Kamis, 12 November 2009

Gaji Tinggi Berarti Tidak Korupsi ?

“Gaji yang tercatat Rp. 62 juta, dengan catatan hilang Rp. 25 juta karena membayar pajak,” kata Antasari, si pimpinan KPK. Dia ungkapkan itu pada sebuah kesempatan (Jawa Pos, 4 April 08), sisanya, ujar dia, paling hanya sekitar Rp. 40 juta.
Sementara itu gaji sang ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan menurut catatan Jawa Pos per 28 Januari 2005 sebesar Rp. 24.390.000, terdiri atas gaji pokok Rp. 5.040. juta. Tunjangan jabatan Rp. 18,9 juta, dan uang paket Rp. Rp. 450 ribu. Lalu ditambah dengan tunjangan khusus (Rp. 31,1 juta). Alhasil si Manan ini setiap bulan akan membawa pulang Rp. 55.490.000, tanpa potongan pajak. Belum lagi penerimaan dari uang sidang.

“Bangsat !” sumpah serapah muncrat dari mulutku,
BRAKK ... Kursi kantor jadi sasaran kaki,
“Dasar pejabat edan tak pernah mikir rakyat kelaparan !”. Sumpah lagi..
Tentu saja sumpah itu terasa wajar ditengah-tengah semua orang sibuk mencari gas dan minyak tanah yang tiba-tiba hilang entah kemana. Terasa wajar ditengah banyaknya TKI kita di Malaysia dan Arab Saudi yang pulang hanya tinggal nama. Yang sampai ke Bandara Soekarno Hatta hanyalah “mayatnya”. Mereka mati. karena beratnya bekerja menanggung dan membiayai beban hidup mereka. Atau mereka mati karena disiksa majikan di negeri orang sana. Semua terasa wajar, wajar menyumpahi pejabat tak tahu diri ditengah kondisi seperti tadi.

“Namanya juga pejabat,” suara parau menimpali
“Mending kalau bekerja dengan benar,” tukang ketik di kantor itu bernada risau
“Apa tidak malu yaa ?” suara cleaning service sekaligus merangkap office boy sekalian satpam.
“Khan agar mereka tidak korupsi,” ada suara malaikat di sudut situ.

Itu dia masalahnya coy !
Meskipun telah ada kebijakan negara untuk memberikan gaji yang jumlahnya nyaris tak terpikirkan oleh masyarakat umum di Indonesia, toh perbuatan “main belakang”, praktek “meminta amplop tambahan”, “pungli” dan entah apalagi namanya begitu subur dilakukan oleh para pejabat bergaji tinggi itu tadi. Mulailah dari si Bagir Manan. Lembaga terhormat yang dipimpinnya itu pernah tersandung skandal BLBI yang jumlahnya tak tanggung-tanggung 6,2 milyar. Si Urip sebagai seorang jaksa agung muda tindak pidana korupsi tertangkap basah dengan uang sejumlah itu di tas yang dibawanya. Masalahnya adalah tertangkapnya itu selepas dia keluar dari rumah Syamsul Nursalim, si tersangka kasus BLBI yang baru saja diputus bebas. Orang goblok sekalipun akan bisa menghubungkan fenomena sederhana ini. Nursalim bebas, Urip dapat uang yang jumlahnya tak tanggung-tanggung.

“Gampang,” kata si tukang jual minuman di depan kantor siang itu,”pasti itu uang suap !”
“Bisa juga ucapan terima kasih,” timpal si penjual bakso, “khan udah jadi hal biasa,”

Itulah masalahnya coy !
Apapun nama uang 6,2 milyar itu, bahkan si Urip sendiri mengaku bahwa uang itu adalah hasil bisnis permata dia dengan keponakan si Nursalim. Enak sekali dia bilang ! bisnis permata hingga milayaran rupiah. Kenapa baru terbongkar dan mengaku sekarang bahwa seorang pejabat tinggi yang sangat sensitif berhubungan dengan hajat pembongkaran korupsi dan “main mata” berbisnis ? sebuah dagelan yang sempurna (kata Andra & The Backbone). Kemiskinan, ketidaknyamanan, kepahitan hidup yang dirasakan hampir merata oleh seluruh rakyat, nampaknya tidak membuat mereka paham bahwa hidup harus berhemat dan empatik pada rakyat. Di saat si Anto harus ngamen dan menjajakan koran untuk uang receh seratus dua ratus perak, di saat itu pula si Urip berbisnis permata milyaran rupiah. Hidup memang tidak adil. Kalau memang ini adalah sistem yang sudah diatur oleh Tuhan. Artinya ketidakadilan juga termasuk apa yang ditakdirkan Tuhan, aku akan bertanya : Mengapa harus ada ? apa tujuannya ? untuk membuat si miskin semakin potensial masuk neraka (karena mengumpat dan merutuk si kaya?), atau untuk membuat si kaya semakin potensial masuk surga karena uang kekayaannya bisa mendirikan masjid dan gereja ? ahh semakin banyak yang tidak bisa dimengerti dari fenomena ini.

Kemarin ketika membaca majalah Tempo, baru aku tahu bahwa di badan moral seperti Lembaga Sensor Film itu ternyata juga terjadi praktek percaloan. Calo yang berkeliaran menjadi traffic menghubungkan para produser dan sutradara dengan sepucuk surat keterangan atau stempel tanda “lolos sensor” dari LSF. Menurut cerita Tempo, pembayaran atas sensor itu bervariasi atas panjang dan durasi film. Ada yang dihitung berdasarkan panjang reel nya (film 33 mm), dan ada pula yang dihitung durasi tayangannya (film iklan dan sinetron). Sampai disitu semua wajar-wajar saja. Anggota LSF bekerja menyensor, lalu produser membayar biaya kerja itu. Ini wajar. Sekali lagi wajar. Nah .. menjadi tidak wajar kalau ternyata di kantor atau gedung Film itu, tidak konkret dimana tempat memberikan reel film yang akan disensor, semacam loket penerimaan dan loket pengembalian film begitulah (bayangkan saja saat kita mau buat SIM di kepolisian, khan banyak loket tuh). Artinya di gedung Film itu tidak ada sama sekali kegiatan orang hilir mudir membawa reel film dan apapunlah yang menunjukkan telah adanya bukti konkret film yang disensor. Terus transaksi penyerahan bahan film yang akan diedit itu dilakukan dimana ? he he .. yang paling ekstrem bisa dilakukan dilahan parkir ! Bagaimana caranya ? Begini neh, nanti akan ada “penghubung’ yang mendatangi mobil produser atau orang suruhan itu. Bicara tentang penghubung mungkin tak apa-apa. Masalahnya adalah “jasa” yang ditawarkan sang penghubung mampu mempercepat proses keluarnya surat tanda lulus sensor. Kecepatan itu akan berbanding lurus dengan berapa “ongkos” yang dititipkan pada sang penghubung. Artinya semakin besar duit yang dititipkan, maka semakin cepat proses penyuntingan dan pengecekan dari LSF. Itulah masalahnya. Jadi urusan lembaga sensor film bukan semata-mata hanya melihat dan mengecek kesesuaian film dengan moral dan budaya bangsa, melainkan juga terkait dengan seberapa besar duit yang disetor pada “kaki-tangan” lembaga tersebut. Ahh memang semakin banyak yang tidak bisa dimengerti dari fenomena ini.

“Terus bagaimana nasib orang-orang seperti kita ini ?”
“Diam sajalah,” Napas berat mengiringi, “diteguk dan ditelan saja,”
“Kenapa kita harus diam ?”
“Karena kita emang miskin dan tak mampu melawan,”
“Sampai kapan ?”
“Besok sampai mereka yang zalim itu sadar, “
“Kapan mereka sadar ?”
“Tunggu saja hingga kau terbiasa dizalimi,”
“Jadi kudu kita yang terbiasa dan menganggap tak ada apa-apa ?”
“Ya iyalah,” gigiku gemerutuk, “emang begitulah nasib kita,”

Memang ternyata ditengah segala ketidakadilan dan kezaliman yang mendera, tak ada yang bisa dilakukan selain membiasakan diri dengan ketidakadilan itu. Melihat dunia seolah-olah tak ada apa-apa. Menjalaninya dengan menutup mata. Membiasakan diri bahwa semua baik-baik saja. Larilah dari realitas dunia. Maka jangan pernah heran, di Indonesia segala bentuk sinetron dan film tentang mimpi, yang bintangnya kaya raya, pasti ditongkrongin dari ashar hingga isya. Memang inilah Indonesiaku tercinta. Tempat di mana uang sebesar 5,1 milyar hanya dititipkan lewat seorang kurir tanpa kejelasan apa-apa. Katanya untuk menyogok para ketua KPK. Lalu terjadi masalah pada wewenang dan kekuasaan, tempat segala dramaturgi dimainkan. Memang inilah Indonesiaku tercinta. Tempat di mana kita hanya bisa bermimpi dan mengumbar utopia tentang sejahtera nan merata, sambil berbincang lagenda ‘cecak & buaya’.
Percuma saja menggaji Antasari di atas rata-rata, percuma saja memberi Ketua MA nilai bulanan besar tak terkira. Itu semua tidak akan membuat mereka ogah menerima sogokan dan tekanan uang ‘pelicin’ dan apa namanya ? gratifikasi ? ahh istilah apa pula itu ! Begitu besar godaan uang dan kekuasaan. Begitu berat melawan naluri kehewanan. Jabatan tinggi dipertaruhkan. Terobos sana-terobos sini dengan menggunakan wewenang. Cara kerja kepolisian di republik ini telah memberi kita gambaran. Sekali lagi kita hanya bisa diam, menekan semua itu di alam bawah sadar. Tempat di mana kita hanya bisa bermimpi dan mengumbar utopia tentang sejahtera nan merata.

Itulah masalahnya coy, dan nampaknya itu akan tetap jadi masalah kita. Bukan para petinggi di atas sana.

Gondosuli, pukul 03 dinihari, 5 Agustus 09

3 komentar:

Yuka mengatakan...

Tergantung orangnya...!!!

Orang yang biasa hidup mewah... orang yang ga cukup liburanya di dalam negri, yang biasa belanja 1x min 10jt. gaji ratusan juta sekalipun takan cukup

Apa lagik penjabat negara yang perlu modal untuk bisa sampai sekarang... mikir dulu buat balik modalnya... dan harus ada untungnya...

HanHarsa mengatakan...

gue setuju banget kata loe, 'tergantung orangnya ..!!!' itu berarti akar masalah lebih pada sisi psikologis personal. Maksudnya penanganannya harus secara pribadi masing-masing. Itu yang membuat kita tak bisa menunggu! harus ada langkah struktural sistemik menghentikan nafsu dan instink 'tak pernah puas' dari para pejabat itu ! kalo engga ? 'dunia aja ditelan !' he he he thanks atas komentarnya !!!

Astrid Damayanti mengatakan...

saya jadi teringat cerita Paijo dalam "teori2 kebudayaan" (textbook bgt yah hehehe)...tuntutan gaya hidup yg begitu besar..namun tidak ada salahnya dgn Paijo, krn dia memang dpt mencukupi kebutuhan tanpa korupsi (ini menurut pandangan saya) karena dia seorang pengusaha bukan pejabat....sebenarnya tidak ada salahnya untuk hidup mewah (ya kalo bs sederhana aja lah)asal..kita selalu ingat dr mn harta yg kita dapat & ingat dr sekian banyak harta kita ada "harta orang lain yg hrs kita kluarkan", sebenarnya tidak akan ada org miskin koq kalo semua dilakukan dgn kesdaran moralitas yg tinggi & kejujuran yg sekarang jadi barang MUSEUM, karena susah banget didapat..so kembali ke Kejujuran & Moralitas...kita masing2..aja sih...(ini menurut pandangan saya banget sih Mas..)ok, Sukses Selalu..!!