Minggu, 08 November 2009

Permintaan Maaf sang ” Buaya” ?




Pengantar

Beberapa hari yang lalu kita semua mungkin sempat menyaksikan konflik antar dua lembaga tinggi di negeri ini : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Beragam versi penceritaan terkait dengan kasus pengusutan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tubuh dua lembaga itu terus berlanjut hingga hari ini. Di tengah-tengah gencarnya pemberitaan tentang fenomena tarik menarik kekuasaan antar dua lembaga itu, muncullah istilah unik untuk menggambarkan kedua belah pihak. Istilah itu adalah ‘Cecak dan Buaya’. Istilah itu muncul dari hasil wawancara wartawan media massa dengan salah seorang petinggi Markas Besar (Mabes) Polisi Republik Indonesia, yakni Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duaji. Analoginya untuk menggambarkan KPK dan Polri adalah dengan mengistilahkan Cecak melawan Buaya. KPK dianggap sejajar dengan cecak, sementara Polri dianggap sebagai buaya. Sampai di situ tidak ada masalah, andai saja kata itu hanya sekadar dimaksudkan untuk mencari padanan yang tepat untuk membuat wartawan dan publik agar lebih mengerti. Masalahnya kemudian adalah penyertaan “nilai” pada kedua kata itu.

Merujuk pada kata Cecak yang dilekatkan pada KPK, opini publik terbawa pada makna dontotasi kapasitas tubuhnya yang kecil, dan lemah, menuju pada makna konotasi ketidakberdayaan, pihak yang bakal kalah, pokoknya stereotipe keteraniayaan. Cecak ini harus berhadapan dengan buaya sebagai kata ganti lembaga kepolisian. Anda tahu khan buaya ? makhluk melata yang kuat luar biasa, tak tembus peluru pada bagian tubuh tertentu, dan memiliki kepekaan dan saraf sensor yang peka. Dia pemangsa. Ganas. Sulit untuk ditaklukkan. Apalagi diajak ‘berkawan’. Itulah makna konotasi atas lembaga kepolisian. Dari dua istilah ini kemudian, masalah terus bergulir. Pendek kata, publik kemudian meletakkan dua kata itu berhadap-hadapan, seperti halnya KPK dan POLRI yang berhadap-hadapan. KPK teraniaya, kepolisian jumawa dan arogan luar biasa. Merasa sudah terjebak dengan dua istilah itu, maka pada kesempatan berikutnya Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) menyatakan permohonan maaf atas problematika yang ditimbulkan dua istilah tersebut. Permintaan maaf itu kemudian beberapa kali diulangi dalam dengar pendapat dengan komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa hari lalu. Hal ini begitu menarik. Jarang sekali sebuah lembaga sebesar kepolisian dengan terbuka meminta maaf kepada publik atas ucapan seorang pejabatnya. Dari sisi dunia public relations, ini merupakan cerminan betapa beratnya menyandang dan mempertahankan citra positif. Sedikit saja salah mengeluarkan pernyataan, maka efek negatifnya akan membuat lembag sulit untuk lepas dari prasangka buruk publik. Sangat merugikan.

Tulisan berikut ini berupaya mensejajarkan pernyataan maaf Kapolri, jenderal BHD di atas sebagai sebuah representasi permintaan kelembagaan. Sudut pandangnya adalah strategi dan taktik public relations yang baik. Pemahaman kita akan dibangun dengan menguraikan beberapa konsep tentang public relations (PR), menyangkut peran dan fungsi PR, aplikasi praktek PR, kesenjangan aplikasi, dan akhirnya mencoba mencari ruang ‘negosiasi’ atas kesenjangan ranah praktek tersebut.


Pencitraan Positif : Peran & Fungsi PR ?strong>

Permintaan maaf yang disampaikan Kapolri sebenarnya menjadi sebuah strategi menarik dari sudut pandang praktek PR. Dengan melakukan itu, dia telah menyelamatkan institusinya. Lembaga yang dinilai telah menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Sebuah permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka kepada publik menjadi penanda pahamnya institusi ini pada akibat negatif dari publisitas yang buruk. Hal ini tidak gampang dilakukan. Seperti dilansir oleh John Kador (2009) bahwa meminta maaf akan mampu menjadi kekuatan penyembuh secara psikologis. Kapolri telah melakukan itu. Namun masalah tidak serta merta selesai. Sebuah praktek PR yang baik bukan sekadar meminta maaf. Masih banyak rangkai strategis lain yang harus dibangun. Sebagai sebuah institusi bentukan pemerintah, Polri membutuhkan sebuah rangkai strategis PR jangka panjang. Beberapa catatan konseptual akan membantu kita memahami situasi ini.

Dunia public relations selalu diidentikkan dengan sebuah dunia program strategis menuju pencitraan positif kelembagaan di depan mata publik melalui kekuatan informasi dan publisitas maksimal (Lovel, 1982; Cutlip, et.al, 2000; Laermer & Prichinello, 2009). Pada beragam konteks (Bank, 1995) peran dan fungsi PR dilekatkan dengan beragam kiat dan strategi yang sangat dinamis (Black, 1994; Gregory : 2003). Apabila kita merujuk pada peranan PR, maka kita akan membicarakan tentang bagaimana sebuah divisi dan bagian PR dalam sebuah lembaga atau institusi bekerja keras untuk mendesain beragam program strategis. Sementara itu, kalau kita berbicara tentang fungsi PR maka kita akan membicarakan tentang beragam kapasitas dan keahlian yang melekat pada lembaga maupun sosok personal yang terlibat dalam praktek penyelenggaraan PR. Kedua-duanya tidak selalu hadir bersamaan pada saat praktek PR dilaksanakan. Kadang-kadang sebuah lembaga tidak merasa harus memiliki sebuah departemen atau bagian PR. Untuk menangani berbagai masalah terkait dengan memberikan informasi, mereka menunjuk seseorang yang bertindak sebagai juru bicara. Inilah PR dalam konteks fungsional. Institusi merasa terlalu dini untuk membentuk sebuah divisi PR. Untuk itu mereka melekatkan peran itu ke dalam fungsi komunikasi personal seseorang yang ditunjuk tadi. Beberapa kasus perbankan, lembaga pemerintah, dan dunia bisnis di Indonesia telah melakukan ini. Saat krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika, beberapa perusahaan besar seperti IAG, LG, menempatkan direktur utama dalam kapasitas dan fungsinya sebagai PR bagi perusahaan saat harus bernegosiasi dengan pemerintah. Hal ini memang penting guna menunjukkan kepedulian dan respek pada pemerintah (Dominguez, 1982). Pencitraan positif yang diharapkan sebagai tujuan akhir dari sebuah upaya strategis PR ini didapat melalui empat jalur utama yakni public understanding (pengertian publik), public confidence ( kepercayaan publik), public support (dukungan publik), dan public cooperation (kerjasama publik). Apa yang telah dilakukan oleh Kapolri adalah sebuah upaya pencapaian dan perbaikan atas empat jalur utama tersebut.

Kesenjangan Ruang Teori dan Praktek PR : Salah Siapa ?

Dari ungkapan permintaan maaf secara terbuka Kapolri, muncul pertanyaan : mengapa bukan kabag Hubungan Masyarakat (public relations officer -PRO) kepolisian saja yang meminta maaf ? Mengapa harus Kapolri sendiri yang mengucapkan hal itu ? Inilah sebuah aplikasi PR yang tidak melulu harus sesuai dengan beragam ranah teori dan konseptual di berbagai pelatihan PR. Bukan rahasia lagi berbagai praktek pelaksanaan program PR selalu tidak pernah persis sama dan sesui dengan rangkai teori dan ranah konseptual yang diajarkan di berbagai sekolah maupun kursus. Begitu besar nampaknya tugas yang harus diemban seorang PR officer, sehingga dia dituntut untuk pandai-pandai memahami situasi dan kondisi agar tujuan pencitraan dan reputasi tercapai tanpa mengorbankan atau ‘melacurkan’ konsep-konsep PR itu sendiri. Dalam beberapa dekade terakhir PR bahkan telah menjadi semacam alat dari rangkai strategi marketing dalam meningkatkan penjualan (Harris, 1998 ; Ries & Ries, 2002 ; Scott, 2009). Padahal keinginan tertinggi dari para konseptor dan praktisi PR adalah menjadikan PR sebagai prinsip filsafat manajeman dan rancang strategis jangka panjang (Moore, 1987; White & Mazur, 1995). Di mana titik permasalahan dan kesalahannya ?

Mencari siapa yang bersalah atas berkembangnya definisi dan aplikasi PR dalam kehidupan nyata sebuah institusi mungkin bukanlah langkah bijak. Penelusuran atas kebutuhan dan daya adaptasi PR atas berbagai masalah institusi dalam relasi dengan publiknya mungkin menjadi semacam ‘pintu masuk’ yang lebih tepat. Dalam penjelasannya tentang sejarah PR, Cutlip et.al (2000) telah mengingatkan bahwa PR di masa depan mungkin akan bermetamorfosis menjadi sebuah strategi yang tidak pernah terbayangkan oleh para konseptor PR pada awalnya. Hal yang sama telah diungkapkan pula oleh Edward Barney saat melihat pesatnya perkembangan dunia PR (Seitel, 2001). Menurut Barney, pada saatnya nanti PR menjadi tak lebih dari sekadar alat untuk kepentingan lain yang lebih besar dari sebuah institusi. Pada satu titik, ini sangat menguntungkan bagi dunia PR. Pada titik lain kondisi mencampur adukkan PR dengan alat-alat publisitas lain (iklan, promosi penjualan, POP, event) akan membuat PR tidak lagi memiliki keistimewaan penjaga reputasi dengan prinsip proaktif. Tak bisa dipungkiri, keputusan di tingkat manajer tertinggi institusi akan berdampak pada cara pandang terhadap PR. Namun kemampuan para praktisi PR untuk menunjukkan kompetensi dirinya juga harus semakin dikembangkan. Perpaduan dua hal ini akan membuka ruang negosiasi antara kebutuhan manajeman institusi dengan kekuatan PR secara fungsional sebagai penjaga reputasi dan publisitas.

Ruang Negosiasi yang Bukan Basa-Basi

Pilihan agar permintaan maaf langsung disampaikan oleh Kapolri menunjukkan betapa masalah wacana ‘cecak dan buaya’ ini menjadi begitu krusial bagi kepolisian. Apa yang kita pikirkan andai posisi kepolisian dianalogikan sebagai sang cecak, yang mendapat perlakuan semena-mena “buaya’ KPK ? Tentu Kapolri tidak perlu meminta maaf. Wacana publik menguntungkan mereka. Sungguh berbeda dengan situasi saat ini. Mereka dirugikan. Untuk itu seluruh orientasi strategis saat ini diarahkan untuk pemulihan reputasi dan kredibilitas yang sudah dirintis sejak lembaga ini resmi ‘berpisah’ dengan TNI. Memandang kasus ini harus melihat luasnya ruang negosiasi antara teori PR dengan aplikasi prakteknya di lapangan. Praktek yang mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan konteks evolusinya.

Keinginan Frazier Moore (1987) untuk membuat PR sebagai sebuah filsafat manajemen bukanlah tanpa alasan. Menurutnya, prinsip-prinsip dasar PR itu selalu konsisten dan kekal. Namun dalam prakteknya, karena dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, perkembangan teknik dan sains, serta lingkungan yang berubah terus-menerus, membuat dia terus ber-evolusi secara konsisten. Cakupan perkembangan yang dipetakan Moore secara tidak langsung menunjukkan luasnya peta evolusi tersebut. PR menurutnya telah berkembang paling tidak dalam ruang-ruang opini publik dan persuasi; teori, metode, dan evaluasi komunikasi; riset media; analisis isi; studi khalayak; manajemen; peraturan pemerintah dan hukum; bahkan pada titik pertanggungjawaban sosial (CSR). Terbukanya peluang PR diterapkan dalam dunia pemasaran membuat dunianya menjadi lebih menarik. Terlebih-lebih PR memiliki kedekatan dengan sisi publisitas media massa. Pemanfaatan prinsip PR dalam menghadapi fenomena media baru (new media) nampak mengemuka dalam satu dekade ini. McQuail (2000) telah menempatkan empat kategori sebagai alat ukur kekuatan media baru yang bisa digunakan dalam dunia PR : media komunikasi interpersonal, kontribusi media interaktif, media pencari informasi, dan media untuk pertisipasi kolektif. Seperti yang disarankan oleh Scott (2009) bahwa memahami PR dalam konteks kompleksitas media informasi baru, akan menjadi area negosiasi antara sikap pihak manajeman dan kepasitas para praktisi PR. Sebuah ruang negosiasi yang akan terus menerus tercipta sepanjang PR itu harus tetap ‘hidup’ dan ‘berguna’.


Ruang negosiasi inilah yang memungkinkan PR menggunakan seluruh aktivitas untuk pencapaian tujuan menjaga reputasi institusi. Seperti diungkapkan Ananda (2002), terdapat duapuluh aktivitas PR yang bisa digunakan sebagai ruang negosiasi penerapan. Banyaknya aktivitas tersebut menunjukkan bahwa PR mampu menjadi strategi yang sangat lentur atas beragam alat aplikasi di lapangan.

Duapuluh aktivitas PR yang disodorkan Ananda pada dasarnya sudah sering dilakukan seorang praktisi PR, entah sadar atau tidak. Ruang negosiasi yang begitu terbuka lebar bagi praktisi PR sama sekali tidak dimaksudkan untuk ‘melacurkan’ PR. Ini adalah sebuah upaya menciptakan energi baru terus menerus untuk ‘survival of the fittest’ di tengah-tengah perubahan teknologi dan informasi yang demikian pesat dalam diri publik. Justru manajer dan praktisi PR yang tidak siap akan tergilas oleh perubahan itu sendiri.

Integrasi Sikap : Tawaran Simpulan

Untuk membuat PR menjadi sebuah rancang strategis yang dinamis dibutuhkan pemahaman dan pengertian dua sisi yang simetris. Pertama, pihak manajeman institusi wajib mengetahui asas dan esensi public relations itu sendiri sebagai sebuah filsafat manajeman strategis. Kedua, para praktisi di level menengah dan tenaga teknis PR harus memiliki standar keahlian dan kemampuan atas beragam teknik dan strategik aplikasi PR. Penggabungan kedua sisi ini secara strategis bisa mewujud ke dalam ruang-ruang negosiasi penerapan PR sejak dari tahapan manajerial hingga tahapan teknis di lapangan.






Referensi :

Ananda, Ida Anggraeni, 2002. Public Relations : Sebuah Telaah dari Sudut Fungsi, Peran, dan Kedudukannya dalam Organisasi, Jurnal Visi Komunikasi, Jakarta: Fakultas Ilmu Komunikasi Mercu Buana.
Banks, Stephen P., 1995. Multicultural Public Relations : A Social-Interpretive Approach, London : Sage Publications.
Black, Sam,. 1994. The Essentials of Public Relations, London : Kogan Page Limited.
Cutlip, Scott M., Allen H. Center, & Glen M. Broom., 2000. Effective Public Relations, Eighth Edition, New Jersey : Prentice-Hall. Inc.
Dominguez, George S., 1982. Government Relations : A Handbook for Developing and Conducting The Company Program, New York : John Willey & Sons.
Gregory, Anne., 2003, Planning, and Managing A Public Relations Campaign: A Step by Step Guide, New Delhi : Kogan Page Limited.
Kador, John, 2009. Effective Apology : Merajut Hubungan, Memulihkan Kepercayaan, penerjemah Kunti Saptoworini & Th. Dewi Wulansari, Jakarta : Penerbit Gemilang.
Laermer, Richard, & Michael Prichinello, 2009. Full Frontal PR : Membuat Orang Membicarakan Anda, Bisnis Anda, atau Produk Anda, Penerjemah Lenny Hidayat, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Lovell, Ronald. P., 1982. Inside Public Relations, Boston : Allyn and Bacon. Inc.
McQuail, Dennis, 2000. McQuail’s Mass Communication Theory, 4th edition, London : Sage Publication.
Moore, H. Frazier,. 1987. Hubungan Masyarakat : Prinsip, Kasus, dan Masalah, buku Satu, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Scott, David Meerman, 2009. The New Rules of Marketing & PR, Penerjemah Anastia Putri Ridiasa, Jakarta : Publishing One.
Seitel, Fraser P., 2001. The Practise of Public Relations, Eighth edition, New Jersey : Prentice Hall.
White, Jon, & Laura Mazur., 1995. Strategic Communications Management : Making Public Relations Work, London : Addison-Wesley Publishing Company.

Tidak ada komentar: