Selasa, 17 Maret 2009

Terbenam dalam Ideologi ala - Althusser

Taken from “Tentang Ideologi :
Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies”

Hari ini mari kita bicarakan dan diskusikan tentang ide dan pemikiran Althusser. Sosok penulis kelahiran Aljazair ini mengguncangkan dunia setelah meneriakkan : ideologi tidak pernah mati ! Pemaparannya tentang ideologi sebagai sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia membuat buku ‘Essays on Ideology’ (1984) menjadi menarik untuk ditelusuri. Buku tersebut telah diterjemahkan penerbit Jalasutra, Yogyakarta pada tahun 2004 dengan kata pengantar yang diberikan Bagus Takwin. Ide diskusi kali ini sebenarnya lebih pada pengembangan paparan Takwin saja, yakni tentang pertanyaan mendasar : mengapa dan bagaimana manusia tetap tergenang dalam samudera ideologi ? untuk itu mari kita mulai diskusi ini dengan membaca Basmallah bersama-sama .... Bismillah... (huss, emang ini acara kendurian kampung !)

LAHIRNYA IDEOLOGI
Bagi Althusser, kekuatan ideologi lahir dari kesanggupannya untuk melibatkan kelas subordinat dalam praktik, hingga dapat menuntun mereka pada identitas konstruk sosial, ataupun subjektivitas tertentu yang melibatkan diri mereka dengan ideologi tersebut, yang jelas-jelas berlawanan dengan kepentingan sosial politis mereka sendiri (2004 : xi). Lebih lanjut doi mengatakan ideologi lebih merupakan partisipasi segenap kelas sosial, bukan sekadar seperangkat ide yang dipaksakan oleh suatu kelas terhadap kelas sosial lainnya. Fakta bahwa segenap kelas berpartisipasi di dalam praktek tersebut tidak berarti bahwa praktik itu sendiri tidak melayani kepentingan kelas dominan. Yang dimaksud oleh Althusser adalah bahwa ideologi bersifat lebih efektif dibandingkan apa yang diberikan oleh Marx, karena ideologi bekerja dari dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam menginskripsikan cara berpikir dan cara hidup tertentu pada segenap kelas.

DUA PENDEKATAN IDEOLOGI
Ideologi menurut Althusser telah menjerat dan melingkupi manusia sejak kali pertama manusia dilahirkan. Melalui apa ideologi itu telah menjerat kita ? dengan menggunakan pendekatan analisis psikologis gaya Lacan seperti yang dipaparkan oleh Bagus Takwin, ia menjelaskan bahwa semua itu dilakukan dengan menumbuhkan harapan. Seorang calon bayi yang bakal terlahir, sejak dalam kandungan sudah dibebani dengan harapan-harapan ibu bapaknya. Dia sudah dipersiapkan menjadi pelengkap struktur keluarga, berperan sebagai anak yang akan menyandang nama ayahnya, dan dipersiapkan untuk menjalankan tugas-tugas yang dikandung perannya (2004 : xiii – xix). Inilah awal beroperasinya sebuah ideologi dalam kehidupan manusia. Bagaimana sebenarnya Althusser bisa menjelaskan semua ini ? Takwin menjelaskan bahwa Althusser menggunakan dua pendekatan untuk menjabarkan bagaimana ideologi memanggil dan menempatkan individu sebagai subjek.

Pertama, pendekatan psikoanalisis Freudian yang ditafsirkan oleh Jacques Lacan yang menunjukkan bahwa individu selalu telah menjadi subjek, bahkan sebelum lahir. Menurut Lacan sebelum kelahirannya, seorang anak selalu telah diangkat di dalam dan oleh konfigurasi ideologi keluarga yang khusus, yang “diharapkan” telah dipahami bersama. Dari sinilah Althusser meminjam paham Freud. Menurut paham psikoanalisis asumsi dasar kehidupan manusia adalah adanya insting hidup yang mendorong individu untuk mempertahankan hidupanya dan menjaga kelangsungan spesiesnya. Insting inilah yang menjadi dasar mengapa orang tua ingin anaknya kelak menjadi sosok yang berguna, berhasil dalam hidup, bahkan melebihi keberhasilan orang tuanya. Muncullah harapan-harapan itu ! Sementara itu dari Lacan dijelaskan bahwa kemampuan manusia belajar dan meningkatkan keunggulan secara psikologis berangkat dari keterbelakangannya ketika lahir. Sejalan dengan pandangan biolog Bolk (nah… nama ini tidak pernah nyangkut dalam kamus otak dan memori gue, ntar deh gue cari …. He he he ) yang mengatakan bahwa manusia itu terlalu cepat lahir ke dunia, sehingga organ-organ fisiologisnya belum matang dan harus menjalani masa ketergantungan yang lama. Minus secara fisiologis yang menyebabkan masa ketergantungan yang lama, memberi kesempatan manusia untuk mengalami masa belajar yang lama dan mengembangkan kualitas-kualitas psikologis. Fakta menunjukkan bahwa keunggulan manusia dari makhluk hidup lainnya adalah kualitas psikologisnya yang jauh di atas rata-rata makhluk hidup lain. Kualitas psikologis itu memungkinkan manusia untuk bertahan hidup dan melanggengkan spesiesnya lalu dipolakan dalam kebudayaan dan peradaban, menjelma struktur yang kemudian membentuk individu-individu baru sebagai subjek penerus spesies manusia.

Pendekatan kedua bersandar sepenuhnya pada ide materialisme Marx. Takdir manusia yang tidak bisa hidup sendirian dalam mengarungi kehidupan memunculkan dua pola dasar pilihan perilaku : bermusuhan atau berteman ! kebutuhan bagi individu untuk berkelompok menimbulkan kebutuhan kelompok untuk memelihara kepentingan setiap anggotanya. Lahirlah upaya setiap individu untuk bersatu dalam kelompok demi menjaga tetap eksisnya usaha pemenuhan kebutuhan. Wujud konkret semua itu adalah produksi. Usaha itu terus dilakukan dan setiap usaha yang dianggap baik bagi produksi dipertahankan, dibakukan, dan diwariskan kepada generasi penerus (direproduksi). Selain reproduksi itu menciptakan sumber daya manusia dalam wujud tenaga kerja yang terampil guna menghasilkan sumberdaya pemenuh kebutuhan, juga ada reproduksi kesiapsediaan dan kepatuhan. Reproduksi inilah yang sejalan dengan ide Antonio Gramsci tentang hegemoni. Althusser mengatakan bahwa segala bentuk institusi semacam sekolah, tentara, bahkan institusi keagamaan berperan melanggengkan kebutuhan reproduksi kepatuhan tersebut. Dalam penjelasan Althusser, semua agen produksi, eksploitasi dan represi, termasuk para ‘profesional dari ideologi’, dengan cara sedemikian rupa harus ikut bergerak seirama dalam ideologi yang mendukung produksi agar dapat menjalankan tugasnya dengan ‘teliti’ dan ‘berguna’ bagi reproduksi produksi. Berbagai pihak dalam masyarakat terlibat dalam proses reproduksi dan produksi dalam relasi produksi yang terus dipertahankan dan dikembangkan (2004 : xxii – xxiv).

Dari dua pendekatan itu sampailah kita pada kesimpulan Althusser tentang ideologi. Menurutnya manusia itu sebenarnya memiliki karakter dasar sebagai manusia ideologi. Dengan tegas Althusser mengatakan “ dalam posisi ini, sama saja bila dikatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang berada di luar ideologi (bagi dirinya sendiri), atau pada saat yang sama, tidak ada sesuatu apapun yang tidak berada di luar ideologi (bagi ilmu dan realitas).” Jadi manusia telah dan akan terus terbenam dalam ideologi, sejak sebelum jadi bayi hingga mati. Nah … loe… mau gimana lageeee ?

Tidak ada komentar: