Senin, 19 Oktober 2009

Media Massa dan Ideologi


Saya akan memulai tulisan kali ini dengan mengutip tekanan analisis Dominick Strinati dalam buku menariknya “Populer Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer” (Terjemahan Bentang 2003) tentang relasi ideologi dan media massa. Menurutnya, perspektif ekonomi politis memandang media massa menyampaikan nilai-nilai dan asumsi-asumsi dominan yang berasal dari dan melayani berbagai kepentingan kelas penguasa, dan mereproduksi struktur kepentingan kelas yang merata. Namun demikian, sedikit atau bahkan nyaris tidak ada bukti langsung yang menunjukkan bahwa ideologi-ideologi yang ditampilkan oleh media massa mempunyai dampak-dampak yang dikehendaki tersebut.

Secara sederhana nampaknya Strinati ingin mengatakan bahwa siapapun yang menguasai media tidak langsung bisa diartikan dia akan memiliki kuasa pula mengendalikan pemikiran khalayak yang mengonsumsi medianya. Larry Page & Sergey Brin adalah penguasa abad ini dengan bertahta di Google Inc. tapi apakah mereka lalu seenak hati menggunakan Google untuk menancapkan kuasa hegemonik ? di Indonesia ada Dhamoo Punjabi dan kerajaan Punjabi-punjabi lainnya yang baru saja berhasil memecahkan rekor atas tontonan 4 juta orang untuk film Ayat-ayat Cinta mereka. Lalu apakah film itu membawa anasir-anasir ke Hinduan ? justru film itu membawa pesan ke Islaman yang berbeda sekali dengan ajaran Hindu yang dianut keluarga Punjabi. Perspektif Marxis yang direkatkan saat melihat kehidupan media massa mungkin sudah waktunya diturunkan dari tahtanya. Terlebih-lebih saat kita mencoba menyeruak dalam kehidupan budaya populer. Namun sebelum berpanjang-panjang, ijinkan saya untuk terlebih dahulu mengupas makna kata ideologi dan dinamika konsep ini, baru kemudian kita relasikan dengan kritik Strinati di atas.

Dua Perspektif Ideologi

Secara historis, dunia mengenal dua sudut pandang utama yang mengulas konsep ideologi : Marxis dan non Marxis (Jary & Jary, 1991). Sesuai dengan namanya, sudut pandang pertama sangat berbau Karl Marx. Pemahaman ekonomi politik kelas yang dikembangkan Marx membuat pandangan tentang ideologi tidak jauh-jauh dari fetisisme komoditas. Kelas penguasa akan mempergunakan segala elemen dan instrumen untuk menjaga status quo mereka. Paham ini laris manis dimamah biak Antonio Gramsci, lalu dimuntahkan kembali dengan konsep hegemoniknya (Nemeth,1980). Pada tataran lebih tegas, Althusser memberikan kita konsep state apparatus untuk menunjukkan bagaimana ideologi bekerja dengan sangat baik demi kepentingan kekuasaan (Althusser,2004). Logika sederhana pendekatan marxis adalah bahwa ada pihak berkuasa (kelas penguasa) yang identik dengan kebenaran, melakukan praktek penguasaan dan mendominasi dengan ide-ide dan gagasan atas sekelompok pihak lain yang lemah (otomatis dikuasai) dengan kesalahan dan kealpaan mereka. Dalam bidang media, paham ini diamini oleh Noam Chomsky dengan merelasikan dinamika kehidupan institusi media massa dengan beragam kepentingan ekonomi politik (Herman & Chomsky, 1988).

Sementara itu, sudut pandang non marxis sangat identik dengan sosok Karl Mannheim. Kalau Marx dan pengikutnya adalah orang yang memapankan persoalan ideologi sebagai bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam diskusi tentang masalah sosial dan politik, maka Karl Mannheim adalah orang yang menghasilkan elaborasi komprehensif pertama dan terakhir tentang teori ideologi. Inilah pengakuan David McLelland, yang menyebut buku Mannheim “Ideology and Utopia” sebagai buku talaah ideologi paling komprehensif (McLelland,2005). Buku itu terbit pertama kali tahun 1929 di tengah-tengah kacaunya kehidupan sosial dan politik yang mencabik-cabik Republik Weimar. Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan pengantar oleh Arief Budiman dengan judul yang sama (1991). Mannheim mengarahkan perhatiannya untuk mengembangkan wawasan Mark serta tokoh lainnya yang sejalan, dan untuk menghasilkan sebuah teori ideologi yang komprehensif. Teori ini (yang kemudian terkenal dengan nama “sosiologi pengetahuan’ ) akan menyibak keterbatasan serta karakter parsial dari seluruh sudut pandang politis sepanjang sejarah, dan kemudian dia ingin memberikan landasan bagi penafsiran yang lebih harmonis, integratif, dan progresif tentang politik yang penuh pertentangan pada masanya. Usahanya itu memunculkan sebuah program penelitian untuk melakukan perlawanan terhadap kehancuran nilai yang diakibatkan oleh semakin menyebarnya kapitalisme industrial. Analisis ideologi gaya Marx yang berujung pada benar salah pada salah satu pihak, digantikan oleh analisis relasionisme gaya Mannheim. Baginya bukan perkara kebenaran subjektif yang relatif, melainkan bagaimana cara mengungkapkan setiap pemikiran orang dalam setiap zaman (berikut tokoh dan pengusanya) dengan eksistensi kehidupan orang-orang itu. Mungkin menjadi sedikit masuk akal melihat betapa bencinya Geert Wilders dengan Al-Qur’an mengingat konteks hidup masa remajanya di tepi barat Sungai Jordan yang sering ditembaki orang Palestina. Umur 17 hingga 19 tahun menjadi masa kritis dalam pemikirannya tentang landasan keimanan orang Islam. Pemahaman menyeluruh atas Timur Tengah menuntunnya pada kesimpulan bahwa penyebab tindakan gerilyawan Pelestina itu adalah tafsir atas kitab suci mereka. Jadilah sebuah ideologi yang terus bercokol di kepalanya tentang kekejaman dan sadistis Islam. Outputnya adalah film berdurasi 15 menit yang menghebohkan : Fitna. Relasi ideologis Wilders dengan konteks hidup dan eksistensinya inilah yang menjadi sasaran analisis bagi sosok Mennheim dengan konsep relasionalnya.

Sejauh ini kita sudah memaparkan dua sudut pandang dalam melihat ideologi. Terlihat sekali bahwa ideologi sebagai sebuah konsep, begitu jauh meninggalkan niat awal sang penemu kata tersebut : Antoined Destutt de Tracy, seorang filsuf Prancis. Awalnya, Tracy melihat ideologi sebagai sebuah ilmu tentang pikiran manusia yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan. Ini sejajar dengan makna logi sama dengan logos, saat dia digunakan dalam kata biologi dan zoologi. Mengingat masa hidup Tracy adalah saat gerakan rasional yang menuju pada pencerahan, maka dia juga bertekat untuk menciptakan pemetaan pemikiran manusia untuk mencapai terwujudnya manusia yang baik di abad 19 dan seterusnya (Eatwell & Wright, 2004). Namun dalam perkembangannya, ideologi ini kemudian dimaknai sebagai sebuah bentuk yang negatif. Semua ini tak lepas dari tujuan politik Napoleon Bonaperte (1769-1821). Dia menjadikan ideologi sebagai sebuah aspek ontologis yang terlepas dari segala bau ilmiah. Jadilah dia sebuah kekuatan legitimasi tradisional hingga Napoleon bisa berkuasa dengan legitimasi berupa ideologi. Iluminati yang digagas Tracy telah bergeser menjadi tujuan pencapaian kekuasaan itu sendiri. Tak ada yang namanya bahasa netral ketika menggunakan konsep ideologi. Dia telah diberikan muatan negarif oleh Napoleon Bonaparte. Persis seperti kita mengeryitkan dahi dan mencurigai setiap orang yang terlalu banyak bicara tentang partai politik di negeri ini.

Marx dan Mannheim tentu sudah sangat jauh meninggalkan Tracy. Disamping itu, kedua orang ini juga memiliki sudut pandang yang berbeda. Perspektif politis yang diemban Marx memiliki esensi yang berbeda dengan perspektif sosiologis yang dipaparkan Mannheim. Sosiologi pengetahuan dengan bahan dasar dialektika antara konstruksi ideologi dan eksistensi manusianya, bagi Mannheim lebih mampu untuk menjelaskan dan menghargai manusia sebagai subyek. Apa yang diungkap oleh Mannheim merupakan satu varian dari rangkaian tafsir realitas yang disampaikan Peter Berger & Thomas Luckman dalam buku “Social Construction of Reality”. Meskipun berada dalam ranah fenomenologi, namun membahasakan sosiologi pengetahuan dari Berger & Luckman nampak bisa menjadi roh bagi pembahasan konstruksi ideologi yang diutarakan Mannheim. Dari sudut pandang inilah sebenarnya kita bisa mengurai budaya pop sebagai sebuah mesin kerja ideologi luar biasa dari kapitalisme. Mari kita sedikit bersabar mengurai konsep budaya populer ini sebagai ideologi.

Budaya Populer Sebagai Ideologi

Budaya populer biasanya didefinisikan oleh kepercayaan dan nilai, oleh perilaku dan nilai, dan oleh pemahaman terhadap sejarah dan terhadap keberbedaan. Dari perspektif Marxis sebenarnya tidaklah layak sebuah kelas memaksakan pandangannya terhadap kelas yang lain sepanjang itu menyangkut nilai dan pemahaman tertentu. Namun realitas dunia menunjukkan negasinya. Perspektif elit yang menjembatani pemahaman kita atas kewarasan (para psikolog), surga dan neraka (kyai dan pendeta), standar hidup sehat (dokter dan antek-anteknya), hidup gaya dan gaul (selebriti) menunjukkan bahwa selalu ada kooptasi oleh suatu kelompok sosial tertentu terhadap kelompok sosial yang lain. Sebenarnya setiap kelompok sosial niscaya memiliki budaya sendiri-sendiri (Burton, 2008). Dengan logika itulah Graeme Burton menegaskan enam konsep kunci melihat budaya populer. Enam konsep kunci itu adalah pemahaman tentang perbedaan dan identitas, bagaimana identitas direpresentasikan, bagaimana budaya diproduksi, relasi sosial dan budaya bersinonim dengan barang-barang, makna perbudakan yang diproduksi dalam teks, dan bagaimana ideologi beroperasi dalam praktik dan barang-barang kebudayaan (hal.53).

Baudrillard dalam "Consumer Society" (1998) telah menunjukkan betapa implikasi bekerjanya budaya populer adalah terciptanya masyarakat konsumtif. Mesin kerja ideologi konsumtif yang diantar oleh budaya populer muncul dalam beragam bentuk seperti fashion, gaya hidup, yang kesemuanya telah menjadi simulakra. Terjadi pergeseran dari nilai tukar dan nilai guna yang dikumandangkan Marx menjadi nilai tanda (sign value) yang digerakkan logika hasrat. Tak pernah ada habisnya. Sementara itu, dengan logika yang sama, Andrew Wernick (1991) menunjukkan betapa iklan menjadi kekuatan dahsyat sebagai sebuah ideologi yang membentuk sebuah struktur masyarakat konsumtif. Ia menyebut iklan sebagai sebuah mata rantai dalam putaran publisitas (vortex of publicity) yang membawa ideologi tersendiri melalui beragam simbol kebudayaan (cultural symbol). Pengakuan atas dua pemahaman penyumbang ideologi ini diberikan oleh Sean Nixon (dalam Paul du Gay,1997:182-186). Melalui tulisannya Nixon menegaskan bahwa nilai tanda yang disampaikan Baudrillard dan kompleksitas semiologi oleh Wernick, telah menjadi semacam mesin budaya konsumen. Ideologi kapitalis yang dikhawatirkan Marx telah merasuki relung-relung budaya setiap sisi hidup manusia. Keduanya sepakat, media massa-lah yang menjadi jembatan penghubungnya. Sementara itu gambaran masyarakat konsumtif yang sangat menarik adalah seperti yang ditunjukkan gambar yang termuat pada iloblog.mattiaspettersson.com/blog yang memperlihatkan seorang anak hasil kerja kapitalisme.

Anak yang terlahir dalam era masyarakat konsumtif adalah sosok bayi yang telah tertato dengan rangkaian merek dari berbagai simbol kapitalisme dunia global. Ada Coca-cola, Levi’s, Sony, BMW, MTV, dan berbagai merek lainnya. Tak ada tempat untuk mengelak dalam konteks kapitalisme ini. Seperti yang ditunjukkan dengan serangkaian bukti menarik oleh George Ritzer dalam buku uniknya "McDonaldization" (2005).


Media dan Budaya Populer

Saat mencermati budaya populer dan media massa, Strinati sampai pada kesimpulan sulitnya melakukan analisis hanya dengan menggambarkan relasi keduanya dengan mengandalkan teori-teori yang berciri khas Marxis. Penekanan Marxis yang terlalu kuat pada aspek determinisme ekonomis membuat analisis atas budaya populer tidak begitu berarti untuk memetakan dinamikanya (Strinati, 2003:200-201). Perspektif Marxis yang gagal menerjemahkan budaya populer ini sudah diantisipasi oleh para gerakan Birmingham di Inggris. Melalui tokohnya Raymond Williams, mereka menciptakan mazab tersendiri yang berbeda dengan mazab Frankfurt di Jerman. Itulah mazab Birmingham dengan cultural studies-nya (Guins & Cruz,2005). Dan mazab inilah yang pada era postmodern sangat mendominasi pemikiran. Dia tidak terkotak-kotakkan oleh establisnya sebuah ilmu. Dia bebas meminjam ilmu apapun untuk memotret apa yang dinamakan budaya. Dalam semua masyarakat, dalam semua entitas, dan dalam segala masa. Beberapa tokoh besar berjejer di belakang nama kajian itu, diantaranya ada Raymond Williams (tentu saja), Stuart Hall, Walter Benjamin, Fredric Jameson, John Fiske,Victor Hugo, dan beberapa nama lainnya yang bertebaran dalam teks-teks kajian budaya bila kita ketik sandi itu di google.com. Dunia sudah mengakui gerakan ini sebagai gerakan pencerahan atas dialektika budaya. Apa yang dipandang kaku dan biner dalam perspektif Marxis, menjadi lentur dari perspektif ini.

Ketika memaparkan bagaimana cara kerja kajian budaya, Angela McRobbie (2006) menganggapnya sebagai sebuah model yang bisa dibaca dari beragam perspektif teoritis. Dia menggunakan teori yang dipaparkan Stuart Hall untuk melihat bagaimana relasi antara media, politik, dan ideologi. Dia melihat dari sudut pandang Paul Gilroy ketika memetakan relasi musik dengan budaya pop. Menggunakan perspektif kolonial yang dibangun Homi Bhabha untuk menjelaskan resistensi dalam budaya pop, lalu menggunakan Bourdieu untuk melihat kebutuhan dan norma (needs and norms), dan khusus untuk menghubungkan kajian budaya dengan postmodernitas, dia membingkainya dengan pemikiran Fredriec Jameson. Kajian budaya sebagai sebuah model bagi McRobbie bisa ditumpangi pendekatan dan perspektif apapun. Sejauh objek kajiannya adalah kompleksitas dan dinamika budaya. Salah satu varian yang serius dipelajari adalah budaya populer.

Budaya populer menjadi sarana bagaimana kapitalisme menjajakkan kakinya dengan jumawa. Prinsip bekerjanya ideologi dengan mesin hegemoni seperti dintrodusir Gramsci telah menemukan habitusnya yang sangat pas. Dia tak bisa dilawan, karena memang mengasyikkan. Dia tak bisa dicerca, karena sadar atau tidak kita larut di dalamnya. Kesungguhan untuk mempelajarinya adalah sebuah gerakan penyadaran untuk bisa membentengi diri dari imbas merusak dan merugikan sebuah budaya populer. Karena, seperti yang diungkapkan Strinati, perspektif Marx melalui Gramsci mungkin sedikit mampu memberikan peta penyadaran tersebut. Bahwa ada "siluman" (meminjam bahasa John B. Thompson) dan “hantu” (meminjam bahasa Marx namun dengan tafsir beda) yang bernama budaya pop yang masuk dalam sendi-sendi kehidupan kita. Tentu saja untuk melapangkan jalan bagi kapitalisme untuk beranak pinak (Featherstone, 2001; Budiman, 2002).

Nampaknya Strinati percaya bahwa dengan menggunakan ideologi versi Gramsci kita akan bisa melakukan analisis lebih mendalam tentang media massa. Tepat seperti yang ditahbiskan Gramsci bahwa media massa menjadi salah satu kekuatan yang memediasi pesan-pesan penguasa, namun bukan melalui sebuah paksaan dan pemelintiran kebenaran. Media dengan kekuatan persuasifnya menjadi sebuah narasi besar akan kebenaran dan ketertundukan. Di abad ini media massa telah menjadi tertuduh atas merebaknya budaya konsumtif (Storey, 2007; Ritzer, 2008). Pada titik itulah media massa menjadi salah satu mesin kerja yang memediasi budaya pop. Lebih tegas bisa dikatakan, bahwa media massa selain sebagai sebuah kendaraan bagi ideologi, mungkin saja media massa itu sendirilah yang telah menjadi ideologi. Namanya media culture, seperti ditegaskan oleh Dauglas Kellner (1995).

Akhirnya, kesadaran bahwa media massa memiliki posisi sentral dalam permainan ideologi (ideology games) mengharuskan kita lebih cerdas dalam membina relasi dengan media. Media bukanlah hidup di ruang vacum tanpa kepentingan apa-apa. Pembacaan media dengan menggunakan empat perspektif utama yakni institusi media, isi media, khalayak media, dan konteks media, seperti yang ditawarkan oleh Jensen & Jankowski (1991) sangat berguna untuk terus dimasyarakatkan. Tentu saja tantangannya tidak ringan. Sebuah upaya memberikan kesadaran kepada masyarakat yang merasa dirinya nyaman untuk terus hidup dalam ketidaksadaran. Terhipnotis oleh budaya belanja, kartu kredit, dan dugem ria. Semuanya diperantarai secara kognitif oleh kemegahan dan hedonisme media massa. Mari kita mulai berdoa saja ... semoga para malaikat surga memberi catatan positif atas itu semua ...


Referensi :

Allthusser, Louis, (2004). Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, Penerjemah Olsy Vinoly Arnof, Yogyakarta : Jalasutra.

Baudrillard, Jean, (1998). The Consumer Society : Myths and Structures, London : Sage Publications.

Burton, Graeme, (2008). Pengantar Untuk Memahami Media dan Budaya Populer, editor Alfathri Adlin, Yogyakarta : Jalasutra.

Budiman, Hikmat, (2002). Pembunuhan yang Selalu Gagal : Modernisme dan Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Eatwell, Roger, & Anthony Wright (Ed), (2004). Ideologi Politik Kontemporer, Penerjemah R.M. Ali, Yogyakarta : Jendela.

Gay, Paul du (ed), (1997). Production of Culture/ Cultures of Production, London : Sage Publications.

Guins, Raiford, & Omayra Zagaroza Cruz (Ed), (2005). Popular Culture : a Reader, London : Sage Publications Ltd.

Herman, Edward S., & Noam Chomsky, (1988). Manufacturing Consent : The Political Economy of the Mass Media, New York : Pantheon Books.

Jary, David, dan Julia Jary, (1991). Collins Dictionary of Sociology, HarperCollins Publisher.
Jensen, Klaus Bruhn & Nicholas W. Jankowski, 1991. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research, London : Routledge.

Kellner, Douglas, (1995). Media Culture : Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern, London : Routledge.

McRobbie, Angela (2006). The Uses of Cultural Studies, London : Sage Publications Ltd.

Strinati, Dominick, (2003).“Populer Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer” , Penerjemah Abdul Mukhid, Yogyakarta : Bentang Budaya.

Wernick, Andrew, (1991). Promotional Culture : Advdertising, Ideology and Symbolic Expression, London : Sage Publications.

1 komentar:

Universale Institute mengatakan...

analitik, bagus.Terimkasih telah dibagikan.