Sabtu, 14 Agustus 2010

Wanita dan Betina : Mengundang Asa !

Betina memang selalu begitu ...
Dia dekap aku dengan maksud memberikan keharuman dan kewangian badan. Keharuman tersaput lulur satu jam barusan. Meski dia tahu bahwa rangkaian slide power point di depanku masih menuntut penuntasan. Dia jadikan diri stimulan. Aku tersenyum. Menoleh. Menemukan wajah penuh gairah. Pelan, kutelusuri bibir itu dengan nakalnya lidah. Praktis ada hal lain yang juga menuntut untuk dituntaskan. Dia memelukku dari belakang. Pengalamanku memberi sinyal tentang sesuatu yang membuncah. Menunggu untuk dijamah. Biasanya aku tidak akan memberi jeda. Aku tidak akan membuat waktu terbuang percuma. Apalagi dengan keharuman lulur mandi. Sesegera mungkin kutuntaskan dan kuakhiri. Yang ada di otakku begitu mudah dinalar dan dilakukan, di 206 semua itu dimungkinkan !

Wanita tidak sesederhana itu ...
Sambil menyeruput bir dingin dalam cawan, ekor mataku memperhatikan wajahmu. Tak tercium keharuman yang mengundang. Meski aku tahu dia baru saja bertabur sabun dalam bath tub jam dua malam. Wajahnya bersinar menandakan kecerdasan. Sedikit nampak jiwa yang kelelahan. Namun tetap saja tak tercandra sempurna. Persepsi memang tak pernah mampu mengakhiri diri. Aku mulai lontarkan kata membuka wacana. Tak ada sentuhan. Apalagi ciuman. Aku lebih suka mendengar lontaran kata cerdas dari bibirnya, ketimbang harus mengganyang bibir itu dengan ciuman penuh nafsu. Disamping itu, belum tentu dia mau ? Kenapa aku harus melakukan itu kalau aku yakin akan berakhir dengan malu ? Tak ada pesan atas hasrat yang tersampaikan. Sebagaimana pangalaman memberi pelajaran, aku akan terus ikuti wacana dan konsensus yang telah terpetakan. Yang ada di otakku begitu sulit untuk dinalar, terlebih untuk dipraktekkan. Meski mungkin segala konteks tempat dan waktu memungkinkan, di 152 tak perlulah semua itu dilakukan !

Amarah Betina memang begitu gampang terlampiaskan ...
Bercerita dia tentang kondisi terpuruknya sehabis dibohongi sang mantan. Katanya, lelaki itu bajingan ! Setelah puas meniduri dan menghabisi rasa kasihnya sebagai sebuah investasi, ternyata lelaki itu memiliki anak dan istri. Menangkap asa dia ikuti lelaki itu ke Jakarta. Menahan geram setelah tahu hanya menjadi simpanan, tempat semua sperma dimuncratkan. Pantaslah kemudian dia menumpahkan segala kekesalan dan dendamnya di atas tubuhku. Dia nikmati aku. Dia lampiaskan amarah dengan menunda dan menunda ejakulasi. Dia ingin mempermainkanku. Sesedikit mungkin dia tahu aku begitu menikmati. Aku tak perduli. Dan tak perlulah dalih itu, aku selalu menikmati setiap permainan. Menikmati setiap sesi peralihan gaya dan gerakan. Mengikuti setiap ritme yang disodorkan. Menikmati wajah tersaput marah. Mata yang menatap sinis penuh jengah. Aku biarkan dia memuaskan diri. Aku sediakan diri menjadi objek kegamangan dan kelabilan. Toh aku berpikir bahwa ini hanya sebatas perpaduan Lingga dan Yoni. Seperti halnya aku menghayati Psikoanalisis Freud tentang cinta yang tak lebih dari sebuah kontak bodi mencari esensi. Tanpa pretensi main hati. Toh di 206 semua insting dan naluri bisa dilakoni.


Misteri wanita tak mudah terpecahkan ....
Bercerita dia tentang posisi esensialisnya. Sebuah posisi yang lahir dari patahan-patahan perjalanan hidup. Sebuah perjalanan hidup yang menurutku masih menunggu sebuah illuminati. Terperangkap pada kesemuan dan garis batas kekakuan. Dimana posisi objek dianggap subjek. Penuh keyakinan, namun memancing rasa kasihan. Tanpa kegeraman dia juga bercerita tentang sosok lelaki bajingan. Yang menutupi belang dengan kembang setaman. Aku bayangkan wajah lelaki itu sama seperti rupa Harut & Ma’rut, sepasang malaikat yang diuji menjadi manusia. Munafik di setiap sudutnya. Kala itu, dia masih terlalu muda untuk mengerti dunia. Kala itu, dia masih terlalu rapuh untuk tidak tersimpuh. Kala itu, dia selalu mencoba berdamai dengan fenomena. Menahan asa dia tanggung derita. Menahan geram dia bereskperimen dengan tubuhnya. Mencoba mengurai definisi dari sebuah kata otonomi. Dari semua itu, bagiku langkah-langkahnya akan terbalut misteri. Mencari sesuatu yang samar. Sekaligus mudah tergelincir pada titik sumir berbuah getir. Otakku berupaya keras mencerna setiap kata. Meladeni benturan dua dunia. Mencoba menciptakan kotak diantara tesa dan antitesa. Tapi otakku buntu. Teringat Sartre yang cuma menawarkan dua area : being atau nothing ? Setiap kali kita menoleransi menciptakan sintesa antara keduanya, kita akan masuk dalam labirin misteri. Bagaimana mungkin mendamaikan esensi dan eksistensi ? Saat dia terus berusaha mendamaikan dua titik itu, dia akan membulatkan diri menjadi misteri tanpa henti. Ruang tiba-tiba menjadi penuh dengan segala panasaran dan pertanyaan tanpa jawaban. Satu hal yang bisa kusimpulkan, ini permainan keliaran pikiran. Begitu mengasyikkan. Aku tidak boleh memuaskan dan terpuaskan. Jangan dihentikan ! Ruang 152 memberi pelataran, bahwa semua masih mungkin dilanjutkan. Karena misteri memang tidak menuntut ejakulasi.

Wanita dan Betina memang berbeda ...
Keduanya menuntut ketepatan kadar dan ketepatan rasa yang tidak sama. Menikmati permainan adalah sejumput energi agar semua bisa berjalan. Berganti stimulus dan respon tanpa ada paksaan. Tiba-tiba aku teringat wajah arif Johan Huizinga. Sejarawan Belanda ini memberi empat ciri tentang permainan. Pertama, permainan itu suatu voluntary activity (aktivitas yang dilakukan sukarela), di dalamnya terkandung makna kebebasan tanpa tekanan. Kedua, bermain selalu dipandang bukanlah sungguhan (play is not “ordinary” or “real” life). Dalam konteks permainan, pihak tertentu merasa bahwa apa yang sedang dimainkan bukanlah sebuah realitas kehidupan sesungguhnya ; Ketiga, permainan itu secludedness, dia adalah keterbatasan (limitedness). Sebuah permainan hanya dimainkan dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ia berlangsung dan bermakna dalam dirinya sendiri. Keempat, permainan menciptakan ketertiban (order). Bahkan ia adalah ketertiban itu sendiri. Dalam sebuah permainan, seluruh pihak yang bermain harus taat pada sebuah aturan khusus yang harus dipatuhi. Ketidakrelaan mengikuti aturan membuat permainan tidak bisa lagi dijalankan.

Bagiku, Betina adalah tentang not ‘ordinary’ or ‘real’ life , Wanita adalah tentang order dan kesepakatan. Berinteraksi dengan keduanya harus dijalani dengan prinsip voluntary activity. Namun paling tidak aku semakin menyadari bahwa entah itu wanita, entah itu betina harus disentuh dengan dawai limitedness (keterbatasan). Sebab di situlah terletak kenikmatan permainan sebagai sebuah misteri tak berkesudahan. Semakin dibatasi, dia akan menuntut keliaran. Semakin dikekang, dia akan menerjang. Pada titik ini, entah satu lima dua ataupun dua kosong enam hanya menyisakan keterbatasan. Keterbatasan atas waktu dan ruang. Yang masih menunggu untuk dilanjutkan. Berisi setumpuk asa yang digemakan. Sebuah asa akan permainan memabukkan.

Anda berbeda saran, atau hanya sebuah gumam ?


Agustus, 2010

Tidak ada komentar: