Kamis, 11 Desember 2008

Daya Seduktif Media :

Labirin Ala Baudrillard

“That members of the contemporary world
are voyeurs adrift in a sea of symbols”
-Norman K. Denzin,1991-


Kata-kata Norman K. Denzin yang saya pakai sebagai pembuka esai ini adalah sebuah asumsi dasar saat dia mulai menuliskan buku menariknya “Images of Postmodern Society”. Sebuah buku yang berupaya menyajikan bukti-bukti dari pemikiran Jean Baudrillard tentang telah terciptanya sebuah masyarakat konsumtif yang distimulus oleh media massa. Denzin dengan sangat cerdas merelasikan antara berbagai teori postmodern dengan film-film karya Hollywood yang termasuk mainstream. Ada lima sinema yang dianalisis oleh Denzin dalam upayanya mengatakan bahwa Amerika sepenuhnya telah menjadi sebuah contoh menarik sebuah masyarakat posmodern yang tercipta karena stimulus media. Kelima film itu adalah Blue Velvet, Wall Street, Crime and Misdemeanors, When Harry Met Sally, Sex, lies and videotape. Semua sinema itu dilihat dengan menggunakan kacamata pendekatan teoritis dari C. Wright Mills dan Jean Baudrillard. Kata-kata yang menjadi asumsi dasar dari analisisnya seperti tertuang di pembuka esai tadi merupakan cerminan dari kesimpulan yang dia berikan. Pada setiap film yang dianalisa terdapat sebuah permainan simbol yang membuktikan tentang logika hasrat sebagai sebuah konsep yang selalu dikejar oleh manusia posmodern. Sebuah pembujukan dan rayuan (seduction) yang tidak pernah menyelesaikan tujuannya. Proses bermain-main di lautan simbol itu sendirilah yang menjadi tujuan setiap manusia yang menjadi anggota masyarakat kontemporer. Terus menerus demikian, sehingga tanpa sadar tenggelam di dalam lautan simbol, hingga kematian sosok itu tetap dalam ketidaksadaran atas hegemoni kehidupan simbolis dengan nilai tanda yang tak berujung. Baudrillard sebagai sosok yang memberikan peringatan akan kompleks dan uniknya masyarakat yang tercipta oleh daya seduktif itu merangkai pemikirannya dalam waktu cukup lama. Telaah utamanya tentang masyarakat konsumtif menjadi asal muasal ide tersebut pada sekitar awal 1976. Paparan di halaman berikut ini akan membingkai pemikiran Baudrillard dalam dua hal yang bersifat deduktif. Pertama, akan diurai kembali tentang konsep masyarakat konsumtif dalam pandangan Baudrillard. Kedua, dari fenomena masyarakat konsumtif itu dilihat bagaimana media massa memainkan peranan maksimal dengan konsep eksentriknya : simulakra.

Kelanggengan Masyarakat Konsumtif dari Baudrillard

Gambaran masyarakat kontemporer seperti yang diintrodusir oleh Denzin dalam bentuk konkretnya adalah sebuah gambaran masyarakat konsumtif oleh Baudrillard. Bukunya La Societe de consommation (1970) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Consumer Society (1998) mengambil banyak ide dari John Kenneth Galbraith bercerita tentang struktur dan dinamika masyarakat konsumtif. Disitu Baudrillard menegaskan bahwa pertumbuhan masyarakat, pada hakekatnya adalah lawan dari masyarakat berkecukupan. Pertentangan yang ada di dalamnya mengarah kepada pemiskinan psikologis dan kefakiran sistematis karena “kebutuhan” akan selalu melampaui produksi barang. Karena kekayaan dan kemiskinan melekat di dalam sistem, usaha seperti yang diajukan oleh Galbraith untuk memecahkan masalah kemiskinan akan berakhir dengan kegagalan. Seperti diakui Ritzer saat mengantar buku Consumer Society, melalui berbagai caranya Baudrillard tidak hanya mengeritik, melainkan juga telah berhasil membangun karya Galbraith dengan cara yang sangat modern.

Meskipun dalam teori-teori awalnya ketika menggambarkan masyarakat konsumtif, Baudrillard banyak meminjam teori Marxian, namun semakin lama justru semakin kelihatan bahwa dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk “bercerai” dengan pemikiran Marxis, terutama ketika dia menyebut frasa kunci “tidak mungkin ada revolusi sejati”. Inilah penanda talak tiga dia dengan status Marxian. Imbasnya, demikian komentar Ritzer, pandangan optimistiknya tentang masa depan bertentangan dengan pandangannya tentang dunia yang pada dasarnya pesimistis. Kekuatan masyarakat konsumtif sebagai sebuah fakta sosial yang bernuansa strukturalisme didapat Baudrillard dengan mengacu penuh pada ide Durkheimian. Dia mengeritik namun sekaligus mengakui betapa kuatnya dominasi masyarakat konsumtif yang telah terlembagakan. Kondisi mana yang tidak mungkin dilawan. Baudrillard sama sekali tidak bernafsu untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat gaya baru yang melawan episode kapitalis saat ini. Dia hanya bermaksud mengkritisi dan bergaya nakal dengan mencibir berbagai “kebodohan” terstruktur manusia yang telah larut dalam kemanjaan dan kelenaan kapitalisme. Sesuatu yang “menyadarkan” ketimbang sebuah “pemberontakan” utopis dalam marxisme. Pendekatannya nampak sangat personal. Semua bermula dalam diri manusia secara persona. Apabila kesadaran akan kebodohan telah hadir dalam pikiran setiap manusia, maka bisa dipastikan daya imun terhadap kapitalisme akan tercipta dengan sendirinya. Aku sendiri memiliki keyakinan tersebut saat membayangkan wajah gemuk Baudrillard. Nafsu yang telah diselimuti hasrat sama sekali tidak mampu kita lawan, sejauh kita tetap larut dalam ketidaksadaran. Nafsu menjadi entri poin hidupnya energi kapitalisme. Wujud riilnya adalah konsumsi.

Bagi Baudrillard, konsumsi bukan sekadar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan, atau konsumsi objek. Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu “panoply” dimana tanda-tanda dan pemaknaannya menyerupai prinsip marxis dalam memaknai produksi. Kontrol sarana produksi telah bergeser menjadi kontrol atas kode. Revolusi ini yang menurut Baudrillard menjadi sebuah revolusi sosial yang maha dahsyat. Sejajar dengan revolusi industri di Inggris. Dalam perspektif inilah, menurut Baudrillard, media massa memainkan peran sentral sebagai jembatan keterciptaan kesamaan makna dan sudut pandang atas segala sesuatu.

Ketika tidak ada lagi kebenaran atau realitas, maka tanda tidak lagi melambangkan segala sesuatu. Jadi, kita dapat mengatakan pada hidup seseorang “simulakrum sangat besar” yang nyata. Bahkan simulakrum tidak pernah mengganti apa itu yang nyata, tetapi mengganti dengan sendirinya, dalam suatu sirkuit yang terputus-putus tanpa rujukan atau lingkaran (Ritzer,2004:163). Akibatnya, simulasi membunuh makna secara absolut. Simpulan Baudrillard sangat menyindir Amerika (terutama Los Angeles) bahwa apapun yang mengelilingi Amerika tidak ada lagi yang nyata, namun sudah merupakan suatu tatanan hiperrealitas dan tatanan simulasi. Amerika adalah sebuah negara yang penduduknya telah terstimulasi oleh media massa. Kenyataan riil sehari-hari mereka telah tergantikan dengan simbolisasi dan permainan tanda di televisi dan media massa lainnya.


Komunikasi Media di Mata Baudrillard

Komunikasi, menurut Baudrillard khususnya melalui media massa memiliki satu bentuk “teknis, aseptis” dan “tidak lagi dicapai melalui satu media simbolis”. Dia miskin dengan proses didaktis atau proses simbolis yang sebenarnya. Dalam masyarakat modern, orang menampilkan semacam “rasa ingin tahu yang absurd” tentang berbagai hal. Mereka “bermain-main dengan kombinasi”. Yang hilang adalah “ permainan penuh gairah”, dengan gairah yang mengimplikasikan adanya keterlibatan total dan dalamnya nilai simbolis. Konsumsi modern melibatkan manipulasi tanda secara eksternal dan dia miskin akan nilai-nilai simbolis yang terlibat dalam proses penciptaan (Ritzer,pengantar dalam Baudrillard, 2004). Hal ini menyatu dengan pendapat utama Baudrillard tentang beda signifikan antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern, yakni hilangnya hubungan antar manusia yang spontan, timbal balik dan simbolis dalam masyarakat modern. Hal-hal itu menjadi apa yang dulunya dianggap fundamen bagi masyarakat primitif. Bagi Baudrillard sebuah ciri memabukkan masyarakat modern adalah adanya diferensiasi dan logika bahwa semuanya tidak mungkin pernah cukup. Masyarakat yang tidak pernah tahu apa makna kata ikhlas ! yang ada cuma kurang melulu. Mungkin Baudrillard sepakat sepenuhnya dengan Albert Camus tentang absurditas kehidupan masyarakat modern. Sebuah gambaran masyarakat yang sakit dan selalu mengejar hasrat tak terputus. Liar, mubazir, dan tak pernah mencapai titik puas. Pada titik itulah komunikasi menjadi sebuah sarana penting (melalui media) untuk memediasi terciptanya nilai-nilai absurd tersebut. Baudrillard mengambil sikap tegas untuk skeptis dan pesimis.

Paparan tentang komunikasi dari Baudrillard muncul seiring dengan bongkarannya atas satu konsep sentral : simulasi. Konsep ini masuk akal saat mana orang memandangnya dari sudut pandang Baudrillard tentang pertukaran simbolis dan pengistimewaan masyarakat primitif. Mereka melihat alam sebagai sesuatu yang asli dan spesifik yang bertentangan dengan kebudayaan. Namun bagi masyarakat modern, alam cenderung direduksi menjadi sesuatu yang dirapikan, diatur, diawasi dan disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Alam dalam bentuk ini adalah simulasi hal-hal yang ada pada masyarakat primitif. Dia telah menjadi satu kepalsuan, simulasi dapat didefinisikan sebagai “objek palsu” dan subjek seperti inilah yang mendefinisikan masyarakat konsumsi kita. Mereka adalah objek yang menawarkan gemilangnya tanda yang nyata, namun pada kenyataanya tidak. Media memainkan peran besar dalam menciptakan simulasi ini.

Media massa telah mendorong dan menggeneralisasikan proses simulasi. Ketimbang realitas, orang diperlakukan sebagai simulasi yang melibatkan rekombinasi konstan dari pelbagai tanda, elemen-elemen kode. Baudrillard menghadapi masalah di sini, dan dipelbagai tempat, dia miskin dengan sudut pandang Archimedian, dia tidak bisa memberi simulasi ini, label palsu. Masyarakat modern dicirikan bukan hanya oleh objek yang disimulasikan, namun juga oleh hubungan yang disimulasikan. Sebagai contoh, pengiklan dipandang meniru cara komunikasi yang akrab dan personal dalam usahanya untuk menghasilkan perasaan dekat, di mana pada kenyataanya, tidak satupun yang eksis. Satu keakraban yang disimulasikan diciptakan antara orang yang mengiklankan dan konsumen potensial, juga antara konsumen potensial dengan produk yang diiklankan. Tidak lain ini adalah satu bagian dari yang dilihat Baudrillard sebagai permainan hubungan antar manusia yang digeneralisasi. Ketimbang resiprositas yang menjadi karakteristik masyarakat primitif dan pertukaran simbolis, dalam masyarakat modern kita memiliki begitu banyak model simulasi hubungan antar manusia yang bersifat resiprokal seperti itu.


Referensi :

Baudrillard, Jean, (2006). Ekstasi Komunikasi, Penerjemah Jimmy Firdaus, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
_______________, (2001). Galaksi Simulakra : Esai-esai Jean Baudrillard, Penerjemah Galuh E. Akoso & Ninik Rochani Sjams, LkiS Yogyakarta.

_______________,(1988). The Consumer Society : Myths and Structures, Sage Publications, London.

_______________,(2000). Berahi, Penerjemah Ribut Wahyudi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.

Best, Steven, Dauglas Kellner, (2003). Teori Posmodern : Interogasi Kritis, Penerjemah Indah Rohmani, Boyan Publishing, Malang.

Ritzer, George, (2004). Teori Sosial Postmodern, Penerjemah Muhammad Taufik, Juxtapose & Kreasi Wacana, Yogyakarta.

1 komentar:

Nayla mengatakan...

Mas maaf mau tanya buku Norman K. Denzin Images of Postmodern Society itu beli dimana ya? Soalnya saya butuh buku itu cepat untuk sidang skripsi. Mohon info nya terimakasih 😊