Jumat, 02 Oktober 2009

Gempa Bumi dan Kehancuran Peradaban

Dalam seminggu ini, bisa dipastikan wacana media massa (terutama televisi) Indonesia akan sangat terkonsentrasi pada bencana gempa bumi di Padang, Sumatera Barat. Dari menit ke menit kita disodori tayangan memilukan. Dari menit ke menit kepada kita dihadirkan narasi penderitaan. Mulai dari tayangan langsung (live), hingga ulasan dan komentar para pakar. Dari pendapat ahli geologi yang mengerti betul tentang aspek kebumian hingga komentar ahli politik yang ngomong ngawur mencari kambing hitam. Semuanya memberikan fakta bahwa ada yang perlu kita renungkan. Ada yang salah dari perilaku kita terhadap alam. “Bumi lagi marah”, itu pesan implisit yang ditulis Alan Wiesman dalam bukunya “The World Without Us” (2007). Bumi tidak khawatir andai manusia tidak lagi hidup dan bercokol di dalamnya. Tanpa manusia. Tanpa kita-kita ini, toh bumi akan baik-baik saja. Manusialah yang merusak bumi lewat segala perilaku jahatnya. Manusia “memakan” batu bara, manusia yang rakus menebangi hutan, menggunduli bukit-bukit, melubangi bukit itu untuk terowongan, serta beragam aktivitas lain yang tidak mungkin dilakukan oleh species selain kita (gorilla umpamanya ?). Hanya manusia yang dengan sombong melakukan itu semua. Tanpa manusia merasa bersalah dengan itu. Semua dengan alasan rasionalitas atas nama kemajuan peradaban. Padahal kita dengan sendirinya tengah berjalan menghancurkan peradaban. Gempa bumi menjadi sebuah contoh konkret kehancuran fisik. Namun dibalik itu semua, ada kehancuran lain yang lebih parah, yang saat ini tengah terjadi persis di depan mata. Sebuah kehancuran peradaban.

Dalam bukunya “Civilization and Discontents” (Pertama kali terbit tahun 1955), yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Peradaban dan Kekecewaan-kekecewaan” (2002), Sigmund Freud melihat sebuah masa depan peradaban yang suram. Sesuram instink dari id yang pada akhirnya tidak bisa lagi dibendung oleh super ego, terlebih oleh ego itu sendiri. Masa dimana kehancuran melanda, saat manusia hanya diperbudak oleh nafsu dan keinginan kehewanan mereka. Nafsu yang selama ini tertekan oleh katup pengaman norma dan relasi sosial kemasyarakat. Dia menyeruak bukan karena terus ditekan, melainkan masyarakat sebagai katup pengaman telah terjalari pula oleh id itu sendiri. Boleh dikata karya Freud ini adalah sebuah puncak penggambarannya atas id yang semakin liar. Seperti ide besar yang ditawarkan oleh Freud pada buku-buku utamanya tentang relasi id, ego, dan super ego (Wollheim & Hopkins, 1982; Freud, 1998; ) Id yang tidak lagi bertahta dalam singgasana kedirian seseorang, namun telah keluar menuju ranah sosial mempengaruhi lingkungan manusia. Sebuah dimensi sosial yang terjalari oleh id tanpa kekuatan super ego untuk mengamankan id yang semakin ‘nakal’ dan ‘tak terkendali’. Saat ini manusia sudah dengan beringas menebang semua pohon yang melindungi ekosistem mereka. Manusia sudah dengan pongah mendirikan gedung-gedung di atas tanah yang rapuh tanpa memperhitungkan kondisi ideal struktur dan daya dukung. Manusia dengan bangga membuat terowongan menembus bukit tanpa berpikir struktur bukit itu akan menjadi labil dengan lubang di tengahnya. Semua adalah gambaran hasrat id yang tidak terkendali. Hasrat untuk dipandang berhasil menciptakan kemajuan teknologi. Memberinya makna sebagai kemajuan peradaban. Padahal ini salah sama sekali.

Itulah inti dari kekhawatiran Freud. Kita telah mendorong diri sendiri pada tepian kehancuran peradaban. Dia serius menganalisis tentang hal ini. Sayang sekali upaya untuk mulai mengeritisi ranah sosial dengan pendekatan psikoanalisis ini tenggelam di tengah-tengah keterkenalan Freud sebagai ahli terapis yang hanya berhubungan dengan orang sakit jiwa (neorosis). Freud meninggal di tengah-tengah upaya memulai elaborasi tersebut. Untunglah kemudian pemikirannya tidak lantas selesai seiring dengan kematian. Elaborasi selanjutnya atas kritik ideologi yang diberikan Freud ditangkap oleh Erich Fromm. Seorang anggota Mazhab Frankfurt yang berhasil menghubungkan antara psikoanalisis dengan pendekatan Marxian. Psikoanalisis yang sangat personal individual, terhubungkan dengan Marxisme yang sosial komunal.

Melalui tulisan Sindhunata (1983) diakui bahwa teori psikoanalisis Freud juga memberikan kontribusi terhadap aliran Frankfurt. Menurut Sindhunata, asal muasal psikoanalisa Freud dimasukkan dalam aliran Frankfurt ini bermula dari sosok Erich Fromm. Murid terbaik sekaligus murtad Freud ini menjadi anggota Mazhab Frankfurt pada tahun 1932. Sebagai komandan Frankfurt, Horkheimer dan kawan-kawannya mendapat kecaman keras karena merekrut aliran psikoanalisa ke dalam ajaran Marx. Namun dengan yakinnya Horkheimer menegaskan bahwa “psikoanalisa merupakan kebutuhan mendesak bagi teori kritis untuk menghadapi masyarakat modern ini” (Sindhunata, 1983:54). Ini tentu saja tidak lepas dari sepak terjang Fromm sebelum bergabung dengan mazhab ini. Hal mana membuat kekaguman tersendiri dari Horkheimer.

Sebelum masuk ke sekolah Frankfurt, Fromm sudah menulis suatu karya "The Dogma of Christ" (1963). Para tokoh Frankfurt menganggap bahwa karya tersebut sebagai contoh konkret integrasi ajaran Freud dan Marx. Dalam karyanya tersebut, Fromm menunjukkan bahwa Marxisme membutuhkan psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat makin mempertajam kritik ideologi dari Marx. Pemahaman Marx yang melihat bahwa segala sesuatu hanya demi meteri, dan untuk memeroleh materi itu orang kemudian melakukan manipulasi (ini dia namakan konsep ideologi) dengan orientasi membenarkan segala perilaku dan keinginannya. Dalam prakteknya, ideologi yang sebenarnya merongrong martabat insani diterangkan dan dibenarkan atas nama gagasan-gagasan luhur. Penganut ideologi berusaha menegaskan bahwa praktek ini dan praktek itu sesuai dan dituntut oleh gagasan ini dan gagasan itu. Jadi segala sesuatu yang mengontruksi kebutuhan atas materi itu sebenarnya berasal dari penciptaan gagasan-gagasan saja. Terkait dengan ideologi, menurut Marx ideologi itu lahir bukan dari kesadaran manusia itu sendiri tapi dari kebutuhan dan kepentingan material manusia secara nyata. Melalui pemaparan inilah Fromm menawarkan “proyek damai” antara psikoanalisa dan Marxisme.

Tentang kritik ideologi ini, Fromm menganggap bahwa Marx kurang memberikan alasan secara persis kenapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan. Menurutnya ada missing-link antara bangunan atas yang ideologis dan basis (bawah) yang sosio-ekonomis dalam kritik ideologi Marx. Psikoanalisalah yang kiranya dapat menerangkan dengan tepat hubungan antara basis (kehidupan material yang real) dan bangunan atas kesadaran manusia. Seperti yang diajarkan Freud, Fromm (2001; 2002) menunjukkan bahwa dalam psikis terdapat dua naluri dasar yang selalu berkonflik, yakni naluri seksual dan naluri mempertahankan diri (self preservation drive). Satu Eros dan yang lainnya Thanatos. Naluri mempertahankan diri selalu minta dipuaskan secara langsung, misalnya rasa lapar hanya bisa dipuaskan dengan makanan. Sedang naluri seksual dapat digantikan, disublimasikan dan dipuaskan dalam fantasi. Jadi naluri seksual itu lebih luwes terhadap kondisi sosial yang tidak dapat memuaskannya, sedangkan naluri mempertahankan diri sangat kaku terhadap lingkungannya. Maka ideologi mestinya ditinjau dalam hubungan dengan naluri seksual ini, karena ideologi adalah semacam fantasi yang dapat memuaskan naluri seksual itu. Naluri seksual itulah kunci untuk memahami ideologi.

Jadi dengan menjabarkan naluri-naluri seksual ke dalam berbagai kebutuhan konkret, kita akan memahami bahwa ideologi justru merupakan semacam represi atau penundaan terhadap kebutuhan tersebut. Dan patut dikemukakan bahwa dorongan-dorongan psikis itu tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga historis yang artinya mereka juga merupakan produk dari situasi sosial tertentu. Dengan demikian psikoanalisa tidak hanya dapat menerangkan gejala-gejala yang sifatnya individual, tapi juga sosial. Analisa terhadap dorongan-dorongan psikis yang sifatnya sosial ini, tentu akan makin membantu untuk menyelami berbagai bentuk “rasionalisasi sosial” yang terkandung dalam ideologi.

Menurut Fromm, teori Freud tentang superego memberi alasan jelas mengapa masyarakat dapat memanipulir naluri-naluri bawaan demi suatu identifikasi yang disodorkan masyarakat. Dengan teorinya tentang Oedipus kompleks yang diterapkan kepada masyarakat secara luas, Freud menerangkan bahwa “ego ideal” atau “superego” dapat berbentuk pribadi, kelompok yang mungkin saja dibenci dan dimusuhi secara aktif (seperti anak terhadap bapak dalam sebuah keluarga) namun individu atau kelompok tertarik dan kagum padanya. Pada zaman ini ajaran Freud itu bisa berbunyi, kendati penguasa itu dibenci dan tidak disukai, toh kelas yang ditindas oleh penguasa tetap tertarik secara emosional kepada penguasa tersebut. Superego tersebut bisa berbentuk rasionalisasi atau ideologi penguasa yang terus-menerus menentukan dan mungkin memaksa anggota masyarakat, tapi anggota masyarakat mematuhinya. Padahal dibalik superego tersebut tersembunyi berbagai kepentingan untuk manipulasi dan penindasan. Kita tahu bahwa menebang pohon sama saja dengan merusak ekosistem perlahan-lahan. Namun karena ada alasan-alasan pembenaran atas penebangan (pembukaan perumahan, penciptaan perkotaan, bahkan jelas-jelas untuk dijual atas nama eksport kebanggaan), kita mengamini dan secara diam-diam ikut berpartisipasi di dalamnya. Itulah ideologi pembenaran. Semakin modern manusia, semakin mampu dia menciptakan pembenaran atas segala perilakunya. Jelaslah bila bicara tentang pembenaran ini, teori superego bisa memberi penjelasan tentang pengertian dan timbulnya ideologi yang tersembunyi dibalik segala apologi tadi. Saran Freud dan Fromm, Lewat kritik terhadap superegolah maka bisa dijalankan kritik ideologi yang memadai.

Jadi bahwa kemudian manusia telah terjebak pada pembenaran-pembenaran mereka sendiri dalam merusak alam, menghisap rakus air bersih, mengebor habis sumber gas alam, menghilangkan sawah dan menggantinya dengan deretan gedung dan perumahan, telah menjadi bukti gagalnya sang super ego membatasinya hasrat liar sang id. Semua itu adalah ideologi yang terlembagakan atas nama kebenaran dan kemajuan. Kita terlena. Kita merasa bangga. Tanpa menyadari bahaya semakin mengancam kita. Implikasi dari semua itu telah kita rasakan hari ini. Mungkin akan terus terjadi. Saat bumi menunjukkan amarahnya. Dia akan sangat menakutkan. Bumi yang marah itu membelah. Bumi yang marah itu mengguncangkan. Bumi yang marah itu menciptakan tangis dan kesedihan. Bumi yang marah itu membuahkan penderitaan. Dia ungkapkan ketidaksenangannya. Dia berikan “kenikmatan” rasa beda. Sebuah kenikmatan untuk menghargai betapa mahalnya kehidupan. Sebuah anugerah kehidupan yang telah semakin kita kurangi seiring dengan rakusnya kita menuju kehancuran peradaban. Minimal Freud dan Fromm telah berupaya mengingatkan. Sebelumnya para nabi dan rasul juga telah melakukan hal serupa. Namun manusia memang selalu mengulang-ulang kesalahan. Kita memang telah berada di tepian peradaban.


Tepi Kali, Oktober 09

Tidak ada komentar: