Kamis, 02 April 2009

FREUD, AGAMA, DAN KEBERADAAN TUHAN

“Religion would thus be
the universal obsessional neurosis of humanity”
-Freud, The Future of an Illusion-



Nama Sigmund Freud mungkin sudah sangat dikenal orang terkait dengan ajaran psikoanalisisnya. Terminologi egois yang kerapkali kita pakai – pun sebenarnya berasal dari konsep ego-nya Freud ini. Terlepas dari kebesaran nama pengusung mazhab pertama dalam psikologi ini, tampaknya orang tidak terlalu memperhatikan pandangan-pandangan dia tentang agama dan ketuhanan. Buku-buku teks Freud yang diterbitkan lebih banyak bercerita tentang terapi psikoanalisis yang dia lakukan. Padahal pemahaman Freud tentang agama dan Tuhan sendiri merupakan sebuah kajian yang menarik untuk dibahas. Ada alasan kuat untuk itu.

Dalam masa-masa keemasannya, saat mana aliran psikoanalisis sangat diminati diseluruh daratan Eropa, Freud menjadi sangat percaya diri dengan ajarannya tersebut. Upaya untuk menjelaskan sebuah mimpi telah menemukan landasan ilmiahnya. Dengan hasil itu semua, Freud tambah jumawa. Dia merasa bahwa kebenaran telah dia temukan. Tidak ada lagi di dunia ini yang memotivasi perilaku manusia selain instink thonatos dan eros. Dalam kejumawaannya itulah dia merasa terserang ketika salah seorang pengikut setianya : Carl Gustav Jung melakukan protes terhadap ajarannya tersebut. Jung terang-terangan tidak ingin mengakui bahwa seksualitas di atas segala-galanya. Ditengah-tengah kegamangan atas kondisi itulah, maka Freud mulai menyadari adanya suatu kekuatan yang menggerakkan manusia. Kekuatan itu termanifestasi dalam agama. Namun pada titik ini Freud mengalami sindrom yang cukup pelik. Dalam upaya mempertahankan aliran psikoanalisis yang sudah di “genggamnya” itu dia bahkan berani menyamakan antara ketaatan terhadap pemahaman psikoanalis (terutama teori seksual) dengan ketaatan pergi beribadat ke gereja setiap hari Minggu (Jung, 2003). Jung marah-marah sambil bersungut-sungut ……. Kayaknya sih dia bilang begini :
“ ini orang tua bego banget sih … masa teori seksual itu dianggap dogma ?” … terus dia bilang :
“ Gue kagak setuju ……. Protes,….. tidak sepakat … !” sambil nyengir-nyengir gitu ……
dan genderang perang-pun ditabuh . Mereka diem – dieman persis anak kecil habis gelut.

Apa yang tersirat pada cerita itu, ternyata Freud juga menyadari pentingnya agama. Sekalipun dia dibesarkan dalam lingkungan Yahudi ortodoks, dan kemudian menjadi atheis namun pada masa-masa senjanya ternyata ia menjadi perenung Tuhan yang cukup serius. Sangat disayangkan bahwa kemudian segala sesuatu tentang yang “maha” itu datang dengan sangat terlambat ketika dia sudah cukup tua. Ini khan kondisi kejiwaan biasa dari sosok orang tua. Hal ini yang dulunya tidak pernah diakui oleh Freud. Dia bahkan menyamakan kondisi kejiwaan orang yang hidup dengan agama relatif sama dengan kondisi para penderita penyakit gangguan jiwa (neurosis). Untuk melihat bagaimana pemikiran Freud tentang agama ini, kita akan coba mengembara dengan lebih banyak menekankan pada konteks lingkungan yang membesarkan dan mempengaruhi pemikiran si dewa psikoanalisis ini, terutama terkait dengan agama.



Tiga Alasan Klaim kebenaran Agama

Pandangan Freud tentang agama secara jelas dipaparkan dalam Totem dan Taboo (1912). Freud menemukan adanya keserupaan antara kostum dan perilaku agama primitif di satu sisi dengan perilaku obsesif pasien-pasien neurosisnya di sisi lain, yang menjadi pertahanan kehidupan mental primitif sampai masa kini (Hans Kung, 2001 : 52-53)

Analisis tentang jiwa (Psyche) membuka suatu pintu tentang motif paling dalam dari pemikiran dan tindakan manusia, dari tekanan kepribadian individu hingga kekuatan besar yang mendorong dan membentuk peradaban (Daniels Pals, 1996 : 54). Justru dengan memahami tentang kondisi kejiwaan inilah kemudian Freud masuk pada titik yang lebih besar yaitu hubungan kondisi kejiwaan itu dengan ketaatan dan keyakinan beragama seseorang. Analisisnya tentang agama berasal dari seorang filusuf jerman yang mendapat ketenaran pada masanya melalui buku The essence of Christianity (1841) yaitu Ludwig Feuerbach. Dia menyatakan bahwa semua agama hanyalah alat psikologis yang kita gunakan untuk menggantungkan harapan, kebaikan, dan nilai-nilai ideal kita sendiri kepada wujud khayal supernatural yang kita sebut “Tuhan” dan dalam proses itu hanya mengecilkan arti diri kita sendiri (Pals, 1996 : 78).

Agama menempati posisi pertama diantara problem-problem masa muda Freud. Kritik utamanya terhadap agama tercurah paling tidak dalam empat karya. Dalam beberapa karyanya itu dia mencermati lebih jauh dari sekedar ritus-ritus agama dan bertanya, apakah “gagasan agama?” dia mengemukakan pandangan reduktif terhadap masalah-masalah ini dalam The Future of an Illusion (1927). Apa yang baru dalam agama tidak lebih jauh dari sekadar analisis sejarah, terutama sebagai fenomena sosial kontemporer. “Gagasan agama mengajarkan dan menjelaskan fakta-fakta dan kondisi-kondisi realitas eksternal (mungkin juga internal) yang menunjukkan pada seseorang apa-apa yang tidak ditemukannya dan yang menghadirkan klaim bagi kepercayaan seseorang. Freud mempermasalahkan apa yang menjadi dasar klaim itu dengan memberikan tiga alasan yang secara mutual saling bertentangan dan secara holistik tidak memuaskan. Pertama ialah bahwa kita harus mempercayai tanpa menuntut pembuktian-pembuktian. Freud mempertanyakan dan menduga bahwa hal itu terjadi lantaran kita benar-benar menyerah pada fakta bahwa klaim itu tidak pasti dan tanpa landasan.

Jawaban kedua ialah bahwa kita harus mempercayai karena nenek moyang kita juga mempercayai. Freud menegaskan bahwa para leluhur kita jauh lebih kolot dibanding kita dan mempercayai sesuatu yang besar yang tidak mungkin kita percayai sekarang. Sementara itu jawaban ketiga adalah bahwa kita harus mempercayai lantaran kita memiliki bukti-bukti yang berasal dari zaman purba. Freud menegaskan bahwa catatan-catatan yang menjadi sumber bukti itu tidak bisa dipercaya, penuh kontradiksi, membutuhkan perbaikan dan sering salah dan menjadikan wahyu itu sendiri sebagai bukti bahwa doktrin mereka tidak otentik.[1] Jika klaim ini dijadikan sebagai bukti-bukti yang menunjuk pada masa sekarang – terutama kaum spiritualis- bukankah menjadi tidak jelas bahwa spirit-spirit agung yang mereka buktikan sebenarnya menyerupai diri mereka sendiri sehingga menjadi mudah untuk menerima informasi yang benar-benar terjadi, sebagai produk masyarakat yang mereka sendiri tidak memiliki bukti kemandirian realitas spiritual dari tubuh, jiwa abadi ?


Akar Ateisme Freud

Dengan beragam pertanyaan tersebut diatas, sebenarnya Freud dipusingkan oleh sebuah kenyataan didepan matanya bahwa segala perilaku penghambaan diri dengan yang namanya “Tuhan” tersebut dalam segala bentuk ritualnya dipertahankan seluruh manusia dimuka bumi dengan sikap “ultrafanatis”. Hingga apabila kita mengikuti cara berpikir Freud bahwa yang melakukan ritual agama sama dengan penderita Neurosis, berarti apakah semua orang beragama itu sudah gila ? nah berarti gue ini termasuk tidak gila, karena jarang sekali melakukan ritual keagamaan tersebut …… tuh khan mau enaknya sendiri jee … he he he….. ! tapi sebenarnya bukan itu yang terjadi. Menurut Hans Kung (2001) si Freud itu sebenarnya tetap dipasung, dibunuh, dan dikuburkan oleh kebingungannya sendiri. Btw, sinisme dia terhadap realitas agama sejalan dengan kebingungannya sendiri dalam memetakan relasi Tuhan dan manusia.

Permusuhannya dengan Tuhan baru bermula ketika dia secara ekstrem mensimplifikasikan makna-makna hieropanis dibalik deretan simbul dan ritual keagamaan yang dijalankan dengan takzim oleh orang-orang di sekitarnya. Lantaran terlalu menyederhanakan makna “kehadiran Tuhan” di dunia nyata, yang profan, dengan menganggap setara eksistensi Tuhan dengan manusia atau bahwa yang sakral tak lain adalah yang profan, maka Freud segera menjadi sosok atheis yang lebih militan dibanding Nietzsche dan Karl Marx. Dengan berani dia telah melakukan inferiorisasi Tuhan pada tingkat yang juga dihuni manusia, ia menentang semua jenis Tuhan yang dipercaya seluruh umat di dunia. Freud pada implikasi selanjutnya memandang semua agama termasuk sophia perennis : sebagai ketidaklogisan semata, lantaran nilai-nilai pengejewantahannya berada dalam frame yang tidak membumi, tidak manusiawi, apalagi fisikis, dan karenanya hanya patut dicap sebagai neurotisisme. Freud telah membangun relasi ketegangan dengan Tuhan. Terus do’i sekarang gimana ya … setelah berjumpa dengan Tuhan ? …. Ini menarik … sungguh menarik ... Apa yang membuat Freud sebegitu tidak percayanya dengan agama sebagai suatu “keyakinan utama” manusia, nampaknya tidak terlepas dari perkembangan kepribadian dan kejiwaannya sendiri sejak dia kanak-kanak hingga dewasa.

Pandangan skeptis Freud tentang agama (kristen) dan nilai-nilainya tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan masa kecilnya. Dilahirkan di Wina tanggal 6 mei 1856 persis satu tahun setelah terbitnya buku Kraft and Stoff (Force and Matter) dari Ludwig Buchner yang menandai establisnya paham materialisme. Saat itu buku tersebut dianggap sebagai “Bibel militan” pandangan dunia saintifik materialistik baru. Menurut paham tersebut seluruh dunia dan juga pikiran manusia, bisa dijabarkan melalui kombinasi aktivitas material-material dan kekuatannya. Sedangkan Tuhan adalah “sesuatu yang berlebih–lebihan”. Dalam kondisi lingkungan demiian Freud sangat terbiasa dengan komunitas “tak bertuhan” yang menurut Hans Kung “hanya terdapat dua persen Protestan dan dua persen lainnya adalah Yahudi” (2001).

saat pendewasaannya, Freud berada pada atmosfer beralihnya keyakinan orang akan semangat kerohanian para pendeta dan uskup geraja menuju upaya rasionalitas dan materialis yang berasal dari penemuan spektakuler Darwin. Dan ilmu yang nampak sangat dipercaya menumbangkan dogma keyakinan teologis adalah kedokteran. Bidang kedokteran menumbangkan dogma itu dengan dua sains yang mendasar : anatomi dan fisiologi. Kondisi ini dianggap sebagai kemampuan paham materialisme menjelaskan seluruh fenomena manusia dan alam semesta. Feuerbach bahkan memuji-muji tokoh pujaannya Martin Luther karena telah memperbolehkan anaknya, Paul untuk belajar studi kedokteran. Ini betul-betul kemenangan. Dan inilah salah satu alasan mengapa kemudian Freud memulai segala sesuatunya dengan sekolah pada bidang kedokteran ! Sampai pada titik ini perdebatan masih saja terjadi : betulkah sejak kecil Freud sama sekali tidak pernah menumbuhkan keyakinan apapun dalam dirinya terhadap Tuhan, sekalipun ia diajarkan tentang semua atribut dan upacara agama Yahudi ? Kalau pertanyaan ini cuma layak ditujukan kepada ayah dan ibu Freud … kita tanya saja pada mereka, tentu bukan di sini tempatnya he he he he …

Lembayung Damai, Maret 09

[1] Keberanian dekonstruksi atas ajaran yang dipegang orang tua dan keluarganya ini dilakukan justru dengan menelaah habis-habisan isi kitab Bibel. Kemampuan penjelasan alternatif atas isi Bibel dilakukan Freud ketika ia memaparkan hidup dan perjalanan Musa. Lebih lengkapnya baca “Musa dan Monoteisme”, Jendela, Yogyakarta, 2003.

Tidak ada komentar: