Minggu, 22 November 2009

Society as Sacred Emile Durkheim ?

Bagi orang seperti Emile Durkheim, agama diakui sebagai sebuah realitas sui generis. Maksudnya adalah bahwa representasi atau simbol-simbol agama bukanlah khayalan (delusion), juga bukan sekadar mengacu kepada fenomena yang lain, seperti kekuatan-kekuatan alam. Melainkan sebuah fenomena sosial semata (Bellah, 2000). Ada relasi yang kuat antara ide pembentukan masyarakat dengan digunakannya agama sebagai alat pemersatu dan menjaga harmonisasi kehidupan masyarakat tersebut. Karya utama Durkheim yang terkait dengan hal ini adalah The Elementary Form of Religious Life (1915). Tulisan berikut ini akan memokuskan diri pada pemahaman beberapa bagian dari ide Durkheim dalam buku tersebut melalui sudut pandang Daniel L. Pals (1996). Penjelasan akan bermula dari landasan pemikiran Durkheim tentang konsep komunitas sebagai penentu atas apa yang harus dilakukan setiap individu.

KOMUNITAS SEBAGAI DASAR : IDE AWAL DURKHEIM

Dengan mengacu pada paham Baron de Montesquieu dan Saint Simon (Pals, 1996 : 91-93), Durkheim menandaskan bahwa pada diri manusia sejak dahulu kala selalu ada kebutuhan untuk terus menyatu dan terikat kepada suatu komunitas. Hal ini dia paparkan ketika mengulas kehidupan masyarakat purba dengan menggunakan konsep kontrak sosial. Dalam masyarakat pra-sejarah itu, setiap individu yang dilahirkan langsung mendapati dirinya berada dalam kelompok-kelompok, keluarga, klan, suku dan bangsa yang kesemuanya tumbuh dalam konteks kelompok. Prinsip utama yang ada dalam kelompok inilah yang seterusnya berkembang menjadi masyarakat. Manusia yang ada dalam kelompok itu mengembangkan suatu kesepakatan sosial yang berorientasi pada penciptaan harmoni dalam kehidupan kelompok tersebut. Kesepakatan sosial itu diantaranya terjewantah dalam bentuk agama. Ini nampak dalam fakta-fakta yang ditunjukkan Durkheim. Dalam masyarakat purba ini, kontrak sosial selalu terikat dengan sumpah-sumpah sakral keagamaan yang memperlihatkan bahwa setiap kesepakatan antara mereka tidak hanya bermakna ikatan antara dua belah pihak saja, namun melibatkan campur tangan dewa didalamnya, sebab yang merasakan implikasi yang ditimbulkan kesepakatan tersebut adalah seluruh anggota masyarakat. Kontrak sosial yang melibatkan para dewa tentu akan memiliki legitimasi yang sangat kuat. Tesis ini paling tidak bermula dari bukunya “The Division of Labor” (1893) tentang asal mula terciptanya kontrak sosial sebagai hakekat suatu masyarakat.

Dalam “The Devision of Labor” itu, Durkheim menuliskan penemuannya tentang perbedaan yang paling mendasar antara masyarakat purba dan modern dalam usaha mewujudkan kesatuan dan harmonisasi dalam masyarakat. Pada masyarakat purba, usaha untuk mewujudkan kesatuan terwujud dan bergerak dalam solidaritas mekanik. Pada masyarakat modern terjadi perubahan solidaritas mekanik menjadi pembagian jam kerja, setiap orang berbeda pekerjaannya. Masyarakat purba juga memiliki “kesadaran kolektif” yang kuat dan luas, dalam kesadaran ini terkandung kata sepakat tentang ketentuan yang benar dan yang salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sedangkan dalam masyarakat modern yang menentukan salah benar adalah moral individualisme. Inilah prinsip moral yang terus hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu kita tidak bisa memisahkan moralitas dan agama dalam kerangka sosial. Hal ini disebabkan konsensus tentang moral (terutama yang benar dan yang salah) terutama ditetapkan dalam agama. Jadi apabila konteks sosial dalam masyarakat berubah, maka dengan sendirinya agama dan moralitas pun berubah. Dalam peradaban Barat saat ini telah terjadi perubahan dari kesadaran kolektif purba diganti dengan moral individualistik yang pada akhirnya hak yang dimiliki agama dan moral telah berubah seiring dengan perubahan tatanan sosial.

Penyebab bertahannya agama secara konvensional menurut Durkheim adalah wejangan-wejangan yang menggugah dari pemuka agama, namun bertahannya agama dalam koridor fungsi sosial tidak disadari oleh setiap anggota masyarakat itu sendiri. Dalam pandangan sosiolog, keberhasilan pemuka agama tidak dinilai dari berapa banyak pendosa yang disadarkan para pemuka agama, tapi dari ragam peristiwa yang bisa mengembalikan perasaan bersama, saling berbagi rasa dan kepentingan kepada tetangga yang miskin terkucilkan dan putus asa. Dalam studinya tentang bunuh diri : “Suicide” (1895) yang diterbitkan tak lama setelah karyanya “Rule”, Durkheim menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri paling tinggi terjadi dalam masyarakat yang menganut agama Protestan, dan paling rendah pada masyarakat Katolik (Pals, 1996 : 97). Hal ini terjadi karena dalam masyarakat Protestan lebih memberikan kebebasan berpikir dan bertindak pada pengikutnya, dengan prinsip “manusia adalah pemilik utama dirinya sendiri“. Dalam masyarakat Katolik, individu-individu mempunyai integritas yang relatif lebih tinggi satu sama lain, dimana para pendeta menjadi perantara masyarakat dengan tuhan. Jadi semakin kuat ikatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka akan semakin rendahlah angka rata-rata bunuh diri yang terjadi di dalamnya. Sumber dari kekuatan ikatan sosial itu adalah berhasilnya penanaman norma-norma dan nilai dari agama Katolik yang lebih berorientasi sosial apabila dibandingkan Protestan. Kekuatan agama inilah yang kemudian dipotret oleh Durkheim dengan menggunakan konsep dunia sakral dan dunia profan.

DUNIA SAKRAL DAN DUNIA PROFAN : DUA KONSEP UTAMA

Dalam menceritakan tentang agama sebagai konstruksi sosial dari masyarakat, Durkheim melakukan analisis dengan memunculkan seluruh latar yang berbentuk kebiasaan dan adat istiadat dalam suatu masyarakat. Ia menolak penemuan dari Tylor, Freud dan Frazer yang memberikan definisi agama sebagai bentuk kepercayaan kepada kekuatan supernatural, seperti tuhan atau dewa-dewi (hal : 98-100). Durkheim menyatakan bahwa pada masa lalu, masyarakat primitif tidak berpikir tentang dua dunia, natural dan supernatural seperti yang dipikirkan oleh masyarakat beragama dalam kebudayaan modern. Masyarakat sekarang berfikir seperti itu karena mereka sangat terpengaruh dengan asumsi dan kaidah-kaidah dasar sains, sedangkan masyarakat primitif tidak. Mereka melihat semua peristiwa (mukjizat dan hal biasa) pada dasarnya sama. Disamping itu konsep tentang dewa-dewi juga dianggap bermasalah, karena tidak setiap agama mempercayai adanya tuhan, walaupun mereka meyakini adanya satu kekuatan supernatural. Berangkat dari pemikiran ini ia kemudian memberikan konsep dunia sakral dan dunia profan sebagai langkah awal memahami asal mula “terciptanya” agama.

Durkheim menemukan karakteristik paling dasar dari setiap kepercayaan agama yang menurutnya tidak terletak pada elemen-elemen supernatural, tetapi pada konsep yang “sakral” (the sacred). Dalam masyarakat beragama manapun, dunia dibagi menjadi dua arena : arena yang sakral dan arena yang profan. Hal-hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal tidak tersentuh, dan selalu pantas mendapat penghormatan tinggi. Sebaliknya arena profan mengacu pada bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Ia juga memberikan definisi bahwa agama adalah satu kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Perilaku-perilaku tersebut dapat disatukan kedalam satu komunitas moral yang disebut gereja, tempat dimana masyarakat memberikan kesetiaannya. Yang sakral memiliki pengaruh yang luas untuk menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sedangkan yang profan tidak memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan komunitas itu sehari-harinya. Hal yang profan ini adalah masalah-masalah kecil yang mencerminkan urusan setiap individu sehari-hari (Kegiatan dan usaha pribadi yang lebih kecil dari kehidupan pribadi dan keluarga dekat). Yang sakral muncul terutama berkaitan dengan apa yang menjadi konsentrasi sebuah masyarakat, sedangkan yang profan adalah apa yang menjadi perhatian pribadi dari seorang individu. Dalam usaha menjelaskan pemikirannya tersebut, Durkheim mengambil contoh pemujaan totem yang dilakukan oleh masyarakat Aborigin di Australia.


TOTEMISME :
YANG SAKRAL DAN YANG PROFAN SUKU ABORIGIN, AUSTRALIA


Sama seperti para penulis tentang totem : Frezer, Roberston Smith, Freud, dan peneliti ataupun Antropolog yang lain, Durkheim juga terpukau dengan fakta terciptanya sistem totemisme yang dianggap sebagai agama pada berbagai suku primitif di dunia. Namun penjelasan Durkheim atas fenomena itu berbeda jauh dengan para peneliti tersebut. Dia mulai dengan menghubungkan sistem totem itu dengan gambaran tentang yang sakral dan yang profan untuk kemudian memaparkan implikasi dari totemisme itu bagi masyarakat atau suku bersangkutan (Pals,1996 : 101 –110).

Durkheim berkeyakinan bahwa ide tentang pemujaan totem tidak lain adalah pemujaan terhadap masyarakat itu sendiri. Mengapa selalu yang menjadi totem adalah hewan atau binatang, karena masyarakat menginginkan obyek yang spesifik, nyata dan dekat dengan keseharian mereka. Sedangkan tujuan dari klan itu sendiri adalah untuk menyatakan kesaling terkaitan dengan berbagai hal, berbagai hubungan yang sangat mengikat seseorang dengan orang lain didalam klan, kaitan klan dengan alam fisik, dan kaitan-kaitan antara berbagai fenomena alam itu sendiri.


Di bagian akhir “The Elementary Form of Religious Life”, Durkheim menyatakan bahwa sebenarnya perasaaan keagamaan pertama kali muncul bukan dari momen-momen pribadi, akan tetapi dari upacara-upacara klan yang bersifat komunal. Karena upacara pemujaan dari setiap klan dilakukan secara bersamaan dengan tujuan kesadaran tentang arti penting klan, dan memberikan perasaan bahwa mereka adalah bagian dari klan dan memastikan yang sakral selalu terhindar dari segala sesuatu yang profan. Bentuk pemujaan pertama kalinya biasanya berisi tentang larangan-larangan yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan usaha untuk memperbaharui klan itu sendiri.

Sebenarnya ide masyarakat itu ada dan hidup hanya didalam individu-individu, jadi jika ide tentang masyarakat itu dihilangkan sedangkan kepercayaan, tradisi, aspirasi dari kelompok-kelompok hanya dikembangkan secara individu maka dengan sendirinya masyarakat akan mati. Demikian juga dengan tuhan dan agama. Keduanya hanya akan ada sejauh dia memiliki tempat dalam kedaran masyarakat, jadi tuhan tidak akan bisa berbuat apa-apa jika tidak ada yang menyembah dan memikirkan-Nya.


AGAMA SEBAGAI EKSPRESI SIMBOLIK : MENCOBA SIMPULAN

Kesimpulan yang bisa diambil tentang agama adalah, bahwa keyakinan ritual keagamaan merupakan ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Jadi pemujaan terhadap Totem sesungguhnya adalah pernyataan kesetiaan terhadap klan. Hari dan upacara upacara suci diadakan hanya untuk menempatkan kembali masyarakat kedalam pikiran anggotanya, sekaligus menekan keinginan personal kembali ke posisi tempat mereka berasal yaitu hal-hal yang profan.

Baik di dunia Timur maupun Barat, masyarakat modern ataupun purba, kepercayaan dan ritual keagamaan selalu mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yaitu menuntut setiap anggotanya untuk lebih memikirkan kelompok ketimbang diri pribadi, merasakan arti penting dan kekuatan yang dimiliki masyarakat dan mau mengorbankan kepentingan pribadinya demi masyarakat. Dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan jugalah yang telah membantu kelahiran agama, oleh karena itu agama tidaklah bersifat intelektual tapi lebih bersifat sosial. Agama berfungsi sebagai pembangkit perasaan sosial, memberikan simbol dan ritual-ritual yang memungkinkan masyarakat mengekspresikan perasaan mereka yang selalu terikat dengan komunitasnya, dan selalu untuk melindungi yang benar dan jiwa masyarakat. Oleh karena itu agama adalah sesuatu yang bersifat sangat sosial dan dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari kehidupan sosial, agama melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan kesadaran akan perasaan tertentu yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat, untuk kemudian memperkuat eksistensi masyarakat itu sendiri.

Mengenai masalah ritual dan kepercayaan, Durkheim lebih mengutamakan ritual keagamaan, sebab ritual inilah yang lebih fundamental dalam melahirkan keyakinan. Jika ada sesuatu yang abadi dalam agama maka kebutuhan masyarakat akan hal yang bersifat ritual inilah sesuatu yang lebih abadi, berupa upacara-upacara yang bisa dimaknai peneguhan kembali dedikasi setiap anggota masyarakat. Kebutuhan untuk mengadakan upacara selalu ada karena merupakan sumber sebenarnya dari kesatuan sosial dan tali pengikat utama seluruh anggota masyarakat. Jika masyarakat masih memerlukan ritual keagamaan maka konsekuensinya adalah tidak akan ada satu masyarakat yang tidak memiliki suatu agama, walaupun ide-ide agama dianggap salah dan absurd oleh sebagian kalangan, namun perilaku keagamaaan akan selalu ada dalam setiap masyarakat karena hal ini yang memberikan kekuatan kepada masyarakat tersebut.


Tepi Kali, November 09

1 komentar:

Anonim mengatakan...

durkheim menyebutkan.. bahawa Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang berkaitan dengan yang sacral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang –kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut kedalam suatu komunitas moral tunggal yang di sebut gereja.

yang membagi dunia agama itu bentukan.. bersambung..
tulisan anda menarik.. kapan-kapan kita