Kamis, 05 Februari 2009

Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam Komunikasi : Catatan Pengingat

Mungkin banyak mahasiswa komunikasi di Indonesia yang tidak kenal dengan sosok George Harbert Mead, Robert E. Park, apalagi Charles Horton Coley. Nama Wilbur Schramm dan Harold D. Lasswell pasti lebih banyak dihapal di luar kepala, berikut pemikiran mereka ketimbang tiga orang itu. Schramm bagai ‘nabi’ di kajian komunikasi, sementara Lasswell bagai ‘rasul’ dengan rumus yang dipakai hampir seluruh ilmu tentang pesan di dunia ini. Terkenalnya dua sosok terakhir dalam kajian komunikasi tidak lepas dari pandangan kita bahwa komunikasi lebih banyak berbicara pada efek pesan. Paham behavioris yang terterap sempurna dalam industri iklan dan propaganda telah memacu akselerasi kajian komunikasi melebihi apa yang diimpikan Schramm. Seiring dengan kuatnya paham tentang ‘efek’ ini kita semakin melupakan esensi proses komunikasi lainnya yang justru sangat fundamental yakni kesamaan makna pesan. Ini sejajar dengan pemikiran John Fiske (2004) sudah mengingatkan ada sisi lain yang harus dipelajari saat melihat proses komunikasi antarmanusia : mazhab semiotika. Kita akan mulai dengan sebuah aliran terkenal di Amerika sekitar tahun 1930-an. Aliran ini kita kenal dengan Mazhab Chicago. Tokoh-tokoh dan silsilah aliran ini bisa dicermati pada gambar berikut. Dari gambar inilah saya akan memaparkan kontribusi tiga tokoh utamanya atas studi komunikasi. Kita mulai dengan George Harbert Mead.


George Harbert Mead (GHM) lahir di Hadley, sebuah kota kecil di Massachusetts. Ayahnya seorang menteri. Belakangan ayahnya menjadi profesor di Oberlin College, di Ohio tempat Mead belajar untuk memperoleh gelar sarjana. Mead belajar satu tahun di Harvard dengan William James tentang pragmatisme, lalu belajar dengan Wilhelm Wundt tentang teori Gesture. Menurut Mead, tindakan merupakan unit dasar dari ilmu sosial karena signifikansi simboliknya. Tindakan bersifat sosial karena diinterpretasikan oleh individu lain. Selain di Harvard, Mead juga belajar di Universitas Berlin, berbarengan dengan Georg Simmel, namun tidak menyelesaikannya hingga gelar doktor.

Setelah mengajar di Ann Arbor selama tujuh tahun, Mead pindah ke Universitas Michigan selama 37 tahun hingga meninggal tahun 1931. Asal tahu saja bahwa hubungan Mead dan John Dewey, sang pakar pragmatisme Amerika itu, sangat akrab. Dari Dewey lah dia banyak menyerap prinsip-prinsip bergunanya pesan kita dimaknai sama oleh orang yang kita ajak berinteraksi dan berbicara. Kenapa demikian ? karena secara teknis dunia pendidikan yang menjadi fokus Dewey menuntut kemampuan untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada murid—muridnya melalui proses komunikasi yang sama makna. Kalau itu tidak terjadi, maka sia-sialah seluruh aktivitas pendidikan. Prinsip ini ternyata teraplikasi tidak hanya di dunia pendidikan, melainkan kesegala sisi kehidupan.

GHM memiliki pemikiran yang asli dan menjadi penyumbang penting bagi ilmu sosial melalui perspektif teori yang kemudian dikenal sebagai interaksi simbolik. Pandangan psikologi sosialnya dipengaruhi Charles Sanders Peirce, William James, Josiah Royce, James Mark Baldwin, John Dewey, Charles Horton Cooley, Wilhelm Wundt, dan Chauncey Wright. Formulasi dan kumpulan pengaruh orang-orang ini pada tahap selanjutnya membawa arti penting bagi GHM untuk melihat makna komunikasi. Baginya arti penting kajian komunikasi kontemporer adalah melalui interaksi simbolik yang menempatkan komunikasi pada jantung penjelasan sosiologi. Interaksi simbolik lebih merupakan sebuah perspektif yang luas daripada sebuah teori yang spesifik. Dalam interaksi simbolik dinyatakan bahwa komunikasi manusia berlangsung melalui pertukaran simbol dan pemaknaan atas mereka.

Konsep Mead dan Dewey tentang reflex diturunkan secara langsung dari pemikiran Wilhelm Wundt tentang gesture. Sebagaimana sarjana Chicago lainnya, seperti Cooley, Mead juga menempatkan arti penting komunikasi dalam konsep tentang perilaku manusia. Bertumpu pada pemikiran Simmel, bersama Cooley dan Dewey, Mead mengembangkan interaksi simbolik dengan keyakinan bahwa persoalan pokok dalam sosiologi adalah masalah sosialisasi. Mereka semua berlatar belakang perang Sipil di Amerika. Hidup antara 1859 – 1864. Setting Protestan dan prinsip moralis membuat mereka sangat optimis bahwa perkembangan sosial menjadi determinan dalam rangka membangun demokrasi Amerika dengan membangun masyarakat perkotaan. Mereka semua merupakan koneksi Universitas Michigan dan Universitas Chicago. John Dewey mengajar Cooley dan Park di Michigan. Cooley mempengaruhi Mead tentang konsep diri (self). Dewey membawa Mead dari Michigan ke Chicago dan di sana mereka bersahabat sambil bersama-sama mengajar. Meskipun ke-empat tokoh ini disatukan oleh jaringan pribadi dan pengaruh intelektual, tetapi masing-masing memberi sumbangan intelektual yang berbeda.

Cooley dan Mead merupakan penemu psikologi sosial interaksionis yang belakangan dikenal sebagai Symbolic Interaction. Mereka menentang pandangan bahwa insting sebagai dasar kepribadian manusia dan melihat komunikasi antarpersonal sebagai inti pembentukan kepribadian. Subjektivitas sebagai konsep yang sangat mereka tekankan dalam melihat komunikasi manusia. Di dalamnya terdapat proses penerimaan pesan yang membuat manusia aktif untuk menginterpretasikan pesan itu sesuai dengan pengalamannya. Dalam perkembangannya, model komunikasi seperti ini mendapat tantangan dari model matematis dari “empu” Shannon, yang model komunikasi matematisnya dikenal hampir seluruh mahasiswa komunikasi di bumi ini.

Sebuah karya penting dari Mead yang tetap “menggigit” hingga hari ini adalah buku Mind, Self, and Society yang sesungguhnya adalah kumpulan materi kuliah hari demi hari Mead selama mengajar Psikologi Sosial di Departemen Filsafat. Adalah Charles W. Morris yang secara kreatif melakukan kerja besar itu berdasarkan catatan perkuliahan selama tahun 1927. Pemikiran utama Mead adalah bahwa kepribadian individu dibentuk melalui komunikasi dengan orang lain dan citra diri dibangun melalui sarana interaksi dengan orang lain. GHM, Dewey dan beberapa sarjana lain di Chicago mempertanyakan teori Stimulus-Respons yang dinilai terlalu menyederhanakan realitas. Harold D. Lasswell ketika mengaji simbol yang digunakan dalam propaganda PD I mengaku mendapatkan pengaruh dari Mead, sekalipun tidak secara langsung kuliah dari beliau. Ini termasuk hal menarik. Bukankah prinsip propaganda yang dipelajari dan dikaji Lasswell sesungguhnya bekerja dengan basis model matematis stimulus respon si “embah” Shannon ? namun mengapa doi mengaku mendapat pengaruh dari Mead ? nanti kita cari jawabannya saat membicarakan ahli politik berkepala botak itu !

Terkait dengan dinamika surat kabar saat itu yang mereka membahasakannya sebagai praktek jurnalistik, GHM membatasi dua model jurnalisme, yaitu model informasi dan model cerita. Doi juga menyatakan bahwa reporter umumnya dikirimkan untuk memperoleh cerita dan bukan fakta. Meskipun sumbangannya besar terhadap komunikasi, GHM lebih sering dikategorikan sebagai sosiolog – seperti Cooley – karena melalui karya besarnya tadi dia telah mencoba menjelaskan proses sosialisasi dengan pendekatan antropologi. Ini jadi faktor mendasar para dosen ilmu komunikasi di Indonesia (yang terlalu memuja komunikasi sebagai disiplin kuat itu !) tidak terlalu sering menyebut nama mbah Mead setiap memberi kuliah. Kalau ini yang terjadi, maka hifotesis kita di awal tulisan, bahwa sangat jarang mahasiswa komunikasi mendengar (apalagi mempelajari pemikiran) nama GHM telah terbukti dengan sendirinya. Nah sekarang tiba saatnya kita mengetahui seorang sarjana yang banyak disebut sebagai teoritikus komunikasi pertama di dunia : Robert E. Park.

Esensi Jurnalistik Ala Robert E. Park

Kelompok Chicago seperti yang kita ketahui sangat terpengaruh oleh filsafat pragmatisme dari William James dan John Dewey. Sebagai sebuah aliran praktis, mereka selalu mencari apa yang bisa diterapkan langsung kepada masyarakat. Bila GHM mencari makna atas berbagai simbol yang terjadi saat manusia berinteraksi, dan menemukan bahwa itulah esensi hidup manusia, maka Robert E Park melihat bahwa dalam konteks itu surat kabar memainkan peranan penting membentuk “gambaran” manusia atas dunianya.

Lahir menjelang berakhirnya perang Sipil di Amerika, Park memilih memulai karirnya dalam bidang sosiologi selama PD I. Alasan mengapa dia baru memilih karir di bidang sosiologi tahun 1913 di Universtias Chicago dalam usia 50 tahun karena Park baru mendapat gelar doktor dalam usia 39 tahun. Dia mulai mengajar diusia 50 tahun, dan mendapat prestasi pada usia 59 tahun. Setelah mengajar satu dekade barulah Park terpilih menjadi Presiden Sosiologi di kalangan Masyarakat Sosiologi Amerika. Berasal dari daerah pedesaan dan beragama Protestan, dan terlahir di daerah pertanian di Pennsylvania, membuat Park terkenal sebagai anak yang aktif dan tidak bisa disebut sebagai kutu buku. Meskipun memang masuk dunia akademis begitu terlambat, namun bukan berarti sumbangan akademis dia tak memberi pengaruh. Harus disadari bahwa orang Amerika pertama yang memberikan perhatian atas pengaruh surat kabar dalam membentuk opini publik adalah Park ini. Dia dilukiskan sebagai figur tunggal yang paling berpengaruh di kalangan masyarakat sosiologi Amerika. Empat topik kajian yang paling penting dari dirinya adalah komunikasi massa, hubungan antar-ras, ekologi manusia, dan perilaku kolektif.

Ketertarikan Park terhadap studi komunikasi, khususnya terhadap pemberitaan media untuk membentuk opini menjadi penanda betapa seriusnya dia menelaah korelasi opini masyarakat sebagai khalayak pembaca dengan media massa. Perlu diketahui bahwa ketika Park bermaksud mencari sekolah tempat dimana ia bisa belajar tentang media, saat itu di Amerika belum ada fakultas yang menawarkan jurusan itu. Akhirnya ia masuk ke filsafat yang mengajarkan tentang psikologi sosial. Dalam konteks hubungan sosial antara media dan opini masyarakat inilah kemudian Park mendapatkan inspirasi untuk menyusun disertasi doktoralnya. Ceritanya begini. Setelah asyik bekerja di dunia jurnalis penerbitan Thought News, ia memutuskan untuk kembali ke dunia akademis. Ini terjadi di tahun 1898. Park kuliah tujuh tahun di Ann Arbor, Harvard, dan Jerman. Perjalanan perkuliahan itu tetap tidak mengubah niatnya untuk terus fokus pada permasalahan surat kabar. Namun dari semua tempat kuliah yang telah dia masuki, tidak ada satupun yang memfokuskan diri pada studi media massa (surat kabar). Berhubung kuatnya spirit Park untuk belajar tentang sebuah obyek studi yang puluhan tahun telah dipraktekkannya itu, maka dia mencari fakultas yang kira-kira memberikan pelajaran yang bersinggungan dengan obyek studinya. Yang tersedia Cuma filsafat yang mempelajari interaksi antar manusia dibawah kajian Psikologi Sosial. “Tak apalah,” mungkin begitu pikir Park “tak ada rotan, akar-pun jadi,”. Akhirnya dia masuk ke jurusan Filsafat, belajar tentang interaksi manusia, lalu mengembangkannya dalam dunia persurat kabaran. Itu semua terjadi pada usia 34 tahun hingga dia meraih master filsafat, lalu ke Harvard setahun berikutnya. Pada saat kuliah di Harvard inilah Park menimba ilmu pada William James, Josiah Royce, dan George Santayana. Pengaruh behavioris dalam melihat studi perubahan opini karena berita berasal dari Hugo Munsterberg, yang merupakan murid cerdas dari Wilhelm Wund, bapak behaviorisme.

Dengan empat topik kajian penting tekait dengan relasi manusia itu Park menyebutkan bahwa komunikasi sebagai sebuah proses psikologi sosial yang di dalamnya seseorang dimungkinkan untuk mengasumsikan sejumlah pemikiran, sikap, dan pandangan pihak lain. Komunikasi juga merupakan sebuah proses yang di dalamnya hal-hal yang rasional dan moral di antara manusia dipertukarkan secara psikologis dan instingtif (Antoni, 2005). Minat utamanya yang mengarah pada perilaku kolektif, hubungan antar-ras, dan kehidupan perkotaan sebagai bentuk ekologi manusia, lahir dalam sebuah karya bersama Ernest Burgess dengan judul Introduction to the Science of Sociology. Buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang disarikan dari tulisan-tulisan hampir setiap pemikiran sosiologis yang ada pada waktu itu. Kalau anda sudah membaca karya besar George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2005), maka kurang lebih seperti itulah apa yang telah dilakukan Park & Burgess.

Dunia akademis begitu menarik dan tak pernah “kering” bagi Park, sehingga dia terus menerus merasa gagal sekalipun sudah berupaya masuk dan mendalami dunia ini. Penyebabnya adalah dia merasa terlalu tua untuk menjadi seorang dosen dan peneliti. Bahasa gaul saat ini adalah “kemarin kemane coy ?” hal ini sangat wajar karena dia baru mengajar dalam usia 35 tahun. Sebagian besar hidupnya dihabiskan sebagai pekerja jurnalis yang nuansa praksisnya sangat menonjol. Inilah yang menjadikan Park punya kalimat sakti setiap kali membimbing mahasiswanya “go get the seat of your pants dirty in real research !” dia lebih suka mahasiswanya terjun ke lapangan dan melakukan penelitian, ketimbang hanya duduk dan asyik termanggut-manggut memikirkan dan menghapal teori-teori. Dalam melakukan penelitian, data begitu penting bagi Park. Karena itu dia selalu mendorong mahasiswanya untuk turun ke lapangan dan mengumpulkan data. Itulah uniknya Park. Sosok yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan akademis, lalu mempersembahkan hasilnya untuk kepentingan praksis. Sekarang giliran sosok yang menjadi sahabat dekat George Harbert Mead di Chicago dan berhasil membangun aliran interaksionisme simbolik menjadi besar dan disegani. Sosok Charles Horton Cooley.

Cermin Imajinasi dari Charles Horton Cooley

Pendekatan Cooley bersifat organis, tetapi pusat perhatiannya adalah saling ketergantungan individu yang bersifat organis melalui proses komunikasi sebagai dasar keteraturan sosial. Gambaran Cooley tentang kenyataan sosial sangat bersifat idealis, mungkin penyebabnya adalah warisan New England yang menjadi dasar pemikirannya. Dia mendapat banyak inspirasi dari idealisme Ralp Waldo Emerson yang bersifat transendental.

Melalui karyanya yang terkenal Human Nature and the Social Order, Cooley mempersembahkan hasil pemikiran briliannya pada dunia. Buku itu berisikan pendekatan teoritisnya yang mendasar. Cooley mengemukakan bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis, tidak dapat dimengerti tanpa yang lain. Suatu gaya hidup atau pola-pola perilaku seseorang tidak merupakan hasil dari insting-insting atau karakteristik biologis yang ditransmisikan lewat keturunan, sebaliknya susunan biologis manusia mudah dibentuk (plastic) dan tidak terbatas, dapat dikembangkan dengan pelbagai cara. Warisan biologis manusia mungkin mencakup sifat-sifat fisik tertentu (ras, bentuk, dan lain-lain) dan sejumlah respon dasar tertentu yang tidak dipelajari (bernafas, menetek, dan lain-lain), tetapi perkembangan individu sebagai seorang manusia dengan suatu kepribadian tersendiri berbentuk perilaku tertentu, merupakan hasil dari pengaruh warisan sosial yang ditransmisikan melalui komunikasi manusia. Intinya seperti yang dituliskan Johnson (1990) Cooley menghadapi dilema antara warisan biologis versus lingkungan sosial dengan berpegang pada saling ketergantungan dinamis antara kedua tingkatan itu, namun tujuan utamanya adalah untuk memperlihatkan bagaimana manusia dibentuk dalam konteks keteraturan sosial yang terus berjalan. Tekanannya pada saling ketergantungan antara individu dan masyarakat dapat dibandingkan dengan perspektif GHM yang telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini.

Saling ketergantungan organis antara individu dan masyarakat diungkapkan dalam analisa Cooley mengenai perkembangan konsep-diri (‘I’ seseorang). Meskipun Cooley merasakan bahwa manusia lahir dengan perasaan diri (self-feeling) yang tidak jelas dan belum terbentuk, ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perasaan diri ini merupakan hasil dari proses komunikasi interpersonal dalam suatu lingkungan sosial. Perkembangannya seperti proses komunikasi itu sendiri, tergantung pada pemahaman simpatetis (sympathetic understanding) antara individu yang satu terhadap yang lainnya. Dengan imajinasinya mereka dapat masuk ke dalam dan ikut mengambil bagian dalam perasaan dan ide orang lain. Yang penting khususnya adalah bagaimana orang menangkap apa yang dipikirkan orang tentang dia. Hal ini berhubungan sangat erat dengan perasaan diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa dengan penampilan dan perilakunya, sebagian besar merupakan hasil dari apakah orang lain dilihat menyetujui atau menolak penampilan dan perilakunya itu.

Cooley menunjuk aspek konsep-diri ini dengan istilah looking-glass self. Setiap hubungan sosial dimana seseorang itu terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Karena banyak orang terlibat dalam keserbaragaman hubungan sosial, yang masing-masingnya memberikan suatu cerminan tertentu, orang dapat dibayangkan hidup dalam suatu dunia cermin, yang masing-masing memberikan perspektif atau seginya sendiri yang khusus. Beberapa cermin akan memberikan pantulan yang suram dan bias, seperti kalau orang merasa bahwa beberapa orang lain tidak benar-benar mengertinya. Sementara beberapa cermin lain memantulkan sebaliknya, penuh pengertian dan pemahaman. Asyik sekali menjadi tempat “curhat”. Intinya setiap individu tidak dapat luput dari definisi-definisi tentang identitas mereka ini yang mereka lihat tercermin dalam orang lain. Bagaimana Cooley menggambarkan Looking-glass self ? Doi bilang begini :

Each to each a looking-glass
Reflects the other that doth pass”
“Ketika kita melihat wajah, bentuk, dan pakaian kita di depan cermin, dan merasa tertarik karena semuanya itu milik kita ... begitu pula dalam imajinasi, kita menerima dalam pikiran orang lain suatu pikiran tentang penampilan, cara, tujuan, perbuatan, karakter, dan seterusnya, dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya. Suatu ide diri semacam ini nampaknya memiliki tiga elemen yang penting : imajinasi tentang penampilan kita kepada orang lain; imajinasi tentang penilaian mengenai penampilan itu, dan suatu jenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu.”
(Johnson, 1990 : 28).

Satu catatan dan konklusi menarik dari pemikiran Cooley adalah bahwa kiasan cermin itu tentu tidak mencukupi. Apa pasal ? asal kita sadari saja bahwa cermin tidak bisa disamakan dengan persepsi orang terhadap diri kita. Cermin tak bisa menolak atau memberikan persetujuan, kalaupun dia bisa ngomong, toh kita bisa mengabaikannya. Dia benda mati. Tak mungkin bisa mencibir dan menjauhi kita. Sebaliknya sosok lain dalam lingkungan sosial ? mereka menjadi cermin dalam kerangka imajinasi kita. Teman saya bisa menjauh dan tak mau berteman lagi dengan saya karena mempersepsi saya sebagai “biang kerok”. Mereka bisa mengambil sikap untuk menolak dan menerima kita setelah menilai diri kita. Inilah problem fundamental dalam kehidupan sosial, dimana kita bisa diterima atau ditolak oleh orang lain karena persepsi mereka atas diri kita. Ini ide besar yang juga dipaparkan Jacques Lacan yang disarikan oleh Jacques – Alain Miller (1988).

Makna Semiotika dari Interaksionisme Simbolik

Kembali ke Fiske, ketika memberikan pendapat tentang perspektif semiotika sebagai salah satu cara mendefinisikan komunikasi, maka ketiga tokoh interaksionisme simbolik di atas telah menjadi bukti berartinya meaning dalam proses penyampaian dan penerimaan pesan. Mereka adalah orang-orang yang pada tahun-tahun 1930-an memiliki pengaruh signifikan atas berkembangnya disiplin dan kajian komunikasi. Tentu saja semua itu jauh sebelum Schramm menulis Mass Communication (1950). Jadi sesungguhnya formula tentang betapa berartinya komunikasi sebagai determinan dalam proses interaksi sosial telah meliputi pemikiran ilmuwan sosiologi dan filsafat pada dua puluh tahun sebelum usul Schramm atas kajian ini mengemuka. Salah satu kelebihan Schramm dibanding para pendukung mazhab Interaksionisme Simbolik adalah prinsip keter-ukuran, dan sisi menarik bekerja nyatanya media massa (ini sejajar dengan prinsip positivisme yang sangat behavioris di Amerika). Sejalan dengan itu, kebanyakan studi komunikasi di Indonesia lebih setuju dengan spesifikasi media massa sebagai subyek kajian disiplin yang spesifik. Paham ini muncul dengan kuat dalam tulisan McQuail dan Windahl (1993) yang lebih banyak memilih model-model komunikasi sebagai upaya eksplanasi atas bekerjanya media massa. Kalau tak percaya silahkan hitung berapa banyak perspektif interaksionisme simbolik muncul dalam 17 definisi komunikasi yang ditabulasikan Miller (2002) dan bandingkan dengan yang berperspektif proses. Anda akan tahu sendiri jawabannya. Jadi kalau demikian faktanya, wajar khan kalau mahasiswa komunikasi di negeri ini nyaris tidak mau terlalu ambil pusing dengan perspektif Interaksionisme Simbolik ?
Saudara punya pendapat lain ?


Referensi

Alain, Miller Jacques, (Ed). (1997). The Seminar of Jacques Lacan : Book I Freund’s Papers on Technique 1953-1954, Cambridge University Press, New York.

Fiske, John, (2004). Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Penerjemah Yosal Iriantara & Idi Subandy Ibrahim, Jalasutra, Yogyakarta.

Johnson, Doyle Paul., (1990). Teori Sosiologi : Klasik dan Modern, Jilid II, diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

McQuail, Denis., dan Sven Windahl, (1993). Communication Models : For the Study of Mass Communication, Second Edition, Longman, London.

Miller, Katherine, (2002). Communication Theories : Perspectives, Processes, and Contexts, McGrawHill, Inc., New York.

Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman, (2005). Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, Penerjemah Alimandan, Prenada Media, Jakarta.

Tidak ada komentar: