Sabtu, 30 Mei 2009

Harsa dan Narsisisme ?

Selalu saja ada yang menarik setiap kali menghabiskan waktu bersama Harsa, anakku. Terkadang aku baru menyadari bahwa dunia anak-anak adalah dunia dimana simbol bermain dengan kebebasan sepenuhnya telah tercipta. Pada dunia anaklah segala macam “dunia” bisa diciptakannya. Ia bisa manganggap apapun menjadi sesuatu apapun juga. Tak terbatasi oleh kungkungan rasionalitas dan emosionalitas. Dua hal yang selalu mendera manusia dewasa, yang tak pernah sadar hidup hanya dikendalikan oleh egonya. Itulah Harsa. Hari ini tanggal 31 Mei 2009 mungkin dia tidak pernah tahu bahwa dia sudah berumur tiga tahun tujuh bulan. Usia yang masih sangat muda. Selalu menjanjikan permainan demi permainan. Homo luden dalam tataran sangat awal. Akupun terkadang ikut larut dalam permainan dunianya. Ikut tertawa bersamanya. Kadang menuntaskan kejengkelan dengan menghardiknya (ini seh terbawa gejala hipertensiku .. he he he). Sangat membanggakan apabila dia berperilaku nakal dan unik sebagai sebuah ciri khas. Dunia Harsa memang menarik. Sama menariknya dengan dunia anak-anak lain. Namun ada satu kebiasaan Harsa yang menurutku sangat unik. Dia sangat menikmati ketika mamandang dirinya di cermin atau foto dirinya sebagai hasil japretan istriku, Erni.
Perilaku sangat menikmati wajah dirinya dicermin, lalu kemudian senyam-senyum sendiri sering membuatku terkekeh-kekeh karena gembira. Dia telah belajar langsung teori fase cermin dari Jacques Lacan (Bracher, 1997). Dia mengenal dirinya, sekaligus menikmati dirinya dalam sebingkai cermin. Sekalipun mungkin nanti setelah dia besar aku akan menjelaskan bahwa yang muncul dicermin itu bukanlah dirinya. Itulah diri konstruksi. Tapi itu mungkin nanti saja, setelah dia dewasa dan mau mengerti tentang diri. Saat ini dia masih terlalu kecil. Harsa memang suka bercermin. Suka menikmati wajah dirinya. Mungkin dia menemukan keasyikan tersendiri ketika berinteraksi dengan “dirinya” yang lain, sosok yang muncul di cermin. Tapi secara awam orang akan mengkategorikan perilaku itu sebagai manifestasi narsis atas diri. Sebuah kata dari labirin psikoanalisis Freudian. Narsisisme diambil dari mite Narcissus dari Yunani. Kata itu bisa menunjuk pada sebuah perversi seksual dimana orang memperlakukan tubuhnya sendiri seperti obyek seks yang didambakan. Pengertian lain mengatakan bahwa narsisme merupakan investasi libido apapun di dalamnya karena itu kateksis dari aspek diri yang berlawanan dengan obyek eksternal. Narsisisme bukanlah patologi. Di dalamnya tersimpan sejuta energi percaya diri. “Mending narsis ketimbang minder”, katanya sih begitu. Kata terakhir ini menciptakan sosok-sosok yang neurosis secara sosial.

Namun dengan segala keyakinanku, aku berani mengatakan Harsa tidaklah terperangkap dalam neurosis demikian. Yang terjadi saat ini pada dirinya hanyalah sebatas senang melihat diri yang lain yang muncul di cermin. Tak kurang tak lebih. Membayangkan apabila nanti setelah dia besar aku akan bercerita gaya nakal dan genit dia di depan cermin tentu akan membuat kesan romantisme tersendiri dalam dirinya. Biasanya kita akan sangat ingin tahu seperti apa kita saat masih kecil. Saat mana tak satupun dari peristiwa-peristiwa itu sempat terekam oleh otak kita. Mengingat otak kita baru bisa merekam sempurna saat kita berumur empat hingga lima tahun. Nah tahun-tahun sebelum itu lebih banyak dinamakan fase “kegelapan” dalam diri kita. Kita tak tahu dunia. Kita tak terlalu bisa membedakan mana paman, ayah, dan bahkan kakek. Secara instingtif kita hanya merasa bahwa salah satu lebih lembut dan lebih sayang dibanding lain. Semua berdasarkan instingtif semata. Otak belum bisa banyak membantu. Dia berkembang seiring waktu. Tapi percayalah, bahwa justru saat-saat itulah saat yang paling menarik dan terindah dalam hidup. Saat mana kita tak memiliki kehendak bebas. Otomatis itu menjadi saat-saat dimana kita tidak dituntut untuk bertanggung jawab atas apapun yang kita lakukan. Merdeka seutuhnya. Egois sepenuhnya. Memang enak menjadi manusia tanpa tanggung jawab. Harsa berada dalam fase itu. Aku selalu suka memproyeksikan diriku seperti halnya dia. Membayangkan betapa aku sangat disayang, dimanja, dituruti kemauannya oleh ayah, ibu, dan kakak-kakakku. Harsa memiliki kekurangan dibanding diriku yang ditakdirkan lahir sebagai anak bungsu. Kakakku sembilan. Aku sendiri anak ke sepuluh. Harsa anak sulung. Dia tidak memiliki kakak. Persis seperti takdir istriku yang terlahir sebagai anak sulung. Biasanya mereka adalah orang-orang yang tegar. Tak mau bermanja-manja. Tahan terhadap cobaan dan tantangan. Berbeda 180 derajat dengan anak bungsu sepertiku. Anak sulung akan labih cenderung merasa dirinya berkuasa atas adik-adiknya. Dia memiliki beban lebih berat dalam menempuh hidup. Mungkin Harsa akan menjadi seperti itu. Terlepas dari mampu atau tidaknya dia, harapanku cuma agar dia tidak pernah terdikte untuk menjadi “sosok lain” dari apa yang dirasa nyaman olehnya. Baiklah ..... kita kembali pada ide awal tulisanku kali ini. Sebuah tulisan yang berupaya menjelaskan seberapa besar ide dan perilaku narsis melekat dalam diri anak sulungku itu. Harsa yang narsis. Sekaligus juga mengoreksi kesalahan terminologi dan konseptual yang terus berlangsung hingga hari ini atas kata “narsis”.
Asal Mula ...

Narsisisme diambil dari mite Narcissus dari Yunani, yang berkembang menjadi batasan akan perversi seksual, dimana orang memperlakukan tubuhnya sendiri seperti obyek seks yang didambakan. Dalam teori Freud, investasi libido atas apapun di dalamnya yang mengakibatkan terjadinya kateksis dari aspek diri yang berlawanan dengan obyek eksternal. Kebanyakan orang mengira bahwa narsis ini patologis. Namun sesungguhnya dia bukanlah sesuatu yang merugikan dan bisa dimaknai sebuah “kekurang normalan”. Dia diperlukan untuk mencari dan mengidentifikasi diri dalam konteks membina relasi dengan lingkungan sosial dan orang lain. Setiap kita membutuhkan sejumput narsis. Tentu agar memahami apa nilai lebih dan kekuatan kita. Pemahaman yang saya kutip dari Ensiklopedi Psikologi (1996) yang disusun Rom Harre & Roger Lamb tadi mensiratkan kompleksitas yang diemban oleh terminologi narsis dan narsisisme tadi. Kesalahan terbesar biasanya bermula ketika kita memberikan muatan negatif atas kata itu.

Gambaran sederhana tentang narsisisme ini diberikan oleh Jeremy Holmes (2003) dalam bukunya Narcissism. Kata itu mewujud nyata dalam bentuk cermin yang kita pandang setiap hari. Kita sering sekali dibuat kagum oleh cermin. Mengapa ? kita asyik mengagumi diri kita saat bercermin. Cermin merupakan objek yang seketika berubah menjadi subjek saat kita sudah terpaku berdiri dihadapannya. Muncul dua rasa yang berbeda, suka cita atau kengerian tiada tara. Yang pertama dirasakan oleh seseorang yang merasa yakin bahwa dirinya menarik, pantas, bangga atas elemen dan tekstrur wajah dan tubuh yang hadir dalam cermin dihadapannya. Sementara rasa kedua muncul dari ketidakrelaan menerima sosok yang ada di dalam cermin dikarenakan dia tidak sesuai dengan “diri ideal” yang dicitrakan dalam media dan konsensus masyarakat. Holmes menyebutkan inilah sisi dilematis dari narsisisme. Pemahaman narsisisme lebih mengacu pada tindak lanjut dari rasa yang pertama. Apakah seseorang yang merasa yakin akan kejelekan wajahnya mau berlama-lama bercermin dan mematut diri ? apakah seseorang yang rusak sebagian besar wajahnya mau berlama-lama di depan cermin ? Dia benci cermin. Itu manifestasi benci dengan keadaan dirinya. Mungkin setelah kecelakaan pertama yang menimpa dirinya sebelum dia mati karena narkoba, salah satu barang yang paling dibenci Alda Risma adalah cermin. Mengapa ? karena kecelakaan itu telah menghancurkan wajah ayu dan melankolisnya. Kenyataan yang membuat dia mencari pelarian dan terjerat lebih dalam pada narkoba, berujung maut yang menimpa. Sejak Havelock Ellis pada akhir abad ke-19 sebagai seorang seksologis menjadi orang pertama yang menghubungkan mitos Narcissus klasik dengan hambatan psikologis, maka sejak saat itu kajian tentang narsisisme menyeruak ke dalam ranah kesadaran manusia akan hakekat dirinya. Secara teoritis, aliran psikologi yang cukup serius mengurai narsisisme adalah psikoanalisis.

Penjelasan Psikoanalisis ...

Dalam upaya menjelaskan tentang konsep tersebut, Freud (2006: 478-479) sendiri membedakan antara konsep narsisisme yang dibandingkan dengan konsep egoisme. Menurutnya, narsisisme adalah pelengkap libidinal egoisme. Ketika kita berbicara tentang egoisme, kita sedang berpikir hanya tentang orang yang bersangkutan, narsisisme juga berhubungan dengan pemuasan kebutuhan libidinalnya. Adalah mungkin untuk menindaklanjuti keduanya secara terpisah untuk jarak yang cukup jauh sebagai motif praktis dalam kehidupan. Seseorang mungkin secara mutlak egoistis tetapi memiliki keterikatan libido yang kuat dengan objek, sejauh pemuasan libido dalam sebuah objek merupakan kebutuhan egonya. Egoismenya kemudian akan melihat bahwa keinginannya terhadap objek tidak melukai egonya. Seseorang mungkin egoistis dan pada waktu yang sama juga sangat narsisistik (yaitu tidak merasa butuh terhadap objek), dan ini terjadi lagi entah dalam bentuk yang diambil oleh kebutuhan akan pemuasan seksual langsung atau dalam bentuk perasaan yang lebih tinggi yang berasal dari kebutuhan seksual yang secara umum disebut “cinta”, dan dengan cara tersebut dikontraskan dengan “sensualitas”. Dalam semua situasi ini egoisme adalah unsur yang jelas dengan sindirinya dan konstan, dan narsisisme variabelnya.

Gagasan psikoanalisis tentang narsisisme bisa dibagi ke dalam tiga bagian yang berbeda : narsisisme libidinal (berkaitan dengan libido), narsisisme destruktif (bersifat merusak), dan narsisisme yang sehat. Tak penting untuk terlalu mengungkap mana dari tiga bagian itu yang telah secara prinsipil layak diwaspadai, seperti yang dikatakan Freud bahwa narsisisme destruktif akan membawa pada kehancuran. Namun secara psikologis masyarakat Amerika saat ini tengah kebingungan dengan sebuah epidemi narsisisme sebagai buah dari over-confidence mereka sendiri. Seperti ditulis dengan cerdas oleh Twenge & Campbell (2009) bahwa over-confidence dalam masyarakat AS akan menciptakan fenomena sama seperti halnya obesitas. Penikmatan atas konsumsi makanan menciptakan generasi yang selalu bermasalah dengan berat badan. Mereka menyadari kelebihan berat badan akan bermasalah bukan cuma secara sosial, namun juga akan berbuah kematian. Tapi anehnya mereka menemukan dan menyadari itu setelah habis-habisan mempraktekkan pola konsumsi yang tidak sehat. Seperti itulah narsisme yang muncul karena kita habis-habisan ingin memperoleh dan mendapatkan confidence atas diri kita. Hasilnya adalah over-confidence. Kegelisahan atas epidemi narsisisme ini dituangkan dalam buku mereka untuk mengingatkan akan bahaya kepercayaan diri yang terlalu berlebihan justru akan menciptakan masyarakat anarki. Tidak ada lagi sosok yang mau menjadi anak buah. Semua ingin jadi pemimpin !

Kembali pada kebiasaan bercermin si Harsa, anakku. Sungguh aku yakin bahwa dia tidak akan menjadi sosok pencipta masyarakat seperti yang dikatakan Twenge & Campbell di atas. Dia hanya menikmati cermin sebatas have fun anak kecil yang selalu asyik dengan dunia interaksionisme simboliknya. Semoga memang demikian .....

Referensi :

Bracher, Mark (1997). Lacan, Discourse, and Social Change : A Psychoanalytic Cultural Criticism, Cornel University Press, New York.

Freud, Sigmund, (2006). Pengantar Umum Psikonalisis Sigmund Freud, Penerjemah Haris Setiowati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Holmes, Jeremy (2003). Narsisisme, Penerjemah Basuki Heri Winarno, Penerbit Pohon Sukma, Jogjakarta.

Twenge, Jean M., & W. Keith Campbell, (2009). The Narcissism Epidemic : Living in the Age of Entitlement, Free Press, New York.

Tidak ada komentar: