Rabu, 23 September 2009

Kita Memang Tidak Kemana-mana !

(Sebuah Renungan Ironis dari Erich Fromm)


Manusia abad ini, kata Erich Fromm telah menjadi seperti manusia yang hidup di 2.000 tahun sebelum Masehi. Dia sampaikan keluh kesahnya itu dalam buku luar biasa, “The Sane Society” (1955). Meskipun buku ini sudah bisa dianggap klasik, alias sudah kadaluarsa bin ketinggalan zaman, namun apa yang ditulisnya cukup mampu membuat saya sulit memejamkan mata. Bukan karena saya insomnia, juga bukan karena buku itu semata-mata. Ada sebab lain mengapa saya sulit memejamkan mata. Malam ini perut saya lapar tak terkira, sementara tak ada makanan sedikitpun di atas meja. Lalu ditambah pasangan pengantin baru di samping rumah yang bertengkar dan suaranya keras menyeruak, menyebelah (huss .. tak baik menebar fitnah, mungkin saja mereka tengah memadu kasih dan cinta dengan cara yang berbeda ?). Baiklah, saya kembali ke Erich Fromm saja.

Erich Fromm mengatakan bahwa Saat itu manusia lagi sibuk-sibuknya mencari makna atas kehadirannya di muka bumi. Saat itu manusia berada di zaman Arkhais. Mereka tak bisa baca tulis. Mereka tak mampu menganalisis diri sendiri. Mereka memiliki keterbatasan berpikir di tengah-tengah usaha keras melangsungkan kehidupan di tengah alam yang garang menakutkan. Pada saat itu hadirlah perasaan rendah diri di tengah-tengah kekuatan alam semesta sebagai kosmos. Tuhan hadir seketika. Dia disembah dalam segala wujud dan rupa. Gunung, pohon, lembah, hujan, angin, petir, semua dianggap memiliki kekuatan mengatur atas kehidupan manusia. Itulah dewa berkekuatan luar biasa. Itu masa evolusi besar bangsa manusia. Saat mereka menyadari keberadaan mereka di alam raya. Saat mendengar dongeng dan mungkin membaca tentang cerita tadi, pasti dalam hati kita berbisik, ”bodoh sekali mereka ?”

Kini,
berabad-abad selepas itu, ternyata kita tidak kemana-mana. Kita masih di sini-sini saja. Masih tidak mampu mencinta dan menggunakan akal budi. Tidak mampu membuat keputusan-keputusan, tidak mampu menghargai kehidupan dan karena itu siap dan bahkan rela menghancurkan apa saja. Dunia kembali terpisah-pisah dan kehilangan kesatuannya. Manusia kembali pada kerinduannya. Kerinduan pada kekuatan luar pengatur diri mereka. Mulailah pencarian Tuhan. Mulailah memberhalakan bermacam benda. Persis seperti 2.000 tahun sebelum Masehi tadi. Namun dengan perbedaan yang sangat ironis tentunya. Benda-benda pada masa evolusi besar itu dimaknai sebagai bagian dari kekuatan alam yang didewakan. Wajarlah menyembah sesuatu yang berasal dari luar diri. Kekuatan kosmos yang di luar kendali. Tapi kini, benda-benda yang disembah itu tak lain dan tak bukan adalah berhala buatan tangan-tangan mereka sendiri. Berhala baru hadir seketika. Katanya muncul karena kekuatan akal dan budi manusia. Ada rumah, gedung, mobil, dan pakaian serba mewah. Semua dijadikan tujuan. Semua memiliki kekuatan luar biasa bagai dewa mengatur orientasi kehidupan manusia. Tapi ada beda antara kita dengan manusia yang hidup 2.000 tahun sebelum Masehi itu. Mereka ada dalam situasi ketidaksadaran ketika mendewakan kekuatan kosmos. Sebaliknya kita sadar sepenuhnya saat mendewakan hasil kerja tangan kita. Mereka ‘sadar’ dalam ‘ketidaksadarannya’, sementara kita ‘tidak sadar’ persis ditengah-tengah ‘kesadaran kita’. Selepas membaca dan mendengar sendiri tentang dongeng manusia abad ini, apakah hati kita masih bisa berbisik, “bodoh sekali kita ?”

“Tentu saja kita bodoh sekali,”
membatin saya karena yakin Anda tidak mau berbisik. Namun lebih bodoh lagi seseorang yang malam buta tetap tak bisa memejamkan mata. Bukan karena insomnia, tapi karena kelaparan tak terkira. Ditambah mendengar rintihan dan lenguhan manja dari tetangga, pasangan pengantin baru yang tengah gemar-gemarnya bermain cinta ... ha ha ha ha ...

Kota Tua, Ujung September 09

Tidak ada komentar: