Kamis, 24 Desember 2009

Namanya Mira ...

Ini cerita tentang perempuan.
Perempuan jalanan yang tidak pernah sadar bahwa hidup ini harus punya tujuan.
Kepada perempuan itulah semua hasrat dan naluri kebinatangan aku tumpah dan tuangkan.
Ini cerita tentang perempuan,
Kata mereka sih semua untuk hidup dan untuk makan ….
Namanya Mira, mengaku berumur 29 tahun. Namun bagiku mungkin itu adalah samaran dan karangannya semata. Kalau ditaksir sih mungkin sudah 35 atau bahkan lebih. Namun tidak apalah, malam ini awalnya aku hanya berinisiatif untuk menjernihkan otakku yang tegang dalam beberapa hari ini. Jam di tanganku menunjukkan pukul 18.00 WIB ketika aku menjalankan mobilku pelan-pelan keluar dari Salon Riska. Nama salon baru di tikungan sebuah jalan utama kota Jogja itu merupakan referensi yang berasal dari temanku, Ibtu. Katanya sih di sana menerima perawatan “lebih’. Jadi tadi sore aku coba-coba datang ke sana, Setelah di treatment cukup satu jam, aku memutuskan untuk mengakhiri perawatanku itu. Tanpa menindaklanjuti tentang informasi ‘plus’ dari Ibtu. Ada beberapa catatan atas tempat itu, Pertama, dia tidaklah seperti yang digembar-gemborkan temanku. Juru pijatnya tidak ada yang cantik dan memikat. Pelayanannya standar sekali (bisa jadi karena aku tidak terlalu tahu tentang kode-kode tersembunyi ketika menyampaikan maksudku sebenarnya datang kesitu). Kedua, tarif yang dibebankan padaku untuk satu jam murah banget. Untuk pijat selama satu jam, tarif yang dikenakan cuma 60 ribu. Wuaah kalau ini sih super murah dari beberapa tempat pijat di Yogyakarta yang pernah aku kunjungi.
“Masih masa promosi sampai akhir bulan ini Mas, “ Kata pegawai dikasir pembayaran, Naah mumpung promosi makanya bisa jadi ada niat bagiku untuk kembali ke tempat itu. Tentu saja dengan strategi dan teknik yang berbeda. Tapi okelah ….. karena cukup murah, maka aku berpikir mungkin ada baiknya ntuk mencoba "hal lain", maka aku mulai memijit nomor hp ku dengan kepala dipenuhi satu nama yang kusebut tiga detik setelah hp kupencet :
“ Hallo …. “ aku hela napas sejenak “ Mira ? “
“ Heii ,,, siapa ini ? “ suara agak mendesah
“ Ini Tole….. loe ada dimana ?” napasku memburu : “ Gue butuh banget kehadiran loe !”
“ Kapan ?”
“Ya malam ini lah !” Wajahku pasti cemberut. “Masak tahun depan !!”
“Wah .. aku ga bisa neh ..”
“Mengapa ?”
“Ada tamu ..!”

Gubrak ..!
Dasar perempuan sialan, lagi dibutuhkan benar-benar malah asyik menjamu tamu. Dasar brengsek sex sex sex …. Malam jahanam !

Ini cerita tentang perempuan ...
Otak kananku langsung memvonis bahwa Mira adalah perempuan panggilan yang tidak bisa dibilang muda lagi. Usianya sudah diatas 35 tahun (Lihat betapa cepatnya asumsi menjadi sebuah dakwaan dengan nada penuh kepastian!). Sepanjang yang aku lihat dan aku raba, aku tahu sudah ada bagian-bagian tubuhnya yang menonjolkan lemak disana-sini. Parasnya juga tidak terlalu menarik, bahkan cenderung biasa saja. Sekilas mirip-mirip penyanyi goyang ngebor Inul Daratista. Bedanya dia bukan berasal dari Jawa Timur dan kaya raya seperti halnya Inul. Dia lahir dan dibesarkan hanya di sebuah kecamatan kecil di Surakarta, lengkap dengan kesederhanaan dan kemiskinannya. Menikah di usia muda (15 tahun) dan ditinggalkan suaminya dalam kondisi mengandung anak pertama (katanya sih anaknya cowok !). Pernah mencoba bersuami dengan seorang langganan tetapnya yang dia kira bagai ksatria. Ternyata dia lagi-lagi ditinggalkan dalam kesusahan. Akhirnya di usia kepala tiganya, dia memutuskan untuk terus melakoni hidup sebagai perempuan panggilan dan ready in used di salah satu sudut jalan Pasar Kembang, Yogyakarta.
Apakah semua cerita hidupnya itu yang kemudian membuatku sangat gemar memboking dia ?
Tidak man …… salah coy ...
Tentu saja tidak ! ….
Aku tak pernah trenyuh mendengar cerita kesedihan dan kenestapaan para pekerja sex komersial. Sudah terlalu biasa !!
Kawin muda …
Ditinggal suami …
Punya anak ….
Himpitan ekonomi keluarga …..
Menghidupi anak …..
Tetap jadi pelacur ……..
Huh …. Terlalu biasa ….. biasa ….. jayus ….
Sekali lagi bukan karena itu semua …
Aku tertarik dengannya dan kerapkali memboking-nya semata-mata karena layanan seks yang diberikannya. Mira adalah sosok wanita hipersex dan hiperaktif yang paling dahsyat yang pernah kutemui. Segala jenis fantasi yang tersusun di kepalaku nyaris semuanya bisa dituntaskan dalam kamarnya yang sempit, remang-remang, tanpa ada satupun rasa malu dan rasa sungkan. Aku menjadi seorang psikoanalisis sejati apabila bersamanya.
Setiap kali gelegak gairah dikepalaku sudah membuncah tak terkendali, maka aku tinggal memijit nomor hpnya. Janjian ketemu. Dan dia akan menunggu dengan segala persiapan maksimal.
Tapi malam ini ?
Malam dimana gairah dan nafsu begitu menghantam diriku ?
Doi menyatakan tengah ada tamu …
Berarti sekarang dia tengah bersimbah keringat dengan lelaki lain
Entah om-om …..
Entah pemuda …..
Entah aki’-aki’
Entah lelaki penjelmaan iblis dari neraka …
Entahlah …. Yang jelas semua itu syah … legal … dan bisa dibenarkan !
Semuanya membayar. Habis perkara.
Lha wong dia wanita panggilan !
Aku tidak boleh marah ! terlebih-lebih lagi cemburu !
Hua ha ha ha ha ha … apa pula itu
Cemburu pada wanita panggilan ?
Premis apa pula itu ?
Tak adalah kata itu dalam kamus hidupku ..
Tapi …..
Nafsu sudah membumbung tinggi …
Gimana dunk ?

Langkah instant dan sederhana adalah menjalankan mobil pelan-pelan menyusuri jalan Solo, sebuah ruas jalan utama kota Yogyakarta ini. Tekat bulat menuju timur. Maju terus pantang mundur. Pelan terus ke timur. Melewati sebuah kampus yang tengah dipugar dan dibangun dengan (katanya !) dana hibah dari Kairo atau Timur Tengah : megah dan jumawa. Terserahlah ! Terus ke timur. Melewati Ambarukmo Mall : sebuah mall yang hiruk pikuk dan berlebihan laku, dengan meninggalkan rentetan protes dan demo dari komunitas disekitar rencana bangunan megah itu. Katanya mall itu menjadi mall termegah di Jawa Tengah. Entahlah ….. malam ini pikiran itu cuma melintas cepat dikepalaku yang memang tengah tidak mau berpikir. Ada lintasan bergolak lain yang menekan semua rasionalitas di kepala atasku : bergolaknya hasrat di kepala bawahku !
Kepala satunya yang terus menerus menuntut pemuasan ….
Hasrat yang menggila …….
Butuh pelepasan segera …….
Segera ………………

Memang begitulah jalan hidupku. Tanpa aku pernah berpretensi menjadi Brahmana atau manusia suci. Bagiku pemuasan kebutuhan seksual tidak bisa terus menerus dilakukan melalui onani. Bahwa katanya kemudian ada dua diantara tiga laki-laki remaja dan dewasa yang menggunakan tangannya untuk merancap dan masturbasi, itu adalah kenyataan dan fakta non riset yang tetap dipegang kebenarannya. Namun bagiku perilaku onani dan masturbasi sudah lewat. Bagi seorang lelaki dengan penghasilan diatas rata-rata seperti diriku, wajah yang juga di atas rata-rata, penampilan tidak terlalu menjemukan, dan ….. kemampuan berbicara yang cukup brilian, tentu bukan perkara sulit untuk menemukan satu sosok perempuan yang bisa menerima dan juga turut menikmati permainan seksual dunia yang tanpa batas. Inilah yang namanya hasrat, kata Baudrillard !
Manusia sepanjang hidup terus menerus menuntaskan hasratnya
Seumur hidup terus menerus menetralisir id dengan bermunafik diri berpegang pada superego ! itu kata Sigmund Freud.
Ah, dasar Freud, mengapa pula sampai pada kesimpulan yang mengandung penuh kebenaran itu ? apa Deleuze & Guattari belum juga sadar ? bahwa kemaluan mereka tetap saja bergerak dengan instink ala psikoanalisis. Dasar Yahudi sok pintar !

Setelah sepuluh menit menelusuri jalan Solo, sebelum nyampe pertigaan Janti di bawah jembatan layang, mobil aku belokkan ke kiri. Masuk pelan ke sebuah gang yang aku tahu menuju pada sebuah makam, dan berarti gangnya buntu ! Bukan makam itu yang jadi tujuan, namun aku tahu pasti bahwa sebelum makam itu, ada dua buah pondok yang menampung belasan gadis. Gadis-gadis itulah yang selalu tersedia untuk menampung segala kepenatan dan kemendesakan naluri binatang yang tengah berkecamuk dalam diri lelaki sepertiku.

Porsneling mobil aku pindah ke-2. Mobil melaju pelan. Lampu senja aku aktifkan. Inilah tanda yang aku pahami apabila memasuki jalan ini sebagai isyarat ’khusus’.
Seorang laki-laki kekar cekatan menghampiri mobil sebelah kanan. Tepat di sisi sopir. Melempar senyum, ”met malam bozz..!”
”Maleem?’ senyum terpaksa ku lemparkan : ”ada berapa orang ?”
”Waah ..... masih banyak boz,” seringai senang itu keluar. ”masih lengkap !”
”Baguslah...”
Aku matikan mesin mobil. Kebisuan menyergap. Baru kusadari bahwa area pemakaman itu memang seram. Cocok benar mereka menempati area ini. Cukup menakutkan bagi orang yang tidak berpikiran jorok seperti aku. Menepis bayangan menakutkan seperti film-film kuntilanak dan sundal bolong, aku turun dari mobil dan menutup pintu.
Brakk ...!

Pandanganku menyapu sekeliling. Dari jarak sekitar 3 meter aku mulai membiasakan diri dengan gelapnya malam untuk memastikan aku berada di tempat yang tepat.
Di kiri mataku ada sebuah rumah dengan pagar separuh badan menutup halamannya. Lampu merah 5 atau 10 watt menyala temaram. Nampak beberapa kursi butut bersandar ke dinding disamping pintu masuk. Nampak dua laki-laki dan seorang wanita stw (setengah tua) cekikikan di sana. Asyik sekali bercengkrama. Kulirik sebelah kanan. Ada rumah kecil lagi dengan neon putih yang mulai menghitam di kedua ujungnya. Pasti udah saatnya diganti ! berbeda dengan suasana pelataran rumah di kiri, rumah ini nampak angkuh. Sepi sekali. Pintunya menghadap ke selatan. Satu setengah meter di depan pintunya ada tembok yang membuat kita harus membelok menghadap ke barat apabila keluar dari pintu itu. Sementara di sebelah barat ada tembok lagi yang lebih tinggi yang akan segera menghalangi penglihatan orang yang memandang dari sebelah barat. Ada tanah lapang sekitar 2 x 3 meter di utara tembok tinggi itu. Itulah tempat masuk menuju pintu tadi.

Aku paling tak suka ditatap orang saat masuk ketempat beginian. Bagiku penyembunyian identitas menjadi permainan menarik. Menghadirkan “diriku” yang bukan diriku memberikan keasyikan tersendiri sepanjang hidupku di dunia hitam ini. Tentu aku bukan Michael Foucault yang terang-terangan mengaku dirinya ketagihan sodomasokis. Ini Yogyakarta coy, bukan New York yang membuat Foucault ketagihan. Atas dasar itulah aku menghindari menuju ke rumah sebelah kiri, karena dengan demikian berarti aku akan bertemu dan melewati tiga orang yang bercengkrama di teras rumah itu.
”Baiklah,” aku menggerutu, dalam hati ”tampaknya rumah selatan deh”
”Bagaimana boz ?”seringai itu keluar lagi, ”sebelah mana ?” seringai lagi, ”dua-duanya sama bagus kok !” mulut itu terus saja berpromosi.
Aku senyum tak menjawab. Namun melangkah pelan menuju tanah 2 x 3 meter itu. Dari kegelapan di jarak 5 meter tadi, aku menyongsong lampu neon agak hitam itu. Pasti raut wajahku terlihat jelas. Ahh .. persetanlah... toh mereka cuma melihat uangku saja. Bukan siapa diriku.

”Di hotel mana boz ?” si seringai tadi mencoba beramah tamah. Ujungnya pasti komisi.
”Saya belum check in..” aku malas-malas. Sudut mataku melirik manusia ’penjilat’ disamping ini, ”Nantilah saya cari tempat sekalian..”
Aku merasa si seringai itu tersenyum, membayangkan dia akan dapat persenan lagi dari upaya mencarikan aku kamar di hotel yang telah menjadi network dia. Biasanya dalam dunia pelacuran begini, seluruh manusia yang mendapatkan manfaat dari bisnis ini akan membangun kolaborasi imbang yang saling menguntungkan. Germo akan mendapatkan sekitar 50% dari uang boking dan “uang pake”, terus sang bodyguard akan mendapat 2% dari kemampuan menarik konsumen, sementara itu hotel akan diwajibkan memberi sekadar ’tip’ pada bodyguard sebagai balas jasa sang pengawal sudah memberikan tamu untuk mengisi kamar hotelnya. Dengan pengetahuan akan sistem bagi hasil begitu, aku merasa muak dengan senyum dan seringai sok ramah dari bodyguard itu. Sama saja dengan senyum menertawakan kebodohan dan ketolollanku.
”Ahh persetanlah ...” makiku dalam hati, sambil kupercepat langkahku..
Saat menapaki ujung tanah lapang 2 x 3 meter itu mataku sudah melirik ke kiri, mengarah pada depan pintu masuk yang diterangi sorot lampu neon yang lebih benderang.. dan. Bruukk ..... ujung kakiku terantuk satu gundukan di kegelapan, sialan .. gue terpeleset!
”Hati-hati bozz ..” tangkas sekali si bodyguard merespon, padahal doi pasti tersenyum geli.. dasar aku saja yang goblok.. Ini nih akibatnya kalau nafsu sudah di ubun-ubun ... he he he he he ………

Satu menit kemudian aku sudah berada di depan pintu rumah dengan lampu temaram itu. Ruang tamu memanjang. Sekitar 3 x 10 meter. Pada setiap sisinya terdapat kursi sofa empuk. Dibelakang deretan panjang kursi itu terdapat kaca cermin yang besar melekat di dinding yang posisinya berhadapan. Hingga setiap orang yang duduk di sofa itu akan melihat dirinya sendiri utuh di cermin depannya. Persis dipunggung sosok lain yang duduk di hadapannya.

Sambil mempersilahkanku duduk, sang bodyguard tadi memencet satu tombol persis diatas tempat duduk dia. Terdengar bunyi bel. Aku sudah paham maksud bel itu : semua gadis-gadis harus keluar memamerkan diri. Tak sampai lima detik, bermunculanlah rupa-rupa cantik menggairahkan dari dalam menuju sofa yang tadi ada cerminnya berhadap-hadapan.
“Evi, Neni, Dian, Anggi, Siska, Rika, Leni ,..” dan entah berapa nama lagi yang disebutkan sang Bodyguard merangkap germo itu untuk menjelaskan masing-masing gadis yang keluar secara teratur. Yang pasti aku tak bisa mengingat semua. Mataku Cuma nanar menatap gadis mana yang sesuai seleraku. Putih, berambut panjang, dada menunjang, agak nakal, bokong sexy, fashionable... ahh ....
“yang mana boz?” tanya germo itu .
Ternyata semua gadis itu sudah duduk berhadap-hadapan sambil tersenyum memamerkan dirinya masing-masing. Pada saat seperti ini aku jadi teringat ungkapan Hatib Abdul Kadir dalam bukunya “Tangan Kuasa Dalam Kelamin”. Buku yang diantar Benedict Anderson itu mengetengahkan analisis menarik atas dunia pelacuran berikut sebab musababnya. Penyebab muncul dan bertahannya pelacuran menurut buku itu bukanlah karena lemahnya pendidikan agama, kurang iman, dan lemahnya moral pelaku-pelaku itu, melainkan relasi timpang kekuasaan ekonomi yang menghimpit kelompok marjinal. Kesempatan berusaha dan mendapatkan penghasilan layak yang tidak merata bagi manusia di Indonesia ini membuat timpangnya pendapatan. Mereka yang kaya akan terus membangun sistem untuk mengukuhkan kekayaan dan status mereka, dan itu berarti akan senantiasa mengorbankan mereka yang miskin. Semakin miskin, semakin tersingkir. Pada titik ini pilihan untuk menjadi pelayan dan budak dari mereka yang memiliki uang sama sekali tidak bisa terelakkan. Inilah relasi borjuis dan proletar. Persis seperti yang digambarkan Kuntowijoyo atas peran kelas Borjuis di Eropa. Mereka yang menjadi pelacur adalah kelas proletar dengan modal tubuh yang dikuasai para germo. Dengan sistem pembagian yang lebih banyak menguntungkan sang germo, tepat sudahlah relasi kuasa itu memainkan peran dalam urusan perkelaminan. Dan aku menjadi sosok yang berkuasa, menjalin teori konspirasi dengan germo itu untuk meng-establish-kan posisi germo itu. Aku punya uang, bebas memilih mana tubuh yang akan kunikmati tiga jam ke depan. Dan ...
“Yang paling kiri mantap lho bos !” ahh dasar otak promosi, “Namanya Vera.”
Meski mengumpat dalam hati, toh lensa mataku juga bergerak seiring dengan perintah otak untuk tidak menyia-nyiakan secuil informasi itu. Duduk di kiri, sosok putih bersih (yang kusadari kemudian hanyalah pengaruh lampu yang terang benderang), dada membusung (pasti 36b), memakai rok jins super sexy, nampaknya germo ini tahu betul seleraku. Aku menyeringai bagai srigala lapar melihat anak rusa gemuk siap dimamah. Dasar bajingan !

Tak perlu aku teruskan. Apakah aku akan “mengambil” Vera atau tidak. Yang jelas Freud sudah tahu betul akan apa yang terjadi pada sisi tergelap manusia. Seks menjadi akar masalah peradaban. Seks menjadi sarana penguasaan. Seks telah menggantikan proses berketurunan sebagai sarana permainan yang mengasyikkan. Manusia memang makhluk menyimpang. Berdasarkan standar 4.300 spesies mamalia lain di dunia, dan berdasarkan standar kerabat kita yang paling dekat (menurut hukum Darwin), kera besar (Simpanse, bonobo, gorila, dan orang utan), kitalah spesies yang paling menyimpang. Minimal itu simpul yang kubaca di buku “Why is Sex Fun ? : The Evolution of Human Sexuality” yang ditulis Jared Diamond. Apabila spesies mamalia lain hanya memaknai persetubuhan sebagai sekadar cara memelihara keturunan dan berkembang biak, manusia memaknai persetubuhan sebagai ritual rekreasi dan kesenangan. Akibatnya, di dalamnya timbul pertaburan proses pencarian kesenangan, sensasi, fantasi, penguasaan satu sama lain, dan tentu saja uang yang melimpah ruah. Memang benar kata Freud : seks pencipta peradaban.

Selebihnya aku tak bisa bercerita lebih banyak lagi. Tubuh dengan dada membusung itu benar-benar telah berdiri di depanku. Kami berdua sudah berada dalam kamar sebuah hotel bintang empat. Punya garasi mobil di setiap kamarnya. Hotel yang resepsionisnya tidak norak dengan mempertanyakan KTP setiap tamu yang menginap. Cukup dengan memberikan tip satu lembar lima puluh ribuan, mulutnya akan diam. Mataku semakin nanar. Nafsu pasti berpendar. Blouse-nya telah terlepas. Berganti dengan BH merah menutup sepasang buah dada yang tadi membuncah. Aliran listrik tidak mampu lagi memaksimalkan fungsi otak kiriku. Yang ada sekarang hanya pijaran listrik berlebihan yang menyerang otak kanan. Dengan sigap aku menghambur ke depan ... Vera menyambut dengan senyum nakal dan lenguh berkepanjangan. Seks telah menjadi profan, memang begitulah peradaban ... Dua jam ke depan biasanya aku pasti akan menyadari, kalau aku memang Freudian.


Tepi Kali, Desember 09

3 komentar:

Astrid Damayanti mengatakan...

Mungkin ini, salah satu keahlian dari Freudian, bikin orang tahan napas waktu baca tulisannya hahahahaha...great.. vivid banget ceritanya Mas !!! lanjutkan..!! hahahaha...

Mediapro mengatakan...

Tulisannya mengingatkan ku ..20 tahun yang lalu..waktu demen2nya anny arow...bikin otak kananku di kili2...aroma seksual...uugh !

DhaRma Lubis mengatakan...

Diangkat dari kisah nyata mas?? Wah boleh juga kapan2 saya diajak ya..mau berguru pada yang ahli..