Rabu, 21 Oktober 2009

Menteri Baru dan Empat Masalah Komunikasi

Sebagai Menteri yang mengurusi masalah komunikasi dan informasi, mungkin banyak pihak menyangsikan sosok Tifatul Sembiring, yang pada Rabu Malam (21/10/09), jam 10.00 WIB, resmi dinyatakan SBY sebagai Menkominfo. Apa pasal ? biasanya sektor ini dijabat oleh mereka yang memiliki kompetensi di bidang komunikasi dan IT (Harmoko, ke laut aje !). Itu syarat minimal, mengingat kompleksitas problem IT di Indonesia memang berkutat pada perihal teknis. Seperti menteri Mohammad Nuh yang memiliki latar belakang bidang informatika. Kebijakannya berakhir pada hal yang sangat bersifat teknis : menyumbang komputer pada sekolah dan desa-desa ! Bagaimana dengan sosok Tifatul Sembiring ?

Setelah saya mengetahui latar belakang pendidikan dan wilayah kerja Tifatul Sembiring, mungkin kesangsian tadi sedikit terkikis. Beliau memiliki latar belakang sekolah informatika di Pakistan. Berlanjut pada kerja di bidang penerbitan. Begitu menjadi sosok penting di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dia menjabat Humas lalu kemudian menduduki posisi presiden partai bernafas Islam intelek tersebut. Dengan beberapa catatan ini, paling tidak sinyalemen ketidakpahaman dalam bidang IT akan tertepis dengan sendirinya. Lalu apabila secara personal dia tidak perlu diragukan, apa lagi yang menjadi saran dan kritik sebagai pekerjaan rumah besar beliau sebagai menteri yang nanti sangat terkait dengan isu “dunia datar” (world is flat) versi Thomas L. Friedman itu. Mari kita mulai dengan empat problem IT di Indonesia yang nantinya akan menjadi ancang-ancang bekerjanya mantan presiden PKS ini.
Seperti yang dilansir oleh AntaraNews (22/10/09) ada empat pekerjaan rumah yang bakal dihadapi oleh Menkominfo sesuai pengakuan Tifatul Sembiring. Pertama, Indonesia memiliki masalah besar dalam hal perbedaan kemudahan akses di kota besar dan daerah terpencil. Kedua, masalah kurangnya informasi edukatif dari media komunikasi tanah air. Ia berpendapat, komunikasi edukatif masih sangat lemah di mana 75 persen tayangan yang ada di media siaran Indonesia dinilai tidak mendidik. "Sebagai Menkominfo saya ingin komunikasi yang lancar dan informasi yang benar dalam arti lancar, mudah, dan bermanfaat," katanya. Masalah yang ketiga, infrastruktur ICT yang masih sangat lemah. Keempat, layanan informasi di Indonesia masih sangat kurang. Keempat masalah ini bisa dilihat dalam konteks strategis dan kenteks teknis. Keduanya untuk melihat indikasi mana yang betul-betul urgen menjadi problem komunikasi dan informatika negeri ini.

Pisahkan Ranah Strategis dan Ranah Teknis

Apabila dikatakan telah terjadi perbedaan kemudahan akses terhadap informasi di kota besar dan daerah terpencil di Indonesia, nampaknya yang dimaksud oleh Menkominfo adalah tentang posisi masyarakat sebagai sumber informasi. Artinya akses disini dimaknai sebagai sebuah komunikasi timbal balik antara masyarakat di manapun mereka berada. Apabila akses yang dimaksud adalah dalam hal kemudahan mendapatkan informasi (pasif) maka saat ini masalah itu hampir tidak ada lagi. Hampir diseluruh pelosok negeri ini telah terjangkau oleh sebelas stasiun televisi nasional, dan puluhan televisi lokal yang memang ada di wilayah masing-masing. Ini menandakan masyarakat sebenarnya punya akses dalam memperoleh informasi. Masalahnya adalah kemudahan akses informasi tersebut tidak sejajar dengan posisi dan kapasitas masyarakat sebagai pemberi informasi. Computer mediated communication (CMC) yang mengejewantah dalam internet, hingga hari ini masih menjadi bahan gengsi dan mewah bagi banyak kalangan di pedesaan. Mereka baru melihat internet sebagai sarana hiburan. Terbukti akses yang kuat kepada pornografi nyaris mewarnai negeri-negeri dengan peta geografis pedesaan mereka yang mayoritas. Pokok problemnya adalah, masalah akses adalah permasalahan teknis. Penyiapan mentalitas akan kebutuhan informasi yang harus melebihi insting mendapatkan kesenangan sebagai fungsi hiburan media harus segera diantisipasi kementrian ini.

Masalah kedua berlanjut sebagai respon atas insting hiburan dan bermain (ludens) yang memang kuat pada diri audiens di Indonesia. Seringkali terjadi perdebatan antara LSM yang berpihak pada media literasi dengan para kapitalis swasta pemilik stasiun televisi berikut segala variannya. Mereka yang berada pada kubu media literasi selalu melihat media sebagai ‘biang kerok’ menguatnya insting menghibur diri dan bermain-main manusia. Media menghadirkan tayangan melulu hiburan, memberikan isi laporan dengan frame bombastis dan gosip-gosip. Sementara pihak media(terutama stasiun televisi) mengklaim bahwa apa yang mereka sajikan semata-matas sebagai respon atas keinginan besar pemiras semata. Lembaga rating berkali-kali mengamini hal tersebut, setiap mereka melaporkan hasil riset mingguan mereka tentang acara yang paling banyak ditonton pemirsa. Bagi penggiat LSM media literasi, media penyebab. Bagi stasiun televisi, media sebagai akibat. Hasil komprominya adalah munculnya beragam terma unik sebagai judul acara di televisi Indonesia. Sebagai contoh adalah penggabungan unsur hiburan dan pendidikan (namanya edutainmen), dan juga bergabungnya unsur informasi dan hiburan (namanya infotainmen).

Masalah ketiga adalah masalah duit dan modal. Ini tentang infrastuktur. Di Indonesia, teknologi memang masih menjadi barang mahal. Sekaligus bergaya. Sangat biasa di negeri ini bahwa yang mahal itu identik dengan hedon dan gengsi. Internet masuk dalam bagian itu. Saat ini banyak orang menjinjing laptop hanya sekadar menunjukkan bahwa dirinya punya laptop dan termasuk dalam masyarakat informasi ala Alvin Toffler. Barang mewah meminta gaya mewah. Ada identitas di dalamnya. Identitas yang bisa menafikan wilayah fungsi dari sebuah produk maupun jasa. Menjinjing laptop masih belum sejajar dengan menggenggam handphone. Mengingat masih mahalnya teknologi, sudah sewajarnya pemerintah dan lembaga swasta mendukung pengadaan infrastruktur baik dengan regulasi maupun dengan bantuan konkret. Masalahnya : bagaimana kita menganggap bahwa menyediakan prasarana fisik bukanlah sebuah solusi atas akses itu tadi, melainkan akan menjadi pembuka masalaha baru saat masyarakat melihat dan merasa menggunakan internet lebih sebagai gaya ketimbang fungsi pencari informasi ?

Masalah layanan informasi bukanlah masalah teknis. Melayani dalam memberikan informasi tidak semata-mata identik dengan menyediakan perangkat personal computer di setiap sudut jalan, sudut mall-mall dan pusat perbelanjaan, serta menyediakan mobil informasi keliling bertuliskan pusat informasi turis (tourism information center). Khusus untuk pencarian informasi, masyaraka Indonesia masih sangat terbawa oleh tradisi oral mereka. Sekalipun telah jelas-jelas terpampang informasi tentang keberangkatan kereta di papan pengumuman stasiun, toh para penumpang kebanyakan masih sibuk mencari satpam atau para calo untuk sekadar bertanya langsung tentang hal yang sama dengan apa yang terpampang tadi. Tak cukup hanya membaca, mereka butuh penjelasan kata-kata. Informasi oral dibutuhkan untuk meyakinkan diri. Itulah mental oral. Tak mudah percaya dengan apa yang tertulis dan terpampang. Dari kenyataan itu tadi, makna menyediakan informasi tidak selesai hanya dengan menghadirkan perangkat teknis. Dibutuhkan seperangkat regulasi untuk menciptakan mental menyeimbangkan kepercayaan terhadap tradisi literal disamping keyakinan tradisi oral.

Mulai dengan Fact Finding

Fakta bahwa audiens di Indonesia sangat plural, sudah selayaknya menjadi prioritas perhatian sang Menkominfo baru ini. Pluralitas yang paling signifikan adalah tingkat pendidikan yang tidak selalu sejajar dengan peta area geografis. Sebagai contoh, di sebuah desa terpencil di Kalimantan, seorang lulusan sarjana Hukum ternyata sangat membutuhkan layanan internet dengan akses di atas rata-rata. Ini terjadi karena sarjana ini mengecap pendidikan tinggi di pulau Jawa, dengan mental terdidik yang didapatnya di pulau termaju Indonesia itu, kebutuhan akan informasi up date dia tidak lagi bisa disuplai oleh Kompas, Media Indonesia, Bulletin Siang, dan program-program built up lain (bullet theory). Dia butuh komunikasi interaktif sesuai dengan kebutuhannya (uses and gratifications). Kondisi ini memaksa pemegang otoritas tidak semata-mata terpana dengan prinsip kuantitas dan statistik dalam memutuskan diseminasi informasi dan pengadaan prasarana fisik infrastuktur bidang komunikasi. Ada wilayah kualitas yang terkait dengan pemaknaan dan penghargaan atas informasi yang jauh lebih penting dari sekadar melandasi diri dengan fakta berupa angka betapa “katro’ nya kita di depan PC atau laptop yang terhubung dengan sistem internet. Simpulnya, mengetahui bahwa prasarana fisik yang disediakan benar-benar digunakan sesuai kebutuhan jauh lebih berarti dan bermakna positif dibanding menyediakan prasarana fisik infrastuktur tadi hanya untuk kebutuhan hedonis, gaya, dan intertain semata.

Bila yang terjadi adalah yang kedua maka, kementrian itu akan lebih disibukkan dengan fakta banyaknya pengakses situs dengan kata kunci Maria Ozawa, Miyabi, pornography, sex, dan sejenisnya. Takutnya, kita merasa telah berbuat menyelesaikan masalah, padahal yang terjadi adalah kita berhasil menciptakan masalah demi masalah. Berikutnya, kita serahkan segala keputusan pada sang Menteri baru agar bisa manakar dan menimbang atas segala keputusannya nanti. Dan tidak terpancing pada gebyar parade dan promosi keberhasilan program menteri melalui beragam iklan di radio, koran, dan televisi. Karena Menteri bukanlah selebriti. Itu pasti !!!



Pojok Ruang Daihatsu, Oktober 09

Tidak ada komentar: