Rabu, 07 April 2010

Mencoba Bicara Cinta

There is nothing either good or bad
but thinking makes it so !

(William Shakespeare)



Hari ini saya mau bicara cinta ...
Cinta dalam beragam makna dan pikiran manusia,

Dalam ranah filsafat modern, kita temukan pertentangan tentang arti cinta, juga tentang ada-tiadanya cinta. Saya mulai dengan pemikiran yang paling radikal dari Friedrich W. Nietzsche yang menolak cinta sebagai bagian dari upayanya menolak filsafat sokratik dan platonik. Dalam buku "The Gay Science", Nietzsche menegaskan bahwa apa yang oleh orang-orang disebut cinta tak lain dari sebentuk egoisme yang ditutup-tutupi dengan ekspresi ‘sok peduli’ atau ‘pura-pura rela berkorban’. Pada dasarnya, setiap orang digerakkan oleh kehendak untuk berkuasa. Hubungan percintaan pun pada dasarnya adalah hubungan kuasa. Mereka yang terlibat dalam hubungan cinta berusaha untuk menguasai orang yang diakui sebagai yang dicintai. Setiap orang berusaha untuk menguasai hasrat orang lain dan itu sangat menonjol dalam cinta. Cinta dalam pandangan Nietzsche merupakan bentuk lain dari perbudakan, bahkan bentuk yang paling parah dari perbudakan. Dalam hubungan cinta, orang ingin menguasai hasrat orang lain, bukan hanya sekadar menguasai tubuh dan pikiran. Hasrat yang menjadi dasar dari kehendak merupakan bagian paling vital dari manusia. Menguasai hasrat seseorang berarti menguasai seluruh diri orang itu, menguasai seluruh aktivitas dan kehidupannya. Hubungan cinta menuntut orang hanya mengarahkan hasratnya kepada orang yang dicintai, menuntut keseluruhan jiwa, raga dan kehidupan dari orang yang terlibat di dalam, tanpa syarat, tanpa mempertimbangkan kondisi apa pun. Total. Ya, bagi Nietzsche, cinta adalah bentuk totalitarianisme paling ekstrem.

Oh iya ...
Hari ini saya mau bicara cinta,
Cinta dalam kesejarahan yang tak menyejarah,

Dalam sebuah bukunya tentang filsafat “Memoar seorang Filosof”, Moore menyesalkan betapa banyaknya filsof yang sama sekali tidak memperdulikan cinta dan seksualitas sebagai salah satu bahasan dalam filsafat. Padahal itulah unsur dan titik utama munculnya kehidupan. Keberadaan itu sendiri. Mengapa sebuah ilmu yang selalu berbicara tentang “ada” jarang sekali membicarakan tentang penyebab pengadaan manusia ? yakni hubungan seksual itu sendiri. Mari kita mulai yang paling kasat mata dan tentu saja, terasa. Bersetubuh sebagai ritual tertua manusia ! kalau ini sih nampaknya cinta yang terlalu bersendikan materialisme ketubuhan... entahlah ...
Dalam ringkasan Ihya Ulumuddinnya, Ghazali mengatakan bahwa kenikmatan bersetubuh menundukkan manusia karena dua faedah besar. Pertama, dia menghasilkan kenikmatan. Janji akan kenikmatan ini jelas sekali terlihat dalam konsep-konsep bidadari yang akan menemani sosok beriman nantinya di akherat. Dalam buku 'Brides of Heaven' (2006:243) disebutkan bahwa kenikmatan memperoleh bidadari itu salah satu penyebab banyak sekali para pejuang Islam bersedia mati syahid. Kalau mati syahid nanti di Surga akan menikah dengan bidadari. Lalu mati menjadi pilihan yang melegakan. Meledakkan dirinya untuk membunuh sekawanan tentara Israel di Palestina. Saya sendiri tidak bisa membayangkan. Tentu saja dengan pertanyaan, iya kalo yang mati syahid itu laki-laki (tentu nikmat mendapat bidadari), tapi bagaimana kalau yang mati syahid itu perempuan (apa nanti lesbianisme dan poliandri akan dilegalkan di surga sono ? huss.. bagian itu tak perlu dibahas!).

Alasan kedua, bersetubuh akan meniscayakan kelanggengan keturunan dan kekekalan eksistensi. Dua hal yang membuat Ha’rut dan Ma’rut sebagai malaikat tidak mampu menyandangnya, seperti ditulis dalam novel menarik karya Ali Ahmad Baktsir (2007) dengan setting kebesaran Babilonia. Mereka tergoda. Mulai menyesali mengapa mereka berani mengambil tantangan mencoba hidup sebagai manusia. Jauh lebih melegakan menjadi sosok malaikat. Hidup statis dan hanya menghamba kepada Tuhan. Tidak fluktuatif dan selalu dilanda kegelisahan seperti halnya manusia. Kembali kepada dua kenikmatan yang mampu menundukkan manusia kepada sebuah lubang kenistaan tadi, nampak ketertundukan manusia itu murni berasal dari instink kehewanan yang memang mendiami relung hati manusia yang paling dalam.

Pada titik ini, Sigmund Freud harus diakui sebagai sosok yang mampu menyadarkan manusia akan betapa kuatnya instink kehewanan itu. Dia menggambarkan bahwa struktur kepribadian manusia pada dasarnya seperti ice montain. Gunung es yang berada di laut. Nampak muncul dipermukaan laut adalah puncak dari gunung es itu, itulah yang kita saksikan. Sementara bagian yang paling besar dan begitu kuat dari gunung es itu adalah dasar gunung yang berada di dalam laut. Tak ada yang bisa membayangkan seberapa besar bagian yang tertutup laut dan tak nampak itu. Sisi tak nampak itulah bagian terbesar dari kepribadian manusia. Bagian dari struktur kepribadian yang coba kita sembunyikan. Mengingat betapa tidak menarik dan memalukannya secara sosial apabila bagian itu muncul dan ketahuan. Dengan tegas dia mengatakan bahwa ada “dark side” pada diri hampir setiap manusia. Sisi gelap yang mampu menghancurkan. Sisi gelap yang terus menerus kita tekan. Tak mau kita akui, tak mau kita sadari. Namun sisi itu terus menekan untuk muncul kepermukaan. Pada banyak kesempatan kita mampu untuk bertahan untuk terus menekannya. Pada saat dan kesempatan lainnya, dia tak bisa kita tekan lagi. Lepas dan liarlah dia.

Inilah jawaban atas perilaku munafik manusia. Ber-alim dan takwa ria di dalam masjid, namun menjadi sosok liar dan ugal-ugalan di jalanan. Menjadi mubalig penentang poligami, sementara memiliki lima istri. Manusia memang unik. Dan ini tidak bisa kita pungkiri. Dalam konsep lain, Irawan (2008) menyebut ini sebagai sisi ambiguitas manusia. Dengan menggunakan pemikiran Ponty dan Lacan, dia bisa menarik kesimpulan bahwa sepanjang hidupnya, manusia adalah makhluk yang ambigu dan mendua. Itulah takdir kita. Tak harus risau dengan kemendua-an kita. Nikmati aja, itu katanya.

Mohamad Sobary suka sekali mengutip kata-kata pujangga besar India Tagore berikut ini,”Kita tak pernah tahu mengapa hari ini akhirnya kita tertawa menghadapi hal-hal yang dulu pernah membuat kita menangis, dan mengapa pula bisa terjadi sebaliknya, kita dibuat menangis oleh apa yang dulu kita terima dengan tertawa.” Waktu memang mengurai begitu panjang pemaknaan. Dalam bahasa yang lebih indah seorang pujangga lain dengan tepat mengatakan bahwa manusia adalah kitab lupa dan gelak tawa. Manusia mudah sekali berubah-ubah. Tak ada yang mampu menerka dalamnya hati dan tabiat manusia. Jauh di dalam sanubari kita masing-masing bersembunyi sesuatu yang sangat jahat maupun sesuatu yang sangat baik. Keduanya hanya menunggu waktu untuk berlomba-lomba keluar dan menampakkan diri yang sesungguhnya.

Ketika mulut kita hari ini dengan sangat tenang mengucapkan cinta pada seseorang, mungkin dalam hati kita bersemayam niat lain yang tidak semata-mata dipenuhi oleh konsep cinta tersebut. Di hati kita penuh dengan keinginan atas tubuh, keinginan atas penguasaan, keinginan atas birahi tak tertahan, atau rangkaian keinginan lain yang serta merta kita tekan apabila dia mulai mencoba muncul dalam ambang batas kesadaran. Inilah esensi id yang terus menerus dirasionalkan oleh ego dan ditekan sekuat-kuatnya oleh relasi kuasa super ego. Meskipun Freud menemukan teori dasar yang simpel itu berabad silam, namun relevansinya bisa dilihat ketika kita mencoba menjelaskan apa yang terjadi hari-demi hari kehidupan kita. Setiap hari kita bertarung untuk menekan id dengan memperbesar rasa ‘salah’ kita pada super ego.


Hari ini saya mau bicara cinta,
Cinta yang mudah sekali membawa malapetaka,

Terkait dengan keharusan melepaskan hasrat bawah sadar memang menarik. Namun, hal yang mungkin terlupakan oleh Freud adalah akibat sampingan dari pengungkapan dan pelepasan impuls-impuls ketidaksadaran yang kita tekan sepanjang hidup itu. Melalui imajinasi manusia mampu menciptakan segala sesuatu yang baru, namun imajinasi tidak melakukan seleksi yang sebenarnya. Ia liar. Namun mengobati rasa penasaran jiwa yang haus dan lara. Imajinasi luar biasa. Namun dia tidak “membuat komposisi”. Sebuah komposisi tercipta akibat saling pengaruh yang luar biasa antara imajinasi dan akal, atau antara pikiran dan renungan. Penyebabnya adalah akan selalu ada unsur kebetulan dalam proses kreatif. Saking asyiknya Freud dengan id sebagai sesuatu yang harus ditemukan dan ‘dilepaskan’ sehingga dia tidak cukup punya waktu untuk berbicara tentang ego. Apalagi super ego, yang selalu dia lihat dari kacamata kritis. Cinta menunjukkan betapa beratnya sebuah imajinasi yang coba kita komposisikan dengan bantuan nalar dan akal sehat. Hasilnya, menurut Allan Pease & Barbara Pease (2010), manusia adalah satu-satunya makhluk hidup di dunia yang selalu bingung setiap berhadapan dengan masalah cinta dan seks ini. Sebagai manusia, kita adalah makhluk paling ahli dalam mempelajari perilaku berpasangan makhluk hidup lainnya. Kita dapat memperkirakan tindakan mereka, memodifikasi mereka, dan kita dapat secara genetis mengubahnya sehingga penampilan mereka menjadi begitu berbeda. Namun, kalau soal memilih pasangan bagi diri sendiri, tanpaknya hanya sedikit manusia yang berhasil. Apalagi untuk mendapatkan pemahaman sejati atas proses kejadiannya. Titik utamanya adalah pada usaha yang kebanyakan gagal untuk menyeimbangkan antara nalar dan akal sehat dengan tekanan nafsu syahwat.

Ketika Leon Fastinger mencoba menjembatani kekurangan itu dengan konsistensi informasi, kita baru mulai menyadari bahwa banyak sekali alasan dan kepintaran telah menghamba pada kepentingan. Merokok bukanlah sesuatu yang berbahaya dan mematikan saat mana ada bukti bahwa kakek kita belum juga mati dan sakit-sakitan saat usia senjanya telah menunjuk angka 90, padahal dia merokok sejak usia 19 tahun ! kita berapologi dengan manjadikan kakek sebagai bumper. Semuanya tentu saja mengarah pada terpenuhinya kepentingan untuk tetap merokok tanpa rasa bersalah. Semua orang tahu betapa berbahayanya bermain dalam percintaan tanpa nalar dan akal sehat (Tiger Woods dan Werren Beatty, contohnya), semua orang tahu resiko mengumbar nafsu syahwat tanpa filter penghambat akan mengundang AIDS menjerat (Elizabeth Pisani menulisnya dengan memikat), namun toh sampai hari ini semua orang berapologi betapa nikmatnya mencoba ‘nakal’ sekali-kali sebagai tanda hidup berjalan normal dan sehat. "seperti orang-orang," katanya santai. Untuk membela diri tersebut, rangkaian argumen dan statement dibangun. Pasti. Nampak cerdas dan tak terbantahkan. Itulah unsur kepentingan yang lepas dari analisis Freud. Mungkin dia belum sempat membayangkan betapa manusia selain makhluk dengan instink dan libido liarnya, juga merupakan makhluk rasional dan memiliki nalar yang energinya akan dimaksimalkan sedemikian rupa saat menghamba pada kepentingan dan kekuasaan. Freud memang sudah terlalu tua untuk sekadar memikirkan hal itu.

Ada satu buku Erich Fromm yang cukup menarik berjudul ‘The Art of Loving’. Ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dia diberi judul yang sama namun dengan anak judul “Memaknai Hakikat Cinta” (2005). Bagian awal buku itu banyak mempertanyakan apakah cinta itu identik dengan seni ? sesuatu yang mengalir begitu saja dalam jiwa dan perilaku orang-orang, tanpa harus kita sibuk memikirkan dan merasionalkan dia ? Jawaban yang diberikan Fromm niscaya sangat melelahkan bagi seorang “Buaya Darat”. Betapa tidak, cinta menurut Fromm membutuhkan sebuah upaya mengembangkan seluruh kepribadian. Pemenuhan cinta seseorang tidak dapat dicapai tanpa kemampuan untuk mencintai orang lain, tanpa kerendahan dan keteguhan hati, serta keyakinan dan kedisiplinan. Inilah yang membuat kemampuan mencintai semakin langka di abad kontemporer saat ini. Nah, tuh ... kemampuan mencintai saja menjadi sebuah prestasi langka ! luar biasa !! sepertinya pemerintah sebentar lagi akan mengeluarkan sertifikasi khusus : kompetensi pecinta.

Berbicara tentang kemampuan mencintai, seorang teman yang kesunyian akan sering berkata, “tidak ada orang yang memperhatikan atau mencintai saya.” Anda langsung mungkin dapat mencoba menenangkan hatinya (pada dasarnya kita memang sok pahlawan sih), “Oh ya, orang tua anda mencintai anda.” Dia segera menukas,”Ya, tapi itu tidak sama.” “teman anda memperhatikan dan mencintai anda.” Ya, tapi bukan itu yang saya maksud.” Kita langsung melirik ke samping kirinya, melihat makhluk menjulurkan lidahnya disamping dia,”Anjing anda tampaknya menyukai anda.” “Ya, tapi itu juga bukan yang saya maksud.” Tahukah anda, bahwa yang sesungguhnya dimaksudkan orang ini adalah, dia tidak memedulikan atau mencintai siapapun juga. Adalah perbuatan memberi, bukan menerima, yang mengusir kesunyian. Jangan-jangan kita hanya menyintai diri kita sendiri ... nabi narsis sejati ! Tepatlah apa yang dikatakan Nietzsche di awal tadi : kita hanya ingin berkuasa. Kita tunggangi cinta sebagai kereta !

Akhirnya ...
Hari ini saya mungkin tidak bisa bicara apa-apa,
Mungkin cinta tidak akan mampu dibicarakan dari sisi mana saja,
Jelas Anda yang membaca tulisan ini pasti bingung tak terkira. Tulisan ini tak jelas mau menceritakan apa, tak tahu mau mengatakan apa. Kebingungan menjadi satu pertanda ketertarikan. Kebingungan pasti mengasyikkan. Itulah cinta. Setiap kali kita akan mencoba mengidentifikasi cinta, kita hanya akan sampai pada kebingungan demi kebingungan. Justru saat kita merasa mengetahui cinta sedemikian rupa. Kita pasti tengah tidak tahu apa-apa. Karena cinta memang tidak untuk dipikirkan. Cinta hanya perlu dirasakan. Dinikmati, tanpa memusingkan diri dengan rangkaian teori. Cinta ... anda punya pendapat berbeda ?


Bingung di pinggir kali, April 10

3 komentar:

Astrid Damayanti mengatakan...

Yup...i guess you are right...no one can define what is the meaning of love exactly... love is a many splendor thing.... great written ... i love it ...!!!

DhaRma Lubis mengatakan...

Saya selalu takjub pada ucapan dewi lestari,

"Cinta dan Tuhan seperti mengupas bawang.dikupas sampai lapisannya habis tak menemukan apa-apa walau sudah meneteskan air mata."

HanHarsa mengatakan...

absolutely yes he he .. I ask that 4 many people, especially my student (which .. so fuck claim cute, pretty, and handsome he he) and they can't explain bout love.. 'just do it' .. let them disclose everything wk kk kk k k