Kamis, 08 Oktober 2009

Keraguan yang Bermakna : Curhat Anak Isoda

“Hidup berarti untuk tertarik pada sesama,
Menjadi bagian dari keseluruhan,
dan menyumbangkan bagianku
untuk kesejahteraan umat manusia.”
-Alfred Adler- 2006


Beberapa hari yang lalu, sesudah selesai mengajar satu mata kuliah berjudul “Ilmu Sosial Dasar”, biasa disingkat ISODA, saya membuka-buka halaman facebook saya. Terdapat satu pesan antar dinding (wall) yang menarik. Isinya tentang pengakuan diri. Dari seorang mahasiswa tingkat pertama. Nampaknya dia berkeluh kesah. Selengkapnya pesan tersebut berbunyi demikian :

Mas Sulhan, kemaren pas kuliahe njenengan, njenengan bilang " Kalau kalian belum bisa nyaman dengan jurusan komunikasi, lebih baik pindah jurusan lain." begitu kalau ku tak salah ingat. saya sendiri masih berusaha untuk nyaman di sini, karen belum benar2 ada rasa mantap seratus persen di jurusan ini. waktu um kukira ga mungkin masuk komunikasi, paling banter masuk ..... (saya harus sensor karena menyebut nama jurusan lain) tapi ternyata sekarang disini. Pindah jurusan... huh... rasanya seperti jalan keluar...tapi di sisi lain rasanya seperti ingin melarikan diri...saya ingin terus ada di komunikasi, sampai nanti ada aba2 dari universitas kalau saya dinyatakan tak cukup layak untuk lulus.”

Sebagai sebuah tempat belajar tukar menukar gagasan, tempat belajar sesuatu yang baru, bagi saya kuliah selalu saja mengasyikkan. Sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk lari atau pindah ke jurusan selain Komunikasi. Tapi tentu saja saya bukanlah mahasiswa yang curhat tadi. Setiap orang memiliki perasaan dan penilaian diri yang tidak sama. Kita semua berbeda. Penuh keunikan. Bahkan begitu ekstrim. Namun nampaknya diantara kita semua, setiap orang yang beruntung pernah mengecap pendidikan di perguruan tinggi, minimal memiliki satu kesamaan. Kesamaan berupa mimpi untuk menjadi orang yang berhasil. Terjemahan bebasnya adalah “menjadi lebih baik dari hari ini”. Itu tanda kita melihat ke depan. Mencoba mentransformasi lamunan menjadi sebuah mimpi positif bagi diri sendiri, orang tua, dan pihak lain yang dekat dengan kita. Lewat upaya menjadi lebih baik itulah kita bisa “dibanggakan” orang lain. Lebih tepatnya “menjadi berarti” di mata orang lain. Mengapa demikian ? karena kita adalah makhluk sosial. Sesosok spesies yang hanya akan bermakna dengan keberadaan kita ditengah-tengah keberadaan orang lain.

Saya jadi teringat sebuah buku yang berhasil menceritakan betapa berartinya “diri” ini ditengah-tengah orang lain. Bahasanya bagus. Penulisnya Alfred Adler. Seorang tokoh aliran Psikoanalisis. Dalam bukunya “Jadikan Hidup Lebih Bermakna” (2006) murid Sigmund Freud ini menegaskan tentang mengapa kita seringkali bertanya,”apa sebenarnya makna hidup ?”. Menurutnya pertanyaan itu sering muncul saat kita merasa kalah. Sedang putus asa atas hidup ini. Justru pada saat inilah kita mengevaluasi diri kita sendiri. Merasa sangat tidak berarti. Menariknya, menurut Adler, justru pada saat merasa lemah dan mulai bertanya-tanya tentang diri sendiri, justru pada saat itulah kita sebenarnya tengah menyadari keberadaan kita. Setiap kali kita menyadari kebaradaan kita, maka pastinya kita telah menyadari keberadaan orang lain. Singkatnya, kesadaran personal itu akan menarik kita dari tepian dunia sosial menuju sentral kedirian. Jelas bahwa ketika kita merasa tidak berarti, maka ketidakberartian itu bukan semata-mata dalam “kesendirian” kita, namun telah dikerangkai oleh dimensi sosial kita. Teman mahasiswa tadi merasa dengan masuk dan belajarnya dia di Jurusan Ilmu Komunikasi, tercipta ketidakpercayaan akan pilihan. Ada nada gundah dan ragu dalam setiap kata yang ditulisnya. Artinya dia sudah membandingkan dirinya dengan sistem pembelajaran di Jurusan Ilmu Komunikasi. Dia telah menarik dirinya keluar dari gugusan sistem pembelajaran di jurusan ini. Kesadaran dia akan kepasrahan dan kegundahan menjadi penanda dia telah berada dalam ruang sosial. Inilah perasaan terbuang dari dalam komunitas. Bahasa ilmiahnya “alienasi” (tersisih, terbuang, ter-objek-kan). Bagaimana energi untuk melawan rasa itu agar berbuah rasa nyaman dan bermuara positif ? Mari kita kembalikan pada tiga batasan utama atas kehidupan yang dipetakan Adler.

Alfred Adler menyodorkan tiga realitas untuk dipikirkan sebagai jawaban kesadaran kita atas kehidupan ini. Pertama, kita hidup di permukaan planet yang miskin. Kemiskinan planet itu akan menciptakan kematian andai kita tidak mau bekerja keras untuk menemukan jawaban atas setiap pertanyaan yang membuat bumi ini semakin miskin. Bumi harus diperkaya. Baik dengan pemikiran, unjuk kerja, dan aplikasi kebergunaan. Mulai sekarang pikirkan apa yang bisa anda sumbangkan untuk membangun peradaban. Sekecil apapun itu. Menjadi mahasiswa adalah sebuah cara sederhana. Jadi tetaplah menjadi mahasiswa sampai akhirnya menjadi sarjana. Perlu tekat kuat untuk itu, yang muncul dalam batasan kedua.

Batasan kedua menyatakan bahwa kita bukan satu-satunya anggota dari ras manusia. Sampai di sini, sebagai mahasiswa komunikasi, kita harus sadar bahwa kita tidak sendirian. Ada banyak mahasiswa lain di jurusan. Lebih dari 150 mahasiswa baru. Itu untuk UGM. Belum lagi kalau menghitung berapa jumlah mahasiswa komunikasi di Indonesia. Lalu hitung jumlah lainnya di dunia ini. Semua pasti punya masalah yang kurang lebih sama. Jadi kenapa harus merasa sendirian ? Mereka semua cuma menampakkan rasa percaya diri semata ? Semua mungkin takut dan gelisah. Tapi menyembunyikannya. Agar semua terlihat baik-baik saja. Saat semua masalahnya dianggap kurang lebih sama, mengapa kita tidak berpikir untuk menjawab dan menyelesaikan masalahnya bersama-sama pula ? Wahai teman yang bingung, percayalah bahwa Anda tidak sendirian !

Batasan ketiga yang membuat kita terikat adalah sebuah fakta sosial bahwa ras manusia dan spesies manusia ini terlahir, hidup, dan berkembang dengan basis gender adanya dua jenis kelamin. Orang terdekat yang bisa membantu kita adalah pasangan kita dari jenis kelamin yang berbeda tersebut. Kesadaran atas dua jenis kelamin ini adalah energi positif yang membuat spesies kita ini tidak punah. Jadi mengapa sekarang tunggu apa lagi ? segera cari pacar ! segera cari teman untuk curhat ! carilah cara untuk membicarakan masalah itu dengan seseorang yang dirasa paling dekat ? mari buat masalahnya ringan dengan membaginya pada banyak orang.

Tiga batasan ini tadi menetapkan tiga masalah utama : pertama, bagaimana menemukan pekerjaan yang memungkinkan kita untuk bertahan dalam batasan yang ditetapkan oleh alam. Anda harus berhasil sebagai mahasiswa komunikasi. Lulus. Bekerja. Dan itu berarti mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kedua, bagaimana menemukan posisi yang tepat di antara sesama, sehingga dapat bekerjasama dan berbagi keuntungan dari kerjasama tersebut. Sadari bahwa Anda bukan satu-satunya mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM ini. Dan mungkin bukan satu-satunya mahasiswa komunikasi di dunia ini. Terakhir, bagaimana menolong diri sendiri dengan adanya realitas bahwa kita hidup dalam dua jenis kelamin, dan keberlanjutan pada masa depan umat manusia, dimana tergantung pada kehidupan cinta kita.

Jadi buat siapa saja yang merasa sama seperti mahasiswa yang curhat tadi, segera saja membuat pilihan. Sebuah pilihan yang berkesadaran : mau pindah atau tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi ! semakin lama dalam keraguan, maka akan semakin membuat kesadaran itu menjadi hilang. Berujung kekalahan. Tidak ada manusia yang mau kalah. Semua ingin jadi pemenang. Minimal pemenang atas hasrat dan irasionalitas diri sendiri. Kenapa ? karena kita adalah makhluk yang berpikir dan itulah yang membedakan kita dengan hewan. Tentu Anda tidak mau dianggap sama dengan hewan, bukan ?

Tepi Kali, Oktober 09

Tidak ada komentar: