Jumat, 18 Desember 2009

Menuju Pasif ! : Transisi Media Cetak Ke Elektronik

“Radio and television based upon
pure collective and institutional
rather than individualistic authorship”

-Anthony Smith, Goodbye Gutenberg, 1980:325-


Transisi media dari satu bentuk ke bentuk yang lain bukanlah berada di ruang vakum terpisah dari kondisi masyarakat. Persis seperti sejarah kelahirannya yang menghamba pada kebutuhan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain, maka perkembangan berikut transformasinya juga tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik. Sejak ditemukannya mesin cetak, sebenarnya proses evolusi manusia dalam menyampaikan pesan secara tidak langsung dan termediasi telah dimulai. Tentu dengan proses yang lama. Proses itu sangat tergantung dari kondisi sosial politik yang terjadi di Amerika dan Eropa. Kebutuhan perang dengan keinginan indoktrinasi propaganda membuat keberadaan media begitu penting. Dan nampaknya setting serupa juga tidak terlalu bergeser berabad-abad sesudahnya. Satu hal yang pasti : media selalu menjadi jembatan penghubung antara kebutuhan penyebar pesan dari seseorang atau sekelompok orang kepada pihak yang lain penerima pesan. Di dalamnya berkelindan tujuan menyampaikan informasi, menyebarkan pengetahuan, menghibur, dan bahkan menguasai pihak lain. Entah itu hanya bertujuan menyampaikan pesan maupun dinamika politis di dalamnya, media selalu mencatatkan dirinya dalam rangkai pergolakan dan relasi kekuasaan. Inilah setting sosial dan politis keberadaan media. Mungkin itu akan terjadi sepanjang daur hidupnya.

Tulisan berikut ini mencoba untuk mengurai secara singkat perjalanan media massa dalam konteks Eropa dan Amerika. Dari dua benua itulah asal usul media massa yang saat ini kita kenal. Pertama akan diulas tentang kondisi masyarakat dan kelahiran media cetak, lalu dilanjutkan dengan kehadiran media audio dalam wujud radio transistor. Melalui kemampuan transformasi pesan menjadi audio visual saya akan mengurai perpindahan sistem manual menuju sistem digital dengan televisi sebagai ’sang bintang’. Tulisan akan diakhiri dengan revolusi besar-besaran dalam dunia komunikasi dengan munculnya internet sebagai roh computer mediated communitacion (CMC). Akhirnya, saya akan coba rangkum tentang kontribusi media tersebut kepada kehidupan sosial politik kita. Nanti akan terlihat bahwa tidak hanya media massa yang terbentuk oleh media, melainkan sirkulasi efeknya menunjukkan bahwa media telah menjadi determinan penting dalam kondisi masyarakat itu sendiri. Tak jelas lagi mana sebab dan mana akibat.

Media Cetak : Mujizatnya Mesin Cetak
Bila mengacu pada cerita Asa Briggs & Peter Burke (2006), akan terlihat bahwa kelahiran mesin cetak sebagai alat pertama yang mampu membuat sebaran pesan menjadi massif, menjadi penanda revolusi dalam bekerjanya relasi manusia. Lewat mesin cetak itu maka kitab-kitab religius tidak lagi ditulis secara tradisional kuno. Lewat mesin cetak itu kemudian seluruh kampanye politik tidak lagi memakan waktu berbulan-bulan yang dihabiskan dalam perjalanan calon presiden atau senator. Semua jadi lebih singkat. Lebih murah. Lebih tertata.

Jejak-jejak historis yang dipaparkan Briggs dan Burke dalam buku itu memang relatif ensiklopedis. Lebih dari sekadar disuguhi dengan panorama pertumbuhan media komunikasi secara kronologis, kita diajak pula menyusuri konteks sosialnya: bagaimana teknologi media itu tumbuh bukan sebagai artefak yang lahir dari para insinyur dalam keadaan tanpa tujuan, melainkan jalin-menjalin dengan kepentingan ekonomi, menunggangi dan ditunggangi oleh gejolak sosial, serta dimanfaatkan dan memanfaatkan pertikaian antarpihak dan antargeografi. hal ini sangat dibenarkan oleh para pelacak sejarah media massa (Fidler, 2003 ; Mc.Chesney, 2007).

Seperti halnya Einstein dengan rumus matematikanya yang menghasilkan bom atom pembunuh manusia (Bom atom sendiri adalah kreasi Julius Robert Oppenheimer, seorang PhD Cambridge University yang bekerja untuk proyek pemenangan perang presiden AS F.D. Roosevelt di tahun 1940-an), maka Gutenberg tidak pernah menyangka mesin cetaknya begitu berguna hingga hari ini. Gutenberg mencatatkan sejarah penemuannya dengan cerita manis . sebaliknya Einstein mencatat sejarah rumus matematikanya dengan penyesalan dan kegalauan karena membunuh berjuta-juta orang. Kita tidak sedang cerita bom atom khan ? Nah mari kembali pada cerita Gutenberg, sang pahlawan kelahiran koran, majalah, dan media cetak lainnya.

Tatkala Gutenberg menciptakan alat cetak, ia meniatkannya untuk menyebarluaskan pengetahuan. Tapi kebutuhan, dan kepentingan, manusia ternyata melebihi itu. Media cetak tadi telah menghibur, menularkan dongeng, berbagi kesenangan, ini sebagai efek positif. Sementara efek negatifnya langsung muncul bagai dua sisi mata uang. Media cetak itu dijadikan alat untuk membujuk, menghasut, dan menikam demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Ulasan Briggs & Burke (2006) berikutnya menggambarkan betapa media bergerak melampaui kehendak penciptanya. Sampai pada titik yang tak terkira. Inilah dilema media massa. Mungkin hingga hari ini.

Dari seluruh perkembangan media cetak yang ada (buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya) ada satu sifat yang melekat erat pada dirinya. Setiap orang yang ‘terikat’ dengannya harus menjadi aktif untuk berinteraksi. ini artinya membaca buku, majalah, surat kabar, selalu memaksa orang untuk aktif melihat, berinteraksi dengan apa yang dibaca terlepas sadar atau tidak sadar (Emery & Emery, 1996). Ini sama sekali tidak terjadi pada media elektronik yang muncul selepas sejarah gemilang media cetak yang membuat orang menjadi lebih pintar dan aktif tadi.

Instan, Pasif, dan Melenakan : Fakta Media Elektronik
Menjelang penyelesaian tulisan ini, saya masih kesulitan untuk menuliskan kesimpulan. Seperti biasa, saya punya masalah untuk menutup sebuah tulisan dengan kesimpulan yang bagus (tentu saja). Saya sangat tidak ahli dalam menyimpulkan. Tahukah anda, apa yang begitu menggoda saya untuk membaringkan diri dan menunda kerja ? Yup, televisi di depan saya ! Ada acara komedi yang mampu membuyarkan konsentrasi (Yang memang hanya tinggal separuh). Saya tak bisa menampik dan memungkiri bahwa televisi telah menjadi media penggoda utama dalam masyarakat modern. Juga terhadap diri saya. Dia hadir dengan kekuatan audio visual yang tak tertandingi. Ada konteks sosial politis yang luar biasa telah mengantar media televisi sebagai media terpopuler dan idola bagi khalayaknya.

Media massa adalah media yang digunakan dalam proses komunikasi massa (McQuail, 2000; Vivian,2008; West & Turner, 2009). Sosok riilnya bisa dilihat dalam rupa radio, televisi, komputer dengan internet. Hingga saat ini, televisi menjadi salah satu pengantar pesan yang paling digemari. Dalam sejarah panjangnya, televisi sebagai sosok revolusioner media elektronik telah memberi warna atas perkembangan masyarakat (Kellner, 1990; Arthur, 2004). Pada tataran paling ekstrem, televisi telah berhasil menciptakan budaya visual yang sangat kuat (Murray & Quellette, 2004; Burton, 2007). Hal ini sebenarnya telah terjadi di awal sejarah radio. Namun lompatan pola akses media begitu ekstrem setelah kehadiran televisi. Seiring dengan berlalunya waktu, peran radio dan televisi telah menyatu sedemikian rupa dalam media interaktif dan bersifat konvergen. Komputer dengan internet telah merubah segalanya. Dalam konteks saluran dan sirkulasi informasi, ini betul-betul lompatan besar. Tengoklah apa yang terjadi dalam dunia jurnalisme on-line saat ini.

Dengan media pemberitaan berbasis Internet, segala macam pemberitaan sebagai hasil kerja jurnalistik dapat disampaikan dengan sangat cepat kepada masyarakat luas (massa). Inilah mengapa masyarakat kini cenderung lebih memilih Internet sebagai media pemberitaan yang efisien. Grafik pertumbuhan media Internet pun nampaknya menunjukkan peningkatan. Ini berkebalikan dengan angka koran atau media cetak yang terus saja mengalami penurunan perlahan. Sedangkan untuk media massa lain seperti radio dan televisi nampaknya masih bisa bernafas lega, karena teknologi penunjang bisnis media melalui Internet memungkinkan konvergensi kedua jenis media ini melalui Internet. Perkembangan teknologi multimedia yang pesat pun turut mempengaruhi prospek cerah Internet sebagai media komunikasi informasi yang cepat. Namun seiring dengan kecepatannya itu, dia menjadikan seseorang sebagai sosok pasif penerima informasi semata. Bahkan pada titik terjauh menjadikan media ini sebagai acuan hidup dan tempatnya bergantung. Google menjadi saksi kontemporer atas perubahan paradigma relasi antar manusia yang termediasi dengan komputer. Kita sampai di tepian yang paling berbahaya !

Media Sebagai Berhala : ”Insya Google” yang Berbahaya
Hari ini, televisi dan Internet telah membuat dunia terasa kian sempit dan jarak-waktu kian pendek. Seluruh dunia telah terhubung sedemikian rupa. Apa yang dibayangkan oleh Thomas L. Friedman (2006), bahwa dunia ini sudah sedemikian datarnya, nampak telah menjadi kenyataan. Begitu banyak keuntungan. Juga tak terhitung kerugian. Internet telah membuat kita berinteraksi secara menakjubkan bagi ayah dan ibu kita. Membuat orang kampung terpana tak terkira karena apa saja bisa didapat. Semua informasi telah tersedia di sana. Tinggal klik saja. Bereslah semua. Bahkan seorang teman dengan berseloroh berkata, “Google telah menjadi semacam tuhan bagi kita,” tentu dia seorang atheis. Lalu keluar kalimat religius darinya, “kalau mau cari sesuatu di internet, ucapkan saja Insya Google (kalau Google mengijinkan),” memang sangat keterlaluan ! Tapi faktanya mesin pencari karya Sergey Brin & Larry Page ini telah menyediakan informasi apapun yang kita cari dan inginkan. Ini tentu dengan sendirinya membenarkan apa yang diramal Alfin Toffler tiga dekade sebelumnya (Vise & Malseed, 2006).

Media cetak yang telah menciptakan budaya aktif dalam peradaban Barat, ternyata tidak memiliki sejarah yang sama di peradaban Timur. Rata-rata negara di Timur yang baru saja merdeka tidak merasakan terpapar media secara tertib linear seperti di sana. Semua dialami secara holistik. Mereka mengenal surat kabar dan majalah hampir bersamaan dengan mereka mengenal radio, televisi, dan bahkan komputer. Media elektronik yang menyediakan fasilitas serba instan menjadikan audiens begitu pasif. Menjadi konsumen, tanpa pernah berpikir untuk berprestasi menjadi produsen pesan. Tiba-tiba kita sangat menikmati menonton televisi atau berselancar chatting di internet ketimbang duduk merenungi makna sebuah paragraf dari buku teks. Perkembangan dunia internet dengan daya beri informasi tak terbatas membuat kita semakin rakus memamah apa saja. Masyarakat semakin bergerak menjadi pasif. Anda punya pendapat lain ?


Referensi Utama :

Dominick, Joseph R., (2009). The Dynamics of Mass Communication : Media in the Digital Age, Tenth Edition, McGraw-Hill International, Boston.

McQuail, Denis., (2000). McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publications, London, Part V.

Severin, Werner J. , dan James W. Tankard, Jr. , (1992). Communication Theories : Origins, Methods, and Uses in The Mass Media, Third Edition, Longman, New York, Part. IV.

Tidak ada komentar: