Kamis, 29 Januari 2009

CINTA : DIBIMBING MALAIKAT SUCI ATAU IBLIS HINA DINA ?

“Di era Victoria (abad ke –17) di Eropa,
orang berusaha mencari cinta tanpa harus terjerumus ke dalam seks.
Di era sekarang, orang berusaha mencari seks
tanpa mau terjebak dalam cinta”

(Croock – Brauer : Quantum Love, 2005)


Cinta bisa saja sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu yang serba indah, keterpesonaan, campur aduknya perasaan, dan dahsyatnya libido berkepanjangan. Bisa jadi dia sama sekali tidak ada kaitannya dengan berjuta rasa itu tadi. Perlu bukti ? baiklah saya akan paparkan mengapa saya berani mengatakan hal itu. Mari kita mulai dengan susunan kata cinta itu dulu. Dalam bahasa Inggris, cinta digantikan oleh konsep love, sementara itu jatuh cinta disebut fall in love. Kita berhenti dulu pada kata terakhir itu …. Fall in love artinya jatuh cinta, merasakan cinta. Pertanyaanya : mengapa harus memakai kata fall (jatuh) ? yang konotasinya negatif ? mengapa tidak menggunakan kata naik (up in love) ? dari penggunaan kata pertama itu tadi terkesan jatuh cinta bisa lebih bersifat kejatuhan, kesakitan, dan (mungkin) penderitaan, dan seakan menjadi objek pasif. Sementara ada kata lain yang juga bermakna cinta dan menimbulkan kesan produktif dan aktif : making love (he he he he). Disinilah bermainnya bahasa sebagai jawara.

Pada konsep fall in love, cinta menjadi sesuatu yang irasional karena love itu sendiri sudah direduksi oleh kata fall yang bersifat pasif. Dan atas alasan itulah dia berada di area ketidaksadaran (uncenciousnes). Sementara pada kata making love, cinta menjadi sesuatu yang rasional karena telah diimprovisasi pendekatan marxis atas konsep produksi. Saya tidak berani untuk menuliskan apa terjemahan resmi untuk kata : making love, namun satu hal yang selalu melekat dalam diri saya bahwa kata itu pastilah bernuansa kenikmatan, kenyamanan, dan selalu ingin dilakukan dengan kesadaran. Tidak jelas benar kapan manusia mulai mendekatkan cinta dengan seks. Mengait-ngaitkan kesucian dan rasa ketertarikan atas hati dengan ketertarikan manusia atas fisik diri : pantat dan bokong yang seksi, dada membuncah mengundang birahi, serta rintihan lirih mengharu biru berazaskan hubungan jasmani.

Panjang upayaku untuk mengetahui kapan Adam dan Hawa melakukan hubungan seks pertama kali, setelah mereka tergelincir ke bumi ? Apakah Tuhan juga ikut-ikutan memerintahkan Adam untuk mulai menindih dan mengarahkan penisnya pada vagina Hawa ? ataukah semuanya terjadi berdasarkan instink dan nafsu semata : Hawa terlentang lalu Adam horny dan kemudian terjadilah semuanya ? panjang upayaku untuk menyimak bagian terpenting itu, namun selalu tidak ada referensi yang bisa menjawab segala tanya dan kegelisahan ku. Mengapa aku begitu gelisah ? Asumsi bahwa manusia berasal dari Adam dan Hawa membawaku pada satu kesimpulan bahwa pada diri merekalah segala miniatur dan model perilaku manusia diseluruh dunia saat ini bisa disingkap dan diterangkan. Termasuk tentang mengapa harus terjadi hubungan seks. Masalahnya : apakah hubungan seks antara Adam dan Hawa itu didasari cinta, atau hanya instink hewani nafsu belaka ? jangan lupa bahwa mereka telah melakukan “hubungan” tanpa didahului dengan pernikahan ! Aku sendiri tidak mau berdebat tentang kalimat terakhir itu. Kalaupun mereka harus “diresmikan” melalui sebuah ritual pernikahan terlebih dahulu, maka satu-satunya yang bisa melakukan hal itu (pada saat itu) pastilah si – Tuhan sendiri. Terus kalau logikanya hubungan itu disyahkan oleh Tuhan, maka pastilah tidak ada nafsu hewani di dalamnya, semua bersih berdasarkan cinta, penuh harum bunga surga. Namun kalau kemudian hubungan seks antara Adam dan Hawa hanya sebatas agar mereka memperoleh keturunan belaka, maka apa beda mereka dengan sepasang anjing, kuda, gajah, harimau, dan (tentu saja) monyet ? toh sekumpulan nama terakhir yang aku sebutkan itu tidak perlu mengetahui dan peduli dengan apa itu inner beauty, puisi cinta memilukan hati, air mata mengalir membasahi pipi karena keperawanan sang putri telah ditembus semena-mena oleh otoritas penis lelaki, nothing ….. semua itu tidak ada ! yang ada hanya hubungan badan pemuas nafsu birahi. Bagi monyet, saat tiba masa kawin dan diselimuti birahi, maka sang jantan akan memberi isyarat pada betina, mendekati, bergaya, lalu memeluk betina, betinapun cuek dan menerima saja … bergelayutan di pohon, atau rebahan di tanah, terus … pejantan menindih … lalu mereka mengerang-ngerang … berpindahlah sperma si jantan kedalam rahim tubuh betina. Terjadilah pembuahan … udah deh. Semua terjadi dengan begitu saja. Tak ada akal di dalamnya. Hingga hari ini aku masih mencoba untuk percaya bahwa hubungan kelamin pertama antara Adam dan Hawa bukanlah hanya semata-mata untuk mencipratkan sperma lalu muncul manusia-manusia baru, melainkan penuh dengan landasan rasional dan ungkapan diri manusia yang memiliki akal. Akallah yang membawa manusia untuk bisa membedakan mana yang tulus cinta murni ketika harus menindih seorang perawan, ataukah tindihan dan erangannya itu hanya sebatas kebutuhan biologis pamer penis ?

Sementara dalam semua kitab suci, Tuhan sudah mengatakan bahwa tidak ada satu pengetahuan-pun yang didapat manusia melainkan dengan berfungsinya akal manusia tersebut. Tidak juga jelas tentang apakah saat di Surga itu Adam dan Hawa sudah memiliki akal ? sebab ketika harus menyebutkan nama-nama benda dihadapan malaikat dan iblis pun, ternyata Adam masih harus didiktekan oleh Tuhan. Berasumsi bahwa daya ingat hanya tumbuh karena kekuatan penyimpanan memori di otak manusia, dus berarti dengan otak itulah maka manusia bisa menimbang, berpikir, dan memanggil kembali (rehersal) segala isinya, maka okelah kita asumsikan bahwa saat itu Adam sudah berakal. Masalahnya fungsi otak itulah yang kemudian menjerumuskan Adam ! kemampuan Iblis untuk membujuk Adam justru dengan menggunakan logika terbalik untuk berargumen tentang alasan mengapa Tuhan melarang Adam mendekati dan memakan “buah dari pohon pengetahuan”. Waktu itu Iblis Cuma bilang begini :
“Justru Tuhan tidak ingin agar diri-Nya tersaingi,”
“Maksudnya ? “
“Ketahuilah wahai Adam ..” Iblis mulai memprovokasi. “ Dengan memakan buah dari pohon itu, maka seluruh pengetahuan Tuhan akan segera kamu miliki”
Pada titik inilah maka kemampuan otak Adam sudah bisa memainkan logika dengan benar. Bahwa memakan buah sama dengan memiliki kemampuan Tuhan, kalau tidak memakan buah maka tidak akan memiliki kekuatan seperti kekuatan Tuhan. Logika yang sederhana : dan Iblis masuk dengan lihainya ……. Pertanyaannya : mungkinkah Adam sama sekali tidak berakal atau tak punya otak apabila mau menerima provokasi logis dari sang Iblis ? justru logika oposisi biner (Tuhan dan pengetahuan tanpa batas) yang dijadikan landasan argumen si Iblis itu hanya bisa dipikirkan oleh otak yang telah ber akal ? Jelas sekali bahwa otak yang dikaruniakan Tuhan pada si Adam saat itu adalah otak pasif. Entahlah .... silahkah lah jawab pertanyaan iseng itu, namun ada juga versi lain tentang mengapa Adam menjadi tergoda bujuk rayu Iblis.

Kata versi ini, penjerumus Adam untuk mengambil buah khuldi itu adalah karena bujuk rayu Hawa. Iblis tidak memiliki kemampuan lagi untuk memprovokasi dan mempengaruhi Adam secara langsung, akhirnya memanfaatkan diri Hawa untuk membujuk Adam, dengan memanfaatkan satu titik kelemahan Adam sebagai manusia : rasa cintanya pada Hawa. Lagi-lagi saya ingin menyampaikan satu kesimpulan sementara bahwa rasa cintalah yang membuat Adam dan Hawa tersungkur ke Bumi ! Kalau saja saat itu Adam lebih bisa menggunakan logika dan rasionalitasnya (tentu saja kalau saat itu sudah dianugerahkan kemampuan berpikir dan diisi oleh Tuhan) untuk lebih mementingkan perintah dan larangan Tuhan, tentu dia akan menomor duakan rasa cintanya pada Hawa. Tapi sejarah dari seluruh kitab agama Samawi di dunia ini mengatakan bahwa faktanya Adam telah menomorduakan perintah dan larangan Tuhan ! Inilah dosa pertama dan akan kekal selamanya.

Melalui asumsi dan cerita tadi, apakah kemudian kita perlu pertanyakan lagi mengapa sampai seorang gadis rela untuk melepaskan keperawanan dan kemolekan tubuhnya untuk pertama kali pada seorang pria atas nama cinta ? apakah kita juga mau pertanyakan seorang pengusaha kelas kakap begitu terlena hingga menghabiskan seluruh kekayaannya karena desahan dan liukan manja serta bisikan kata cinta dari sang gundiknya ? Kejatuhan Mussolini, Hitler, Napoleon Bonaparte, bahkan ssstttt ….. katanya kejatuhan presiden Soekarno sendiri berawal dari terlalu percaya atas omongan dan nasehat dari sosok wanita ? Cinta sucikah itu namanya kalau membawa pada kehancuran dan kemelaratan ? seperti pada sederet nama yang tadi aku tuliskan. Kesucian cintakah namanya kalau kemudian perut seorang gadis muda belia tiba-tiba membuncit dan kemudian dia ditelantarkan oleh lingkungan sosialnya ? atas nama cinta pulakah kemudian sebuah resepsi perkawinan diselenggarakan dengan sang mempelai wanita yang sudah mengandung janin berusia lima bulan ?

Konsep cinta sekali lagi begitu bergeser dari konsep yang tertuang begitu agung dan suci dalam Weda dan Mahabrata. Cinta tak bisa lagi hanya dipandang secara kaku, begitu indah penuh keluhuran dan bertabur kesucian. Cinta dalam wujudnya yang nyata tidak lebih sebagai media pemenuhan nafsu dunia. Nafsu untuk menguasai, nafsu untuk mendominasi, nafsu untuk mengangkangi, nafsu untuk mengatur, bahkan menjadi sebuah tolls semata saat birahi naik begitu tinggi. Zaman bergeser. Masa berganti. Cerita cinta selalu berputar antara sosok putih halus budi, dengan sosok hitam suka memerawani. Dalam cerita selalu digambarkan sang sosok putih menang untuk kemudian mendapatkan wanita pujaannya. Cerita akan berakhir di situ … Happy ending . Tapi apa setelah itu ? sama saja bahwa sang wanita akan menyerahkan dirinya (termasuk pula keperawannya) pada sosok putih halus budi itu, yang dengan menyeringai akan menikmati pula proses penuntasan birahi. Semua sama saja. Bedanya : kalau dengan sosok hitam jahat itu sang wanita tidak bersedia dan mengharamkannya, namun dengan sosok putih maka sang wanita bersedia dan merelakannya. Tidak akan berbeda prosesinya, bahkan justru dengan sosok putih halus budi semua bisa dituntaskan sesuai dengan instink kebinatangannya. Saat itulah begitu sulit untuk membedakan apakah lenguhan yang terdengar merupakan tanda kesucian cinta yang dibimbing oleh Tuhan melalui malaikatnya, atau hempasan nafsu birahi semata yang diarahkan sepenuhnya oleh sang Iblis durjana yang menontonnya dengan senang dan tertawa ? kalau sudah sampai pada titik pemikiran demikian maka sampai pulalah kita pada alasan sebenarnya mengapa pemahaman antara relasi cinta dan seks di zaman Victoria telah begitu bergeser sedemikian rupa hingga tidak lagi mau melibatkan cinta di dalamnya. Satu hal yang mungkin bisa diambil dari kalimat pembuka pada tulisan ini adalah bahwa setiap zaman sebenarnya telah berupaya untuk jujur dan terbuka terhadap dirinya sendiri. Pada perkembangannya kemudian, keterbukaan itu tidak selalu bisa diterima dengan lapang dada oleh setiap orang yang hidup pada zaman itu. Hal inilah yang kemudian menimbulkan sosok-sosok munafik tak terperi, sosok-sosok yang bagaikan srigala berbulu kelinci, bahkan tak segan-segan untuk menggunakan asma Tuhan (bersumpah kanan kiri) untuk menutupi kejahatan birahi. Lihat saja tuh Syekh Puji ! Tak pernah mau mengakui bahwa dirinya telah terperangkap dalam nafsu dan mencoba untuk menutupinya dengan ungkapan cinta suci penuh arti. Seakan lupa bahwa ketergelinciran Adam dan Hawa memang sudah ditulis skenarionya berlandaskan cinta birahi. Sudah saatnya kita mencoba untuk lebih jujur pada diri sendiri. Terimalah cinta seperti air yang terus mengalir, berbelok kekanan berbelok ke kiri. Kadang arusnya deras, kadang tersendat. Hidup memang terus mengalir, dan sudah selayaknya kita tidak terlalu mencari kambing hitam atas segala keterjebakan dan dosa yang telah dilakukan. Iblis yang selalu kita vonis sebagai segala biang keladi pun terkadang tidak merelakan dakwaan atas dirinya. Kenapa sih tidak berani kembali pada hati nurani ? jujur pada diri sendiri ?

Kota Tua, 4 Desember 08

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mas Sulhan,hayu ni, tulisannya mas Sulhan bangeeeeeeeeeeeeetttttt
hehehehehehe
^_~

HanHarsa mengatakan...

Jujur sosial semakin sulit, kenapa untuk jujur personalpun kita pelit ? he he he

fly Hayu ... fly ...