, melalui mataku. Pada saat ini barulah aku menyadari betapa hebatnya temuan empirisme David Hume saat mengintrodusir kesaktian panca indera saat kita mencandra dunia. Bila melihat wanita cantik, aku berselingkuh dalam pikiranku. Melihat film porno, maka aku berselingkuh dalam kegarangan nafsu di kepalaku. Apakah benar-benar ada lelaki yang tidak memiliki selintas pikiran ganjil saat menyaksikan wanita seksi di depan mata, melihat tabloid kuning dijejer di jalan raya ? tapi aku jujur mengakui bahwa itulah aku. Baginya percumalah alasan itu. Dia tetap meninggalkanku. Baginya segala sesuatu dibuat praktis aja. Selingkuh adalah selingkuh. Apapun wujud dan manifestasinya. Titik, tanpa tanda koma. Lagi-lagi aku menyadari pada saat ini, bahwa orientasi dan cara bekerjanya otak kami memang berbeda. Kami memang terlalu jauh untuk disatukan. Terlalu berbeda untuk disama-samakan. Setelah putusnya hubungan, aku benar-benar “mati” di matanya. Aku tidak ada. Akupun pada akhirnya memutuskan untuk mengambil prinsip Rene Descartes, “dia kuanggap tak ada saat aku tak mau memikirkan dirinya”. Dengan itulah aku bertahan hidup dan berjuang sendirian hingga empat belas tahun kemudian.

Hampir tak pernah terpikir dan terbayang olehku bahwa lima belas tahun pasca putus tuntasnya hubungan kami ternyata aku kembali berinteraksi dengan dia melalui telepon dan ketemu sekali dua. Dia sudah jadi dokter (itu memang impiannya), aku sudah jadi guru (inilah impianku, berbagi ilmu). Aku mengajar di almamaterku UGM. Menekuni sosiologi media dan filsafat ilmu, dia membaktikan dirinya di rumah sakit kabupatenku, Sukamara. Kami berinteraksi hingga hari ini dalam relasi yang lebih banyak bersifat artifisial antara dua orang anak manusia dewasa dengan pikiran dan otak yang nampaknya tak terlalu berubah dari lima belas tahun yang lalu. Dia tetap praktis dan materialis, sementara aku semakin konseptualis dan abstraktif. Setiap kali kami berbicara tentang masalah apapun, yang selalu muncul adalah perdebatan dan adu urat saraf. Dia bilang aku semakin menjadi filosof. Sementara aku nilai dia menjadi semakin mekanis, teknokrat. Sampai waktu kemarin, dia ingin sharing tentang filsafat kehidupan. Alasan dia sangat praktis (lagi-lagi !). dia harus lulus mata kuliah filsafat karena tengah menyelesaikan program spesialis kesehatan anak di Undip. Bagiku itulah kenaifan yang tetap melekat dalam dirinya. Naifnya dia melihat dunia, naifnya dia memilih suaminya, naifnya dia ketika harus belajar sesuatu yang esensial dengan niat yang artifisial. Aku dan dia memang berbeda. Bahkan mungkin untuk selamanya ! Ternyata jalan kami sangat Behavioris ....


Lembayung Damai, Februari 09

3 komentar:

Anonim mengatakan...

cinta itu--katanya--membutuhkan cukup perbedaan dan kesamaan, kesamaan untuk berbagi, perbedaan untuk saling melengkapi..
btw, sebagaimana lazimnya perempuan, saya juga mengamini bahwa selingkuh itu dimulai dari pikiran, hehehehe
nice post mas Sulhan, personal, tapi tetap enak dibaca orang lain ^_^

HanHarsa mengatakan...

tak banyak kaum lelaki yang berani berkata begini : "Pahamilah kami .. he he he ". Jujur mereka adalah makhluk yang paling egois yang memang diciptakan untuk membuat permasalahan ha ha ha

Anonim mengatakan...

Wah, cerita dari masa SMA ya, mas?
Apalagi kalo udah berbicara tentang cinta emang ga ada habisnya.. hehe